Prof. Kamsi Dikukuhkan sebagai Guru Besar UIN Suka Sampaikan Pidato Guru Besar “Indonesianisasi Hukum Islam”

Prof. Dr. H. Kamsi, MA., dikukuhkan sebagai Guru Besar bidang Politik Hukum Islam, Fakultas Syari’ah dan Hukum, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, bertempat di Gedung Prof. R.H.A Soenarjo, Jum’at, 24/8/18. Pengukuhan Guru Besar dilakukan oleh Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof. Drs. K.H. Yudian Wahyudi, M.A., Ph.D., dalam prosesi Rapat Senat Terbuka, setelah Prof. Kamsi menyampaikan pidato pengukuhan dengan judul “Politik Hukum Islam di Indonesia-Indonesianisasi Hukum Islam,” dihadiri para anggota senat universitas, para pejabat universitas, civitas akademika dan para tamu undangan kerabat kerja dan dari dinas – instansi terkait.

Dalam pidato pengukuhannya, Prof. Kamsi antara lain menyampaikan, hukum Islam sudah berlaku di Indonesia sejak jaman kolonial berdampingan dengan hukum kolonial. Setelah kemerdekaan Indonesia hukum kolonial yang tidak lagi sejalan dengan Pancasila perlahan ditinggalkan kecuali yang bersifat universal.

Menjadi Tugas bangsa Indonesia melalui politik hukum yang berakar pada filosofi dan akar budaya sendiri untuk melakukan revisi-revisi konstitusional. Hal ini tidak ringan karena menyangkut banyak dimensi. Tugas konstitusional ini tidak terkecuali diemban oleh para ahli hukum Islam di Indonesia untuk terus menggali aturan-aturan hukum Islam agar mendapat tempat secara konstitusional dalam tata negara RI.

Ada tiga alasan kenapa hukum Islam mendapat tempat secara konstitusional di Indonesia. Yang pertama, secara filosofis, ajaran Islam merupakan pandangan hidup, cita moral, dan cita hukum mayoritas Muslim di Indonesia, dan mempunyai peran penting bagi terciptanya norma fundamental negara Pancasila. Kedua, secara sosiologis, perkembangan sejarah masyarakat Islam Indonesia menunjukkan bahwa cita dan kesadaran hukum bersendikan ajaran Islam memiliki tingkat aktualitas yang berkesinambungan. Dan ketiga, keberlakuan hukum Islam secara yuridis formal telah tertuang dalam pasal 25 dan 29 UUD 45.

Menurut Prof. Kamsi, selain tiga alasan diatas, upaya terus menyempurnakan konstitualisasi hukum Islam di Indonesia didasarkan pada tiga hal lagi, yakni; Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960 yang menyatakan tentang penyempurnaan hukum perkawinan dan hukum waris, GBHN yang menyatakan bahwa hukum Islam menjadi salah satu komponen dan bahan baku hukum nasional Indonesia, Rencana Pembangunan Jangka Panjang Indonesia 2005 s/d 2025, yang salah satunya menyatakan bahwa arah kebijakan hukum nasional bersumber pada hukum adat, hukum agama Islam dan hukum Barat.

Dijelaskan, secara politis, posisi hukum Islam di Indonesia telah demikian kokoh. Dalam prakteknya, hukum Islam telah mengisi kekosongan hukum bagi umat Islam di Indonesia (lex spesialis) bidang hukum keluarga, hukum waris, perwakafan dan zakat. Hukum Islam juga berperan sebagai sumber nilai yang memberikan kontribusi terhadap aturan hukum yang dibuat (berlaku bagi seluruh WNI - lex generalis). Dan sebagai sumber nilai aturan hukum yang dibuat, hukum Islam mewarnai hukum perdata, hukum pidana, hukum tata negara, dan hukum administrasi negara. Oleh karena itu bisa dikatakan, dalam prakteknya, Hukum Islam telah benar-benar berperan sebagai sumber hukum di Indonesia.

Namun, begitu kokohnya posisi hukum Islam secara politis, dalam perjalanan sejarah Indonesianisasi hukum Islam tidak pernah lepas dari konfik. Akar konflik bisa disebutkan diantaranya, mayoritas politik di negeri ini tidak mendukung penerapan syari’at Islam, karena Indonesia secara konstitusional bukan negara Islam. Sistem pemerintahan negara RI yang demokratis, dalam pelaksanaannya sering terjadi benturan kekuasaan yang erat terkait dengan kekuasaan politik yang sedang bermain. Karena itu perlu terus dicari akar konflik dan perbedaan, agar upaya positivisasi hukum Islam bisa dilaksanakan secara baik.

Terlepas dari konflik yang ada, Prof. Kamsi menilai ada teori-teori yang menguatkan terus diupayakannya Indonesianisasi hukum Islam, yakni: teorik formalistik-legalistik, teori strukturalistik, teori kulturalistik, dan teori substantialistik-aplikatif. Berdasarkan teori-teori ini, maka proses Indonesianisasi hukum Islam agar bisa memayungi seluruh masyarakat Indonesia harus memperhatikan prinsip kemanusiaan, hak asasi manusia dan prinsip persamaan di depan hukum. Juga memperhatikan tiga hal, yakni; tingkat pendidikan dan keterbukaan yang tinggi dari masyarakat Muslim, keberanian umat Muslim untuk mengambil pilihan-pilihan yang tidak konvensional (antara wahyu dan akal, kesatuan dan keragaman, idealisme dan rasional, stabilitas dan perubahan), dan kesediaan umat Muslim untuk memahami betul latar belakang sosial-kultural-politik masyarakat Indonesia. Hingga terbentuk formulasi hukum positif Islam di Indonesia menjadi tiga kelompok aturan hukum, yakni; hukum Islam untuk umat Muslim, hukum Islam dalam hukum nasional, dan hukum Islam yang masuk dalam peraturan perundang-undangan nasional, berlaku untuk setiap WNI.

Dalam catatan akhir pidatonya, Prof. Kamsi menyampaikan bahwa, mengingat Indonesia adalah negara yang bhineka (plural), maka hukum Islam itu tetaplah hukum yang hidup, sama seperti pemeluk agama lain yang memiliki hukum sendiri. Hukum adalah produk politik. Produk interaksi kalangan elite politik. Maka peluang pengembangan Indonesianisasi hukum Islam tergantung kuat tidaknya daya tawar para elite politik Islam.

Sementara proses pemberlakuan menuju Indonesianisasi hukum Islam perlu diperhatikan adanya kaedah-kaedah penuntun nasional, yakni; hukum Islam harus bisa menjamin integrasi atau keutuhan NKRI, tidak boleh diskriminatif baik secara ideologis maupun teritori. Hukum harus tercipta secara demokratis dan nomokratis berdasarkan hikmah kebijaksanaan sesuai faksafah Pancasila. Hukum harus mendorong terciptanya keadilan sosial, ditandai proteksi khusus negara terhadap kelompok masyarakat yang lemah, tidak boleh ada hukum publik (mengikat yang ikatan primordialnya beragam) yang didasarkan pada ajaran agama tertentu, demikian papar Prof. Kamsi. (tim humas)