100_20190318_DSC_0557.JPG
Narasumber memberi materi kepada mahasiswa UIN Sunan Kalijaga dan Universitas Hasyim Asyari Jombang

Senin, 18 Maret 2019 16:02:04 WIB

0

Dema UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan BEM Unhasy Berkolaborasi

Dewan Mahasiswa  (Dema) UIN Sunan Kalijaga  dan Badan Ekskutive Mahasiswa (BEM) Universitas Hasyim Asyari Jombang berkolaborasi  menyelenggarakan Seminar Nasional  bertempat di Gedung  RHA. Soenarjo, SH, Kamis, 14/3/19.  Forum bertajuk “Peluang dan Tantangan Akademisi Islam menghadapi Tantangan Revolusi Industri 4.0” ini diikuti para pengurus  kedua belah pihak.  Hadir menjadi pembicara  Dosen Fakultas Sains dan Teknologi, dan aktif di Halal Center UIN Sunan Kalijaga, Cahyono Sigit Pramudya, S.T., M.T., D. Eng., Dekan Fakultas Sosial dan Humaniora, Dr. Mochamad Sodik, S. Sos., M.Si., dan Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, Dr. Shofiyullah Muzamil, M. Ag.

Di hadapan para pengurus Dema dan BEM, Sigit antara lain menyampaikan, revolusi Industri 4.0 ditandai, semua bidang kehidupan bersentuhan dengan sistem  informasi digital.  Semua menjadi lebih mudah melalui sistem data digital. Sistem data digital memiliki tingkat evaluasi yang luar biasa sehingga mampu berkembang pesat.  Indonesia sudah bergerak cukup jauh mensikapi kemajuan sistem digital yang sangat pesat ini. Baik dalam hal pelayanan online dalam kelembagaan,  perusahaan swasta, pemerintahan dan lain lain.  Lahirnya banyak perusahaan  aplikasi online (Start-Up) nasional seperti traveloka, Go-Jek, bukalapak dan banyak lagi.  Bonus demografi di Indonesia akan menjadi nilai tambah. Revolusi  industri 4.0 akan banyak membuka lapangan pekerjaan  jika disikapi dengan  pemikiran yang keatif,  berinovasi menciptakan aplikasi maupun karya-karya digital yang  menjual.  Saat ini juga sudah banyak warga Indonesia yang bekerja  di rumah dari perusahaan luar negeri.

Pendeknya, banyak yang bisa dilakukan  melalui teknologi digital baik perusahaan , perorangan, organisasi dan lain-lain. Teknologi Digital akan banyak memberi kemudahan dalam semua bidang jika kita bisa menguasainya. Oleh karena itu harapannya, akademisi Muslim harus tergugah untuk memanfaatkan dengan baik. Berpikir cerdas, berinovasi, berkreasi dalam rangka moderasi Islam melalui karya –karya.

Shofiullah menyampaikan, Rosulullah Muhammad SAW dalam salah satu hadisnya menyampaikan, Tuntutlah Ilmu walaupun harus sampai ke Negeri Cina. Hadis Rosul tersebut sesungguhnya mengisyaratkan bahwa Islam itu sesungguhnya terbuka dengan semua bangsa-bangsa di dunia ini dalam hal mencari ilmu. Oleh karena itu umat Muslim harusnya tidak hanya berpegang teguh pada tradisi teologis, legalistik dan sufistik. Berpegang teguh pada tradisi teologis, legalistik dan sufistik memang penting agar umat Muslim tidak kehilangan pegangan pada nilai-nilai Ilahi. Namun umat Muslim juga harus membuka diri lebar-lebar untuk menimba ilmu, mencari pengalaman,  dan melakukan riset, agar bisa berperan aktif untuk memakmurkan dunia, tidak tertinggal jauh dari kemajuan peradaban.

Menurut Shafiullah, banyak hal yang bisa dipelajari dari masyarakat Cina saat ini. Misalnya; nasionalisme orang Cina sangat tinggi. Prinsip Hubbul Wathon Minal Iman (nasionalisme sebagai perwujudan keimanan) yang dimiliki Islam diterapkan sangat mendalam oleh orang Cina. Tradisi eksak di Cina juga sangat tinggi, didukung etos kerja masyarakat Cina yang sangat tinggi pula.  Disamping itu, dalam perkembangan terakhir sistem informasi dan komunikasi digital seluruh warga Cina teritegrasi sangat baik dalam  sistem kenegaraan dan pemerintahan, ditopang infrastruktur yang canggih. Bahkan di Cina, pemerintahnya sangat care dalam hal mengoptimalkan potensi  seluruh wargannya.  Namun yang perlu dipahami dalam pesan Rosulullah tuntutlah ilmu walaupun sampai negeri Cina. Kenapa memakai kata walaupun? Hal itu mengisyaratkan bahwa dalam mempelajari berbagai kemajuan yang bisa dicapai di Cina,  di sana ada banyak hal-hal negatif yang umat Islam harus bisa menghindarinya, demikian jelas Dr. Shofiullah.

Dr. Moch. Sodik menambahkan, perspektif pemikiran yang integratif-interkonektif dapat dikembangkan untuk memayungi segala potensi yang ada di Indonesia, agar semua bisa eksis berbarengan sesuai kondisi negeri ini yang demikian plural. Seperti diketahui, meskipun saat ini dikatakan masuk pada era revolusi industri 4.0, masih banyak masyarakat Indonesia yang bertahan pada kondisi hidup ala era 1.0, 2.0, maupun 3.0, hal itu tidak perlu dikhawatirkan. Karena menurut Dr. Sodik, setiap era memiliki kelebihan dan kekuarangan masing-masing. Justru bila setiap era terus dikembangkan, semua memiliki kekuatan yang membuat Indonsia tetap eksis. Kekuatan tersebut adalah kearifan lokal dan nilai kultur khas Indonesia, yang memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif.  

Dijelaskan,  moderasi Islam dapat memayungi  identitas masyarakat Indonesia yang beragam, baik yang masih bertahan pada pola hidup ala era 1.0, 20, 3.0, 4.0 sekalipun, dalam bingkai NKRI. Dengan empat model revolusi sebagai keragaman, Indonesia  justru akan bisa mempertahankan Kultur dan kearifan lokal sebagai kekuatan Indonesia. Dan itu sejalan dengan apa yang diterapkan Rosulullah saat memimpin Madinah. Jadi Indonesia tidak perlu bermimpi jadi negara khilafah, karena NKRI itu sudah merupakan hasil pemikiran para waliyullah dari  menauladani konsep kenegaraan Rosulullah. (Weni)