Tafsir Maqashidi Ijma’i

Dr. H. Shofiyullah Muzammil, M. Ag.

Pemikiran Hukum Islam (Ushul Fiqh)

Ada yang menarik saat pidato pengukuhan guru besar Prof. Dr. KH. Abd. Mustaqim, M.Ag dosen Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam (FUPI) pada Senin, 16 Desember 2019 bertempat di gedung Prof. A. Soenarjo (Convention Hall) lantai 1 UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Prof Mustaqim membacakan pidato pengukuhannya dengan tema “Argumentasi Keniscayaan Tafsir Maqashidi sebagai Basis Moderasi Islam”. Sang Profesor mencoba membangun sebuah rumusan baru sebagai solusi atas semakin mengerasnya dua kutub pembacaan umat Islam terhadap teks suci keagamaan, Alquran dan Hadis.

Keduanya bahkan mengarah pada sikap ekstreem (tatharruf). Antara kelompok tekstualis-skripturalis vis a vis kelompok kontekstualis-substansialis. Kelompok yang memahami teks secara apa adanya tanpa melihat konteks dan maqashid dari ayat. Seolah teks ayat itu terlalu sakral (ya’budun nash) untuk dipahami lebih dari apa yang tertulis (manthuq al-nash). Pada posisi yang berseberangan, ada kelompok yang sebaliknya, memahami teks nash justru dengan tanpa “membaca dan menyapa” teks nashnya itu sendiri (yu’athilan nash, desakralisasi teks) seolah tercerabut dari akarnya.

Kedua cara baca atas teks keagamaan yang ada dan tumbuh subur selama ini di masyarakat menurut Prof Mustaqim harus segera diakhiri. Keduanya dianggap jauh dari nilai-nilai ajaran Islam yang moderat (wasathiyah). Islam yang rahmatan lil alamin. Patut diduga semakin berkembangnya paham dan prilaku radikal fundamental dan liberal dalam beragama dan berbangsa tidak terlepas dari kedua pola pemahaman tersebut.

Sebagai ilustrasi penulis coba berikan contoh dari kedua pemahaman ekstreem tersebut (tidak ada dalam naskah pidato). Yang pertama, QS Al-Maidah ayat 44, “waman lam yahkum bima anzala Allah faulaika hum al-kafirun!” Dalam bacaan kelompok tekstualis skripturalis literalis, pemerintah yang tidak menerapkan hukum Allah (Alquran-Hadis) adalah pemerintahan kafir. Karena itu maka boleh diperangi kalau tidak mau bertaubat (kafir harbi). Pemahaman ini lahir dari pemaknaan secara tekstualis literalis (manthuq nash) dari apa yang tersurat (etimologi) pada redaksi ayat. Dan secara tidak langsung kelompok ini disadari atau tidak telah memahami dan menyamakan Alquran dan Hadis sama dengan kitab UUD dan KUHP (?!).

Contoh yang kedua QS Al-Mu’minun ayat 5-6, “walladzina hum lifurujihim hafidzun illa ‘ala azwajihim aw ma malakat aymanuhum fainnahum ghairu malumin” dalam pemahaman kaum liberalis substansialis ayat ini menjadi pembenar kebolehan hubungan seksual oleh pasangan nonmarital. Hubungan seksual yang dilakukan antara laki-laki dan perempuan diluar pernikahan yang sah (milkul yamin) itu bisa dibenarkan dan tidak dianggap zina asalkan dilakukan atas dasar suka sama suka dan di tempat tersembunyi (?!).

Kedua contoh pemahaman di atas sama-sama ekstreem dan bisa dibayangkan bagaiamana dampak dalam masyarakat bila kedua pemahaman itu terus dipupuk dan mendapatkan pembenarannya.

Tafsir Maqashidi lahir untuk menjadi sintesa keilmuan di antara kedua tesa di atas. Sebuah tafsir yang moderat memadukan antara teks dan konteks serta tetap menjaga maqashid dari nash.

Tafsir Maqashidi versus Ijma’i

Konstruksi Tafsir Maqashidi yang ditawarkan oleh Prof Mustaqim untuk menyelesaikan persoalan tarik menarik dua kutub pemahaman teks nash yang saling bertolak belakang tersebut mendapatkan respon dari guru besar Maqashid Syariah yang juga Rektor UIN Sunan Kalijaga, Prof Drs. KH Yudian WA, MA., Ph.D.

Dalam mukaddimah sambutannya, Prof Yudian langsung menyentil bahwa seobyektif dan semoderat apapun yang namanya Tafsir Maqashidi itu tetap subjektif dan lokal. Ia hanya berlaku bagi pelaku penafsir tapi tidak punya efek signifikan dan mengikat bagi orang lain. Berbeda dengan ijma’ (konsensus). Ijma adalah hukum tertinggi yang berlaku dan mengikat di masyarakat. Bahkan lebih tinggi dari Alquran dan Hadis.

NKRI ini dapat berdiri tegak dan kokoh karena seluruh rakyat komitmen pada ijma kebangsaan, Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan Sang Saka Merah Putih. Apapun metode tafsir yang digunakan terhadap keempat pilar tersebut selama mereka tetap memegang teguh pada ijma kebangsaan itu NKRI akan tetap kokoh berdiri. Siapapun yang mencoba mengingkari terhadap Ijma kebangsaan itu maka dia akan menjadi musuh bersama (common enemy). Wacana khilafah yang diusung oleh HTI menjadi contoh pengingkaran terhadap Ijma Kebangsaan sehingga harus ditolak dan ditentang. Begitu juga pemikiran tentang diperbolehkannya hubungan seksual oleh pasangan nonmarital dianggap bertentangan dengan nilai-nilai yang dianut dan mengakar selama ini di masyarakat (ijma), yaitu pernikahan.

Dengan menggunakan pendekatan sintetis, al-jam’u wa al-taufiq, kedua pemikiran dari dua guru besar UIN di atas bisa di satukan menjadi sebuah konstruksi (epistemologi) tafsir baru dan tidak perlu dipertentangkan, yaitu Tafsir Maqashidi Ijma’i.

Sebuah metode tafsir yang moderat (wasathiyah) memadukan antara teks dan konteks dalam menangkap maqashid nash dan kebenarannya diakui sebagai kebenaran yang harus dijaga bersama (Ijma). Wallahu a’lam. Demikian semoga ada manfaatnya.

PPM. AL-ASHFA Gaten, 20 J. Awal 1441/17 Des 2019

Khuwaidim Ulum