KIJ dan PSW UIN Suka Seminarkan Penggunaan Niqob atau Cadar; Pakaian Bercadar Ada Sebelum Islam

Kalijaga Institute for Justice (KIJ) dan Pusat Pengarusutamaan Gender dan Hak Anak UIN Sunan Kalijaga (Suka) Yogyakarta melakukan kajian tentang penggunaan niqob atau cadar yang berkembang sekarang ini di Indonesia. Pemakaian niqob atau cadar ternyata merupakan sebuah tradisi lama di suku-suku Timur Tengah dan Asia Selatan seperti di Pakistan sebelum Islam masuk.

Dr Siti Ruhaini Dzuhayatin, Direktur KIJ UIN Suka Yogyakarta mengatakan zaman dulu di beberapa suku Timur Tengah dan Asia Selatan sudah memiliki tradisi memakai niqab sehingga bukan menjadi ajaran dari Agama Islam karena tidak ada dalam Alquran. "Lebih kepada akulturasi Islam yang masuk ke dalam kelompok masyarakat yang memiliki tradisi memakai niqob," jelasnya sesuai menjadi pembicara di seminar bertajuk Niqob dan Public Order, di UIN Suka Yogyakarta, Jumat 6/12/2019.

"Di masa lalu itu lebih dominan unsur kultural, tetapi sekarang lebih ke doktrin politik untuk kelompok-kelompok yang keras seperti Alqaeda dan ISIS yang menjadi bagian dari ideologi politik dan keyakinan agama," imbuhnya.

Dari penelitiannya, ia menyebut penggunaan secara masif niqob terjadi pada tahun 2015 saat konsep tentang hijrah banyak melibatkan perempuan profesional yang berkarir. "Sebelumnya, digunakan pada kelompok tradisional, jamaah tabligh atau salafi yang menjadi satu dalam komunitas. Kami melihat gerakan transnasional yang paling kuat seperti ISIS yang mewajibkan semua perempuan menggunakan cadar, meski ada juga dari gerakan transnasional salafi yang baru dan beberapa faksi HTI," bebernya.

Dari tahun 1998 sampai sekarang ini, dari analisis penelitiannya, ia menemukan tentang kematangan ideologi dari kelompok tersebut. "Kelompok-kelompok itu masuk ke Indonesia mengalami proses sosialisasi, lalu matang secara politik dan kultural di atas tahun 2015. Sangat terasa pada tahun 2019 dengan adanya polarisasi di masyarakat," ujarnya.

"Uniknya pemakaian niqob, di Indonesia pada usia rata-rata 18 tahun ke atas, artinya ada semacam pilihan pribadi untuk menggunakan itu. Sedangkan di Mesir sejak kecil, anak perempuan memakai niqab. Jadi kalau di Indonesia keputusan memakai niqob terkait dengan pemahaman mereka apa yang disebut hijrah dan kepada siapa mereka mengaji," imbuhnya.

Menurutnya, era digital juga memberikan dampak berarti tentang penggunaan niqob karena kemudahan akses informasi dengan kelompok-kelompok transnasional yang paling rajin mengisi wacana-wacana ke-Islaman ketimbang kelompok NU dan Muhammadiyah. "Ini menjadi otokritik bagi kelompok arus utama yang sudah merasa nyaman dengan model dakwah selama ini sehingga tidak bisa menampung kegairahan beragama kalangan para eksekutif dengan alasan bermacam-macam seperti mengisi sisi spiritual," tuturnya.

"Yang menjadi keprihatinan, kelompok-kelompok transnasional sangat menguasai teknologi saat ini,"tambahnya.

Adanya keprihatinan tersebut, khusus pemakaian Niqob di ruang pelayanan publik, disikapi oleh Pemerintah dengan ada kesepakatan bersama oleh 11 kementerian, salah satunya Kementerian Agama. Menurut Ruhaini 11 kementerian itu tidak melarang pemakain niqob karena itu hak-ekspresi setiap arang. Namun Pemerintah juga memiliki kewajiban untuk menciptakan keteraturan, kepatutan dan kelancaran tugas pokok dan fungsi ASN di ruang pelayanan publik. Dan ini diatur juga oleh PBB. Artinya aturan untuk tidak memakai niqob bagi ASN dimaksudkan untuk menjaga kepatutan, keteraturan dan kelancaran tugas pokok dan fungsi ASN dalam melakukan pelayanan publik. Jadi tidak ada kaitannya dengan pelarangan hak ekspresi seseorang untuk memakai niqob.

Sedangkan, Profesor Abdul Mustaqim, Direktur Pusat Studi Al-Qur'an (PPSQ) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta mengatakan kalau berbicara niqob, kata niqob itu tidak disebut di dalam al Qur’an berbeda dengan jilbab atau khimar. " Dalam al Qur’an, kita manusia disebut sebagai mahkluk sosial, tentunya di dalam interaksi memerlukan kejelasan. Dengan menutup muka akan menjadi tidak jelas, ini siapa yang diajak ngomong," katanya.

Profesor Abdul pun menjelaskan makna berpakaian dalam Alquran, yaitu proteksi secara lahir dan batin, lalu dekorasi untuk faktor keindahan, dan untuk identitas diri agar dikenal. Untuk itu, menurutnya, wajah itu idealnya dibuka agar lebih memudahkan pengenalan simbol tentang eksistensi kita. "Eksistensi diri ini, wajah sebagai simbolisasi. Orang itu mengenal melalui wajah," ucapnya.

"Tidak ada dalil yang solid dan tegas yang mewajibkan memakai niqob. Kalau ada ulama yang mewajibkan itu hanya karena interpretasinya," imbuhnya.

Namun, ia juga menolak jika ada perempuan yang bercadar identitas dengan terorisme atau radikalisme. "Di Libya, menggunakan cadar karena suaminya cemburu istrinya dilihat laki-laki lain. Penggunaan cadar seringkali hanya mengikuti tren hijrah seperti artis. Kenapa bisa tersebar luas di Timur Tengah karena tidak bisa membedakan mana yang subtansi Islam dan mana yang tradisi," paparnya. (Weni)