Prof. Eva Latifah Dikukuhkan sebagai Guru Besar

Prof. Eva Latipah dikukuhkan sebagai Guru Besar UIN Sunan Kalijaga oleh Ketua Senat, Prof. Siswanto Masruri, di gedung Prof. R.H.A. Soenarjo, S.H., kampus UIN Sunan Kalijaga, 31/1/2022. Prof. Eva Latipah dikukuhkan sebagai Guru Besar bidang Ilmu Psikologi Pendidikan, terhitung mulai tanggal 1 Oktober 2022, berdasarkan SK. Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi RI Nomor 64526/MPK.A/KP.07.01/2022.

Dalam orasi ilmiahnya Prof. Eva antara lain memaparkan tentang potret generasi milenial atau dapat juga diistilahkan Digital Generation (lahir 1980-2000). Dijelaskan Prof. Eva Latipah, generasi ini lahir dan tumbuh dengan perkembangan teknologi digital. Generasi milenial akrab dengan teknologi digital dalam setiap aspek kehidupannya. Generasi milenial lebih memilih berkomunikasi melalui teknologi online atau pesan teks. Kondisi pendidikan generasi milenial sudah baik dan mudah diperoleh. Di sisi lain generasi milenial merupakan populasi paling besar di abad ini, utamanya di Indonesia. Kondisi ini menuntut mereka untuk kreatif menciptakan lapangan pekerjaan, bukan mencari pekerjaan. Kondisi ini juga berimbas pada pelepasan nilai-nilai agama/moral disengagement dialami sebagian besar generasi milenial. Generasi milenial cenderung mengabaikan nilai-nilai agama dan standar moralitas, tanpa merasa bersalah. Moral disengagement merupakan proses meyakinkan diri generasi milenial bahwa standar agama/moral tidak berlaku pada diri sendiri dalam konteks tertentu.

Menurut Prof Eva Latipah, melihat potret generasi milenial tersebut hendaknya dapat mendorong pelaku pendidikan tak terkecuali Lembaga Perguruan Tinggi Islam untuk memetakan bagaimana mengembangkan potensi mereka agar dapat berkembang secara maksimal dalam membangun peradaban yang lebih baik. Sehingga pelaku pendidikan tinggi perlu memahami beberapa hal terkait bagaimana mengembangkan potensi generasi milenial secara maksimal dan mempertahankan agar generasi milenial tetap memiliki tekad untuk mempertahankan nilai-nilai agama/standar moral.

Diantaranya adalah: perlunya dipahami regulasi diri dalam penguatan nilai-nilai agama generasi milenial. Regulasi diri adalah pengontrolan terhadap kognisi, perilaku, emosi dan motivasi melalui penggunaan strategi-strategi pribadi. Perlunya menganalisa dan menetapkan strategi bagaimana menanamkan nilai-nilai agama/standar moral kepada generasi milenial, sehingga nilai-nilai agama/standar moral tersebut dapat lebih memotivasi mereka untuk menghadapi setiap kesulitan dan tantangan dengan baik. Nilai-nilai agama tersebut dapat membuat generasi milenial menjadi lebih gigih dan lebih memiliki ekspektasi terhadap hasilnya.

Selain itu pelaku pendidikan juga perlu memiliki strategi bagaimana memberikan pemahaman kepada generasi milenial tentang kontrol diri, menjaga konsentrasi, dan menggunakan strategi yang tepat agar motivasi belajar tidak menurun, serta untuk melacak kemajuan menuju tujuan yang ditetapkan. Strategi bagaimana memberikan pemahaman kepada generasi milenial dalam mengobservasi diri, merefleksi diri, mengontrol emosi saat menghadapi kegagalan, serta bagaimana memotivasi diri untuk terus bangkit berusaha hingga berhasil mencapai tujuan. Memberikan pemahaman kepada generasi milenial bagaimana melakukan reaksi diri secara adaptif bukan defensif. Ketika milenial membuat keputusan adaptif, kemauan untuk melakukan strategi yang sama atau strategi yang baru akan dilakukan untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. Tetapi ketika memilih defensif saat mengalami kegagalan, maka akan timbul sikap apatis, tidak berminat lagi, bahkan akan memunculkan sikap ketidakberdayaan. Karena itulah sangat penting peran pelaku pendidikan tinggi untuk menanamkan nilai-nilai perjuangan diri yang tangguh kepada generasi milenial dengan mengadopsi hal-hal penting di atas dan mengemas nilai-nilai agama/standar moral mengikuti mindset generasi milenial, agar dapat mengembangkan generasi milenial secara optimal membawa peradaban ke depan menjadi lebih baik lagi, demikian papar Prof. Eva Latipah.

Sementara itu dalam sambutannya usai pengukuhan, Prof. Al Makin antara lain menyampaikan, berbeda dengan Prof. Sukiman dan Prof Erni, yang memikirkan tentang kritik terhadap penggunaan agama di pendidikan yang mempunyai pengaruh tidak terlalu positif, sementara negara-negara sekuler di Eropa dan Asia yang tidak menggunakan agama dalam pendidikan, seperti Skandinavia, Korea, Jepang, Hongkong, malah memperhatikan moral. Yang lalu, Prof. Mahmud Arif membicarakan tentang pendidikan inklusif, keragaman, dan antar iman. Prof. Sri Sumarni juga menekankan inklusif, merangkul semua pihak. Sedangkan, Prof. Erni mementingkan pendidikan kreatif, kebebasan, dan karakter. Bu Eva mengkritisi generasi milenial, yang menurutnya harus tetap membutuhkan agama. Munculnya persaingan kompetitif yang mendorong generasi milenial mudah frustasi, stress, dan depresi. Meningkatnya kemalasan sebagai efek sering bermain ponsel (Howe, 2014); termakan informasi informasi yang tidak benar (hoax). Di dunia pendidikan, Mahasiswa banyak melakukan copy paste untuk tugas-tugas perkuliahan, melakukan kecurangan-kecurangan akademik seperti menyontek., mencari bantuan dari luar saat ujian, plagiarisme, dan menyontek dengan bantuan elektronik, ditambahkan lagi bahwa generasi milenial dikritik: Atas tindakan-tindakan ini, mereka seringkali merasa tidak bersalah; bahkan yang ada, mereka mencari alasan sebagai pembenaran atas segala tindakannya sehingga seolah olah tindakannya tersebut ‘benar’. Pada akhirnya, tingginya penggunaan teknologi-informasi potensial mendorong generasi milenial melakukan pelepasan moral (moral disengagement) (Asád & Hafid, 2022).

Kondisi tersebut memerlukan Pendidikan yang idealis untuk generasi milenial. Generasi kedepan ditempatkan untuk membentuk Indonesia. Pendidikan tidak semata-mata mencari kerja dan peluang industri, atau administrasi. Pendidikan adalah akhlak, spiritual, batiniyah Indonesia. Pendidikan harus menggarap yang tidak terlihat kasat mata, aspek yang dalam demi masa depan. Pendidikan tidak hanya untuk tujuan era globalisasi persaingan ekonomi dan pasar kerja, tetapi pendidikan adalah pengembangan ilmu pengetahuan, tempat akhlak dan moral dipertahankan, riset yang serius untuk memproduksi ilmu pengetahuan. Pendidikan adalah cermin kita. Jika air mendidih karena panas api dibawahnya, sulit sekali kita melihat bayangan sendiri, karena air bergolak kepanasan. Air tidak stabil. Air perlu didinginkan, sehingga jernih dan tenang. Air tenang itu akan memberi kita gambaran diri kita secara jelas, kaca dan juga kaca orang lain. Pendidikan perlu ketenangan, perlu jaminan keamanan, perlu dingin, perlu mandeg mantep, menep, dan dalam seperti air laut yang luas dan dalam.

Air sungai yang dangkal akan berisik terus, karena air sedikit itu mengalir menghantam bebatuan. Air laut yang dalam akan tidak terasa dan tidak berbunyi. Hanya pantai yang berombak dan menghantam karang karena sudah menyentuh pantai dangkal. Pengetahuan yang dalam akan menimbulkan ketenangan, kedamaian, dan suasana yang sejuk. Indonesia membutuhkan konsep pendidikan yang mencakup, keilmuan, akhlak, moral, batiniyah, sekaligus juga menjawab produksi ilmu pengetahuan, riset dan teknologi yang bersaing. Di sisi lain pendidikan kita juga dituntut menjawab nasib para alumni yang selama ini ditekankan, yakni Lembaga pendidikan sebagai mesin produksi tenaga kerja untuk menjawab pasar global yang berubah terus dengan teknologi dan informasinya. Kritik Noam Chomsky tentang kapitalisme dan ironisnya dunia saat ini pantas untuk direnungkan, kata Prof. Al Makin. (Tim Humas)