Assalamualaikum wr.wb.
Yang kami hormati:
1. Ketua, Sekretaris, dan seluruh anggota Senat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
2. Rektor dan Para Wakil Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
3. Para Dekan dan Direktur Pascasarjana di Lingkungan UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta
4. Dekan, Para Wakil Dekan, dan Pimpinan Fakultas Syari’ah dan Hukum
5. Para Ketua Lembaga di Lingkungan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
6. Tamu undangan dan para hadirin yang berbahagia.
Sebagai penuntut ilmu (Thalibul ilmi) yang rindu barokah, saya mengajak diri pribadi dan kita agar selalu mensyukuri atas karunia dan inayah yang Allah berikan. Berkat karunia tersebut, kita bisa menghadiri Sidang Senat Terbuka UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, tempat dimana kami mengekspresikan tahadduts bin ni’mah. Shalawat dan salam yang kita baca dalam keseharian dan berbagai momen, semoga tercurah kepada Nabi Muhamad Saw, sosok manusia biasa yang dibimbing Wahyu Allah dan figur pemimpin berkarakter yang menjadi sumber keteladanan bagi kita dalam menjalankan kemaslahatan dan menebarkan kebaikan serta kearifan.
Dalam rangka pengukuhan guru besar bidang Ilmu Sosiologi Hukum Islam pada Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, izinkan kami menyampaikan gagasan dan pemikiran tentang “Pengembangan Fiqh Sebagai Analisis Sosial”
Pendahuluan
Indonesia dalam dua dekade terakhir dapat dinyatakan sebagai negara paling religius di dunia. Berbagai survei global mengafirmasi raihan ini, termasuk Pew Research Center dalam laporannya The Global God Divide menunjukkan bahwa 96% masyarakat Indonesia menyatakan agama memiliki peran sentral dalam kehidupan mereka.[1] Survei CEOWORLD Magazine menempatkan Indonesia di peringkat pertama negara paling religius dari 820.000 responden di berbagai belahan dunia.[2] Kemudian Timesprayer melaporkan bahwa populasi Muslim Indonesia telah mencapai 244,7 juta jiwa.[3] Sekian data kuantitatif tersebut pada satu sisi memperlihatkan kebanggaan religius yang luar biasa. Namun sisi lain mengandung pertanyaan mendalam, apakah religiusitas formal tersebut berdampak pada moralitas publik dan etika sosial umat Islam di negeri ini?
Bila kita menilik berbagai hasil indeks lain tampaknya ada berbagai fakta yang bertentangan dengan kesan religiusitas tersebut. Transparency International secara konsisten mencatat rendahnya indeks persepsi korupsi Indonesia.[4] Di saat yang sama, indeks keberadaban digital Indonesia menempati salah satu posisi terburuk di dunia dan Indonesia dinobatkan sebagai negara dengan jumlah pemain judi online terbanyak secara global.[5] Demikian pula indeks Kinerja Lingkungan yang tidak memasukkan Indonesia dalam deretan Negara terbersih di dunia.[6] Tak terkecuali Indeks Perdamaian dan Keamanan Wanita Global di tahun 2024 hanya menempatkan Indonesia dalam urutan 84 sebagai Negara Teraman dari 177 Negara di dunia.[7] Di luar temuan beberapa indeks tersebut, ada berbagai penilaian minor lain yang menunjukkan kesenjangan antara keberagamaan yang seharusnya dengan yang senyatanya. Bahkan di balik gemerlapnya simbol dan ritus keagamaan, tampak bahwa nilai-nilai etis yang mestinya menjadi fondasi keberagamaan justru mengalami degradasi.[8]
Dari kecenderungan degradasi ini memunculkan sekian pertanyaan mendasar. Mengapa ritual ibadah yang dilakukan tiap waktu kurang berpengaruh terhadap perilaku baik (amal shaleh) di ruang publik? Mengapa indikator utama keberagamaan yang diukur dari aktivitas ibadah shalat kurang berdampak pada pencegahan kekejian material (fahsyā) dan kekejian sosial (munkar)? Mengapa berbagai aktivitas ibadah mahdlah lainnya, seperti puasa dan haji kurang berfungsi sebagai prevensi in optima forma dari berbagai jenis dan tingkat kejahatan, terutama yang bercorak dosa besar (minal kabair)? Mengapa amar ma’ruf yang turut melapisi pesan moral utama dan spirit ibadah kurang berjalan beriringan dengan kesadaran religiusitas setiap pribadi atau kelompok muslim di Indonesia? Dan mengapa beragam kesalehan individual tersebut hanya berhenti pada kepatuhan simbolik tanpa mampu membentuk kesalehan profesional, kesalehan konstitusional, kesalehan sosial dan tanggung jawab kemanusiaan lainnya?
Sekian pertanyaan tersebut memantik berbagai kegelisahan kita di tengah maraknya berbagai penilaian lain yang justru menampakkan sisi paradoksal dengan hasil riset beberapa lembaga yang telah disebutkan sebelumnya. Kondisi ini juga memperlihatkan apa yang oleh Kuntowijoyo sebut sebagai “mistifikasi kesadaran”, yakni suatu bentuk keberagamaan yang mengalami dislokasi antara makna batin dengan praksis sosial.[9] Agama dipeluk sebagai pengalaman dan kesalehan personal, namun terputus dari dimensi sosial, ekonomi-politik dan budaya yang membentuk struktur kehidupan bersama. Shalat tidak lagi mencegah dari kekejian (fahsyā) dan kemungkaran, puasa belum mampu menahan nafsu kekuasaan, haji tidak melahirkan solidaritas sosial global umat.[10]
Realitas ini meniscayakan satu hal tentang perlu adanya demistifikasi kesadaran keberagamaan dan upaya serius untuk menghubungkan ulang antara nash dan waqi’, antara wahyu dan realitas. Di antara instrumen demistifikasi yang perlu dilakukan dan dibenahi adalah fikih. Sebab fikih sebagaimana disebut oleh Abid Al Jabiri adalah primadona dalam studi Islam, di mana dari fikih muncul peta hukum yang mengatur seluruh aktivitas kehidupan umat, mulai dari urusan ibadah hingga relasi sosial dari transaksi bisnis hingga tata kelola politik.[11] Bahkan fikih dapat disebut sebagai ukuran keabsahan keislaman seseorang dalam kehidupan sehari-hari.
Namun demikian, dari keistimewaan fikih tersebut terdapat tantangan besar, yaitu ketika fikih direduksi menjadi sekadar kumpulan norma legal, ia kehilangan potensinya sebagai sistem pengetahuan yang mampu membaca dan merespons realitas sosial.[12] Padahal secara konseptual, fikih adalah derivasi epistemologis dari syari’ah yang berakar pada al-Qur’an dan Sunnah serta dihidupkan melalui perangkat ijtihad, qiyas, istihsan, istishlah dan metode ushuliyah lainnya.[13] Dalam definisi klasik, fikih disebut sebagai “ma’rifat al-ahkām al-syar’iyyah al-‘amaliyyah al-muktasabah min adillatiha al-tafshīliyyah”, yakni pengetahuan atas hukum-hukum syar’i praktis yang digali dari dalil-dalil terperinci.[14]
Definisi ini menegaskan bahwa fikih sejatinya adalah hasil dialektika antara teks dan kenyataan, antara wahyu dan akal, antara normativitas dan kontekstualitas. Akan tetapi, dalam perkembangan sejarahnya, fikih mengalami penyempitan fungsi, mulai dari perangkat transformasi sosial menjadi sekadar disiplin legalistik, dari kerangka etik dan politik Islam menjadi kitab hukum yang mengatur sah dan batal, halal dan haram tanpa menyentuh struktur ketimpangan sosial yang terus berubah dan berkembang. Dampaknya, ketika penggalian makna fikih hanya terpaku pada dimensi formalisme hukum dan tidak menjangkau aspek sosial, maka yang terjadi bukanlah perkembangan fikih melainkan stagnasi epistemologis.
Urgensi Fiqih sebagai Analisis Sosial
Fikih sejatinya adalah instrumen kehidupan. Ia lahir dari interaksi antara teks ilahiyah dengan realitas manusiawi. Oleh karena itu, ketika realitas berubah, maka fikih pun seharusnya turut berubah. Perubahan ini bukan dalam artian merombak wahyu maupun nash lainnya. Akan tetapi bagaimana cara membacanya, merumuskannya dan menerapkannya dalam kehidupan kita yang sarat akan tantangan zaman dan perubahan sosial. Al-Syāṭibī dalam al-Muwāfaqāt telah meletakkan fondasi maqāṣid al-syarī’ah yang bertumpu pada lima tujuan utama, yaitu menjaga agama, jiwa, akal, harta dan keturunan.[15] Kelima maqāṣid ini, jika dibaca dalam konteks sosial hari ini, mengharuskan kita untuk menjadikan fikih sebagai perangkat untuk merespons penyimpangan kekuasaan, pembangkangan konstitusi, ketimpangan kultural, penindasan struktural, eksklusi sosial dan pelanggaran kemanusiaan. Maka tidak cukup lagi menjadikan fikih sebagai ilmu “penentu halal dan haram,” melainkan perlu dinaikkan martabatnya sebagai ilmu sosial Islam yang membaca realitas umat dan memberi solusi atas problem-problemnya.[16]
Sayangnya, di lembaga keagamaan kita, terutama pesantren dan institusi pendidikan Islam, fikih masih didudukkan sebagai “kitab hukum” yang beku dan bersifat tetap (tsabit).[17] Bahkan dalam beberapa forum, ada kecenderungan menyamakan fikih dengan syariah secara mutlak sehingga segala bentuk ijtihad baru dianggap sebagai penyimpangan.[18] Menjadi wajar bila fikih kehilangan daya adaptasi sosialnya dan umat kehilangan perangkat intelektualnya untuk menafsir ulang kehidupan. Tak ayal pula bila KH Yahya Cholil Staquf, selaku ketua umum PBNU pernah menyampaikan kritik keras dengan menyebut fikih yang diajarkan di pesantren sebagai produk sejarah yang “baku” dan tidak mampu menjawab persoalan umat kontemporer. Kritik ini mengemuka dalam momentum Halaqah Fikih Peradaban yang diinisiasi oleh PBNU dan menjadi gerakan pembaruan epistemologis untuk membuka kembali ruang ijtihad sosial dalam dunia keulamaan.[19]
Menanggapi kegelisahan ini, saya meyakini bahwa saatnya kita mengembangkan pendekatan baru yang saya sebut “Fikih sebagai Analisis Sosial” (FAS). Pendekatan ini bukan semata upaya akademik, tetapi juga panggilan intelektual untuk menghubungkan kembali fikih dengan kehidupan umat manusia. Dalam konsep ini, fikih tidak lagi dibaca sebagai sekadar aturan legal-formal, tetapi sebagai alat untuk membaca, memahami dan mengintervensi realitas sosial. Dengan kata lain, fikih perlu diperlakukan sebagai alat analisis sosial Islam yang mampu menelusuri struktur ketimpangan, penyimpangan kekuasaan dan jabatan, praktik ketidakadilan serta fenomena dehumanisasi yang kian marak terjadi di masyarakat.
Gagasan ini tidak lahir dalam ruang hampa. Ia berakar dari pemikiran tokoh-tokoh besar dalam tradisi Islam dan modernitas. Kita mengenal Imam Al Ghazali yang meletakkan kritik sosial dalam kerangka ishlah al-ummah,[20] Ibn Khaldun dengan‘ilm al-‘umran yang menjadikan realitas sebagai pusat perhatian,[21] KH Ali Yafie dengan gagasan fikih sosialnya,[22] KH Sahal Mahfudz yang mengembangkan fikih kontekstual berbasis budaya lokal.[23] Di ranah pemikiran Islam global, tokoh seperti Hassan Hanafi, Khaled Abou El-Fadl, Abdullah an-Na’im dan Sa’id al-Asymawi telah menampilkan wajah fikih yang humanis, pluralistik dan berorientasi pada keadilan substantif.[24] Demikian pula di ranah pemikiran Islam Nasional yang berperan penting mendiseminasikan gagasan fikih yang selaras dengan karakter keindonesiaan dengan memadukan khazanah keislaman dan kearifan lokal. Maka, pendekatan FAS yang saya tawarkan bukanlah antitesis dari fikih klasik, melainkan perluasan medan epistemologis yang memungkinkan kita untuk membawa fikih dari ruang sempit hukum ke cakrawala sosial yang lebih luas.
Pada titik ini, penting juga untuk menegaskan bahwa pendekatan ini tidak dimaksudkan untuk mengabaikan perangkat ushuliyah klasik. Justru sebaliknya, FAS menghidupkan kembali perangkat-perangkat itu dalam medan sosial. Sebagaimana konsep qiyas memiliki unsur al-aṣl, al-far’, al-ḥukm dan al-‘illah, maslaḥah memiliki pembagian mu‘tabarah, mulghāh dan mursalah serta ‘urf dibaca dalam kategori qawli dan‘amali,[25] maka FAS pun perlu dirumuskan dengan variabel-variabel epistemologis yang dapat dioperasikan, yaitu teks (nash), realitas (waqi’), pelaku (mukallaf), maqāṣid (tujuan) dan alat bacaan (ijtihad sosial). Variabel-variabel inilah yang menjadi dasar untuk membangun kerangka epistemologis baru.
Kelima variabel ini tidak bersifat hierarkis melainkan membentuk jaringan epistemik yang lentur dan saling menguatkan antar satu dengan lainnya. Variabel pertama adalah nash (teks) sebagai sumber normatif utama dalam hukum Islam. Nash dalam hal ini mencakup al-Qur’an dan hadis yang selama ini menjadi rujukan utama dalam ijtihad.[26] Namun dalam FAS nash tidak dibaca secara literal-formal melainkan melalui pendekatan ta’wil sosial atau hermeneutika sosial (dalam bahasa Prof Yudian Wahyudi), yaitu penafsiran yang mempertimbangkan konteks sosial, semantik historis dan tujuan etis dari wahyu. Dalam sejarahnya, ulama telah menerapkan pendekatan ini, termasuk Imam Al Ghazali dan Imam Al-Syatibi yang menekankan pentingnya ma’na (makna) di balik lafaz atau ma’na cum maghza (dalam bahasa Prof Sahiron Syamsudin).[27] Dalam FAS, pembacaan nash diarahkan untuk menjawab pertanyaan sosial tentang bagaimana ayat ini berdampak pada distribusi keadilan? Apakah hadis ini merefleksikan prinsip perlindungan terhadap yang rentan? Apa dampak sosial jika hukum ini diterapkan secara literal dalam konteks yang berbeda? Maka teks tidak dipahami sebagai entitas tertutup, tetapi sebagai titik masuk untuk membaca dunia dengan lensa ilahiyah dan kesadaran profetik.
Variabel kedua adalah waqi’ (realitas sosial) yang dalam tradisi klasik seringkali ditempatkan secara marginal atau hanya sebagai pelengkap fiqh al-waqi’.[28] Dalam FAS, realitas sosial justru menjadi bahan utama dalam konstruksi hukum. Ia bukan sekadar data tetapi medan tafsir dan rekontekstualisasi (dalam bahasa Prof. Munawar Syadzali). Realitas yang dimaksud di sini bukan hanya kondisi sosial-ekonomi umat tetapi juga struktur politik, relasi gender, distribusi kuasa, konflik identitas dan pola budaya yang membentuk perilaku kolektif (dalam bahasa Prof. Noorhaidi Hasan). Oleh karena itu ijtihad dalam FAS harus dimulai dari pembacaan realitas secara sosiologis bukan sekadar identifikasi kasus. Realitas dipahami sebagai sesuatu yang hidup, kompleks dan saling berkaitan sehingga memerlukan pendekatan multidisipliner dari sosiologi, antropologi, ekonomi politik hingga psikologi sosial. Hal ini menandakan bahwa masalah umat tidak terletak pada kekosongan hukum, tetapi pada ketidakmampuan hukum untuk membaca akar masalah sosial.[29] Di sinilah realitas menjadi penting, di mana ia memaksa fikih untuk melihat lebih dalam, lebih luas dan lebih kritis.
Variabel ketiga adalah mukallaf (subjek hukum). Dalam fikih klasik, mukallaf dipahami sebagai individu yang telah baligh dan berakal yang menjadi objek perintah dan larangan syariat.[30] Namun dalam FAS, mukallaf dibaca sebagai konstruksi sosial dan entitas sosial. Ia tidak hidup dalam ruang kosong melainkan dalam jaringan relasi sosial yang membentuk kesadarannya, pilihannya dan aksesnya terhadap hukum. Semisal, “Seorang guru atau dosen yang menjalankan Tri Darmanya di sebuah daerah terpencil yang menghadapi berbagai “kekerasan struktural” dari pemerintah maupun atasannya berupa minimnya reward dan perhatian lainnya, tentu mempunyai posisi sebagai mukallaf yang berbeda dengan para guru dan dosen di kota-kota besar yang mempunyai akses pada penguatan kebijakan maupun perlindungan hukum”. Pada titik ini, pendekatan FAS terhadap mukallaf mengintegrasikan perspektif interseksional, di mana status subjek hukum harus dilihat dari relasi kekuasaan yang melingkupinya. Ini sekaligus membuka ruang bagi pendekatan fikih yang lebih etis dan empatik, tidak hanya normatif dan homogen.
Variabel keempat adalah maqāshid (tujuan normatif). Dalam ushul fikih klasik, maqāshid al-syari’ah dikenal sebagai upaya untuk menjaga lima hal mendasar, yaitu agama (din), jiwa (nafs), akal (‘aql), keturunan (nasl) dan harta (mal).[31] Namun dalam FAS, maqāshid tidak hanya dijadikan tujuan akhir tetapi juga kriteria evaluasi sosial terhadap hukum. Sebuah hukum tidak cukup sah secara formal jika tidak memenuhi maqāshid-nya secara sosial.
Misalnya hukum tentang waris yang diambil secara literal (2 banding 1) tanpa memperhitungkan transformasi ekonomi dan peran perempuan bisa saja legal tetapi tidak maslahat secara sosial. Hukum tentang perkawinan yang dilakukan secara sirri atau di bawah umur tanpa mengacu pada peraturan negara tetap legal namun ia berlawanan dengan kemaslahatan sosial. Hukuman kepada koruptor yang diberikan hakim sesuai dengan aturan yang ada tanpa harus mengupayakan langkah lain seperti pemberlakuan biaya sosial seperti yang diinisiasi oleh KPK maupun perampasan aset tetap sah secara hukum, namun ia bertentangan dengan spirit sosial pemberantasan korupsi.
Berangkat dari beberapa tamsil tersebut, maka maqāshid menjadi alat untuk menguji apakah hukum yang dihasilkan benar-benar melindungi yang lemah, menciptakan keadilan distributif dan mendorong emansipasi sosial. Dan pada titik ini pula, maqāshid sebagai salah satu instrumen demistifikasi dalam fikih harus direkonstruksi secara sosial-politik bukan hanya legal-formal.
Variabel kelima adalah ijtihad reflektif-interdisipliner (alat bacaan). Ijtihad dalam FAS bukanlah semata proses istinbat (penarikan hukum) dari teks melainkan proses pembacaan kritis terhadap realitas sosial dengan menggunakan perspektif normatif Islam. Ijtihad dalam FAS bersifat reflektif karena ia tidak langsung menghasilkan hukum tetapi melakukan dialog antara teks, konteks dan nilai. Ia juga bersifat interdisipliner karena menggabungkan perangkat keilmuan dari berbagai bidang untuk memahami masalah secara utuh. Ijtihad dalam FAS lebih dekat pada pendekatan deliberatif, partisipatoris dan transformatif,[32] mirip dengan metode usul al-ijtima’ yang digunakan oleh Lembaga Bahtsul Masail di NU atau Majelis Tarjih di Muhammadiyah namun dengan penekanan lebih kuat pada struktur sosial dan relasi kuasa.[33]
Jika kelima variabel ini dihubungkan secara sistemik, maka FAS bekerja sebagai sistem istidlal sosial.[34] Berbeda dari istidlal klasik yang dimulai dari teks,[35] FAS bekerja dari bawah ke atas (bottom-up). Ia dimulai dari realitas, dipetakan dengan perangkat ilmu sosial, diuji secara etis melalui maqāshid lalu dibaca ulang dalam cahaya nash dan akhirnya menghasilkan hukum atau kebijakan yang kontekstual dan transformatif. Proses ini tidak hanya mendorong hukum yang responsif tetapi juga mendorong umat untuk berpikir kritis, sadar struktur dan aktif dalam perubahan sosial.
Sebagai tawaran epistemologis dan metodologis, FAS menyediakan kerangka kerja yang dapat digunakan dalam pendidikan, fatwa, penelitian hingga advokasi kebijakan publik. Di lingkungan perguruan tinggi keagamaan Islam (PTKI), FAS bisa dijadikan pendekatan dalam pengajaran fikih yang integratif yang tidak hanya mempelajari hukum tetapi juga melatih sensitivitas sosial. Di lembaga fatwa, FAS bisa digunakan untuk memperkuat proses ijtihad kolektif yang partisipatif dan berbasis data. Dalam advokasi, FAS bisa menjadi dasar untuk memperjuangkan regulasi yang melindungi kelompok rentan karena ia berangkat dari realitas dan dibimbing oleh nilai maqāshid. Dengan demikian, FAS bukan hanya kerangka teoritis, tetapi juga alat operasional dalam membangun masyarakat yang adil, inklusif dan beradab.
Positioning Gagasan FAS
Dalam semangat ini, saya mengusulkan satu skema besar transformasi pemikiran fikih yang mencakup tiga tahap: Fikih Klasik → Fikih Sosial → Fikih Analitis. Skema ini tidak hanya bersifat taksonomis-kronologis tetapi juga menunjukkan kedalaman orientasi berpikir dialektis yang terus berkembang, mulai dari legalistik ke etis, dari partikular ke struktural dan dari responsif ke transformatif.
Tahap pertama adalah Fikih Klasik, yaitu fikih yang berkembang sejak masa tabi’in hingga era madzhab yang mengandalkan sistematika istinbāṭ yang rigid, hierarkis dan berbasis pada struktur teks. Fikih dalam fase ini berkembang dalam situasi sosial-politik yang khas: pasca wafatnya Nabi, ketika otoritas keagamaan mulai terlembagakan dan umat Islam menyebar ke berbagai wilayah dengan tantangan budaya dan hukum yang beragam.[36]
Untuk mengatasi kompleksitas itu, para ulama menyusun metode hukum seperti qiyās, istihsān, ijmā’ dan seterusnya.[37] Dalam hal ini, keunggulan fikih klasik adalah pada kedisiplinan metodologis dan keluasan literatur. Namun kekurangannya adalah, terutama di tangan pengikut dan pembacanya, sering kali abai pada dimensi sosial yang aktual dan konkret. Bahkan dalam corak ini, fikih terkesan dikembangkan dengan pola agresif agar setiap orang mau mematuhi terhadap perintah agama yang disampaikan dengan apa adanya. Dampaknya, fikih seringkali disikapi dan diposisikan sebagai sistem hukum yang memisahkan dirinya dari sejarah. Padahal sebagai ilmu yang berasal dari dinamika teks dan konteks, fikih seharusnya tidak kehilangan akar sosiologisnya.[38]
Tahap kedua adalah Fikih Sosial yang dalam sejarah Indonesia mengalami momentum penting pada akhir abad ke-20, terutama dalam 4 dasa warsa sebelum ini. Di tangan para ulama dan cendekiawan seperti KH. Ali Yafie dan KH. Sahal Mahfudz, fikih dibawa keluar dari ruang pengajian dan diturunkan ke tengah masyarakat. Fikih dibaca tidak hanya dari sisi formal tetapi juga dilihat dalam hubungannya dengan kemaslahatan publik. KH. Ali Yafie, misalnya, dalam berbagai karyanya menunjukkan bagaimana ijtihad fikih bisa menjadi alat untuk memperjuangkan hak-hak rakyat kecil, petani dan nelayan.[39] Selain itu fikih sosial yang dikembangkan KH. Ali Yafie menjadi diplomasi struktural terhadap pemerintah agar setiap kebijakan yang diambil harus mengacu pada asas kemaslahatan masyarakat. Sementara KH. Sahal Mahfudz menekankan bahwa fikih harus disusun dengan sensitivitas terhadap realitas sosial dan kultural umat sehingga ia bisa benar-benar menjawab problem umat bukan hanya mempertahankan struktur lama.[40] Di tangan beliau pula, Fikih sosial menjadi diplomasi kultural terhadap masyarakat agar perilakunya tidak bertentangan dengan asas kemanfaatan antar sesama.
Pendekatan ini disebut sebagai fikih sosial, yakni fikih yang menggunakan maslahah sebagai titik berangkat dan mengintegrasikan nilai-nilai keadilan sosial dalam konstruksi hukum. Namun pendekatan ini masih lebih menekankan pada pola reaktif terhadap masalah-masalah aktual dan belum sampai pada pembentukan paradigma analisis sosial yang sistematis dan berjangka panjang.
Tahap Ketiga Fikih sebagai Analisis Sosial hadir sebagai tahapan berikutnya dalam transformasi keilmuan fikih. Ia tidak sekadar menjawab masalah sosial, tetapi membongkar struktur sosial itu sendiri. Ia tidak hanya merespons kasus, tetapi membaca pola ketimpangan, logika kuasa dan struktur ideologis yang melingkupi hukum. FAS mengandaikan adanya fikih yang dibangun bukan hanya berdasarkan nash dan maqāshid, tetapi juga pada analisis sosiologis yang mendalam sehingga produk ijtihad tidak hanya sah secara syar’i, tetapi juga bermakna secara sosial. Dengan kata lain, FAS adalah tahap rekonstruksi epistemik, di mana fikih menjadi kerangka kerja kritis untuk membaca masyarakat bukan sekadar sistem legal-formal. Di tahap inilah, fikih tidak lagi diposisikan sebagai pelayan struktur yang ada, tetapi menjadi alat emansipasi dan rekayasa sosial.
Skema ini—dari fikih klasik ke fikih sosial, lalu ke fikih analitis—bisa digambarkan dalam sebuah genealogi konseptual yang menunjukkan bagaimana dinamika sejarah, konteks sosial dan kesadaran intelektual ikut membentuk cara umat Islam memahami dan mempraktikkan fikih. Genealogi ini tidak linier, tetapi dialektik. Ia menunjukkan bagaimana setiap tahap membawa serta warisan sebelumnya sekaligus melakukan kritik dan pergeseran. Dalam skema tersebut, FAS berdiri bukan sebagai pemutus tradisi, tetapi sebagai momentum kontinuitas-kritis, yakni meneruskan semangat hukum Islam dengan pendekatan yang lebih terbuka terhadap data dan kompleksitas sosial.
Di samping itu, konsep FAS bukan sekadar jargon akademik, tetapi ikhtiar untuk membangun jembatan antara warisan keilmuan Islam dan kebutuhan umat kontemporer. Ia adalah usaha untuk mengembangkan pendekatan baru yang menjadikan fikih sebagai instrumen untuk membaca dan mengintervensi realitas sosial. Ia tidak menafikan tradisi klasik, tetapi justru memperkaya dan merelevansikannya. Dalam kerangka ini, FAS adalah titik awal penting: sebuah bentuk dekonstruksi yang membuka jalan menuju rekonstruksi. Sebuah cara untuk mentransformasikan fikih dari legal corpus menjadi moral project, dari ilmu untuk memutuskan menjadi ilmu untuk membebaskan.
Lebih dari itu, posisi FAS sebagai paradigma keilmuan juga terbuka untuk dikembangkan dalam konteks akademik global. Di tengah meningkatnya perhatian terhadap Islam dalam studi-studi pascakolonial, sosiologi agama dan kajian hukum kritis,[41] FAS bisa menjadi kontribusi konseptual dari Indonesia untuk dunia Islam. Dalam kegiatan konferensi internasional, isu tentang hukum Islam kerap dibatasi pada dua kutub, yaitu konservatif-normatif dan liberal-sekuler.[42] Padahal, ada jalan ketiga yaitu jalan sosial-kritis berbasis maqāshid dan kesadaran struktural. FAS bisa menjadi bahasa alternatif yang menjembatani gap ini dengan tetap berpijak pada tradisi Islam tetapi terbuka pada dialog dengan ilmu sosial modern. Di sinilah pentingnya menegaskan istilah “Fiqh as Social Analysis” dalam forum internasional dan “al-Fiqh ka-Taḥlīl Ijtimā’ī” dalam literatur Arab kontemporer. Formulasi ini tidak hanya memperluas cakupan diskursus, tetapi juga memperkuat posisi epistemik Indonesia dalam arus besar keilmuan Islam.
Posisi FAS ke depan juga melibatkan strategi jangka panjang dalam bentuk penguatan kurikulum, publikasi dan kolaborasi lintas institusi. Kurikulum di PTKI perlu menempatkan FAS sebagai pendekatan dalam pembelajaran fikih dan ushul fikih, sementara jurnal-jurnal keislaman dapat membuka ruang untuk riset-riset sosial-fikih berbasis data dan pengalaman empirik. Kolaborasi dengan NGO, pesantren dan pusat studi lintas agama juga dapat menjadi wahana untuk menguji ketangguhan FAS dalam praktik nyata. Dengan demikian, FAS tidak hanya hidup dalam teks, tetapi juga dalam gerak sosial. Ia menjadi kerangka kerja dalam penyusunan fatwa, penyuluhan hukum Islam, mediasi konflik hingga reformasi kebijakan publik yang sensitif terhadap nilai-nilai keadilan sosial Islam.
Urgensi Ruang Percakapan FAS
Namun demikian, landasan berfikir metodologis yang ditawarkan dalam FAS tidak akan memiliki daya hidup apabila ia hanya berhenti pada tataran konseptual dan epistemologis. Oleh karena itu, FAS membutuhkan ruang percakapan secara sistemik melalui institusi-institusi utama umat Islam terutama Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) serta organisasi keagamaan besar seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah maupun organisasi lainnya yang melalui forum-forumnya telah lama meletakkan fondasi penting bagi berkembangnya fikih sosial-kritis.
Sebagai institusi yang didesain khusus untuk mengembangkan ilmu-ilmu keislaman, PTKI (baik negeri maupun swasta) memiliki posisi strategis dan tanggung jawab besar dalam mewujudkan integrasi antara fikih dan ilmu sosial.[43] Dalam sejarahnya, PTKI telah melahirkan banyak pemikir yang berkontribusi dalam transformasi cara pandang keislaman di Indonesia. Pemikiran Fikih Indonesia ala Prof. Hashbi Ashiddiqi dan dikembangkan lebih masif oleh Prof Yudian Wahyudi, Prof. Agus Moh Najib, integrasi-interkoneksi ala Amin Abdullah dan dikembangkan oleh beberapa penggiatnya di UIN Sunan, hingga yang terkini Tafsir Maqashidi ala Prof. Abdul Mustaqim, teori Maudhu’i Nuzuli sebagai Dasar Pengembangan Fikih Maqasidi ala Prof Ali Sodiqin, semuanya lahir dan tumbuh dari medan PTKI. Gagasan-gagasan tersebut menunjukkan bahwa PTKI tidak hanya mengajarkan agama tetapi juga menciptakan tafsir baru atasnya.
Namun potensi ini belum sepenuhnya dikapitalisasi untuk membentuk model kurikulum dan riset yang benar-benar mampu mengarusutamakan FAS. Masih banyak pengajaran fikih di kampus-kampus Islam yang berorientasi pada hafalan madzhab tanpa membuka ruang kritik dan konteks.[44] Padahal dalam konteks masyarakat yang kompleks dan berubah cepat, kemampuan membaca realitas sosial, memahami struktur serta menavigasi peran teks dalam perubahan sosial adalah kompetensi yang mendesak. Oleh karena itu PTKI perlu memperkuat kurikulum fikih dengan pendekatan analisis sosial interdisipliner, memperluas kemitraan dengan komunitas masyarakat sipil dan mengembangkan riset-riset hukum Islam berbasis data empiris.
Di samping itu, ruang produksi pengetahuan dalam masyarakat juga telah lama hadir di luar perguruan tinggi formal. Dua model penting yang perlu dikaji sebagai sumber inspirasi operasionalisasi FAS adalah Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBM NU) dan Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah. Keduanya adalah forum otoritatif di dalam ormas Islam di Indonesia yang berfungsi sebagai penghasil keputusan-keputusan keagamaan.
Di lingkungan NU, LBM memainkan peran penting dalam menghidupkan tradisi ijtihad kolektif yang berbasis pada musyawarah dan pembacaan realitas. Forum Bahtsul Masail tidak sekadar membahas fatwa tetapi juga mengundang berbagai sudut pandang termasuk dari ahli sosial, ekonomi dan hukum positif untuk mengkaji satu isu dari berbagai arah.[45] Proses ini mencerminkan karakter FAS, di mana hukum harus dihasilkan dari dialog antara teks dan realitas serta antara dalil dan data.
Di pihak lain, Majelis Tarjih Muhammadiyah juga telah lama menjadi teladan dalam mengembangkan metodologi istinbāṭ yang kontekstual dan rasional. Dengan kerangka manhaj tarjih yang menekankan pada ta’lil (rasionalisasi hukum), kemaslahatan dan maqāshid, Majelis Tarjih mampu mengakomodasi perubahan zaman tanpa kehilangan akar normatifnya.[46] Salah satu kekuatan Majelis Tarjih adalah keberaniannya untuk mengeluarkan pandangan-pandangan keagamaan progresif yang berpihak pada perempuan, lingkungan, hak asasi dan isu-isu kebangsaan dengan tetap menggunakan kerangka hukum Islam.[47] Ini adalah bukti bahwa fikih tidak harus konservatif dan bahwa hukum Islam bisa bersifat emansipatoris jika dibaca melalui pendekatan yang sosial-kritis.
Baik LBM NU maupun Majelis Tarjih Muhammadiyah menunjukkan bahwa produksi hukum Islam tidak bisa dilepaskan dari realitas sosial dan bahwa forum kolektif yang terbuka terhadap ilmu-ilmu lain mampu menghasilkan pandangan yang tidak hanya legal tetapi juga etis dan sosial. Dalam konteks inilah, FAS dapat dikembangkan sebagai semacam “meta-metodologi” yang menaungi pendekatan-pendekatan ini, menyatukan mereka dalam satu kerangka besar, di mana hukum Islam bukan sekadar alat kontrol sosial tetapi harus menjadi alat rekayasa sosial (tool of social engineering) yang mampu membentuk masyarakat yang adil, setara dan beradab.[48]
Maka, pengembangan FAS di PTKI dan ormas-ormas Islam tidak bisa dilepaskan dari proyek pendidikan umat secara luas. Diperlukan integrasi antara ilmu agama dan ilmu sosial secara praksis. Ini artinya, pengajaran fikih tidak bisa lagi steril dari diskursus keadilan hukum, kesetaraan gender, ketimpangan ekonomi, pluralisme, hak sipil, sensitivitas sains dan literasi digital. Demikian pula sebaliknya, ilmu sosial yang diajarkan kepada umat Muslim tidak boleh tercerabut dari nilai-nilai etik dan spiritual Islam. Integrasi ini bukan sekadar pencampuran kurikulum tetapi penciptaan cara berpikir baru yang menyatukan etika Islam dengan analisis sosial. Dalam konteks inilah, para dosen, peneliti dan pengambil kebijakan di lingkungan PTKI serta ormas Islam harus mengambil peran sebagai agen transformasi epistemik.
Di tengah meningkatnya kompleksitas persoalan umat dari ekstremisme ideologis, kapitalisme religius, krisis lingkungan, penyimpangan kekuasaan sampai disrupsi digital,[49] FAS menawarkan perspektif bahwa hukum Islam tidak boleh diam. Ia harus tampil sebagai kekuatan moral dan sosial yang hidup. Ia harus menjadi bagian dari gerakan perubahan. Dalam era ketika agama seringkali digunakan untuk memperkuat identitas eksklusif, membenarkan dominasi sosial,[50] bahkan juga sebagai alat legitimasi penguasa, FAS mengajak kita untuk memulihkan misi utama fikih yaitu menghadirkan keadilan, spirit pembebasan, membela yang rentan dan membangun masyarakat yang berperadaban.
Penutup
Fikih sejak awal kelahirannya bukan sekadar sistem legal untuk menata ibadah dan muamalah umat Islam. Ia adalah bentuk tanggapan ilahiyah terhadap realitas manusia yang kompleks, berubah dan sarat makna. Ia adalah pengejawantahan dari semangat profetik Islam, yaitu mewujudkan keadilan, melindungi yang lemah, memanusiakan manusia dan menyemaikan kedamaian[51]. Maka, ketika fikih direduksi menjadi instrumen legal-formal, kita sejatinya telah memisahkannya dari ruh kenabiannya. Dalam semangat ini, gagasan FAS hadir bukan semata proyek akademik, tetapi sebagai ikhtiar profetik untuk mengembalikan fikih ke fungsinya yang sejati yaitu sebagai panduan hidup yang membebaskan dan membangun peradaban.
Karena itu, saya mengajak kita semua untuk membangun gerakan keilmuan baru yang tidak berhenti pada menafsirkan teks, tetapi menjadikan teks sebagai jembatan menuju transformasi sosial. Gerakan ini harus lahir dari ruang-ruang belajar kita seperti ruang kuliah, ruang bahtsul masail, ruang laboratorium sosial hingga ruang media digital. FAS dapat dijadikan metode baca baru terhadap isu-isu kontemporer seperti kemiskinan struktural, krisis iklim, relasi kuasa dalam rumah tangga, ketimpangan gender, kekerasan atas nama agama dan dehumanisasi akibat kecanduan teknologi. Dalam semua itu, fikih tidak hanya bertugas memberikan hukum, tetapi menyuarakan nurani profetik. Ia harus mampu mengatakan bahwa “tidak adil” itu tidak sah. Bahwa “tidak bermartabat” itu bukan maqāshid dan bahwa diam terhadap penindasan adalah bentuk pengkhianatan terhadap nilai dasar fikih itu sendiri.
Dalam kerangka gerakan ini, FAS bukan sekadar pendekatan akademik yang ditulis di jurnal, tetapi semangat keilmuan yang hidup dalam laku. Ia harus ditanam dalam proses pendidikan di PTKI, diperbincangkan di forum fatwa, dijadikan acuan dalam penelitian hukum Islam dan dijalankan dalam aktivitas pengabdian masyarakat. FAS harus menjadi jembatan yang menyatukan ilmu agama dan ilmu sosial, tafsir dan advokasi, normativitas dan praksis. Sehingga setiap lulusan PTKI tidak hanya mampu menjawab “apa hukumnya?”, tetapi juga bertanya: “untuk siapa hukum ini?”, “apa dampak sosialnya?”, “apakah ini berkeadilan?”. Dalam tataran itu, kita sedang membentuk generasi ahli fikih yang tidak hanya faqih dalam dalil, tetapi juga rasional dalam konteks, empatik dalam struktur dan profetik dalam sikap.
Akhir kata, saya bermohon kepada Allah agar langkah kecil ini melalui gagasan Fikih sebagai Analisis Sosial dapat menjadi bagian dari jihad intelektual kolektif kita semua. Sebuah ikhtiar untuk menjadikan fikih tidak sekadar hukum, tetapi juga nurani, tidak hanya menata sah dan batal, tetapi juga memperjuangkan martabat manusia. Saya tidak berharap gagasan ini sempurna. Saya serahkan gagasan ini kepada ruang keilmuan kita bersama, semoga ia tumbuh, dikritik, disempurnakan dan dijalankan. Semoga ilmu yang kita bangun bersama membawa manfaat yang melampaui ruang akademik dan menjelma menjadi cahaya peradaban. Amin, ya Rabbal ‘Alamin.
Referensi
‘Abd al-Raḥmān ibn Muḥammad Ibn Khaldūn. Al-Muqaddimah. Beirut: Dār al-Fikr, 2004.
Abdullahi Ahmed An-Na’im. Toward an Islamic Reformation. New York: Syracuse University Press, 1990. https://doi.org/10.2307/j.ctvj7wn6k.
Abū Ḥāmid Muḥammad ibn Muḥammad al-Ghazālī. al-Mustaṣfā min ‘Ilm al-Uṣūl. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993.
———. Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn. Beirut: Dār al-Ma’rifah, 1998.
Ahmad Zahro. Tradisi Intelektual NU: Lajnah Bahtsul Masail 1926–1999. Yogyakarta: LKiS, 2004.
Alatas, Syed Farid. “Reflections on the idea of Islamic social science.” Comparative Civilizations Review 17, no. 17 (1987): 60–86. https://doi.org/10.2139/ssrn.2650608.
“Ali Sodiqin, ‘Teori Maudlui Nuzuli Sebagai Dasar Pengembangan Fikih Maqasidi’ Pidato Pengukuhan Guru Besar Pada UIN Sunan Kalijaga, Februari 2024,” t.t. Diakses 5 April 2025.
Ali Yafie. Fikih Sosial: Membangun Perspektif Hukum Islam yang Responsif terhadap Masalah Sosial. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1994.
Al-Imam Abu Ishaq Asy-Syatibi. al-Muwafaqat fi Ushul as-Syari’ah. II. Beirut: Dar al-kutub al-Islamiyyah, 2003.
Azra, Azyumardi. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta: Logos, 1999.
Berita Anak Surabaya. “Indonesia Tempati Posisi Pertama Judi Online Terbanyak di Dunia, Ini Sebabnya.” kumparan.com, Mei 2024. https://kumparan.com/beritaanaksurabaya/indonesia-tempati-posisi-pertama-judi-online-terbanyak-di-dunia-ini-sebabnya-22f64ON9J9q.
Data, GoodStats. “10 Negara dengan Indeks Kinerja Lingkungan Terbaik 2024.” GoodStats Data. Diakses 9 April 2025. https://data.goodstats.id/statistic/10-negara-dengan-indeks-kinerja-lingkungan-terbaik-2024-K7me3.
Deen, Mawil Y Izzi. “Islamic environmental ethics, law, and society.” Dalam This Sacred Earth, 158–67. Routledge, 2003.
Ebrahim Moosa. Ghazali and the Poetics of Imagination. Chapel Hill: University of North Carolina Press, 2005.
Fathorrahman, Anis Masduqi, dan Arif Sugitanata. “The Scholarly Transformation of Nahdlatul Ulama: Fiqh of Civilization as a Step Towards Embracing the Future.” Al-Tahrir: Jurnal Pemikiran Islam 24, no. 1 (2024): 1–14. https://doi.org/10.21154/altahrir.v24i1.8536.
Fazlur Rahman. Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago: University of Chicago Press, 1982.
Gilles Kepel. Jihad: The Trail of Political Islam. Cambridge: Harvard University Press, 2002.
“Global Muslim Population.” Diakses 10 Maret 2025. //timesprayer.com/en/muslim-population/.
GoodStats. “Indeks Perdamaian dan Keamanan Wanita Global: Bagaimana Posisi Indonesia?” GoodStats. Diakses 9 April 2025. https://goodstats.id/article/indeks-perdamaian-dan-keamanan-wanita-global-dimana-posisi-indonesia-4hTbL.
Hadi, Mukhammad Nur. “Metode Ijtihad Kolektif Progresif di Indonesia sebagai Media Proyeksi Nalar Kemanusiaan.” Ma’mal: Jurnal Laboratorium Syariah Dan Hukum 4, no. 2 (2023): 141–69. https://doi.org/10.15642/mal.v4i2.247.
Hallaq, Wael B. The Impossible State. New York: Columbia University Press, 2013. https://www.jstor.org/stable/10.7312/hall16256.
Hassan Hanafi. al-Turāth wa al-Tajdīd: Mawqifunā min al-Turāth. Kairo: al-Tanwīr, 1980.
Jasser Auda. Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach. Herndon: International Institute of Islamic Thought (IIIT), 2008.
José Casanova. Public Religions in the Modern World. Chicago: University of Chicago Press, 1994.
Kamaruzzaman Bustamam Ahmad. Fikih adalah Ilmu Sosial Islam. Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Ilmu Antropologi Agama. Banda Aceh: Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, 2024.
Khaled Abou El-Fadl. Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority and Women. United Kingdom: Oneworld Publications, 2001.
Kuntowijoyo, Kuntowijoyo. “Agama dan Kohesi Sosial.” Humaniora, no. 9 (19 Juni 2013): 87–95. https://doi.org/10.22146/jh.2048.
M Amin Abdullah. Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Masdar F. Mas’udi. Fiqh Sosial: Pandangan Islam tentang Transformasi Sosial. Bandung: Mizan, 1991.
Mohammad Hashim Kamali. Principles of Islamic Jurisprudence. Cambridge: Islamic Texts Society, 1991.
Muhamad Wafa Ridwanulloh. “Indonesia dan Paradoks Negara Paling Religius.” Kompas.id, 22 Februari 2025. https://www.kompas.id/artikel/indonesia-dan-paradoks-negara-paling-religius.
Muhammad ‘Ābid al-Jābirī. Takwīn al-‘Aql al-‘Arabī. Beirut: Markaz Dirāsāt al-Wiḥdah al-‘Arabiyyah, 1986.
Olivier Roy. Jihad and Death: The Global Appeal of Islamic State. Oxford: Oxford University Press, 2017.
Sahal Mahfudz. Nuansa Fiqih Sosial. Yogyakarta: LKiS, 1994.
Sa‘īd al-Asymawi. al-Islām al-Siyāsī. Kairo: al-Hay’ah al-Miṣriyyah li al-Kitāb, 1987.
Salazar, Christine Tamir, Aidan Connaughton and Ariana Monique. “The Global God Divide.” Pew Research Center (blog), 20 Juli 2020. https://www.pewresearch.org/religion/2020/07/20/the-global-god-divide/.
Syamsul Anwar. Manhaj Tarjih Muhammadiyah. Yogyakarta: Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2018.
Taha Jabir al-‘Alwani. Towards a Fiqh for Minorities and Governance. Herndon: International Institute of Islamic Thought (IIIT), 2003.
Tariq Ramadan. In the Footsteps of the Prophet: Lessons from the Life of Muhammad. Oxford: Oxford University Press, 2007.
Transparency International. “Corruption Perceptions Index 2024,” 2024. https://www.transparency.org/en/cpi/2024.
Wael B. Hallaq. A History of Islamic Legal Theories: An Introduction to Sunni Usul al-Fiqh. Cambridge: Cambridge University Press, 1997.
———. The Origins and Evolution of Islamic Law. Cambridge: Cambridge University Press, 2005.
Wahbah al-Zuḥaylī. Uṣūl al-Fiqh al-Islāmī. 2. Damaskus: Dār al-Fikr, 1986.
Wilson, Despina. “World’s Most (And Least) Religious Countries, 2024.” CEOWORLD magazine, 7 April 2024. https://ceoworld.biz/2024/04/08/worlds-most-and-least-religious-countries-2024/.
Persembahan dan Terimakasih
Perjalanan karir akademik yang saya jalani hingga sampai pada salah satu fase ini, tak lepas dari doa, dorongan, dukungan, bantuan, dan peran serta berbagai pihak.
1. kepada teman-teman kecil dan guru-guru saya di TK An Nur Prenduan, teman-teman dan Guru di SDN Prenduan I, Madrasah al Ulum ad Diniyah (MUD) Pondok Pesantren “Tegal” Al Amien Prenduan,
2. teman-teman dan Guru-Guru saya di Tarbiyatul Muallimin Al Islamiyah (TMI) Al Amien Prenduan. Terutama Para Kyai saya (alm. KH. Tidjani Djauhari, KH, Idris Djauhari, KH. Mahtum Djauhari) dan para kyai dan masyayikh lainnya di Al Amien. Pondok ini merupakan cikal-bakal kreatifitas menulis dan belajar agama saya. Kini dilanjutkan oleh Putra-Putranya (KH. Ahmad Fauzi Tidjani, KH. Ghazi Mubarok bin Idris) dan yang lain.
3. Guru-guru saya jenjang strata 1 dimana saya belajar di Fak. Syariah (IAIN Suka) tahun 1996-2000 terutama KH.Malik Madani yang sangat terkesan di sepanjang belajar, dan guru-ru saya yg lain. Guru-guru di Jenjang strata 2 di Sosiologi Fisip UGM, dan Guru-guru di strata 3 di UIN Sunan Kalijaga. mereka semua adalah pewaris peradaban ilmu yang mengajari dan mendidik para muridnya dengan ketekunan.
4. Kepada kolega di lembaga Indef Jakarta, terutama Bapak Drajad Wibowo yang menjadi perantara bagi saya bisa bekerja paruh waktu sebagai Surveyor di lembaga tersebut pada awal hingga medio tahun 2004.
5. Kepada kolega di lembaga Indes Yogyakarta, terutama pak Sayun dan pak Zainul yang memberi saya kesempatan terlibat sebagai perancang konsep pelatihan untuk berbagai lembaga pemerintah dan swasta pada tahun 2005-2011.
6. Kepada kolega saya dan pimpinan di fakultas Syariah dan Hukum tempat saya mengabdi sejak tahun 2005 hingga sekarang. Fakultas sains dan teknologi yang pernah memberi ruang kepada bagaimana cara mendampingi mahasiswa/i selaku wakil dekan.
7. Kepada Pak Rektor beserja jajarannya yang telah membantu perjalanan karir akademik saya hingga berada pada fase puncaknya sebagai Guru Besar.
8. Tetangga saya di lingkungan Perumahan dalem teratai asri, sebuah perumahan bercita rasa kampung karena di dalamnya terbangun sistem baur sosial yang nyaris tak berjarak dengan tetangga kampung. Di dalam perumahan ini, ada dua komunitas penting yang menjadi pengisi ruang rohani dan jasmani saya. Yaitu jamaah ST 18 tempat dimana saya mengabdikan diri sebagai Guru ngaji dan jamaah ST 21 tempat di mana saya merenggangkan segala kepenatan.
9. Para Masyayikh dan Penggerak (Muharrik) roda organisasi Nahdlatul Ulama di wilayah Yogyakarta. Mbah Rois Syuriyah, Romo KH. Mas’ud Masduqi, beserta jajaran Syuriyah lainnya. Katib Syuriyah KH. Muhtar Salim , beserta jajaran kekatiban, ketua Tanfidziyah KH. Dr. Zuhdi Muhdlar dan jajaran Tanfidziyah lainnya, para pengus NU di tingkat Cabang, Majelis Wakil Cabang, Ranting, dan Anak Ranting. Kepada mereka dan bersama mereka saya belajar mengabdi dan menjalankan cita rasa keberislaman yang wasathiyah ‘ala ahlis sunnah wal jamaah an nahdliyah.
10. Kepada beberapa kolega yang telah meluangkan waktu membaca naskah ini dan bersedia memberikan catatan dan masukan yang sangat berarti. Ada mas hijrian, gus Anis Masduqi, Fuad Mustafid, mbak Ambar. Terlebih dan terkhusus mas Arif Sugitanata yang memberikan sentuhan dan penambahan sana sini dalam penyempurnaan naskah ini sehingga naskah ini benar-benar menjadi sajian akademik yang layak dibaca.
11. Kepada Mbah (KH. Zaini Abdiullah dan Ny. Hj. Afifah bin Sobri) semoga dosa2nya diampuni dan amal kabajikannya diterima. Para majhedi’ di Bani Zaini (pamanda KH. Afifi, pamanda KH. Abdullah, KH, Hafas Zaini, Bi’ Rofiah, bi’ sayyidah, bi’ mufidah, bi’ fauziah, dan bi’ himmatul aliyah) beserta keturunan mereka yang memberi motivas kepada penulis agar belajar dengan tekun. Kerjasama antar para majhedi’ dan pihak lain, alhamdlh Pondok Pesantren Zainul Ibadah li tahfidzil qur’an untuk putra dan putri bisa berdiri dan semoga semakin sukses perjalanannya.
12. Kepada mbah Muki dan mbah Sariatun semoga dosa-dosanya diampuni dan amal kabajikannya diterima. Para majhedi’ obe’ Mursyidi, obe’ H. Jailani, obe’ Hj. Mina, obe’ Hj. Zainal, ma’ jih Nurhayati beserta keturunannya.
13. Kepada Istri saya Agustinigsih yang sudah rela menjadi mitra saya dalam menjalani biduk keluarga selama 21 tahun dan masa akan datang. Terimakasih atas permaklumanmu setiap ada kesalahan yang saya lakukan. Terimakasih atas supportmu agar bisa meniti karir akademik. Kita berkomitmen untuk saling belajar dan saling mengisi berbagai kekurangan.
14. Kepada kedua anak saya (kunto Dzaki Al Afkari dan Kuni Hanina Taqiya) yang sudah beranjak dewasa ayah mengucapkan terimakasih atas peran serta kalian. Kalian menjadi teman diskusi yang sangat luar biasa. Semoga kalian menjadi generasi yang shaleh wa muslih, cerdas dan mencerdaskan, bermanfaat bagi diri sendiri, keluarga, dan pihak lain, dan menjadi generasi radliyatan mardliyah
15. Kepada Mertua saya, alm. Bapak Soegiri bin Abu Salam Wiryo Soemarto dan almh. Ibu. Hj. Paryati bin Nuryaredja yang telah mengikhlaskan putrinya menjadi pendamping dan mitra saya. Semoga amal perbuatannya diterima di sisi Allah dan segala salah dan khilafnya diampuni Allah SWT. Dua adik ipar saya (Joko Hartanto dan Agung) beserta istri dan anak-anaknya yang rela meneruskan perjuangan kedua mertua di Wonosobo
16. Kepada adik saya Fathorrazi yang mengajarkan saya bagaimana berdamai dengan kondisi yang mungkin tidak kita inginkan.
17. Kepada kakak saya Fathurrahiem. Dia tipe orang yang tangguh dan istiqomah. Sosok Profesional shalih yang bisa digambarkan kapitalis cum religius dalam satu tarikan nafas. Siang hari dia bercengkarama dengan dagangan emmas, dan berbagai jenis usaha seperti Rumah Makan dan properti lainnya, malam hari dia menjadi guru ngaji bagi anak-anak masyarakat di Masjid Zainul Ibad. Dia membersamai tadarrusan al qur’an setiap pagi bersama warga Tapsiun utara Prenduan. Dia rela mendarmakan dirinya di tengah-tengah masyarakat dengan melanjutkan lalampanah alm. mbah KH. Zaini Abdullah dan alm. Eppa’ KH. Ghufron
18. Kepada Emma’ (yang alhamdulillah) bisa hadir dan menyaksikan langsung anaknya berdiri di sini. Beliau tipe ibu rumah tangga dan Guru Ngaji yang penyabar. mon ngala setanah kala. itulah kalimat yang selalu diucapkan kepada kami. Di tengah kondisi beliau yang beberapa kali kurang sehat, beliau selalu menyempatkan menjadi kuliner tangguh dan memastikan sajian makanannya bisa nyaman di semua selera anak2 dan saudaranya. ajunan zimadeh kauleh sataretanan. malar mogeh, ajunan sehat ben berkah omor epon.
19. Untuk almarhum Eppa’ (KH. Ghufron) yang tak lelah mengayuh Sepeda Ontel untuk menafkahi istri dan ketiga anaknya. Beliau yang mengajarkan optimisme dan keistiqomahan dalam hidup saya. Pernah suatu waktu, eppa’ ditanya oleh seseorang. Buat apa saya kuliah? dengan tulus dan tegas eppa’ menjawab: horrahman epa kuliyah benni keng ma’ le olle lakoh. tapeh, ma’le nambhe ilmu ben ma’le ta’ buduh akadiyeh kauleh. pernyataan eppa’ ini menjadi sebuah pemicu agar saya kuat melanjutkan kuliah, meskipun dalam satu momen saya pernah putus asa untuk melanjutkan kuliah di awal2 tahun 1996 karena himpitan ekonomi.
20. Akhirnya, Inilah yang bisa saya persembahkan pada kalian. Curahan terimakasih senantiasa meluap dari lubuk hati untuk kedua orang tua saya, kedua mertua saya, kedua saudara saya, istri dan kedua anak saya yang mendukung dan mendoakan setiap perjalanan hidup saya. “My Indebtenes to all of you goes beyond all of them”
Riwayat Hidup
IDENTITAS DIRI
Nama : Fathorrahman
NIP 19760820 200501 1 005
Tempat dan Tanggal Lahir : Sumenep, 20 Agutus 1976
Pangkat/ Gol : Pembina Utama Muda /IVc
Jabatan Fungsional : Guru Besar
Orang Tua : KH. Ghufron bin Muki
Ny. Hj. Zulfah binti KH. Ahmad Zaini
Istri : Agustiningsih, S.Kep, Ns, M.Kep
Anak : Kunto Dzaki Al Afkari
Kuni Hanina Taqiya
RIWAYAT PENDIDIKAN PERGURUAN TINGGI
Tahun Lulus |
Program Pendidikan |
Lembaga Pendidikan |
Jurusan/ Bidang Studi |
1983 |
Taman Kanak-Kanak |
TK An Nur Prenduan |
- |
1983- 1989 |
Sekolah Dasar Negari |
SDN Prenduan I |
- |
1983- 1989 |
Madrasah Diniyah |
Pond. Pest. Tegal Al Amien |
- |
1989- 1995 |
Pondok Pesantren Al amien Prenduan |
Tarbiyatul Muallimin Al Islamiyah Pondok Pesantren Al amien Prenduan, Putera II |
- |
1996- 2000 |
S-1 Syari’ah |
IAIN Sunan Kalijaga |
Perbandingan Mazhab & Hukum |
2001- 2003 |
S-2 Sosiologi |
Universitas Gajah Mada |
Sosiologi Pembangunan |
2011- 2015 |
S-3 Studi Islam |
UIN Sunan Kalijaga |
Hukum Islam |
RIWAYAT JABATAN
Periode |
Jabatan |
Fakultas |
Universitas |
2008- 2010 |
Sekretaris Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum |
Syariah dan Hukum |
UIN Sunan Kalijaga |
2015- 2016 |
Ketua Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum |
Syariah dan Hukum |
UIN Sunan Kalijaga |
2016- 2020 |
Sekretaris Prodi Magister Ilmu Syariah |
Syariah dan Hukum |
UIN Sunan Kalijaga |
2020- 2024 |
Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama |
Fakultas Sains dan Teknologi UIN |
UIN Sunan Kalijaga |
2024- |
Sekretaris Prodi Doktor Ilmu Syariah |
Syariah dan Hukum |
UIN Sunan Kalijaga |
KARYA TULIS
A. Buku
Tahun |
Judul |
Penerbit/Jurnal |
2010 |
Negeri Impian Dalam Benturan Kepentingan |
Q_Media Yogyakarta |
2014 |
Modul Pelatihan “Fiqh dan HAM”, et.al |
LKiS, Yogyakarta |
2015 |
Ekspresi Keberagamaan di Era Milenium |
Ircisod, Yogyakarta |
2015 |
Fikih (Ramah) Difable, et.al |
Q-Media bekerjasama dengan Jurusan Perbandingan Mazhab Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta |
2018 |
Politik, Hukum, dan Penguatan Demikrasi di Indonesia, et. Al |
SUKA Press UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, |
B. Jurnal
Tahun |
Judul |
Jurnal |
2010 |
Al Qur’an dan Dinamika Perubahan Sosial Masyarakat dalam Memahami Keberadaan Tuhan |
Jurnal Asy Syir’ah, Vol 44 No.113, 2010, Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga |
2010 |
Mcdonaldisasi: Akar Terbentuknya Masyarakat Hyper Consumptif |
Jurnal Sosiologi Reflektif, Vol. 4, No. 2, April 2010, Prodi Sosiologi, Fishum UIN Sunan Kalijaga |
2012 |
Fiqh Sosio-Kultural: Interkoneksi antara Peradaban teks dan Perubahan Sosial |
Jurnal Al Mazahib, Vol. 1. No. 1 Juni 2012, Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga https://ejournal.uin- suka.ac.id/syariah/almazahib/article/view/1340 |
2014 |
Paradigma Politik Profetik: Sebuah Pembacaan Ideografik terhadap Politik Adiluhung Amien Rais |
Jurnal IN RIGHT, Vol. 4. No. 1. November 2014 Jurusan Tata Negara dan Politik Islam, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga https://ejournal.uin- |
2015 |
Fikih Pluralisme dalam Perspektif NU |
Jurnal Asy Syir’ah, Vol. 49, No.1, Juni 2015. Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga https://dx.doi.org/10.14421/asy-syir'ah.2015.%25x |
2015 |
Interpretative Understanding Terhadap Makna Simbol Al-Fatihah dalam Amaliah Tasharraful |
Jurnal "Dialog’”, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Jakarta, Vol. 38, No. 1, Juni 2015, |
|
Fatihah pada Masyarakat Bantul Yogyakarta. |
https://balitbangdiklat.kemenag.go.id/berita/dialog-vol-38-no-1-juni-2015
|
2016 |
Pandangan Fikih Sosial K.H. Ali Yafie dan Kontribusinya Terhadap Kajian Pembangunan di Indonesia. |
Jurnal ”Asy-Syir’ah”, Fak. Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Vol. 50, No. 2, Desember 2016/1437, https://dx.doi.org/10.14421/asy-syir'ah.2016.502- 03 |
2016 |
Dinamika Pemikiran Islam Indonesia dalam Perspektif Epistemologi Fiqh dan Kontribusinya bagi Peneguhan Semangat Kebangsaan dan Keindonesiaan. |
Jurnal ”Empirisma”, diterbitkan oleh P3M STAIN Kediri, Vol. 25, No. 2, Juli 2016, https://doi.org/10.30762/empirisma.v25i2.598 |
2019 |
Inklusifisme di Tengah Masyarakat Multikultur: Kasus Tiga Kota di Bali |
Jurnal Penamas, Balitbang Kemenag Jakarta, Vol 32, nomor 1, Januari-Juni 2019 https://doi.org/10.31330/penamas.v32i1.300 |
2019 |
Potret Sosial Keberagamaan yang Harmonis di Puja Mandala, Nusa Dua Bali |
Jurnal Al-Izzah Vol.14.No.1, Mei 2019 |
2020 |
Budaya Perilaku Bersih di Desa Penglipuran Bali |
Jurnal Sosiologi Reflektif, Vol 15, No 1, 2020 https://doi.org/10.14421/jsr.v15i1.1960 |
2020 |
Praktik Fikih Keseharian Minoritas Muslim di Bali |
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat, Vol 16, No 2, 2020 |
2020 |
Konstruksi Pemikiran Fikih Sosial KH. Ali Yafie Dalam Merespons Program Pemerintah di Era Orde Baru |
Jurnal Kodifikasia, Vol 14, No 1, 2020 https://dx.doi.org/10.21154/kodifikasia.v14i1.1964 |
2021 |
Pancasila dan Jihad Akademik: Peran Perguruan Tinggi di Yogyakarta dalam Penguatan Pancasila |
Jurnal Empirisma, Vol. 30, No. 1 Januari 2021 https://doi.org/10.30762/empirisma.v30i1.3453 https://jurnal.iainkediri.ac.id/index.php/empirisma/article/view/3453
|
2022 |
The Dynamic of Worship and Response of Nahdlatul Ulama Members in Bantul, Yogyakarta to ward the Indonesian Council of Ulama’s Fatwa on The Worship during the covid 19 Pandemic |
Jurnal Al Ihkam: Jurnal Hukum dan Pranata Sosial Sosial Vol. 17 No. 1 (2022)
https://doi.org/10.19105/al-lhkam.v17i1.5638
|
2022 |
Expression of Diversity in Tahlilan: An Interfaith Study of The Death Rites in Muntilan Magelang anf Babadan Sleman Yogyakarta |
Jurnal Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Islam Vol. 20 No. 1, hal.45-60, Juni 2022 https://journal.uinmataram.ac.id/index.php/tasamuh/article/view/5354 |
2022 |
The Dynamics of Tuan Guru's Leadership in Lombok in Responding to Health Protocols in Places of Worship |
Jurnal Dialogia, Vol. 20. No. 20, tahun 2022. Hal. 278-301 |
2023 |
Spirit kebersihan masyarakat Penglipuran Bali: Konvergensi nilai keberagamaan dan kearifan lokal". |
Jurnal Sosial Humaniora, vol. 9. No. (2), Agustus 2023, hal. 155-168 https://jurnal.ustjogja.ac.id/index.php/sosio/article/view/14180 |
2023 |
The Role of PWNU Yogyakarta in Constructing Aswaja an Nahdiyah in Social Activist During the Covid-19 |
Jurnal Islam Transformatif, Vol. 7. No. 1 tahun 2023 hal 87-97 https://ejournal.uinbukittinggi.ac.id/index.php/islamt/issue/view/221 DOI : 10.30983/it.v7i1.6340 |
2024 |
The Role of Religious Fatwas in Indonesia: An Analysis of Self-Goverment and Biopolitics During The Pandemic |
Jurnal Petita, Vol. 9. No. 1. Tahun 2024 https://petita.ar-raniry.ac.id/index.php/petita/article/view/257 |
2024 |
The Scholarly Transformation of Nahdlatul Ulama: Fiqh of Civilization as a Step Towards Embracing the Future |
Jurnal Al Tahrir, Vol. 24 No. 1. Tahun 2024 https://jurnal.iainponorogo.ac.id/index.php/tahrir/issue/view/388 |
2024 |
Dynamics of Thought in the Fiqh of Civilization Halaqah at Pesantren Affiliated with Nahdlatul Ulama (NU) in Yogyakarta |
Jurnal Ijtihad, Vol 24, No. 1, tahun 2024 https://ejournal.uinsalatiga.ac.id/index.php/ijtihad/article/view/616 DOI: |
C. Artikel opini Nasional
No |
Tahun |
Judul |
Media |
Opini Kompas versi cetak dan digital |
|||
1. |
2013 |
Mudico ergo sum |
Kompas |
2. |
2013 |
Interaksionisme simbolik ibadah haji |
Kompas |
3. |
2013 |
Berkurban untuk peduli |
Kompas Digital |
4. |
2013 |
Momentum perubahan dan perjuangan |
Kompas |
5. |
2013 |
Spirit natal dan teologi pembebasan |
Kompas Digital |
6. |
2014 |
Demokrasi Sebagai Fikih Maqashid |
Kompas digital |
7. |
2014 |
Demokrasi Kosmopolitan |
Kompas digital |
8. |
2014 |
Takwa Sosial |
Kompas digital |
9. |
2014 |
Teologi Kepahlawanan |
Kompas digital |
10. |
2015 |
Dalil Cepat Saji |
Kompas |
11. |
2015 |
Spirit Keberagamaan Intersubjektif |
Kompas digital |
12. |
2015 |
Hijrah Setyagraha |
Kompas |
13. |
2015 |
Spirit Kepahlawanan dan Etika Santri |
Kompas |
14. |
2015 |
Spirit Kebhinekaan dari Manado |
Kompas |
15. |
2016 |
Menyelamatkan Indonesia |
Kompas |
16. |
2016 |
Patologi Sosial Keberagamaan |
Kompas |
17. |
2016 |
Puasa dan Kesadaran Resiprokal |
Kompas |
18. |
2016 |
Ustaz di Media Publik |
Kompas |
19. |
2017 |
Berhaji di Era Selfie |
Kompas |
20. |
2017 |
Kembali ke Pancasila |
Kompas |
21. |
2017 |
Lobang Hitam Populisme |
Kompas |
22. |
2017 |
Menenun Semangat Kebangsaan |
Kompas |
23. |
2017 |
Menumbuhkan Literasi Agama |
Kompas |
24. |
2017 |
Menyikapi Defisit Kebenaran |
Kompas |
25. |
2017 |
Merawat Marwah Kebhinekaan |
Kompas |
26. |
2017 |
Negara Perjanjian |
Kompas |
27. |
2017 |
Radikalisme dan Politik Identitas |
Kompas |
28. |
2018 |
2019 Kita Bersaudara |
Kompas |
29. |
2018 |
Etika Kepemudaan dan Spirit Kemajemukan |
Kompas |
30. |
2018 |
Juru Bicara Pancasila |
Kompas |
31. |
2018 |
Mengarusutamakan Islam Wasathiyah |
Kompas |
32. |
2018 |
Menyikapi Ide-Ide Populisme |
Kompas |
33. |
2018 |
Pudarnya Ruh Dakwah |
Kompas |
34. |
2018 |
Selamatkan Mahasiswa Dari Jebakan Radikalisme |
Kompas |
35. |
2018 |
Takwa di Era Digital |
Kompas |
36. |
2019 |
Antropologi Puasa Ramadlan |
Kompas |
37. |
2019 |
Di Atas Politik Ada Kemanusiaan |
Kompas |
38. |
2019 |
Hari Santri dan Spirit Keindonesiaan |
Kompas |
39. |
2019 |
Munas NU dan Amanah Kebangsaan |
Kompas |
40. |
2019 |
Peran Bina Damai Shinta Nuriyah |
Kompas Digital |
41. |
2020 |
Virus Korona dan Kegagapan Teknologi |
Kompas |
42. |
2020 |
Tetap Bahagia di Tengah Pandemi |
Kompas Digital |
43. |
2020 |
Gusdurian dan Kerja Kebudayaan |
Kompas |
44. |
2021 |
Kehalalan vaksinasi di bulan ramadlan |
Kompas Digital |
45. |
2021 |
Pembatan Haji di masa Pandemi |
Kompas |
46. |
2021 |
Munas NU dan Tantangan Peradaban Dunia |
Kompas |
47. |
2021 |
Kurban Egoisme untuk Ketahanan Sosial |
Kompas Digital |
48. |
2022 |
Kado Ulang Tahun NU ke 9 |
Kompas Digital |
49. |
2022 |
Defisit Keadaban Pencerah |
Kompas Digital |
50 |
2022 |
Menolak Warisan Pembelahan 2019 |
Kompas Digital |
51 |
2022 |
Arah Baru Sertifikasi Halal |
Kompas |
52 |
2022 |
Urgensi Saintifikasi Halal |
Kompas |
53 |
2023 |
Internalisasi Kerukunan di Tengah Keragaman |
Kompas Digital |
54 |
2023 |
Berbeda untuk Bersatu |
Kompas Digital |
55 |
2023 |
Menyikapi Pesona Dunia Ramadlan |
Kompas Digital |
56 |
2023 |
Iedul Fitri sebagai Momentum Silaturahmi dan Rekonsiliasi |
Kompas Digital |
57 |
2024 |
Menuju Inklusivisme KUA |
Kompas |
58 |
2024 |
Menyelamatkan Lingkungan dari Perilaku Mubazir |
Kompas Digital |
59 |
2024 |
Muallaf Kebangsaan |
Kompas Digital |
60 |
2024 |
Fenomena Publikasi Cepat Saji |
Kompas Digital |
61 |
2025 |
Masa Depan Demokrasi di Tangan Mahasiswa |
Kompas Digital |
Opini Media Indonesia |
|||
1. |
2013 |
Haji sebagai instrument perubahan |
Media Indonesia |
2. |
2019 |
Mewaspadai Jihad Post-Truth |
Media Indonesia |
3. |
2021 |
Puasa Sebagai Oksigen Kemanusiaan |
Media Indonesia |
4. |
2021 |
Kesalehan Profesional |
Media Indonesia |
5. |
2022 |
NU, Muhammadiyah, dan Tanggung Jawab Sosial |
Media Indonesia |
6. |
2022 |
Pawang Hujan dan Persitegangan Metodologi |
Media Indonesia |
7 |
2023 |
Saweran dan Gegar Tradisi |
Media Indonesia |
8 |
2024 |
Sustainable Development Goals dan Maqashid Syariah |
Media Indonesia |
9 |
2024 |
Syirik Sosial Perilaku Korupsi |
Media Indonesia |
Opini Republika |
|||
1. |
2015 |
Civil Islam dan Spirit Kewargaan |
Republika |
2. |
2020 |
Mengatasi Perilaku Korupsi |
Republika |
3. |
2020 |
Viru Korona dan Spirit Filantropi |
Republika |
4. |
2021 |
Literasi Kedaruratan wabah |
Republika |
5. |
2021 |
Teologi Pembebasan |
Republika |
6. |
2022 |
Pamor Buatan |
Republika |
Opini Jawa Pos |
|||
1. |
2014 |
Syafa’at Kekuasaan |
Jawa Pos |
2. |
2015 |
Fikih Inklusi dan Disabilitas |
Jawa Pos |
3. |
2015 |
Radikalisasi Kesaktian Pancasila |
Jawa Pos |
4. |
2016 |
Kurikulum Pendidikan Islam Rahmatan Lil Alamin |
Jawa Pos |
5. |
2016 |
Nalar Spiritualitas di Ruang Publik |
Jawa Pos |
6. |
2016 |
Urgensi Pidana Sosial |
Jawa Pos |
7. |
2017 |
Istighatsah Kubra dan Kesalehan Konstitusional |
Jawa Pos |
8. |
2017 |
Titik Nadir Ruang Keberagamaan Kita |
Jawa Pos |
9. |
2018 |
Penyimpangan Pekik Takbir di Ruang Publik |
Jawa Pos |
10. |
2019 |
Puasa Ramadlan dan Aspek Sosiologis |
Jawa Pos |
11. |
2020 |
Virus Korona dan Teologi Kemaslahatan |
Jawa Pos |
12. |
2021 |
Vaksin Astrazeneca dan Perdebatan Teologis |
Jawa Pos |
13. |
2022 |
Kesalehan Artifisial |
Jawa Pos |
14 |
2022 |
Menjadi Santri 4.0 |
Jawa Pos |
15 |
2023 |
Agar Pancasila Tak Gegar Digital |
Jawa Pos |
16 |
2024 |
Mengatasi Kafir Ekologis |
Jawa Pos |
17 |
2024 |
Imajinasi Masa Depan Santri |
Jawa Pos |
18 |
2025 |
Ketika Kelompok Kecil Melawan dan Kelompok Besar Diam |
Jawa Pos |
Opini Koran Tempo |
|||
1. |
2017 |
HTI dan Penyelundupan Demokrasi |
Koran Tempo |
2. |
2019 |
Di Atas Agama Ada Cinta |
Koran Tempo |
Opini Koran Jakarta |
|||
1. |
2017 |
Ahok dan Kepemimpinan Islami |
Koran Jakarta |
2. |
2019 |
Jebakan Ekstremisme Beragama |
Koran Jakarta |
Opini Suara Pembaruan |
|||
1. |
2018 |
Tirani Populisme pada Era Demokrasi |
Suara Pembaruan |
Opini Bisnis Indonesia |
|||
1 |
2023 |
Mendigdayakan Nunomic Pada Abad Kedua |
Bisnis Indonesia |
2 |
2024 |
Berderma Maslahat Untuk Ketahanan Sosial Budaya |
Bisnis Indonesia |
3 |
2025 |
NU dan Pesan Kedaulatan Laut |
Bisnis Indonesia |
4 |
2025 |
Iedul Fitri dan Disrupsi Sosial Ekonomi |
Bisnis Indonesia |
Kontan |
|||
1 |
2024 |
Prabowo dan Penguatan Ekonomi Santri |
Kontan |
2 |
2025 |
Quo Vadis Penghematan? |
Kontan |
D. KONFERENSI Internasional
1. International conference on “Persidangan Serantau Isu-isu Syariah Malaysia dan Indonesia (Fakulti Pengajian Islam Universiti Kebangsaan Malaysia, 2013 / Peserta dan Pembahas)
2. International Conference on “Heresy, Blasphemy and Apostasy from al Legal of View” (Faculty of Shariah and Law UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta and Faculty of Humanities/Departement of Arabic and Islamic Studies George-August Universitat Goettingen di Goettingen Jerman, 2014 / Peserta dan Speaker untuk Under Graduate Session)
3. In the 14th Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) “Responding the Challenges of Multicultural Societies: The Contribution of Indonesian Islamic Studies” (STAIN Samarinda Bekerjasama dengan Direktorat Perguruan Tinggi Islam Kemenag RI, 2014, hotel Aston-Banjarmasin / Presenter dalam Paralel Session)
4. In the 14th Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) “Harmony in Diversity: Promoting Moderation and Preventing Conflicts in Socio-Religious Life” (IAIN Manado Bekerjasama dengan Direktorat Perguruan Tinggi Islam Kemenag RI, Hotel Peninsula-Manado, 2015 / Presenter dalam Poster Session)
5. In the 14th Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) “The Contribution of Indonesian Islam To The World Civilization” IAIN Raden Intan Lampung Bekerjasama dengan Direktorat Perguruan Tinggi Islam Kemenag RI, November 2016, Presenter dalam Paralel Session)
6. International Seminar on Seminar Serantau Isu-Isu Syariah Thailand-Indonesia di Universitas Pattani, Thailand, 31 Januari 2017, Presenter
7. Seminar on Islamic Law Practice in malaysia and Indonesia, Universitas Malaya, Malaysia, 21 Maret 2019, presenter
8. Join conference on Revisiting Tolerant Islam in South East Asia”, National University of Singapura, Singapura, 14 November 2019, Presenter
9. Annual International Conference Call for Paper on Islamic Law “Human Rights and Islamic Law Reform in Muslim Countries”, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 27 November 2017, Moderator
E. SEMINAR Nasional
1. Seminar “Kebangsaan Pancasila, Islam dan Komunisme: Melacak Kontestasi Mazhab ideology Hukum Indonesia dan RUU KUHP” (Dewan Koordinasi Nasional (DKN) Forum Silaturahmi Santri (Forsis) Jakarta – Komisi Pendidikan Majelis Ulama Indonesia (MUI), 2013 / Pembicara)
2. Seminar Nasional “Mempertegas Kembali Independensi Lembaga Hukum, Dalam Menegakkan Keadilan” (Forum Mahasiswa Syariah se-Indonesia (FORMASI), di wisma LPP-Yogyakarta 2013 / Pembicara)
1. Focus Group Discussion tentang Radikalisme yang diselenggarakan Ditbinmas Polda DIY, Polda-Yogyakarta, 28 Oktober 2015 / Pembicara)
2. Focus Group Discussion tentang Posisi Indonesia terhadap Isu-Isu Terkini Terkait Hak Kelompok Rentan yang diselenggarakan Direktorat HAM dan Kemanusiaan kementerian Luar Negeri, Hotel Akmani-Jakarta Pusat, 4 Desember 2015 / Pembicara)
3. Seminar”Fikih Ramah Difabel” yang diselenggarakan Pusat Layanan Difabel bekerjasama dengan Direktorat HAM dan Kemanusiaan kementerian Luar Negeri, Hotel Grand Quality-Yogyakarta, 2 Desember 2015 / Pembicara)
4. Diskusi “peran perguruan tinggi dalam menumbuhkan semangat kebangsaan dan keindonesiaan” yang diselenggarakan oleh Wantimpres, jakarta, (kantor wantimpres, 29 November 2016/ Pembicara)
5. Review Dokumen Rancangan “Peta Jalan Pembinaan Ideologi Pancasila” yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) (11-13 Desember 2022/ Narasumber)
6. Workshop “Moderasi Beragama dan Organisasi Keislaman di Indonesia” bagi program persiapan Beasiswa Dana Abadi Pesantren (Yogyakarta, 8 Agustus 2024)
7. Dan lain-lain
F. REKOGNISI
1. Sebagai Juri Lomba Karya Tulis Ilmiah Regional Jateng-DIY Tingkat SMA dengan tema “Peran pemuda dalam pengembangan industri pariwisata lokal indonesia guna menyukseskan SDGs 2030” di UIN Sunan Kalijaga, 13 Desember 2017
2. Sebagai Dewan Hakim Lomba Karya Tulis Ilmiah bagi Penghulu Tingkat Kabupaten Gunung Kidul, di Wonosari 2 Mei 2019
3. Sebagai instruktur dalam kegiatan sertifikasi Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH) yang diselenggarakan oleh Kantor Wilayah kementrian Agama Yogyakarta di Kaliurang-Yogyakarta, 9 Desember 2019
4. Sebagai instruktur dalam kegiatan sertifikasi Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH) yang diselenggarakan oleh Kantor Wilayah kementrian Agama Yogyakarta di Wisma Asrama Haji-Yogyakarta, 26 Januari 2020
5. Sebagai Juri dalam Olimpiade Agama, Sains, dan Riset pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam yang diselenggarakan oleh Kementrian Agama RI di UIN Syarif Hidayatulah Jakarta 16 Juni 2023
6. Sebagai Juri Pekan Olahraga Seni, dan Ilmiah se Jawa Madura (Porsi Jawara) pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam wilayah Jawa dan Madura yang diselenggarakan oleh Kementrian Agama RI di Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq (UIN KHAS) Jember, 17-25 Oktober 2023
G. PELATIHAN/WORKSHOP
1. Sebagai peserta dalam “Program Pelatihan Penguatan Moderasi Beragama pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam” yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Melalui pendanaan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) Kementerian Keuangan di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. 09-13 Desember 2022
2. Sebagai peserta “Pelatihan Dosen Pendamping Organisasi Mahasiswa” Angkatan I di Balai Diklat kementrian Agama, Ciputat 25-30 Juli 2023
3. Sebagai peserta Training Programme: Halal Scientist Program, di Inhart IIUM, Malaysia, 4-6 Desember 2023
4. Sebagai ketua tim delegasi dalam program “Scientific Meeting for future partnership between the University and the Company (Yangzhou, China, 26-30 July 2024)
H. ORGANISASI
Tahun |
Nama Organisasi |
Jabatan |
2011-2016 |
Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Yogyakarta |
A’wan Syuriyah |
2016-2021 |
Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Yogyakarta |
Wakil Katib Syuriyah |
2022-2027 |
Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Yogyakarta |
Wakil Katib Syuriyah |
2013-2018 |
Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama Wilayah Yogyakarta |
Bidang Advokasi |
2021-2026 |
Dewan Masjid Yogyakarta |
Majelis Pakar |
2022-2027 |
Pengurus Wilayah Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia, Daerah Istimewa Yogyakarta
|
Biro Organisasi, Kaderisasi dan Keanggotaan
|
2023-2026 |
Pengurus Wilayah Majelis Dai Kebangsaan Yogyakarta |
Bidang Pengkajian, Penelitian dan Pengembangan |
2024-2028 |
Pengurus Pusat Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-lmu Sosial di Indonesia (HIPIIS) |
Komisi Kajian Filsafat dan Agama |
[1] Christine Tamir Salazar Aidan Connaughton and Ariana Monique, “The Global God Divide,” Pew Research Center (blog), 20 Juli 2020, https://www.pewresearch.org/religion/2020/07/20/the-global-god-divide/.
[2] Despina Wilson, “World’s Most (And Least) Religious Countries, 2024,” CEOWORLD magazine, 7 April 2024, https://ceoworld.biz/2024/04/08/worlds-most-and-least-religious-countries-2024/.
[3] “Global Muslim Population,” diakses 10 Maret 2025, //timesprayer.com/en/muslim-population/.
[4] “Corruption Perceptions Index 2024,” Transparency International, 2024, https://www.transparency.org/en/cpi/2024.
[5] Berita Anak Surabaya, “Indonesia Tempati Posisi Pertama Judi Online Terbanyak di Dunia, Ini Sebabnya,” kumparan.com, Mei 2024, https://kumparan.com/beritaanaksurabaya/indonesia-tempati-posisi-pertama-judi-online-terbanyak-di-dunia-ini-sebabnya-22f64ON9J9q.
[6] GoodStats Data, “10 Negara dengan Indeks Kinerja Lingkungan Terbaik 2024,”, https://data.goodstats.id/statistic/10-negara-dengan-indeks-kinerja-lingkungan-terbaik-2024-K7me3.
[7] GoodStats, “Indeks Perdamaian dan Keamanan Wanita Global: Bagaimana Posisi Indonesia?,” https://goodstats.id/article/indeks-perdamaian-dan-keamanan-wanita-global-dimana-posisi-indonesia-4hTbL.
[8] Muhamad Wafa Ridwanulloh, “Indonesia dan Paradoks Negara Paling Religius,” Kompas.id, 22 Februari 2025, https://www.kompas.id/artikel/indonesia-dan-paradoks-negara-paling-religius.
[9] Kuntowijoyo Kuntowijoyo, “Agama dan Kohesi Sosial,” Humaniora, no. 9 (19 Juni 2013): 87–95, https://doi.org/10.22146/jh.2048.
[10] Kuntowijoyo.
[11] Muhammad ‘Ābid al-Jābirī, Takwīn al-‘Aql al-‘Arabī (Beirut: Markaz Dirāsāt al-Wiḥdah al-‘Arabiyyah, 1986).
[12] Fazlur Rahman juga mengkritik apa yang ia sebut sebagai “legalism without ethics”, yakni kecenderungan umat Islam menjadikan pelaksanaan fikih sebagai satu-satunya tolok ukur keislaman dan mengabaikan dimensi moral-transformasional dari wahyu. Baca: Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982).
[13] Wael B. Hallaq menjelaskan bahwa fikih bukanlah syari’ah itu sendiri, tetapi merupakan hasil penalaran manusia (ijtihad) terhadap sumber utama (Qur’an dan Sunnah) menggunakan perangkat ushul fikih seperti qiyas, istihsan dan istislah. Baca: Wael B. Hallaq, A History of Islamic Legal Theories: An Introduction to Sunni Usul al-Fiqh (Cambridge: Cambridge University Press, 1997).
[14] Wahbah al-Zuḥaylī, Uṣūl al-Fiqh al-Islāmī, 2 (Damaskus: Dār al-Fikr, 1986).
[15] Al-Imam Abu Ishaq Asy-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul as-Syari’ah, II (Beirut: Dar al-kutub al-Islamiyyah, 2003).
[16] Syed Farid Alatas, “Reflections on the idea of Islamic social science,” Comparative Civilizations Review 17, no. 17 (1987): 60–86, https://doi.org/10.2139/ssrn.2650608.
[17] Azyumardi Azra menyoroti stagnasi dalam metodologi pengajaran fikih di lembaga-lembaga Islam termasuk pesantren. Fikih seringkali diajarkan sebagai doktrin yang sudah selesai tanpa ruang untuk kritik atau kontekstualisasi. Baca: Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta: Logos, 1999).
[18] Fazlur Rahman secara tajam membedakan antara shariah (nilai-nilai ilahi) dan fiqh (interpretasi manusia). Ia mengkritik kecenderungan umat Islam menyamakan keduanya secara mutlak sehingga segala bentuk reinterpretasi dianggap bertentangan dengan agama. Baca: Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition.
[19] Fathorrahman Fathorrahman, Anis Masduqi, dan Arif Sugitanata, “The Scholarly Transformation of Nahdlatul Ulama: Fiqh of Civilization as a Step Towards Embracing the Future,” Al-Tahrir: Jurnal Pemikiran Islam 24, no. 1 (2024): 1–14, https://doi.org/10.21154/altahrir.v24i1.8536.
[20] Abū Ḥāmid Muḥammad ibn Muḥammad al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn (Beirut: Dār al-Ma’rifah, 1998).
[21] ‘Abd al-Raḥmān ibn Muḥammad Ibn Khaldūn, Al-Muqaddimah (Beirut: Dār al-Fikr, 2004).
[22] Ali Yafie, Fikih Sosial: Membangun Perspektif Hukum Islam yang Responsif terhadap Masalah Sosial (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1994).
[23] Sahal Mahfudz, Nuansa Fiqih Sosial (Yogyakarta: LKiS, 1994).
[24] Hassan Hanafi, al-Turāth wa al-Tajdīd: Mawqifunā min al-Turāth (Kairo: al-Tanwīr, 1980); Khaled Abou El-Fadl, Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority and Women (United Kingdom: Oneworld Publications, 2001); Abdullahi Ahmed An-Na’im, Toward an Islamic Reformation (New York: Syracuse University Press, 1990), https://doi.org/10.2307/j.ctvj7wn6k; Sa‘īd al-Asymawi, al-Islām al-Siyāsī (Kairo: al-Hay’ah al-Miṣriyyah li al-Kitāb, 1987).
[25] Wahbah al-Zuḥaylī, Uṣūl al-Fiqh al-Islāmī.
[26] Dalam kitab usulnya, al-Zuḥaylī juga menegaskan bahwa sumber hukum Islam pertama dan paling utama adalah al-Qur’an dan hadis yang disebut sebagai nushūṣ al-shar‘iyyah (teks-teks syar‘i). Baca: Wahbah al-Zuḥaylī.
[27] Dalam al-Mustaṣfā, al-Ghazālī meletakkan dasar bagi pendekatan maqāṣidī dan ta’līlī, yaitu penekanan pada hikmah dan tujuan di balik teks hukum bukan sekadar lafaz formal. Baca: Abū Ḥāmid Muḥammad ibn Muḥammad al-Ghazālī, al-Mustaṣfā min ‘Ilm al-Uṣūl; Sedangkan al-Shāṭibī secara eksplisit mengembangkan metodologi ta’līl al-aḥkām dan maqāṣid al-syarī‘ah, yaitu pendekatan yang menekankan makna (ma’nā) substantif dari hukum bukan hanya bentuk tekstualnya. Baca: Al-Imam Abu Ishaq Asy-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul as-Syari’ah.
[28] Taha Jabir al-‘Alwani juga mengkritik bahwa wāqi’ hanya dijadikan instrumen pelengkap bukan basis utama dalam merumuskan fatwa atau kebijakan hukum. Ia menyerukan agar realitas sosial dijadikan bagian inti dari epistemologi syariah. Baca: Taha Jabir al-‘Alwani, Towards a Fiqh for Minorities and Governance (Herndon: International Institute of Islamic Thought (IIIT), 2003).
[29] Pandangan tersebut diperkuat dalam pandangan Ebrahim Moosa yang menyatakan bahwa hukum Islam tidak cukup dipahami sebagai teks normatif tetapi harus dibaca dalam konteks kehidupan nyata yang kompleks. Ia menyerukan pendekatan interdisipliner dan reflektif terhadap hukum. Baca: Ebrahim Moosa, Ghazali and the Poetics of Imagination (Chapel Hill: University of North Carolina Press, 2005).
[30] Dalam pembahasan tentang ahliyyah (kelayakan hukum), al-Zuḥaylī menyebut bahwa mukallaf adalah orang yang memiliki kelayakan penuh (ahliyyah al-ādā’), yaitu seseorang yang telah baligh, berakal dan tidak mengalami gangguan yang menghalangi tanggung jawab hukum. Baca: Wahbah al-Zuḥaylī, Uṣūl al-Fiqh al-Islāmī.
[31] Al-Imam Abu Ishaq Asy-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul as-Syari’ah.
[32] Pandangan ini juga ditopang dalam pernyataan Kamaruzzaman Bustamam Ahmad yang menjelaskan bahwa ijtihad tidak cukup bila hanya bersandar pada nash dan akal. Harus ada pembacaan terhadap struktur sosial, relasi kuasa dan dinamika budaya umat. Baca: Kamaruzzaman Bustamam Ahmad, Fikih adalah Ilmu Sosial Islam. Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Ilmu Antropologi Agama (Banda Aceh: Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, 2024).
[33] Metode ijtihad kolektif yang digunakan NU dan Muhammadiyah telah berkembang dari pendekatan tekstual menjadi lebih multidisipliner, terbuka terhadap ilmu sosial dan mempertimbangkan dimensi sosiologis, politik dan ekonomi. Baca: Mukhammad Nur Hadi, “Metode Ijtihad Kolektif Progresif di Indonesia sebagai Media Proyeksi Nalar Kemanusiaan,” Ma’mal: Jurnal Laboratorium Syariah Dan Hukum 4, no. 2 (2023): 141–69, https://doi.org/10.15642/mal.v4i2.247.
[34] Istidlāl sosial dapat diartikan sebagai proses penggalian hukum (istinbāṭ) dalam fikih yang melibatkan realitas sosial sebagai sumber pertimbangan hukum selain dalil-dalil utama (Al-Qur'an, Sunnah, Ijma’, Qiyas).
[35] Mohammad Hashim Kamali menjelaskan bahwa istidlāl dalam usul fikih klasik berorientasi teks, artinya penarikan hukum dimulai dari nash dengan metode seperti qiyās, ijmā‘, istihsān. Konteks sosial belum diberi peran besar secara epistemologis. Baca: Mohammad Hashim Kamali, Principles of Islamic Jurisprudence (Cambridge: Islamic Texts Society, 1991).
[36] Tariq Ramadan, In the Footsteps of the Prophet: Lessons from the Life of Muhammad (Oxford: Oxford University Press, 2007).
[37] Wael B. Hallaq, The Origins and Evolution of Islamic Law (Cambridge: Cambridge University Press, 2005).
[38] Jasser Auda menyebut bahwa fikih klasik, meskipun kaya metodologi terlalu fokus pada struktur teks dan logika deduktif, namun mengabaikan kompleksitas dan dinamika realitas sosial modern. Baca: Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach (Herndon: International Institute of Islamic Thought (IIIT), 2008).
[39] Ali Yafie, Fikih Sosial: Membangun Perspektif Hukum Islam yang Responsif terhadap Masalah Sosial.
[40] Sahal Mahfudz, Nuansa Fiqih Sosial.
[41] Wael B. Hallaq menyatakan bahwa proyek hukum Islam modern tidak lepas dari warisan epistemik kolonial. Ia mengkritik bagaimana hukum Islam di “kodefikasi” seperti hukum Barat modern dan menyerukan pembacaan ulang yang berbasis kritik pascakolonial. Baca: Wael B. Hallaq, The Impossible State (New York: Columbia University Press, 2013), https://www.jstor.org/stable/10.7312/hall16256.
[42] Abdullahi Ahmed An-Na’im juga menyatakan bahwa wacana hukum Islam global kerap dikotomis: konservatif vs sekuler, padahal dibutuhkan pendekatan transformatif yang etis dan historis. Baca: Abdullahi Ahmed An-Na’im, Toward an Islamic Reformation.
[43] Sejalan dengan hal tersebut, Azyumardi Azra menyebut bahwa modernisasi PTKI harus diarahkan pada integrasi ilmu-ilmu keislaman dan ilmu modern agar tidak terjebak dalam dikotomi antara agama dan sains sosial. Ia juga menekankan perlunya pembaruan epistemologi dalam pendidikan Islam. Baca: Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru; Sedangkan Prof. Amin Abdullah sebagai tokoh utama yang mengusulkan pendekatan integratif-interkonektif di PTKI menekankan pentingnya merombak cara berpikir dikotomis dan membangun jembatan antara fikih (normatif) dan ilmu sosial (empirik). Baca: M Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif.
[44] Pandangan tersebut diperkuat oleh penjelasan Masdar F. Mas’udi yang menyebutkan bahwa banyak pengajaran fikih yang tidak mempersiapkan mahasiswa untuk memahami realitas umat karena hanya mengulang-ulang mazhab dan tidak diajak mengkritisi realitas sosial, secara spesifiknya menyebutkan bahwa “Fikih diajarkan seperti rumus, padahal ia adalah hasil dialektika antara teks dan realitas”. Baca: Masdar F. Mas’udi, Fiqh Sosial: Pandangan Islam tentang Transformasi Sosial (Bandung: Mizan, 1991).
[45] Buku ini menjadi rujukan komprehensif tentang sejarah, metode dan dinamika Bahtsul Masail NU. Ahmad Zahro menjelaskan bahwa sejak awal, Bahtsul Masail tidak hanya bersandar pada dalil-dalil fikih klasik, tapi juga melibatkan kajian sosial dan maslahah kontekstual. Baca: Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual NU: Lajnah Bahtsul Masail 1926–1999 (Yogyakarta: LKiS, 2004), 1926–1999.
[46] Disebutkan bahwa nas-nas, baik berupa al-Qur’an maupun as-Sunnah, meskipun banyak yang bersifat universal, namun turun dalam konteks tertentu dan untuk menyapa situasi tertentu. Oleh karena itu apabila konteks penerapannya di zaman sekarang telah berubah, maka pemahaman terhadapnya perlu dilakukan kontekstualisasi dengan memanfaatkan temuan berbagai ilmu terkait. “...” yang semuanya dilakukan dalam bingkai maqāṣid al-syarī’ah sebagai ruang makna. Kemudian ragam kausasi digunakan untuk memecahkan masalah yang tidak terdapat nas langsung mengenainya. Prosesnya dilakukan dengan cara menggali kausa, baik efisien maupun finalis (maqāṣid al-syarī’ah) yang dapat memberikan landasan bagi hukum kasus tersebut. Baca: Syamsul Anwar, Manhaj Tarjih Muhammadiyah (Yogyakarta: Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2018).
[47] Sebagai bukti dan penguat, termaktub juga dalam buku Syamsul Anwar yang menyebutkan bahwa di masa lalu perempuan tidak dibolehkan menjadi pemimpin karena hadis Abu Bakrah yang melarangnya, maka di zaman sekarang terjadi perubahan ijtihad hukum di mana perempuan boleh menjadi pemimpin sebagaimana ditegaskan dalam Putusan Tarjih tentang Adabul Mar’ah fil-Islam yang merupakan putusan Tarjih tahun 1976. Baca: Syamsul Anwar.
[48] Ali Sodiqin, ‘Teori Maudlui Nuzuli Sebagai Dasar Pengembangan Fikih Maqasidi’ Pidato Pengukuhan Guru Besar Pada UIN Sunan Kalijaga, Februari 2024, Dalam naskah ini, hukum Islam sebagai rekayasa sosial memperoleh penekanan yang sangat kuat.
[49] Gilles Kepel, Jihad: The Trail of Political Islam (Cambridge: Harvard University Press, 2002); Mawil Y Izzi Deen, “Islamic environmental ethics, law, and society,” dalam This Sacred Earth (Routledge, 2003), 158–67; Olivier Roy, Jihad and Death: The Global Appeal of Islamic State (Oxford: Oxford University Press, 2017).
[50] José Casanova menjelaskan bagaimana agama di era modern dapat mengalami “publikisasi” yang berujung pada proyek identitas eksklusif, terutama ketika agama dijadikan alat dalam politik identitas. Baca: José Casanova, Public Religions in the Modern World (Chicago: University of Chicago Press, 1994).
[51] Mas’udi menyebut bahwa fikih sejati adalah jawaban profetik terhadap realitas bukan sekadar sistem hukum. Ia berfungsi untuk menjamin hak-hak manusia, menyuarakan keadilan dan menggerakkan perubahan sosial. Baca: Masdar F. Mas’udi, Fiqh Sosial: Pandangan Islam tentang Transformasi Sosial.
Assalamualaikum wr.wb.
Yang kami hormati:
1. Ketua, Sekretaris, dan seluruh anggota Senat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
2. Rektor dan Para Wakil Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
3. Para Dekan dan Direktur Pascasarjana di Lingkungan UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta
4. Dekan, Para Wakil Dekan, dan Pimpinan Fakultas Syari’ah dan Hukum
5. Para Ketua Lembaga di Lingkungan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
6. Tamu undangan dan para hadirin yang berbahagia.
Sebagai penuntut ilmu (Thalibul ilmi) yang rindu barokah, saya mengajak diri pribadi dan kita agar selalu mensyukuri atas karunia dan inayah yang Allah berikan. Berkat karunia tersebut, kita bisa menghadiri Sidang Senat Terbuka UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, tempat dimana kami mengekspresikan tahadduts bin ni’mah. Shalawat dan salam yang kita baca dalam keseharian dan berbagai momen, semoga tercurah kepada Nabi Muhamad Saw, sosok manusia biasa yang dibimbing Wahyu Allah dan figur pemimpin berkarakter yang menjadi sumber keteladanan bagi kita dalam menjalankan kemaslahatan dan menebarkan kebaikan serta kearifan.
Dalam rangka pengukuhan guru besar bidang Ilmu Sosiologi Hukum Islam pada Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, izinkan kami menyampaikan gagasan dan pemikiran tentang “Pengembangan Fiqh Sebagai Analisis Sosial”
Pendahuluan
Indonesia dalam dua dekade terakhir dapat dinyatakan sebagai negara paling religius di dunia. Berbagai survei global mengafirmasi raihan ini, termasuk Pew Research Center dalam laporannya The Global God Divide menunjukkan bahwa 96% masyarakat Indonesia menyatakan agama memiliki peran sentral dalam kehidupan mereka.[1] Survei CEOWORLD Magazine menempatkan Indonesia di peringkat pertama negara paling religius dari 820.000 responden di berbagai belahan dunia.[2] Kemudian Timesprayer melaporkan bahwa populasi Muslim Indonesia telah mencapai 244,7 juta jiwa.[3] Sekian data kuantitatif tersebut pada satu sisi memperlihatkan kebanggaan religius yang luar biasa. Namun sisi lain mengandung pertanyaan mendalam, apakah religiusitas formal tersebut berdampak pada moralitas publik dan etika sosial umat Islam di negeri ini?
Bila kita menilik berbagai hasil indeks lain tampaknya ada berbagai fakta yang bertentangan dengan kesan religiusitas tersebut. Transparency International secara konsisten mencatat rendahnya indeks persepsi korupsi Indonesia.[4] Di saat yang sama, indeks keberadaban digital Indonesia menempati salah satu posisi terburuk di dunia dan Indonesia dinobatkan sebagai negara dengan jumlah pemain judi online terbanyak secara global.[5] Demikian pula indeks Kinerja Lingkungan yang tidak memasukkan Indonesia dalam deretan Negara terbersih di dunia.[6] Tak terkecuali Indeks Perdamaian dan Keamanan Wanita Global di tahun 2024 hanya menempatkan Indonesia dalam urutan 84 sebagai Negara Teraman dari 177 Negara di dunia.[7] Di luar temuan beberapa indeks tersebut, ada berbagai penilaian minor lain yang menunjukkan kesenjangan antara keberagamaan yang seharusnya dengan yang senyatanya. Bahkan di balik gemerlapnya simbol dan ritus keagamaan, tampak bahwa nilai-nilai etis yang mestinya menjadi fondasi keberagamaan justru mengalami degradasi.[8]
Dari kecenderungan degradasi ini memunculkan sekian pertanyaan mendasar. Mengapa ritual ibadah yang dilakukan tiap waktu kurang berpengaruh terhadap perilaku baik (amal shaleh) di ruang publik? Mengapa indikator utama keberagamaan yang diukur dari aktivitas ibadah shalat kurang berdampak pada pencegahan kekejian material (fahsyā) dan kekejian sosial (munkar)? Mengapa berbagai aktivitas ibadah mahdlah lainnya, seperti puasa dan haji kurang berfungsi sebagai prevensi in optima forma dari berbagai jenis dan tingkat kejahatan, terutama yang bercorak dosa besar (minal kabair)? Mengapa amar ma’ruf yang turut melapisi pesan moral utama dan spirit ibadah kurang berjalan beriringan dengan kesadaran religiusitas setiap pribadi atau kelompok muslim di Indonesia? Dan mengapa beragam kesalehan individual tersebut hanya berhenti pada kepatuhan simbolik tanpa mampu membentuk kesalehan profesional, kesalehan konstitusional, kesalehan sosial dan tanggung jawab kemanusiaan lainnya?
Sekian pertanyaan tersebut memantik berbagai kegelisahan kita di tengah maraknya berbagai penilaian lain yang justru menampakkan sisi paradoksal dengan hasil riset beberapa lembaga yang telah disebutkan sebelumnya. Kondisi ini juga memperlihatkan apa yang oleh Kuntowijoyo sebut sebagai “mistifikasi kesadaran”, yakni suatu bentuk keberagamaan yang mengalami dislokasi antara makna batin dengan praksis sosial.[9] Agama dipeluk sebagai pengalaman dan kesalehan personal, namun terputus dari dimensi sosial, ekonomi-politik dan budaya yang membentuk struktur kehidupan bersama. Shalat tidak lagi mencegah dari kekejian (fahsyā) dan kemungkaran, puasa belum mampu menahan nafsu kekuasaan, haji tidak melahirkan solidaritas sosial global umat.[10]
Realitas ini meniscayakan satu hal tentang perlu adanya demistifikasi kesadaran keberagamaan dan upaya serius untuk menghubungkan ulang antara nash dan waqi’, antara wahyu dan realitas. Di antara instrumen demistifikasi yang perlu dilakukan dan dibenahi adalah fikih. Sebab fikih sebagaimana disebut oleh Abid Al Jabiri adalah primadona dalam studi Islam, di mana dari fikih muncul peta hukum yang mengatur seluruh aktivitas kehidupan umat, mulai dari urusan ibadah hingga relasi sosial dari transaksi bisnis hingga tata kelola politik.[11] Bahkan fikih dapat disebut sebagai ukuran keabsahan keislaman seseorang dalam kehidupan sehari-hari.
Namun demikian, dari keistimewaan fikih tersebut terdapat tantangan besar, yaitu ketika fikih direduksi menjadi sekadar kumpulan norma legal, ia kehilangan potensinya sebagai sistem pengetahuan yang mampu membaca dan merespons realitas sosial.[12] Padahal secara konseptual, fikih adalah derivasi epistemologis dari syari’ah yang berakar pada al-Qur’an dan Sunnah serta dihidupkan melalui perangkat ijtihad, qiyas, istihsan, istishlah dan metode ushuliyah lainnya.[13] Dalam definisi klasik, fikih disebut sebagai “ma’rifat al-ahkām al-syar’iyyah al-‘amaliyyah al-muktasabah min adillatiha al-tafshīliyyah”, yakni pengetahuan atas hukum-hukum syar’i praktis yang digali dari dalil-dalil terperinci.[14]
Definisi ini menegaskan bahwa fikih sejatinya adalah hasil dialektika antara teks dan kenyataan, antara wahyu dan akal, antara normativitas dan kontekstualitas. Akan tetapi, dalam perkembangan sejarahnya, fikih mengalami penyempitan fungsi, mulai dari perangkat transformasi sosial menjadi sekadar disiplin legalistik, dari kerangka etik dan politik Islam menjadi kitab hukum yang mengatur sah dan batal, halal dan haram tanpa menyentuh struktur ketimpangan sosial yang terus berubah dan berkembang. Dampaknya, ketika penggalian makna fikih hanya terpaku pada dimensi formalisme hukum dan tidak menjangkau aspek sosial, maka yang terjadi bukanlah perkembangan fikih melainkan stagnasi epistemologis.
Urgensi Fiqih sebagai Analisis Sosial
Fikih sejatinya adalah instrumen kehidupan. Ia lahir dari interaksi antara teks ilahiyah dengan realitas manusiawi. Oleh karena itu, ketika realitas berubah, maka fikih pun seharusnya turut berubah. Perubahan ini bukan dalam artian merombak wahyu maupun nash lainnya. Akan tetapi bagaimana cara membacanya, merumuskannya dan menerapkannya dalam kehidupan kita yang sarat akan tantangan zaman dan perubahan sosial. Al-Syāṭibī dalam al-Muwāfaqāt telah meletakkan fondasi maqāṣid al-syarī’ah yang bertumpu pada lima tujuan utama, yaitu menjaga agama, jiwa, akal, harta dan keturunan.[15] Kelima maqāṣid ini, jika dibaca dalam konteks sosial hari ini, mengharuskan kita untuk menjadikan fikih sebagai perangkat untuk merespons penyimpangan kekuasaan, pembangkangan konstitusi, ketimpangan kultural, penindasan struktural, eksklusi sosial dan pelanggaran kemanusiaan. Maka tidak cukup lagi menjadikan fikih sebagai ilmu “penentu halal dan haram,” melainkan perlu dinaikkan martabatnya sebagai ilmu sosial Islam yang membaca realitas umat dan memberi solusi atas problem-problemnya.[16]
Sayangnya, di lembaga keagamaan kita, terutama pesantren dan institusi pendidikan Islam, fikih masih didudukkan sebagai “kitab hukum” yang beku dan bersifat tetap (tsabit).[17] Bahkan dalam beberapa forum, ada kecenderungan menyamakan fikih dengan syariah secara mutlak sehingga segala bentuk ijtihad baru dianggap sebagai penyimpangan.[18] Menjadi wajar bila fikih kehilangan daya adaptasi sosialnya dan umat kehilangan perangkat intelektualnya untuk menafsir ulang kehidupan. Tak ayal pula bila KH Yahya Cholil Staquf, selaku ketua umum PBNU pernah menyampaikan kritik keras dengan menyebut fikih yang diajarkan di pesantren sebagai produk sejarah yang “baku” dan tidak mampu menjawab persoalan umat kontemporer. Kritik ini mengemuka dalam momentum Halaqah Fikih Peradaban yang diinisiasi oleh PBNU dan menjadi gerakan pembaruan epistemologis untuk membuka kembali ruang ijtihad sosial dalam dunia keulamaan.[19]
Menanggapi kegelisahan ini, saya meyakini bahwa saatnya kita mengembangkan pendekatan baru yang saya sebut “Fikih sebagai Analisis Sosial” (FAS). Pendekatan ini bukan semata upaya akademik, tetapi juga panggilan intelektual untuk menghubungkan kembali fikih dengan kehidupan umat manusia. Dalam konsep ini, fikih tidak lagi dibaca sebagai sekadar aturan legal-formal, tetapi sebagai alat untuk membaca, memahami dan mengintervensi realitas sosial. Dengan kata lain, fikih perlu diperlakukan sebagai alat analisis sosial Islam yang mampu menelusuri struktur ketimpangan, penyimpangan kekuasaan dan jabatan, praktik ketidakadilan serta fenomena dehumanisasi yang kian marak terjadi di masyarakat.
Gagasan ini tidak lahir dalam ruang hampa. Ia berakar dari pemikiran tokoh-tokoh besar dalam tradisi Islam dan modernitas. Kita mengenal Imam Al Ghazali yang meletakkan kritik sosial dalam kerangka ishlah al-ummah,[20] Ibn Khaldun dengan‘ilm al-‘umran yang menjadikan realitas sebagai pusat perhatian,[21] KH Ali Yafie dengan gagasan fikih sosialnya,[22] KH Sahal Mahfudz yang mengembangkan fikih kontekstual berbasis budaya lokal.[23] Di ranah pemikiran Islam global, tokoh seperti Hassan Hanafi, Khaled Abou El-Fadl, Abdullah an-Na’im dan Sa’id al-Asymawi telah menampilkan wajah fikih yang humanis, pluralistik dan berorientasi pada keadilan substantif.[24] Demikian pula di ranah pemikiran Islam Nasional yang berperan penting mendiseminasikan gagasan fikih yang selaras dengan karakter keindonesiaan dengan memadukan khazanah keislaman dan kearifan lokal. Maka, pendekatan FAS yang saya tawarkan bukanlah antitesis dari fikih klasik, melainkan perluasan medan epistemologis yang memungkinkan kita untuk membawa fikih dari ruang sempit hukum ke cakrawala sosial yang lebih luas.
Pada titik ini, penting juga untuk menegaskan bahwa pendekatan ini tidak dimaksudkan untuk mengabaikan perangkat ushuliyah klasik. Justru sebaliknya, FAS menghidupkan kembali perangkat-perangkat itu dalam medan sosial. Sebagaimana konsep qiyas memiliki unsur al-aṣl, al-far’, al-ḥukm dan al-‘illah, maslaḥah memiliki pembagian mu‘tabarah, mulghāh dan mursalah serta ‘urf dibaca dalam kategori qawli dan‘amali,[25] maka FAS pun perlu dirumuskan dengan variabel-variabel epistemologis yang dapat dioperasikan, yaitu teks (nash), realitas (waqi’), pelaku (mukallaf), maqāṣid (tujuan) dan alat bacaan (ijtihad sosial). Variabel-variabel inilah yang menjadi dasar untuk membangun kerangka epistemologis baru.
Kelima variabel ini tidak bersifat hierarkis melainkan membentuk jaringan epistemik yang lentur dan saling menguatkan antar satu dengan lainnya. Variabel pertama adalah nash (teks) sebagai sumber normatif utama dalam hukum Islam. Nash dalam hal ini mencakup al-Qur’an dan hadis yang selama ini menjadi rujukan utama dalam ijtihad.[26] Namun dalam FAS nash tidak dibaca secara literal-formal melainkan melalui pendekatan ta’wil sosial atau hermeneutika sosial (dalam bahasa Prof Yudian Wahyudi), yaitu penafsiran yang mempertimbangkan konteks sosial, semantik historis dan tujuan etis dari wahyu. Dalam sejarahnya, ulama telah menerapkan pendekatan ini, termasuk Imam Al Ghazali dan Imam Al-Syatibi yang menekankan pentingnya ma’na (makna) di balik lafaz atau ma’na cum maghza (dalam bahasa Prof Sahiron Syamsudin).[27] Dalam FAS, pembacaan nash diarahkan untuk menjawab pertanyaan sosial tentang bagaimana ayat ini berdampak pada distribusi keadilan? Apakah hadis ini merefleksikan prinsip perlindungan terhadap yang rentan? Apa dampak sosial jika hukum ini diterapkan secara literal dalam konteks yang berbeda? Maka teks tidak dipahami sebagai entitas tertutup, tetapi sebagai titik masuk untuk membaca dunia dengan lensa ilahiyah dan kesadaran profetik.
Variabel kedua adalah waqi’ (realitas sosial) yang dalam tradisi klasik seringkali ditempatkan secara marginal atau hanya sebagai pelengkap fiqh al-waqi’.[28] Dalam FAS, realitas sosial justru menjadi bahan utama dalam konstruksi hukum. Ia bukan sekadar data tetapi medan tafsir dan rekontekstualisasi (dalam bahasa Prof. Munawar Syadzali). Realitas yang dimaksud di sini bukan hanya kondisi sosial-ekonomi umat tetapi juga struktur politik, relasi gender, distribusi kuasa, konflik identitas dan pola budaya yang membentuk perilaku kolektif (dalam bahasa Prof. Noorhaidi Hasan). Oleh karena itu ijtihad dalam FAS harus dimulai dari pembacaan realitas secara sosiologis bukan sekadar identifikasi kasus. Realitas dipahami sebagai sesuatu yang hidup, kompleks dan saling berkaitan sehingga memerlukan pendekatan multidisipliner dari sosiologi, antropologi, ekonomi politik hingga psikologi sosial. Hal ini menandakan bahwa masalah umat tidak terletak pada kekosongan hukum, tetapi pada ketidakmampuan hukum untuk membaca akar masalah sosial.[29] Di sinilah realitas menjadi penting, di mana ia memaksa fikih untuk melihat lebih dalam, lebih luas dan lebih kritis.
Variabel ketiga adalah mukallaf (subjek hukum). Dalam fikih klasik, mukallaf dipahami sebagai individu yang telah baligh dan berakal yang menjadi objek perintah dan larangan syariat.[30] Namun dalam FAS, mukallaf dibaca sebagai konstruksi sosial dan entitas sosial. Ia tidak hidup dalam ruang kosong melainkan dalam jaringan relasi sosial yang membentuk kesadarannya, pilihannya dan aksesnya terhadap hukum. Semisal, “Seorang guru atau dosen yang menjalankan Tri Darmanya di sebuah daerah terpencil yang menghadapi berbagai “kekerasan struktural” dari pemerintah maupun atasannya berupa minimnya reward dan perhatian lainnya, tentu mempunyai posisi sebagai mukallaf yang berbeda dengan para guru dan dosen di kota-kota besar yang mempunyai akses pada penguatan kebijakan maupun perlindungan hukum”. Pada titik ini, pendekatan FAS terhadap mukallaf mengintegrasikan perspektif interseksional, di mana status subjek hukum harus dilihat dari relasi kekuasaan yang melingkupinya. Ini sekaligus membuka ruang bagi pendekatan fikih yang lebih etis dan empatik, tidak hanya normatif dan homogen.
Variabel keempat adalah maqāshid (tujuan normatif). Dalam ushul fikih klasik, maqāshid al-syari’ah dikenal sebagai upaya untuk menjaga lima hal mendasar, yaitu agama (din), jiwa (nafs), akal (‘aql), keturunan (nasl) dan harta (mal).[31] Namun dalam FAS, maqāshid tidak hanya dijadikan tujuan akhir tetapi juga kriteria evaluasi sosial terhadap hukum. Sebuah hukum tidak cukup sah secara formal jika tidak memenuhi maqāshid-nya secara sosial.
Misalnya hukum tentang waris yang diambil secara literal (2 banding 1) tanpa memperhitungkan transformasi ekonomi dan peran perempuan bisa saja legal tetapi tidak maslahat secara sosial. Hukum tentang perkawinan yang dilakukan secara sirri atau di bawah umur tanpa mengacu pada peraturan negara tetap legal namun ia berlawanan dengan kemaslahatan sosial. Hukuman kepada koruptor yang diberikan hakim sesuai dengan aturan yang ada tanpa harus mengupayakan langkah lain seperti pemberlakuan biaya sosial seperti yang diinisiasi oleh KPK maupun perampasan aset tetap sah secara hukum, namun ia bertentangan dengan spirit sosial pemberantasan korupsi.
Berangkat dari beberapa tamsil tersebut, maka maqāshid menjadi alat untuk menguji apakah hukum yang dihasilkan benar-benar melindungi yang lemah, menciptakan keadilan distributif dan mendorong emansipasi sosial. Dan pada titik ini pula, maqāshid sebagai salah satu instrumen demistifikasi dalam fikih harus direkonstruksi secara sosial-politik bukan hanya legal-formal.
Variabel kelima adalah ijtihad reflektif-interdisipliner (alat bacaan). Ijtihad dalam FAS bukanlah semata proses istinbat (penarikan hukum) dari teks melainkan proses pembacaan kritis terhadap realitas sosial dengan menggunakan perspektif normatif Islam. Ijtihad dalam FAS bersifat reflektif karena ia tidak langsung menghasilkan hukum tetapi melakukan dialog antara teks, konteks dan nilai. Ia juga bersifat interdisipliner karena menggabungkan perangkat keilmuan dari berbagai bidang untuk memahami masalah secara utuh. Ijtihad dalam FAS lebih dekat pada pendekatan deliberatif, partisipatoris dan transformatif,[32] mirip dengan metode usul al-ijtima’ yang digunakan oleh Lembaga Bahtsul Masail di NU atau Majelis Tarjih di Muhammadiyah namun dengan penekanan lebih kuat pada struktur sosial dan relasi kuasa.[33]
Jika kelima variabel ini dihubungkan secara sistemik, maka FAS bekerja sebagai sistem istidlal sosial.[34] Berbeda dari istidlal klasik yang dimulai dari teks,[35] FAS bekerja dari bawah ke atas (bottom-up). Ia dimulai dari realitas, dipetakan dengan perangkat ilmu sosial, diuji secara etis melalui maqāshid lalu dibaca ulang dalam cahaya nash dan akhirnya menghasilkan hukum atau kebijakan yang kontekstual dan transformatif. Proses ini tidak hanya mendorong hukum yang responsif tetapi juga mendorong umat untuk berpikir kritis, sadar struktur dan aktif dalam perubahan sosial.
Sebagai tawaran epistemologis dan metodologis, FAS menyediakan kerangka kerja yang dapat digunakan dalam pendidikan, fatwa, penelitian hingga advokasi kebijakan publik. Di lingkungan perguruan tinggi keagamaan Islam (PTKI), FAS bisa dijadikan pendekatan dalam pengajaran fikih yang integratif yang tidak hanya mempelajari hukum tetapi juga melatih sensitivitas sosial. Di lembaga fatwa, FAS bisa digunakan untuk memperkuat proses ijtihad kolektif yang partisipatif dan berbasis data. Dalam advokasi, FAS bisa menjadi dasar untuk memperjuangkan regulasi yang melindungi kelompok rentan karena ia berangkat dari realitas dan dibimbing oleh nilai maqāshid. Dengan demikian, FAS bukan hanya kerangka teoritis, tetapi juga alat operasional dalam membangun masyarakat yang adil, inklusif dan beradab.
Positioning Gagasan FAS
Dalam semangat ini, saya mengusulkan satu skema besar transformasi pemikiran fikih yang mencakup tiga tahap: Fikih Klasik → Fikih Sosial → Fikih Analitis. Skema ini tidak hanya bersifat taksonomis-kronologis tetapi juga menunjukkan kedalaman orientasi berpikir dialektis yang terus berkembang, mulai dari legalistik ke etis, dari partikular ke struktural dan dari responsif ke transformatif.
Tahap pertama adalah Fikih Klasik, yaitu fikih yang berkembang sejak masa tabi’in hingga era madzhab yang mengandalkan sistematika istinbāṭ yang rigid, hierarkis dan berbasis pada struktur teks. Fikih dalam fase ini berkembang dalam situasi sosial-politik yang khas: pasca wafatnya Nabi, ketika otoritas keagamaan mulai terlembagakan dan umat Islam menyebar ke berbagai wilayah dengan tantangan budaya dan hukum yang beragam.[36]
Untuk mengatasi kompleksitas itu, para ulama menyusun metode hukum seperti qiyās, istihsān, ijmā’ dan seterusnya.[37] Dalam hal ini, keunggulan fikih klasik adalah pada kedisiplinan metodologis dan keluasan literatur. Namun kekurangannya adalah, terutama di tangan pengikut dan pembacanya, sering kali abai pada dimensi sosial yang aktual dan konkret. Bahkan dalam corak ini, fikih terkesan dikembangkan dengan pola agresif agar setiap orang mau mematuhi terhadap perintah agama yang disampaikan dengan apa adanya. Dampaknya, fikih seringkali disikapi dan diposisikan sebagai sistem hukum yang memisahkan dirinya dari sejarah. Padahal sebagai ilmu yang berasal dari dinamika teks dan konteks, fikih seharusnya tidak kehilangan akar sosiologisnya.[38]
Tahap kedua adalah Fikih Sosial yang dalam sejarah Indonesia mengalami momentum penting pada akhir abad ke-20, terutama dalam 4 dasa warsa sebelum ini. Di tangan para ulama dan cendekiawan seperti KH. Ali Yafie dan KH. Sahal Mahfudz, fikih dibawa keluar dari ruang pengajian dan diturunkan ke tengah masyarakat. Fikih dibaca tidak hanya dari sisi formal tetapi juga dilihat dalam hubungannya dengan kemaslahatan publik. KH. Ali Yafie, misalnya, dalam berbagai karyanya menunjukkan bagaimana ijtihad fikih bisa menjadi alat untuk memperjuangkan hak-hak rakyat kecil, petani dan nelayan.[39] Selain itu fikih sosial yang dikembangkan KH. Ali Yafie menjadi diplomasi struktural terhadap pemerintah agar setiap kebijakan yang diambil harus mengacu pada asas kemaslahatan masyarakat. Sementara KH. Sahal Mahfudz menekankan bahwa fikih harus disusun dengan sensitivitas terhadap realitas sosial dan kultural umat sehingga ia bisa benar-benar menjawab problem umat bukan hanya mempertahankan struktur lama.[40] Di tangan beliau pula, Fikih sosial menjadi diplomasi kultural terhadap masyarakat agar perilakunya tidak bertentangan dengan asas kemanfaatan antar sesama.
Pendekatan ini disebut sebagai fikih sosial, yakni fikih yang menggunakan maslahah sebagai titik berangkat dan mengintegrasikan nilai-nilai keadilan sosial dalam konstruksi hukum. Namun pendekatan ini masih lebih menekankan pada pola reaktif terhadap masalah-masalah aktual dan belum sampai pada pembentukan paradigma analisis sosial yang sistematis dan berjangka panjang.
Tahap Ketiga Fikih sebagai Analisis Sosial hadir sebagai tahapan berikutnya dalam transformasi keilmuan fikih. Ia tidak sekadar menjawab masalah sosial, tetapi membongkar struktur sosial itu sendiri. Ia tidak hanya merespons kasus, tetapi membaca pola ketimpangan, logika kuasa dan struktur ideologis yang melingkupi hukum. FAS mengandaikan adanya fikih yang dibangun bukan hanya berdasarkan nash dan maqāshid, tetapi juga pada analisis sosiologis yang mendalam sehingga produk ijtihad tidak hanya sah secara syar’i, tetapi juga bermakna secara sosial. Dengan kata lain, FAS adalah tahap rekonstruksi epistemik, di mana fikih menjadi kerangka kerja kritis untuk membaca masyarakat bukan sekadar sistem legal-formal. Di tahap inilah, fikih tidak lagi diposisikan sebagai pelayan struktur yang ada, tetapi menjadi alat emansipasi dan rekayasa sosial.
Skema ini—dari fikih klasik ke fikih sosial, lalu ke fikih analitis—bisa digambarkan dalam sebuah genealogi konseptual yang menunjukkan bagaimana dinamika sejarah, konteks sosial dan kesadaran intelektual ikut membentuk cara umat Islam memahami dan mempraktikkan fikih. Genealogi ini tidak linier, tetapi dialektik. Ia menunjukkan bagaimana setiap tahap membawa serta warisan sebelumnya sekaligus melakukan kritik dan pergeseran. Dalam skema tersebut, FAS berdiri bukan sebagai pemutus tradisi, tetapi sebagai momentum kontinuitas-kritis, yakni meneruskan semangat hukum Islam dengan pendekatan yang lebih terbuka terhadap data dan kompleksitas sosial.
Di samping itu, konsep FAS bukan sekadar jargon akademik, tetapi ikhtiar untuk membangun jembatan antara warisan keilmuan Islam dan kebutuhan umat kontemporer. Ia adalah usaha untuk mengembangkan pendekatan baru yang menjadikan fikih sebagai instrumen untuk membaca dan mengintervensi realitas sosial. Ia tidak menafikan tradisi klasik, tetapi justru memperkaya dan merelevansikannya. Dalam kerangka ini, FAS adalah titik awal penting: sebuah bentuk dekonstruksi yang membuka jalan menuju rekonstruksi. Sebuah cara untuk mentransformasikan fikih dari legal corpus menjadi moral project, dari ilmu untuk memutuskan menjadi ilmu untuk membebaskan.
Lebih dari itu, posisi FAS sebagai paradigma keilmuan juga terbuka untuk dikembangkan dalam konteks akademik global. Di tengah meningkatnya perhatian terhadap Islam dalam studi-studi pascakolonial, sosiologi agama dan kajian hukum kritis,[41] FAS bisa menjadi kontribusi konseptual dari Indonesia untuk dunia Islam. Dalam kegiatan konferensi internasional, isu tentang hukum Islam kerap dibatasi pada dua kutub, yaitu konservatif-normatif dan liberal-sekuler.[42] Padahal, ada jalan ketiga yaitu jalan sosial-kritis berbasis maqāshid dan kesadaran struktural. FAS bisa menjadi bahasa alternatif yang menjembatani gap ini dengan tetap berpijak pada tradisi Islam tetapi terbuka pada dialog dengan ilmu sosial modern. Di sinilah pentingnya menegaskan istilah “Fiqh as Social Analysis” dalam forum internasional dan “al-Fiqh ka-Taḥlīl Ijtimā’ī” dalam literatur Arab kontemporer. Formulasi ini tidak hanya memperluas cakupan diskursus, tetapi juga memperkuat posisi epistemik Indonesia dalam arus besar keilmuan Islam.
Posisi FAS ke depan juga melibatkan strategi jangka panjang dalam bentuk penguatan kurikulum, publikasi dan kolaborasi lintas institusi. Kurikulum di PTKI perlu menempatkan FAS sebagai pendekatan dalam pembelajaran fikih dan ushul fikih, sementara jurnal-jurnal keislaman dapat membuka ruang untuk riset-riset sosial-fikih berbasis data dan pengalaman empirik. Kolaborasi dengan NGO, pesantren dan pusat studi lintas agama juga dapat menjadi wahana untuk menguji ketangguhan FAS dalam praktik nyata. Dengan demikian, FAS tidak hanya hidup dalam teks, tetapi juga dalam gerak sosial. Ia menjadi kerangka kerja dalam penyusunan fatwa, penyuluhan hukum Islam, mediasi konflik hingga reformasi kebijakan publik yang sensitif terhadap nilai-nilai keadilan sosial Islam.
Urgensi Ruang Percakapan FAS
Namun demikian, landasan berfikir metodologis yang ditawarkan dalam FAS tidak akan memiliki daya hidup apabila ia hanya berhenti pada tataran konseptual dan epistemologis. Oleh karena itu, FAS membutuhkan ruang percakapan secara sistemik melalui institusi-institusi utama umat Islam terutama Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) serta organisasi keagamaan besar seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah maupun organisasi lainnya yang melalui forum-forumnya telah lama meletakkan fondasi penting bagi berkembangnya fikih sosial-kritis.
Sebagai institusi yang didesain khusus untuk mengembangkan ilmu-ilmu keislaman, PTKI (baik negeri maupun swasta) memiliki posisi strategis dan tanggung jawab besar dalam mewujudkan integrasi antara fikih dan ilmu sosial.[43] Dalam sejarahnya, PTKI telah melahirkan banyak pemikir yang berkontribusi dalam transformasi cara pandang keislaman di Indonesia. Pemikiran Fikih Indonesia ala Prof. Hashbi Ashiddiqi dan dikembangkan lebih masif oleh Prof Yudian Wahyudi, Prof. Agus Moh Najib, integrasi-interkoneksi ala Amin Abdullah dan dikembangkan oleh beberapa penggiatnya di UIN Sunan, hingga yang terkini Tafsir Maqashidi ala Prof. Abdul Mustaqim, teori Maudhu’i Nuzuli sebagai Dasar Pengembangan Fikih Maqasidi ala Prof Ali Sodiqin, semuanya lahir dan tumbuh dari medan PTKI. Gagasan-gagasan tersebut menunjukkan bahwa PTKI tidak hanya mengajarkan agama tetapi juga menciptakan tafsir baru atasnya.
Namun potensi ini belum sepenuhnya dikapitalisasi untuk membentuk model kurikulum dan riset yang benar-benar mampu mengarusutamakan FAS. Masih banyak pengajaran fikih di kampus-kampus Islam yang berorientasi pada hafalan madzhab tanpa membuka ruang kritik dan konteks.[44] Padahal dalam konteks masyarakat yang kompleks dan berubah cepat, kemampuan membaca realitas sosial, memahami struktur serta menavigasi peran teks dalam perubahan sosial adalah kompetensi yang mendesak. Oleh karena itu PTKI perlu memperkuat kurikulum fikih dengan pendekatan analisis sosial interdisipliner, memperluas kemitraan dengan komunitas masyarakat sipil dan mengembangkan riset-riset hukum Islam berbasis data empiris.
Di samping itu, ruang produksi pengetahuan dalam masyarakat juga telah lama hadir di luar perguruan tinggi formal. Dua model penting yang perlu dikaji sebagai sumber inspirasi operasionalisasi FAS adalah Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBM NU) dan Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah. Keduanya adalah forum otoritatif di dalam ormas Islam di Indonesia yang berfungsi sebagai penghasil keputusan-keputusan keagamaan.
Di lingkungan NU, LBM memainkan peran penting dalam menghidupkan tradisi ijtihad kolektif yang berbasis pada musyawarah dan pembacaan realitas. Forum Bahtsul Masail tidak sekadar membahas fatwa tetapi juga mengundang berbagai sudut pandang termasuk dari ahli sosial, ekonomi dan hukum positif untuk mengkaji satu isu dari berbagai arah.[45] Proses ini mencerminkan karakter FAS, di mana hukum harus dihasilkan dari dialog antara teks dan realitas serta antara dalil dan data.
Di pihak lain, Majelis Tarjih Muhammadiyah juga telah lama menjadi teladan dalam mengembangkan metodologi istinbāṭ yang kontekstual dan rasional. Dengan kerangka manhaj tarjih yang menekankan pada ta’lil (rasionalisasi hukum), kemaslahatan dan maqāshid, Majelis Tarjih mampu mengakomodasi perubahan zaman tanpa kehilangan akar normatifnya.[46] Salah satu kekuatan Majelis Tarjih adalah keberaniannya untuk mengeluarkan pandangan-pandangan keagamaan progresif yang berpihak pada perempuan, lingkungan, hak asasi dan isu-isu kebangsaan dengan tetap menggunakan kerangka hukum Islam.[47] Ini adalah bukti bahwa fikih tidak harus konservatif dan bahwa hukum Islam bisa bersifat emansipatoris jika dibaca melalui pendekatan yang sosial-kritis.
Baik LBM NU maupun Majelis Tarjih Muhammadiyah menunjukkan bahwa produksi hukum Islam tidak bisa dilepaskan dari realitas sosial dan bahwa forum kolektif yang terbuka terhadap ilmu-ilmu lain mampu menghasilkan pandangan yang tidak hanya legal tetapi juga etis dan sosial. Dalam konteks inilah, FAS dapat dikembangkan sebagai semacam “meta-metodologi” yang menaungi pendekatan-pendekatan ini, menyatukan mereka dalam satu kerangka besar, di mana hukum Islam bukan sekadar alat kontrol sosial tetapi harus menjadi alat rekayasa sosial (tool of social engineering) yang mampu membentuk masyarakat yang adil, setara dan beradab.[48]
Maka, pengembangan FAS di PTKI dan ormas-ormas Islam tidak bisa dilepaskan dari proyek pendidikan umat secara luas. Diperlukan integrasi antara ilmu agama dan ilmu sosial secara praksis. Ini artinya, pengajaran fikih tidak bisa lagi steril dari diskursus keadilan hukum, kesetaraan gender, ketimpangan ekonomi, pluralisme, hak sipil, sensitivitas sains dan literasi digital. Demikian pula sebaliknya, ilmu sosial yang diajarkan kepada umat Muslim tidak boleh tercerabut dari nilai-nilai etik dan spiritual Islam. Integrasi ini bukan sekadar pencampuran kurikulum tetapi penciptaan cara berpikir baru yang menyatukan etika Islam dengan analisis sosial. Dalam konteks inilah, para dosen, peneliti dan pengambil kebijakan di lingkungan PTKI serta ormas Islam harus mengambil peran sebagai agen transformasi epistemik.
Di tengah meningkatnya kompleksitas persoalan umat dari ekstremisme ideologis, kapitalisme religius, krisis lingkungan, penyimpangan kekuasaan sampai disrupsi digital,[49] FAS menawarkan perspektif bahwa hukum Islam tidak boleh diam. Ia harus tampil sebagai kekuatan moral dan sosial yang hidup. Ia harus menjadi bagian dari gerakan perubahan. Dalam era ketika agama seringkali digunakan untuk memperkuat identitas eksklusif, membenarkan dominasi sosial,[50] bahkan juga sebagai alat legitimasi penguasa, FAS mengajak kita untuk memulihkan misi utama fikih yaitu menghadirkan keadilan, spirit pembebasan, membela yang rentan dan membangun masyarakat yang berperadaban.
Penutup
Fikih sejak awal kelahirannya bukan sekadar sistem legal untuk menata ibadah dan muamalah umat Islam. Ia adalah bentuk tanggapan ilahiyah terhadap realitas manusia yang kompleks, berubah dan sarat makna. Ia adalah pengejawantahan dari semangat profetik Islam, yaitu mewujudkan keadilan, melindungi yang lemah, memanusiakan manusia dan menyemaikan kedamaian[51]. Maka, ketika fikih direduksi menjadi instrumen legal-formal, kita sejatinya telah memisahkannya dari ruh kenabiannya. Dalam semangat ini, gagasan FAS hadir bukan semata proyek akademik, tetapi sebagai ikhtiar profetik untuk mengembalikan fikih ke fungsinya yang sejati yaitu sebagai panduan hidup yang membebaskan dan membangun peradaban.
Karena itu, saya mengajak kita semua untuk membangun gerakan keilmuan baru yang tidak berhenti pada menafsirkan teks, tetapi menjadikan teks sebagai jembatan menuju transformasi sosial. Gerakan ini harus lahir dari ruang-ruang belajar kita seperti ruang kuliah, ruang bahtsul masail, ruang laboratorium sosial hingga ruang media digital. FAS dapat dijadikan metode baca baru terhadap isu-isu kontemporer seperti kemiskinan struktural, krisis iklim, relasi kuasa dalam rumah tangga, ketimpangan gender, kekerasan atas nama agama dan dehumanisasi akibat kecanduan teknologi. Dalam semua itu, fikih tidak hanya bertugas memberikan hukum, tetapi menyuarakan nurani profetik. Ia harus mampu mengatakan bahwa “tidak adil” itu tidak sah. Bahwa “tidak bermartabat” itu bukan maqāshid dan bahwa diam terhadap penindasan adalah bentuk pengkhianatan terhadap nilai dasar fikih itu sendiri.
Dalam kerangka gerakan ini, FAS bukan sekadar pendekatan akademik yang ditulis di jurnal, tetapi semangat keilmuan yang hidup dalam laku. Ia harus ditanam dalam proses pendidikan di PTKI, diperbincangkan di forum fatwa, dijadikan acuan dalam penelitian hukum Islam dan dijalankan dalam aktivitas pengabdian masyarakat. FAS harus menjadi jembatan yang menyatukan ilmu agama dan ilmu sosial, tafsir dan advokasi, normativitas dan praksis. Sehingga setiap lulusan PTKI tidak hanya mampu menjawab “apa hukumnya?”, tetapi juga bertanya: “untuk siapa hukum ini?”, “apa dampak sosialnya?”, “apakah ini berkeadilan?”. Dalam tataran itu, kita sedang membentuk generasi ahli fikih yang tidak hanya faqih dalam dalil, tetapi juga rasional dalam konteks, empatik dalam struktur dan profetik dalam sikap.
Akhir kata, saya bermohon kepada Allah agar langkah kecil ini melalui gagasan Fikih sebagai Analisis Sosial dapat menjadi bagian dari jihad intelektual kolektif kita semua. Sebuah ikhtiar untuk menjadikan fikih tidak sekadar hukum, tetapi juga nurani, tidak hanya menata sah dan batal, tetapi juga memperjuangkan martabat manusia. Saya tidak berharap gagasan ini sempurna. Saya serahkan gagasan ini kepada ruang keilmuan kita bersama, semoga ia tumbuh, dikritik, disempurnakan dan dijalankan. Semoga ilmu yang kita bangun bersama membawa manfaat yang melampaui ruang akademik dan menjelma menjadi cahaya peradaban. Amin, ya Rabbal ‘Alamin.
Referensi
‘Abd al-Raḥmān ibn Muḥammad Ibn Khaldūn. Al-Muqaddimah. Beirut: Dār al-Fikr, 2004.
Abdullahi Ahmed An-Na’im. Toward an Islamic Reformation. New York: Syracuse University Press, 1990. https://doi.org/10.2307/j.ctvj7wn6k.
Abū Ḥāmid Muḥammad ibn Muḥammad al-Ghazālī. al-Mustaṣfā min ‘Ilm al-Uṣūl. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993.
———. Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn. Beirut: Dār al-Ma’rifah, 1998.
Ahmad Zahro. Tradisi Intelektual NU: Lajnah Bahtsul Masail 1926–1999. Yogyakarta: LKiS, 2004.
Alatas, Syed Farid. “Reflections on the idea of Islamic social science.” Comparative Civilizations Review 17, no. 17 (1987): 60–86. https://doi.org/10.2139/ssrn.2650608.
“Ali Sodiqin, ‘Teori Maudlui Nuzuli Sebagai Dasar Pengembangan Fikih Maqasidi’ Pidato Pengukuhan Guru Besar Pada UIN Sunan Kalijaga, Februari 2024,” t.t. Diakses 5 April 2025.
Ali Yafie. Fikih Sosial: Membangun Perspektif Hukum Islam yang Responsif terhadap Masalah Sosial. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1994.
Al-Imam Abu Ishaq Asy-Syatibi. al-Muwafaqat fi Ushul as-Syari’ah. II. Beirut: Dar al-kutub al-Islamiyyah, 2003.
Azra, Azyumardi. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta: Logos, 1999.
Berita Anak Surabaya. “Indonesia Tempati Posisi Pertama Judi Online Terbanyak di Dunia, Ini Sebabnya.” kumparan.com, Mei 2024. https://kumparan.com/beritaanaksurabaya/indonesia-tempati-posisi-pertama-judi-online-terbanyak-di-dunia-ini-sebabnya-22f64ON9J9q.
Data, GoodStats. “10 Negara dengan Indeks Kinerja Lingkungan Terbaik 2024.” GoodStats Data. Diakses 9 April 2025. https://data.goodstats.id/statistic/10-negara-dengan-indeks-kinerja-lingkungan-terbaik-2024-K7me3.
Deen, Mawil Y Izzi. “Islamic environmental ethics, law, and society.” Dalam This Sacred Earth, 158–67. Routledge, 2003.
Ebrahim Moosa. Ghazali and the Poetics of Imagination. Chapel Hill: University of North Carolina Press, 2005.
Fathorrahman, Anis Masduqi, dan Arif Sugitanata. “The Scholarly Transformation of Nahdlatul Ulama: Fiqh of Civilization as a Step Towards Embracing the Future.” Al-Tahrir: Jurnal Pemikiran Islam 24, no. 1 (2024): 1–14. https://doi.org/10.21154/altahrir.v24i1.8536.
Fazlur Rahman. Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago: University of Chicago Press, 1982.
Gilles Kepel. Jihad: The Trail of Political Islam. Cambridge: Harvard University Press, 2002.
“Global Muslim Population.” Diakses 10 Maret 2025. //timesprayer.com/en/muslim-population/.
GoodStats. “Indeks Perdamaian dan Keamanan Wanita Global: Bagaimana Posisi Indonesia?” GoodStats. Diakses 9 April 2025. https://goodstats.id/article/indeks-perdamaian-dan-keamanan-wanita-global-dimana-posisi-indonesia-4hTbL.
Hadi, Mukhammad Nur. “Metode Ijtihad Kolektif Progresif di Indonesia sebagai Media Proyeksi Nalar Kemanusiaan.” Ma’mal: Jurnal Laboratorium Syariah Dan Hukum 4, no. 2 (2023): 141–69. https://doi.org/10.15642/mal.v4i2.247.
Hallaq, Wael B. The Impossible State. New York: Columbia University Press, 2013. https://www.jstor.org/stable/10.7312/hall16256.
Hassan Hanafi. al-Turāth wa al-Tajdīd: Mawqifunā min al-Turāth. Kairo: al-Tanwīr, 1980.
Jasser Auda. Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach. Herndon: International Institute of Islamic Thought (IIIT), 2008.
José Casanova. Public Religions in the Modern World. Chicago: University of Chicago Press, 1994.
Kamaruzzaman Bustamam Ahmad. Fikih adalah Ilmu Sosial Islam. Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Ilmu Antropologi Agama. Banda Aceh: Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, 2024.
Khaled Abou El-Fadl. Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority and Women. United Kingdom: Oneworld Publications, 2001.
Kuntowijoyo, Kuntowijoyo. “Agama dan Kohesi Sosial.” Humaniora, no. 9 (19 Juni 2013): 87–95. https://doi.org/10.22146/jh.2048.
M Amin Abdullah. Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Masdar F. Mas’udi. Fiqh Sosial: Pandangan Islam tentang Transformasi Sosial. Bandung: Mizan, 1991.
Mohammad Hashim Kamali. Principles of Islamic Jurisprudence. Cambridge: Islamic Texts Society, 1991.
Muhamad Wafa Ridwanulloh. “Indonesia dan Paradoks Negara Paling Religius.” Kompas.id, 22 Februari 2025. https://www.kompas.id/artikel/indonesia-dan-paradoks-negara-paling-religius.
Muhammad ‘Ābid al-Jābirī. Takwīn al-‘Aql al-‘Arabī. Beirut: Markaz Dirāsāt al-Wiḥdah al-‘Arabiyyah, 1986.
Olivier Roy. Jihad and Death: The Global Appeal of Islamic State. Oxford: Oxford University Press, 2017.
Sahal Mahfudz. Nuansa Fiqih Sosial. Yogyakarta: LKiS, 1994.
Sa‘īd al-Asymawi. al-Islām al-Siyāsī. Kairo: al-Hay’ah al-Miṣriyyah li al-Kitāb, 1987.
Salazar, Christine Tamir, Aidan Connaughton and Ariana Monique. “The Global God Divide.” Pew Research Center (blog), 20 Juli 2020. https://www.pewresearch.org/religion/2020/07/20/the-global-god-divide/.
Syamsul Anwar. Manhaj Tarjih Muhammadiyah. Yogyakarta: Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2018.
Taha Jabir al-‘Alwani. Towards a Fiqh for Minorities and Governance. Herndon: International Institute of Islamic Thought (IIIT), 2003.
Tariq Ramadan. In the Footsteps of the Prophet: Lessons from the Life of Muhammad. Oxford: Oxford University Press, 2007.
Transparency International. “Corruption Perceptions Index 2024,” 2024. https://www.transparency.org/en/cpi/2024.
Wael B. Hallaq. A History of Islamic Legal Theories: An Introduction to Sunni Usul al-Fiqh. Cambridge: Cambridge University Press, 1997.
———. The Origins and Evolution of Islamic Law. Cambridge: Cambridge University Press, 2005.
Wahbah al-Zuḥaylī. Uṣūl al-Fiqh al-Islāmī. 2. Damaskus: Dār al-Fikr, 1986.
Wilson, Despina. “World’s Most (And Least) Religious Countries, 2024.” CEOWORLD magazine, 7 April 2024. https://ceoworld.biz/2024/04/08/worlds-most-and-least-religious-countries-2024/.
Persembahan dan Terimakasih
Perjalanan karir akademik yang saya jalani hingga sampai pada salah satu fase ini, tak lepas dari doa, dorongan, dukungan, bantuan, dan peran serta berbagai pihak.
1. kepada teman-teman kecil dan guru-guru saya di TK An Nur Prenduan, teman-teman dan Guru di SDN Prenduan I, Madrasah al Ulum ad Diniyah (MUD) Pondok Pesantren “Tegal” Al Amien Prenduan,
2. teman-teman dan Guru-Guru saya di Tarbiyatul Muallimin Al Islamiyah (TMI) Al Amien Prenduan. Terutama Para Kyai saya (alm. KH. Tidjani Djauhari, KH, Idris Djauhari, KH. Mahtum Djauhari) dan para kyai dan masyayikh lainnya di Al Amien. Pondok ini merupakan cikal-bakal kreatifitas menulis dan belajar agama saya. Kini dilanjutkan oleh Putra-Putranya (KH. Ahmad Fauzi Tidjani, KH. Ghazi Mubarok bin Idris) dan yang lain.
3. Guru-guru saya jenjang strata 1 dimana saya belajar di Fak. Syariah (IAIN Suka) tahun 1996-2000 terutama KH.Malik Madani yang sangat terkesan di sepanjang belajar, dan guru-ru saya yg lain. Guru-guru di Jenjang strata 2 di Sosiologi Fisip UGM, dan Guru-guru di strata 3 di UIN Sunan Kalijaga. mereka semua adalah pewaris peradaban ilmu yang mengajari dan mendidik para muridnya dengan ketekunan.
4. Kepada kolega di lembaga Indef Jakarta, terutama Bapak Drajad Wibowo yang menjadi perantara bagi saya bisa bekerja paruh waktu sebagai Surveyor di lembaga tersebut pada awal hingga medio tahun 2004.
5. Kepada kolega di lembaga Indes Yogyakarta, terutama pak Sayun dan pak Zainul yang memberi saya kesempatan terlibat sebagai perancang konsep pelatihan untuk berbagai lembaga pemerintah dan swasta pada tahun 2005-2011.
6. Kepada kolega saya dan pimpinan di fakultas Syariah dan Hukum tempat saya mengabdi sejak tahun 2005 hingga sekarang. Fakultas sains dan teknologi yang pernah memberi ruang kepada bagaimana cara mendampingi mahasiswa/i selaku wakil dekan.
7. Kepada Pak Rektor beserja jajarannya yang telah membantu perjalanan karir akademik saya hingga berada pada fase puncaknya sebagai Guru Besar.
8. Tetangga saya di lingkungan Perumahan dalem teratai asri, sebuah perumahan bercita rasa kampung karena di dalamnya terbangun sistem baur sosial yang nyaris tak berjarak dengan tetangga kampung. Di dalam perumahan ini, ada dua komunitas penting yang menjadi pengisi ruang rohani dan jasmani saya. Yaitu jamaah ST 18 tempat dimana saya mengabdikan diri sebagai Guru ngaji dan jamaah ST 21 tempat di mana saya merenggangkan segala kepenatan.
9. Para Masyayikh dan Penggerak (Muharrik) roda organisasi Nahdlatul Ulama di wilayah Yogyakarta. Mbah Rois Syuriyah, Romo KH. Mas’ud Masduqi, beserta jajaran Syuriyah lainnya. Katib Syuriyah KH. Muhtar Salim , beserta jajaran kekatiban, ketua Tanfidziyah KH. Dr. Zuhdi Muhdlar dan jajaran Tanfidziyah lainnya, para pengus NU di tingkat Cabang, Majelis Wakil Cabang, Ranting, dan Anak Ranting. Kepada mereka dan bersama mereka saya belajar mengabdi dan menjalankan cita rasa keberislaman yang wasathiyah ‘ala ahlis sunnah wal jamaah an nahdliyah.
10. Kepada beberapa kolega yang telah meluangkan waktu membaca naskah ini dan bersedia memberikan catatan dan masukan yang sangat berarti. Ada mas hijrian, gus Anis Masduqi, Fuad Mustafid, mbak Ambar. Terlebih dan terkhusus mas Arif Sugitanata yang memberikan sentuhan dan penambahan sana sini dalam penyempurnaan naskah ini sehingga naskah ini benar-benar menjadi sajian akademik yang layak dibaca.
11. Kepada Mbah (KH. Zaini Abdiullah dan Ny. Hj. Afifah bin Sobri) semoga dosa2nya diampuni dan amal kabajikannya diterima. Para majhedi’ di Bani Zaini (pamanda KH. Afifi, pamanda KH. Abdullah, KH, Hafas Zaini, Bi’ Rofiah, bi’ sayyidah, bi’ mufidah, bi’ fauziah, dan bi’ himmatul aliyah) beserta keturunan mereka yang memberi motivas kepada penulis agar belajar dengan tekun. Kerjasama antar para majhedi’ dan pihak lain, alhamdlh Pondok Pesantren Zainul Ibadah li tahfidzil qur’an untuk putra dan putri bisa berdiri dan semoga semakin sukses perjalanannya.
12. Kepada mbah Muki dan mbah Sariatun semoga dosa-dosanya diampuni dan amal kabajikannya diterima. Para majhedi’ obe’ Mursyidi, obe’ H. Jailani, obe’ Hj. Mina, obe’ Hj. Zainal, ma’ jih Nurhayati beserta keturunannya.
13. Kepada Istri saya Agustinigsih yang sudah rela menjadi mitra saya dalam menjalani biduk keluarga selama 21 tahun dan masa akan datang. Terimakasih atas permaklumanmu setiap ada kesalahan yang saya lakukan. Terimakasih atas supportmu agar bisa meniti karir akademik. Kita berkomitmen untuk saling belajar dan saling mengisi berbagai kekurangan.
14. Kepada kedua anak saya (kunto Dzaki Al Afkari dan Kuni Hanina Taqiya) yang sudah beranjak dewasa ayah mengucapkan terimakasih atas peran serta kalian. Kalian menjadi teman diskusi yang sangat luar biasa. Semoga kalian menjadi generasi yang shaleh wa muslih, cerdas dan mencerdaskan, bermanfaat bagi diri sendiri, keluarga, dan pihak lain, dan menjadi generasi radliyatan mardliyah
15. Kepada Mertua saya, alm. Bapak Soegiri bin Abu Salam Wiryo Soemarto dan almh. Ibu. Hj. Paryati bin Nuryaredja yang telah mengikhlaskan putrinya menjadi pendamping dan mitra saya. Semoga amal perbuatannya diterima di sisi Allah dan segala salah dan khilafnya diampuni Allah SWT. Dua adik ipar saya (Joko Hartanto dan Agung) beserta istri dan anak-anaknya yang rela meneruskan perjuangan kedua mertua di Wonosobo
16. Kepada adik saya Fathorrazi yang mengajarkan saya bagaimana berdamai dengan kondisi yang mungkin tidak kita inginkan.
17. Kepada kakak saya Fathurrahiem. Dia tipe orang yang tangguh dan istiqomah. Sosok Profesional shalih yang bisa digambarkan kapitalis cum religius dalam satu tarikan nafas. Siang hari dia bercengkarama dengan dagangan emmas, dan berbagai jenis usaha seperti Rumah Makan dan properti lainnya, malam hari dia menjadi guru ngaji bagi anak-anak masyarakat di Masjid Zainul Ibad. Dia membersamai tadarrusan al qur’an setiap pagi bersama warga Tapsiun utara Prenduan. Dia rela mendarmakan dirinya di tengah-tengah masyarakat dengan melanjutkan lalampanah alm. mbah KH. Zaini Abdullah dan alm. Eppa’ KH. Ghufron
18. Kepada Emma’ (yang alhamdulillah) bisa hadir dan menyaksikan langsung anaknya berdiri di sini. Beliau tipe ibu rumah tangga dan Guru Ngaji yang penyabar. mon ngala setanah kala. itulah kalimat yang selalu diucapkan kepada kami. Di tengah kondisi beliau yang beberapa kali kurang sehat, beliau selalu menyempatkan menjadi kuliner tangguh dan memastikan sajian makanannya bisa nyaman di semua selera anak2 dan saudaranya. ajunan zimadeh kauleh sataretanan. malar mogeh, ajunan sehat ben berkah omor epon.
19. Untuk almarhum Eppa’ (KH. Ghufron) yang tak lelah mengayuh Sepeda Ontel untuk menafkahi istri dan ketiga anaknya. Beliau yang mengajarkan optimisme dan keistiqomahan dalam hidup saya. Pernah suatu waktu, eppa’ ditanya oleh seseorang. Buat apa saya kuliah? dengan tulus dan tegas eppa’ menjawab: horrahman epa kuliyah benni keng ma’ le olle lakoh. tapeh, ma’le nambhe ilmu ben ma’le ta’ buduh akadiyeh kauleh. pernyataan eppa’ ini menjadi sebuah pemicu agar saya kuat melanjutkan kuliah, meskipun dalam satu momen saya pernah putus asa untuk melanjutkan kuliah di awal2 tahun 1996 karena himpitan ekonomi.
20. Akhirnya, Inilah yang bisa saya persembahkan pada kalian. Curahan terimakasih senantiasa meluap dari lubuk hati untuk kedua orang tua saya, kedua mertua saya, kedua saudara saya, istri dan kedua anak saya yang mendukung dan mendoakan setiap perjalanan hidup saya. “My Indebtenes to all of you goes beyond all of them”
Riwayat Hidup
IDENTITAS DIRI
Nama : Fathorrahman
NIP 19760820 200501 1 005
Tempat dan Tanggal Lahir : Sumenep, 20 Agutus 1976
Pangkat/ Gol : Pembina Utama Muda /IVc
Jabatan Fungsional : Guru Besar
Orang Tua : KH. Ghufron bin Muki
Ny. Hj. Zulfah binti KH. Ahmad Zaini
Istri : Agustiningsih, S.Kep, Ns, M.Kep
Anak : Kunto Dzaki Al Afkari
Kuni Hanina Taqiya
RIWAYAT PENDIDIKAN PERGURUAN TINGGI
Tahun Lulus |
Program Pendidikan |
Lembaga Pendidikan |
Jurusan/ Bidang Studi |
1983 |
Taman Kanak-Kanak |
TK An Nur Prenduan |
- |
1983- 1989 |
Sekolah Dasar Negari |
SDN Prenduan I |
- |
1983- 1989 |
Madrasah Diniyah |
Pond. Pest. Tegal Al Amien |
- |
1989- 1995 |
Pondok Pesantren Al amien Prenduan |
Tarbiyatul Muallimin Al Islamiyah Pondok Pesantren Al amien Prenduan, Putera II |
- |
1996- 2000 |
S-1 Syari’ah |
IAIN Sunan Kalijaga |
Perbandingan Mazhab & Hukum |
2001- 2003 |
S-2 Sosiologi |
Universitas Gajah Mada |
Sosiologi Pembangunan |
2011- 2015 |
S-3 Studi Islam |
UIN Sunan Kalijaga |
Hukum Islam |
RIWAYAT JABATAN
Periode |
Jabatan |
Fakultas |
Universitas |
2008- 2010 |
Sekretaris Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum |
Syariah dan Hukum |
UIN Sunan Kalijaga |
2015- 2016 |
Ketua Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum |
Syariah dan Hukum |
UIN Sunan Kalijaga |
2016- 2020 |
Sekretaris Prodi Magister Ilmu Syariah |
Syariah dan Hukum |
UIN Sunan Kalijaga |
2020- 2024 |
Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama |
Fakultas Sains dan Teknologi UIN |
UIN Sunan Kalijaga |
2024- |
Sekretaris Prodi Doktor Ilmu Syariah |
Syariah dan Hukum |
UIN Sunan Kalijaga |
KARYA TULIS
A. Buku
Tahun |
Judul |
Penerbit/Jurnal |
2010 |
Negeri Impian Dalam Benturan Kepentingan |
Q_Media Yogyakarta |
2014 |
Modul Pelatihan “Fiqh dan HAM”, et.al |
LKiS, Yogyakarta |
2015 |
Ekspresi Keberagamaan di Era Milenium |
Ircisod, Yogyakarta |
2015 |
Fikih (Ramah) Difable, et.al |
Q-Media bekerjasama dengan Jurusan Perbandingan Mazhab Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta |
2018 |
Politik, Hukum, dan Penguatan Demikrasi di Indonesia, et. Al |
SUKA Press UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, |
B. Jurnal
Tahun |
Judul |
Jurnal |
2010 |
Al Qur’an dan Dinamika Perubahan Sosial Masyarakat dalam Memahami Keberadaan Tuhan |
Jurnal Asy Syir’ah, Vol 44 No.113, 2010, Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga |
2010 |
Mcdonaldisasi: Akar Terbentuknya Masyarakat Hyper Consumptif |
Jurnal Sosiologi Reflektif, Vol. 4, No. 2, April 2010, Prodi Sosiologi, Fishum UIN Sunan Kalijaga |
2012 |
Fiqh Sosio-Kultural: Interkoneksi antara Peradaban teks dan Perubahan Sosial |
Jurnal Al Mazahib, Vol. 1. No. 1 Juni 2012, Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga https://ejournal.uin- suka.ac.id/syariah/almazahib/article/view/1340 |
2014 |
Paradigma Politik Profetik: Sebuah Pembacaan Ideografik terhadap Politik Adiluhung Amien Rais |
Jurnal IN RIGHT, Vol. 4. No. 1. November 2014 Jurusan Tata Negara dan Politik Islam, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga https://ejournal.uin- |
2015 |
Fikih Pluralisme dalam Perspektif NU |
Jurnal Asy Syir’ah, Vol. 49, No.1, Juni 2015. Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga https://dx.doi.org/10.14421/asy-syir'ah.2015.%25x |
2015 |
Interpretative Understanding Terhadap Makna Simbol Al-Fatihah dalam Amaliah Tasharraful |
Jurnal "Dialog’”, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Jakarta, Vol. 38, No. 1, Juni 2015, |
|
Fatihah pada Masyarakat Bantul Yogyakarta. |
https://balitbangdiklat.kemenag.go.id/berita/dialog-vol-38-no-1-juni-2015
|
2016 |
Pandangan Fikih Sosial K.H. Ali Yafie dan Kontribusinya Terhadap Kajian Pembangunan di Indonesia. |
Jurnal ”Asy-Syir’ah”, Fak. Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Vol. 50, No. 2, Desember 2016/1437, https://dx.doi.org/10.14421/asy-syir'ah.2016.502- 03 |
2016 |
Dinamika Pemikiran Islam Indonesia dalam Perspektif Epistemologi Fiqh dan Kontribusinya bagi Peneguhan Semangat Kebangsaan dan Keindonesiaan. |
Jurnal ”Empirisma”, diterbitkan oleh P3M STAIN Kediri, Vol. 25, No. 2, Juli 2016, https://doi.org/10.30762/empirisma.v25i2.598 |
2019 |
Inklusifisme di Tengah Masyarakat Multikultur: Kasus Tiga Kota di Bali |
Jurnal Penamas, Balitbang Kemenag Jakarta, Vol 32, nomor 1, Januari-Juni 2019 https://doi.org/10.31330/penamas.v32i1.300 |
2019 |
Potret Sosial Keberagamaan yang Harmonis di Puja Mandala, Nusa Dua Bali |
Jurnal Al-Izzah Vol.14.No.1, Mei 2019 |
2020 |
Budaya Perilaku Bersih di Desa Penglipuran Bali |
Jurnal Sosiologi Reflektif, Vol 15, No 1, 2020 https://doi.org/10.14421/jsr.v15i1.1960 |
2020 |
Praktik Fikih Keseharian Minoritas Muslim di Bali |
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat, Vol 16, No 2, 2020 |
2020 |
Konstruksi Pemikiran Fikih Sosial KH. Ali Yafie Dalam Merespons Program Pemerintah di Era Orde Baru |
Jurnal Kodifikasia, Vol 14, No 1, 2020 https://dx.doi.org/10.21154/kodifikasia.v14i1.1964 |
2021 |
Pancasila dan Jihad Akademik: Peran Perguruan Tinggi di Yogyakarta dalam Penguatan Pancasila |
Jurnal Empirisma, Vol. 30, No. 1 Januari 2021 https://doi.org/10.30762/empirisma.v30i1.3453 https://jurnal.iainkediri.ac.id/index.php/empirisma/article/view/3453
|
2022 |
The Dynamic of Worship and Response of Nahdlatul Ulama Members in Bantul, Yogyakarta to ward the Indonesian Council of Ulama’s Fatwa on The Worship during the covid 19 Pandemic |
Jurnal Al Ihkam: Jurnal Hukum dan Pranata Sosial Sosial Vol. 17 No. 1 (2022)
https://doi.org/10.19105/al-lhkam.v17i1.5638
|
2022 |
Expression of Diversity in Tahlilan: An Interfaith Study of The Death Rites in Muntilan Magelang anf Babadan Sleman Yogyakarta |
Jurnal Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Islam Vol. 20 No. 1, hal.45-60, Juni 2022 https://journal.uinmataram.ac.id/index.php/tasamuh/article/view/5354 |
2022 |
The Dynamics of Tuan Guru's Leadership in Lombok in Responding to Health Protocols in Places of Worship |
Jurnal Dialogia, Vol. 20. No. 20, tahun 2022. Hal. 278-301 |
2023 |
Spirit kebersihan masyarakat Penglipuran Bali: Konvergensi nilai keberagamaan dan kearifan lokal". |
Jurnal Sosial Humaniora, vol. 9. No. (2), Agustus 2023, hal. 155-168 https://jurnal.ustjogja.ac.id/index.php/sosio/article/view/14180 |
2023 |
The Role of PWNU Yogyakarta in Constructing Aswaja an Nahdiyah in Social Activist During the Covid-19 |
Jurnal Islam Transformatif, Vol. 7. No. 1 tahun 2023 hal 87-97 https://ejournal.uinbukittinggi.ac.id/index.php/islamt/issue/view/221 DOI : 10.30983/it.v7i1.6340 |
2024 |
The Role of Religious Fatwas in Indonesia: An Analysis of Self-Goverment and Biopolitics During The Pandemic |
Jurnal Petita, Vol. 9. No. 1. Tahun 2024 https://petita.ar-raniry.ac.id/index.php/petita/article/view/257 |
2024 |
The Scholarly Transformation of Nahdlatul Ulama: Fiqh of Civilization as a Step Towards Embracing the Future |
Jurnal Al Tahrir, Vol. 24 No. 1. Tahun 2024 https://jurnal.iainponorogo.ac.id/index.php/tahrir/issue/view/388 |
2024 |
Dynamics of Thought in the Fiqh of Civilization Halaqah at Pesantren Affiliated with Nahdlatul Ulama (NU) in Yogyakarta |
Jurnal Ijtihad, Vol 24, No. 1, tahun 2024 https://ejournal.uinsalatiga.ac.id/index.php/ijtihad/article/view/616 DOI: |
C. Artikel opini Nasional
No |
Tahun |
Judul |
Media |
Opini Kompas versi cetak dan digital |
|||
1. |
2013 |
Mudico ergo sum |
Kompas |
2. |
2013 |
Interaksionisme simbolik ibadah haji |
Kompas |
3. |
2013 |
Berkurban untuk peduli |
Kompas Digital |
4. |
2013 |
Momentum perubahan dan perjuangan |
Kompas |
5. |
2013 |
Spirit natal dan teologi pembebasan |
Kompas Digital |
6. |
2014 |
Demokrasi Sebagai Fikih Maqashid |
Kompas digital |
7. |
2014 |
Demokrasi Kosmopolitan |
Kompas digital |
8. |
2014 |
Takwa Sosial |
Kompas digital |
9. |
2014 |
Teologi Kepahlawanan |
Kompas digital |
10. |
2015 |
Dalil Cepat Saji |
Kompas |
11. |
2015 |
Spirit Keberagamaan Intersubjektif |
Kompas digital |
12. |
2015 |
Hijrah Setyagraha |
Kompas |
13. |
2015 |
Spirit Kepahlawanan dan Etika Santri |
Kompas |
14. |
2015 |
Spirit Kebhinekaan dari Manado |
Kompas |
15. |
2016 |
Menyelamatkan Indonesia |
Kompas |
16. |
2016 |
Patologi Sosial Keberagamaan |
Kompas |
17. |
2016 |
Puasa dan Kesadaran Resiprokal |
Kompas |
18. |
2016 |
Ustaz di Media Publik |
Kompas |
19. |
2017 |
Berhaji di Era Selfie |
Kompas |
20. |
2017 |
Kembali ke Pancasila |
Kompas |
21. |
2017 |
Lobang Hitam Populisme |
Kompas |
22. |
2017 |
Menenun Semangat Kebangsaan |
Kompas |
23. |
2017 |
Menumbuhkan Literasi Agama |
Kompas |
24. |
2017 |
Menyikapi Defisit Kebenaran |
Kompas |
25. |
2017 |
Merawat Marwah Kebhinekaan |
Kompas |
26. |
2017 |
Negara Perjanjian |
Kompas |
27. |
2017 |
Radikalisme dan Politik Identitas |
Kompas |
28. |
2018 |
2019 Kita Bersaudara |
Kompas |
29. |
2018 |
Etika Kepemudaan dan Spirit Kemajemukan |
Kompas |
30. |
2018 |
Juru Bicara Pancasila |
Kompas |
31. |
2018 |
Mengarusutamakan Islam Wasathiyah |
Kompas |
32. |
2018 |
Menyikapi Ide-Ide Populisme |
Kompas |
33. |
2018 |
Pudarnya Ruh Dakwah |
Kompas |
34. |
2018 |
Selamatkan Mahasiswa Dari Jebakan Radikalisme |
Kompas |
35. |
2018 |
Takwa di Era Digital |
Kompas |
36. |
2019 |
Antropologi Puasa Ramadlan |
Kompas |
37. |
2019 |
Di Atas Politik Ada Kemanusiaan |
Kompas |
38. |
2019 |
Hari Santri dan Spirit Keindonesiaan |
Kompas |
39. |
2019 |
Munas NU dan Amanah Kebangsaan |
Kompas |
40. |
2019 |
Peran Bina Damai Shinta Nuriyah |
Kompas Digital |
41. |
2020 |
Virus Korona dan Kegagapan Teknologi |
Kompas |
42. |
2020 |
Tetap Bahagia di Tengah Pandemi |
Kompas Digital |
43. |
2020 |
Gusdurian dan Kerja Kebudayaan |
Kompas |
44. |
2021 |
Kehalalan vaksinasi di bulan ramadlan |
Kompas Digital |
45. |
2021 |
Pembatan Haji di masa Pandemi |
Kompas |
46. |
2021 |
Munas NU dan Tantangan Peradaban Dunia |
Kompas |
47. |
2021 |
Kurban Egoisme untuk Ketahanan Sosial |
Kompas Digital |
48. |
2022 |
Kado Ulang Tahun NU ke 9 |
Kompas Digital |
49. |
2022 |
Defisit Keadaban Pencerah |
Kompas Digital |
50 |
2022 |
Menolak Warisan Pembelahan 2019 |
Kompas Digital |
51 |
2022 |
Arah Baru Sertifikasi Halal |
Kompas |
52 |
2022 |
Urgensi Saintifikasi Halal |
Kompas |
53 |
2023 |
Internalisasi Kerukunan di Tengah Keragaman |
Kompas Digital |
54 |
2023 |
Berbeda untuk Bersatu |
Kompas Digital |
55 |
2023 |
Menyikapi Pesona Dunia Ramadlan |
Kompas Digital |
56 |
2023 |
Iedul Fitri sebagai Momentum Silaturahmi dan Rekonsiliasi |
Kompas Digital |
57 |
2024 |
Menuju Inklusivisme KUA |
Kompas |
58 |
2024 |
Menyelamatkan Lingkungan dari Perilaku Mubazir |
Kompas Digital |
59 |
2024 |
Muallaf Kebangsaan |
Kompas Digital |
60 |
2024 |
Fenomena Publikasi Cepat Saji |
Kompas Digital |
61 |
2025 |
Masa Depan Demokrasi di Tangan Mahasiswa |
Kompas Digital |
Opini Media Indonesia |
|||
1. |
2013 |
Haji sebagai instrument perubahan |
Media Indonesia |
2. |
2019 |
Mewaspadai Jihad Post-Truth |
Media Indonesia |
3. |
2021 |
Puasa Sebagai Oksigen Kemanusiaan |
Media Indonesia |
4. |
2021 |
Kesalehan Profesional |
Media Indonesia |
5. |
2022 |
NU, Muhammadiyah, dan Tanggung Jawab Sosial |
Media Indonesia |
6. |
2022 |
Pawang Hujan dan Persitegangan Metodologi |
Media Indonesia |
7 |
2023 |
Saweran dan Gegar Tradisi |
Media Indonesia |
8 |
2024 |
Sustainable Development Goals dan Maqashid Syariah |
Media Indonesia |
9 |
2024 |
Syirik Sosial Perilaku Korupsi |
Media Indonesia |
Opini Republika |
|||
1. |
2015 |
Civil Islam dan Spirit Kewargaan |
Republika |
2. |
2020 |
Mengatasi Perilaku Korupsi |
Republika |
3. |
2020 |
Viru Korona dan Spirit Filantropi |
Republika |
4. |
2021 |
Literasi Kedaruratan wabah |
Republika |
5. |
2021 |
Teologi Pembebasan |
Republika |
6. |
2022 |
Pamor Buatan |
Republika |
Opini Jawa Pos |
|||
1. |
2014 |
Syafa’at Kekuasaan |
Jawa Pos |
2. |
2015 |
Fikih Inklusi dan Disabilitas |
Jawa Pos |
3. |
2015 |
Radikalisasi Kesaktian Pancasila |
Jawa Pos |
4. |
2016 |
Kurikulum Pendidikan Islam Rahmatan Lil Alamin |
Jawa Pos |
5. |
2016 |
Nalar Spiritualitas di Ruang Publik |
Jawa Pos |
6. |
2016 |
Urgensi Pidana Sosial |
Jawa Pos |
7. |
2017 |
Istighatsah Kubra dan Kesalehan Konstitusional |
Jawa Pos |
8. |
2017 |
Titik Nadir Ruang Keberagamaan Kita |
Jawa Pos |
9. |
2018 |
Penyimpangan Pekik Takbir di Ruang Publik |
Jawa Pos |
10. |
2019 |
Puasa Ramadlan dan Aspek Sosiologis |
Jawa Pos |
11. |
2020 |
Virus Korona dan Teologi Kemaslahatan |
Jawa Pos |
12. |
2021 |
Vaksin Astrazeneca dan Perdebatan Teologis |
Jawa Pos |
13. |
2022 |
Kesalehan Artifisial |
Jawa Pos |
14 |
2022 |
Menjadi Santri 4.0 |
Jawa Pos |
15 |
2023 |
Agar Pancasila Tak Gegar Digital |
Jawa Pos |
16 |
2024 |
Mengatasi Kafir Ekologis |
Jawa Pos |
17 |
2024 |
Imajinasi Masa Depan Santri |
Jawa Pos |
18 |
2025 |
Ketika Kelompok Kecil Melawan dan Kelompok Besar Diam |
Jawa Pos |
Opini Koran Tempo |
|||
1. |
2017 |
HTI dan Penyelundupan Demokrasi |
Koran Tempo |
2. |
2019 |
Di Atas Agama Ada Cinta |
Koran Tempo |
Opini Koran Jakarta |
|||
1. |
2017 |
Ahok dan Kepemimpinan Islami |
Koran Jakarta |
2. |
2019 |
Jebakan Ekstremisme Beragama |
Koran Jakarta |
Opini Suara Pembaruan |
|||
1. |
2018 |
Tirani Populisme pada Era Demokrasi |
Suara Pembaruan |
Opini Bisnis Indonesia |
|||
1 |
2023 |
Mendigdayakan Nunomic Pada Abad Kedua |
Bisnis Indonesia |
2 |
2024 |
Berderma Maslahat Untuk Ketahanan Sosial Budaya |
Bisnis Indonesia |
3 |
2025 |
NU dan Pesan Kedaulatan Laut |
Bisnis Indonesia |
4 |
2025 |
Iedul Fitri dan Disrupsi Sosial Ekonomi |
Bisnis Indonesia |
Kontan |
|||
1 |
2024 |
Prabowo dan Penguatan Ekonomi Santri |
Kontan |
2 |
2025 |
Quo Vadis Penghematan? |
Kontan |
D. KONFERENSI Internasional
1. International conference on “Persidangan Serantau Isu-isu Syariah Malaysia dan Indonesia (Fakulti Pengajian Islam Universiti Kebangsaan Malaysia, 2013 / Peserta dan Pembahas)
2. International Conference on “Heresy, Blasphemy and Apostasy from al Legal of View” (Faculty of Shariah and Law UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta and Faculty of Humanities/Departement of Arabic and Islamic Studies George-August Universitat Goettingen di Goettingen Jerman, 2014 / Peserta dan Speaker untuk Under Graduate Session)
3. In the 14th Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) “Responding the Challenges of Multicultural Societies: The Contribution of Indonesian Islamic Studies” (STAIN Samarinda Bekerjasama dengan Direktorat Perguruan Tinggi Islam Kemenag RI, 2014, hotel Aston-Banjarmasin / Presenter dalam Paralel Session)
4. In the 14th Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) “Harmony in Diversity: Promoting Moderation and Preventing Conflicts in Socio-Religious Life” (IAIN Manado Bekerjasama dengan Direktorat Perguruan Tinggi Islam Kemenag RI, Hotel Peninsula-Manado, 2015 / Presenter dalam Poster Session)
5. In the 14th Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) “The Contribution of Indonesian Islam To The World Civilization” IAIN Raden Intan Lampung Bekerjasama dengan Direktorat Perguruan Tinggi Islam Kemenag RI, November 2016, Presenter dalam Paralel Session)
6. International Seminar on Seminar Serantau Isu-Isu Syariah Thailand-Indonesia di Universitas Pattani, Thailand, 31 Januari 2017, Presenter
7. Seminar on Islamic Law Practice in malaysia and Indonesia, Universitas Malaya, Malaysia, 21 Maret 2019, presenter
8. Join conference on Revisiting Tolerant Islam in South East Asia”, National University of Singapura, Singapura, 14 November 2019, Presenter
9. Annual International Conference Call for Paper on Islamic Law “Human Rights and Islamic Law Reform in Muslim Countries”, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 27 November 2017, Moderator
E. SEMINAR Nasional
1. Seminar “Kebangsaan Pancasila, Islam dan Komunisme: Melacak Kontestasi Mazhab ideology Hukum Indonesia dan RUU KUHP” (Dewan Koordinasi Nasional (DKN) Forum Silaturahmi Santri (Forsis) Jakarta – Komisi Pendidikan Majelis Ulama Indonesia (MUI), 2013 / Pembicara)
2. Seminar Nasional “Mempertegas Kembali Independensi Lembaga Hukum, Dalam Menegakkan Keadilan” (Forum Mahasiswa Syariah se-Indonesia (FORMASI), di wisma LPP-Yogyakarta 2013 / Pembicara)
1. Focus Group Discussion tentang Radikalisme yang diselenggarakan Ditbinmas Polda DIY, Polda-Yogyakarta, 28 Oktober 2015 / Pembicara)
2. Focus Group Discussion tentang Posisi Indonesia terhadap Isu-Isu Terkini Terkait Hak Kelompok Rentan yang diselenggarakan Direktorat HAM dan Kemanusiaan kementerian Luar Negeri, Hotel Akmani-Jakarta Pusat, 4 Desember 2015 / Pembicara)
3. Seminar”Fikih Ramah Difabel” yang diselenggarakan Pusat Layanan Difabel bekerjasama dengan Direktorat HAM dan Kemanusiaan kementerian Luar Negeri, Hotel Grand Quality-Yogyakarta, 2 Desember 2015 / Pembicara)
4. Diskusi “peran perguruan tinggi dalam menumbuhkan semangat kebangsaan dan keindonesiaan” yang diselenggarakan oleh Wantimpres, jakarta, (kantor wantimpres, 29 November 2016/ Pembicara)
5. Review Dokumen Rancangan “Peta Jalan Pembinaan Ideologi Pancasila” yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) (11-13 Desember 2022/ Narasumber)
6. Workshop “Moderasi Beragama dan Organisasi Keislaman di Indonesia” bagi program persiapan Beasiswa Dana Abadi Pesantren (Yogyakarta, 8 Agustus 2024)
7. Dan lain-lain
F. REKOGNISI
1. Sebagai Juri Lomba Karya Tulis Ilmiah Regional Jateng-DIY Tingkat SMA dengan tema “Peran pemuda dalam pengembangan industri pariwisata lokal indonesia guna menyukseskan SDGs 2030” di UIN Sunan Kalijaga, 13 Desember 2017
2. Sebagai Dewan Hakim Lomba Karya Tulis Ilmiah bagi Penghulu Tingkat Kabupaten Gunung Kidul, di Wonosari 2 Mei 2019
3. Sebagai instruktur dalam kegiatan sertifikasi Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH) yang diselenggarakan oleh Kantor Wilayah kementrian Agama Yogyakarta di Kaliurang-Yogyakarta, 9 Desember 2019
4. Sebagai instruktur dalam kegiatan sertifikasi Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH) yang diselenggarakan oleh Kantor Wilayah kementrian Agama Yogyakarta di Wisma Asrama Haji-Yogyakarta, 26 Januari 2020
5. Sebagai Juri dalam Olimpiade Agama, Sains, dan Riset pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam yang diselenggarakan oleh Kementrian Agama RI di UIN Syarif Hidayatulah Jakarta 16 Juni 2023
6. Sebagai Juri Pekan Olahraga Seni, dan Ilmiah se Jawa Madura (Porsi Jawara) pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam wilayah Jawa dan Madura yang diselenggarakan oleh Kementrian Agama RI di Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq (UIN KHAS) Jember, 17-25 Oktober 2023
G. PELATIHAN/WORKSHOP
1. Sebagai peserta dalam “Program Pelatihan Penguatan Moderasi Beragama pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam” yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Melalui pendanaan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) Kementerian Keuangan di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. 09-13 Desember 2022
2. Sebagai peserta “Pelatihan Dosen Pendamping Organisasi Mahasiswa” Angkatan I di Balai Diklat kementrian Agama, Ciputat 25-30 Juli 2023
3. Sebagai peserta Training Programme: Halal Scientist Program, di Inhart IIUM, Malaysia, 4-6 Desember 2023
4. Sebagai ketua tim delegasi dalam program “Scientific Meeting for future partnership between the University and the Company (Yangzhou, China, 26-30 July 2024)
H. ORGANISASI
Tahun |
Nama Organisasi |
Jabatan |
2011-2016 |
Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Yogyakarta |
A’wan Syuriyah |
2016-2021 |
Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Yogyakarta |
Wakil Katib Syuriyah |
2022-2027 |
Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Yogyakarta |
Wakil Katib Syuriyah |
2013-2018 |
Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama Wilayah Yogyakarta |
Bidang Advokasi |
2021-2026 |
Dewan Masjid Yogyakarta |
Majelis Pakar |
2022-2027 |
Pengurus Wilayah Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia, Daerah Istimewa Yogyakarta
|
Biro Organisasi, Kaderisasi dan Keanggotaan
|
2023-2026 |
Pengurus Wilayah Majelis Dai Kebangsaan Yogyakarta |
Bidang Pengkajian, Penelitian dan Pengembangan |
2024-2028 |
Pengurus Pusat Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-lmu Sosial di Indonesia (HIPIIS) |
Komisi Kajian Filsafat dan Agama |
[1] Christine Tamir Salazar Aidan Connaughton and Ariana Monique, “The Global God Divide,” Pew Research Center (blog), 20 Juli 2020, https://www.pewresearch.org/religion/2020/07/20/the-global-god-divide/.
[2] Despina Wilson, “World’s Most (And Least) Religious Countries, 2024,” CEOWORLD magazine, 7 April 2024, https://ceoworld.biz/2024/04/08/worlds-most-and-least-religious-countries-2024/.
[3] “Global Muslim Population,” diakses 10 Maret 2025, //timesprayer.com/en/muslim-population/.
[4] “Corruption Perceptions Index 2024,” Transparency International, 2024, https://www.transparency.org/en/cpi/2024.
[5] Berita Anak Surabaya, “Indonesia Tempati Posisi Pertama Judi Online Terbanyak di Dunia, Ini Sebabnya,” kumparan.com, Mei 2024, https://kumparan.com/beritaanaksurabaya/indonesia-tempati-posisi-pertama-judi-online-terbanyak-di-dunia-ini-sebabnya-22f64ON9J9q.
[6] GoodStats Data, “10 Negara dengan Indeks Kinerja Lingkungan Terbaik 2024,”, https://data.goodstats.id/statistic/10-negara-dengan-indeks-kinerja-lingkungan-terbaik-2024-K7me3.
[7] GoodStats, “Indeks Perdamaian dan Keamanan Wanita Global: Bagaimana Posisi Indonesia?,” https://goodstats.id/article/indeks-perdamaian-dan-keamanan-wanita-global-dimana-posisi-indonesia-4hTbL.
[8] Muhamad Wafa Ridwanulloh, “Indonesia dan Paradoks Negara Paling Religius,” Kompas.id, 22 Februari 2025, https://www.kompas.id/artikel/indonesia-dan-paradoks-negara-paling-religius.
[9] Kuntowijoyo Kuntowijoyo, “Agama dan Kohesi Sosial,” Humaniora, no. 9 (19 Juni 2013): 87–95, https://doi.org/10.22146/jh.2048.
[10] Kuntowijoyo.
[11] Muhammad ‘Ābid al-Jābirī, Takwīn al-‘Aql al-‘Arabī (Beirut: Markaz Dirāsāt al-Wiḥdah al-‘Arabiyyah, 1986).
[12] Fazlur Rahman juga mengkritik apa yang ia sebut sebagai “legalism without ethics”, yakni kecenderungan umat Islam menjadikan pelaksanaan fikih sebagai satu-satunya tolok ukur keislaman dan mengabaikan dimensi moral-transformasional dari wahyu. Baca: Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982).
[13] Wael B. Hallaq menjelaskan bahwa fikih bukanlah syari’ah itu sendiri, tetapi merupakan hasil penalaran manusia (ijtihad) terhadap sumber utama (Qur’an dan Sunnah) menggunakan perangkat ushul fikih seperti qiyas, istihsan dan istislah. Baca: Wael B. Hallaq, A History of Islamic Legal Theories: An Introduction to Sunni Usul al-Fiqh (Cambridge: Cambridge University Press, 1997).
[14] Wahbah al-Zuḥaylī, Uṣūl al-Fiqh al-Islāmī, 2 (Damaskus: Dār al-Fikr, 1986).
[15] Al-Imam Abu Ishaq Asy-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul as-Syari’ah, II (Beirut: Dar al-kutub al-Islamiyyah, 2003).
[16] Syed Farid Alatas, “Reflections on the idea of Islamic social science,” Comparative Civilizations Review 17, no. 17 (1987): 60–86, https://doi.org/10.2139/ssrn.2650608.
[17] Azyumardi Azra menyoroti stagnasi dalam metodologi pengajaran fikih di lembaga-lembaga Islam termasuk pesantren. Fikih seringkali diajarkan sebagai doktrin yang sudah selesai tanpa ruang untuk kritik atau kontekstualisasi. Baca: Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta: Logos, 1999).
[18] Fazlur Rahman secara tajam membedakan antara shariah (nilai-nilai ilahi) dan fiqh (interpretasi manusia). Ia mengkritik kecenderungan umat Islam menyamakan keduanya secara mutlak sehingga segala bentuk reinterpretasi dianggap bertentangan dengan agama. Baca: Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition.
[19] Fathorrahman Fathorrahman, Anis Masduqi, dan Arif Sugitanata, “The Scholarly Transformation of Nahdlatul Ulama: Fiqh of Civilization as a Step Towards Embracing the Future,” Al-Tahrir: Jurnal Pemikiran Islam 24, no. 1 (2024): 1–14, https://doi.org/10.21154/altahrir.v24i1.8536.
[20] Abū Ḥāmid Muḥammad ibn Muḥammad al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn (Beirut: Dār al-Ma’rifah, 1998).
[21] ‘Abd al-Raḥmān ibn Muḥammad Ibn Khaldūn, Al-Muqaddimah (Beirut: Dār al-Fikr, 2004).
[22] Ali Yafie, Fikih Sosial: Membangun Perspektif Hukum Islam yang Responsif terhadap Masalah Sosial (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1994).
[23] Sahal Mahfudz, Nuansa Fiqih Sosial (Yogyakarta: LKiS, 1994).
[24] Hassan Hanafi, al-Turāth wa al-Tajdīd: Mawqifunā min al-Turāth (Kairo: al-Tanwīr, 1980); Khaled Abou El-Fadl, Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority and Women (United Kingdom: Oneworld Publications, 2001); Abdullahi Ahmed An-Na’im, Toward an Islamic Reformation (New York: Syracuse University Press, 1990), https://doi.org/10.2307/j.ctvj7wn6k; Sa‘īd al-Asymawi, al-Islām al-Siyāsī (Kairo: al-Hay’ah al-Miṣriyyah li al-Kitāb, 1987).
[25] Wahbah al-Zuḥaylī, Uṣūl al-Fiqh al-Islāmī.
[26] Dalam kitab usulnya, al-Zuḥaylī juga menegaskan bahwa sumber hukum Islam pertama dan paling utama adalah al-Qur’an dan hadis yang disebut sebagai nushūṣ al-shar‘iyyah (teks-teks syar‘i). Baca: Wahbah al-Zuḥaylī.
[27] Dalam al-Mustaṣfā, al-Ghazālī meletakkan dasar bagi pendekatan maqāṣidī dan ta’līlī, yaitu penekanan pada hikmah dan tujuan di balik teks hukum bukan sekadar lafaz formal. Baca: Abū Ḥāmid Muḥammad ibn Muḥammad al-Ghazālī, al-Mustaṣfā min ‘Ilm al-Uṣūl; Sedangkan al-Shāṭibī secara eksplisit mengembangkan metodologi ta’līl al-aḥkām dan maqāṣid al-syarī‘ah, yaitu pendekatan yang menekankan makna (ma’nā) substantif dari hukum bukan hanya bentuk tekstualnya. Baca: Al-Imam Abu Ishaq Asy-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul as-Syari’ah.
[28] Taha Jabir al-‘Alwani juga mengkritik bahwa wāqi’ hanya dijadikan instrumen pelengkap bukan basis utama dalam merumuskan fatwa atau kebijakan hukum. Ia menyerukan agar realitas sosial dijadikan bagian inti dari epistemologi syariah. Baca: Taha Jabir al-‘Alwani, Towards a Fiqh for Minorities and Governance (Herndon: International Institute of Islamic Thought (IIIT), 2003).
[29] Pandangan tersebut diperkuat dalam pandangan Ebrahim Moosa yang menyatakan bahwa hukum Islam tidak cukup dipahami sebagai teks normatif tetapi harus dibaca dalam konteks kehidupan nyata yang kompleks. Ia menyerukan pendekatan interdisipliner dan reflektif terhadap hukum. Baca: Ebrahim Moosa, Ghazali and the Poetics of Imagination (Chapel Hill: University of North Carolina Press, 2005).
[30] Dalam pembahasan tentang ahliyyah (kelayakan hukum), al-Zuḥaylī menyebut bahwa mukallaf adalah orang yang memiliki kelayakan penuh (ahliyyah al-ādā’), yaitu seseorang yang telah baligh, berakal dan tidak mengalami gangguan yang menghalangi tanggung jawab hukum. Baca: Wahbah al-Zuḥaylī, Uṣūl al-Fiqh al-Islāmī.
[31] Al-Imam Abu Ishaq Asy-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul as-Syari’ah.
[32] Pandangan ini juga ditopang dalam pernyataan Kamaruzzaman Bustamam Ahmad yang menjelaskan bahwa ijtihad tidak cukup bila hanya bersandar pada nash dan akal. Harus ada pembacaan terhadap struktur sosial, relasi kuasa dan dinamika budaya umat. Baca: Kamaruzzaman Bustamam Ahmad, Fikih adalah Ilmu Sosial Islam. Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Ilmu Antropologi Agama (Banda Aceh: Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, 2024).
[33] Metode ijtihad kolektif yang digunakan NU dan Muhammadiyah telah berkembang dari pendekatan tekstual menjadi lebih multidisipliner, terbuka terhadap ilmu sosial dan mempertimbangkan dimensi sosiologis, politik dan ekonomi. Baca: Mukhammad Nur Hadi, “Metode Ijtihad Kolektif Progresif di Indonesia sebagai Media Proyeksi Nalar Kemanusiaan,” Ma’mal: Jurnal Laboratorium Syariah Dan Hukum 4, no. 2 (2023): 141–69, https://doi.org/10.15642/mal.v4i2.247.
[34] Istidlāl sosial dapat diartikan sebagai proses penggalian hukum (istinbāṭ) dalam fikih yang melibatkan realitas sosial sebagai sumber pertimbangan hukum selain dalil-dalil utama (Al-Qur'an, Sunnah, Ijma’, Qiyas).
[35] Mohammad Hashim Kamali menjelaskan bahwa istidlāl dalam usul fikih klasik berorientasi teks, artinya penarikan hukum dimulai dari nash dengan metode seperti qiyās, ijmā‘, istihsān. Konteks sosial belum diberi peran besar secara epistemologis. Baca: Mohammad Hashim Kamali, Principles of Islamic Jurisprudence (Cambridge: Islamic Texts Society, 1991).
[36] Tariq Ramadan, In the Footsteps of the Prophet: Lessons from the Life of Muhammad (Oxford: Oxford University Press, 2007).
[37] Wael B. Hallaq, The Origins and Evolution of Islamic Law (Cambridge: Cambridge University Press, 2005).
[38] Jasser Auda menyebut bahwa fikih klasik, meskipun kaya metodologi terlalu fokus pada struktur teks dan logika deduktif, namun mengabaikan kompleksitas dan dinamika realitas sosial modern. Baca: Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach (Herndon: International Institute of Islamic Thought (IIIT), 2008).
[39] Ali Yafie, Fikih Sosial: Membangun Perspektif Hukum Islam yang Responsif terhadap Masalah Sosial.
[40] Sahal Mahfudz, Nuansa Fiqih Sosial.
[41] Wael B. Hallaq menyatakan bahwa proyek hukum Islam modern tidak lepas dari warisan epistemik kolonial. Ia mengkritik bagaimana hukum Islam di “kodefikasi” seperti hukum Barat modern dan menyerukan pembacaan ulang yang berbasis kritik pascakolonial. Baca: Wael B. Hallaq, The Impossible State (New York: Columbia University Press, 2013), https://www.jstor.org/stable/10.7312/hall16256.
[42] Abdullahi Ahmed An-Na’im juga menyatakan bahwa wacana hukum Islam global kerap dikotomis: konservatif vs sekuler, padahal dibutuhkan pendekatan transformatif yang etis dan historis. Baca: Abdullahi Ahmed An-Na’im, Toward an Islamic Reformation.
[43] Sejalan dengan hal tersebut, Azyumardi Azra menyebut bahwa modernisasi PTKI harus diarahkan pada integrasi ilmu-ilmu keislaman dan ilmu modern agar tidak terjebak dalam dikotomi antara agama dan sains sosial. Ia juga menekankan perlunya pembaruan epistemologi dalam pendidikan Islam. Baca: Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru; Sedangkan Prof. Amin Abdullah sebagai tokoh utama yang mengusulkan pendekatan integratif-interkonektif di PTKI menekankan pentingnya merombak cara berpikir dikotomis dan membangun jembatan antara fikih (normatif) dan ilmu sosial (empirik). Baca: M Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif.
[44] Pandangan tersebut diperkuat oleh penjelasan Masdar F. Mas’udi yang menyebutkan bahwa banyak pengajaran fikih yang tidak mempersiapkan mahasiswa untuk memahami realitas umat karena hanya mengulang-ulang mazhab dan tidak diajak mengkritisi realitas sosial, secara spesifiknya menyebutkan bahwa “Fikih diajarkan seperti rumus, padahal ia adalah hasil dialektika antara teks dan realitas”. Baca: Masdar F. Mas’udi, Fiqh Sosial: Pandangan Islam tentang Transformasi Sosial (Bandung: Mizan, 1991).
[45] Buku ini menjadi rujukan komprehensif tentang sejarah, metode dan dinamika Bahtsul Masail NU. Ahmad Zahro menjelaskan bahwa sejak awal, Bahtsul Masail tidak hanya bersandar pada dalil-dalil fikih klasik, tapi juga melibatkan kajian sosial dan maslahah kontekstual. Baca: Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual NU: Lajnah Bahtsul Masail 1926–1999 (Yogyakarta: LKiS, 2004), 1926–1999.
[46] Disebutkan bahwa nas-nas, baik berupa al-Qur’an maupun as-Sunnah, meskipun banyak yang bersifat universal, namun turun dalam konteks tertentu dan untuk menyapa situasi tertentu. Oleh karena itu apabila konteks penerapannya di zaman sekarang telah berubah, maka pemahaman terhadapnya perlu dilakukan kontekstualisasi dengan memanfaatkan temuan berbagai ilmu terkait. “...” yang semuanya dilakukan dalam bingkai maqāṣid al-syarī’ah sebagai ruang makna. Kemudian ragam kausasi digunakan untuk memecahkan masalah yang tidak terdapat nas langsung mengenainya. Prosesnya dilakukan dengan cara menggali kausa, baik efisien maupun finalis (maqāṣid al-syarī’ah) yang dapat memberikan landasan bagi hukum kasus tersebut. Baca: Syamsul Anwar, Manhaj Tarjih Muhammadiyah (Yogyakarta: Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2018).
[47] Sebagai bukti dan penguat, termaktub juga dalam buku Syamsul Anwar yang menyebutkan bahwa di masa lalu perempuan tidak dibolehkan menjadi pemimpin karena hadis Abu Bakrah yang melarangnya, maka di zaman sekarang terjadi perubahan ijtihad hukum di mana perempuan boleh menjadi pemimpin sebagaimana ditegaskan dalam Putusan Tarjih tentang Adabul Mar’ah fil-Islam yang merupakan putusan Tarjih tahun 1976. Baca: Syamsul Anwar.
[48] Ali Sodiqin, ‘Teori Maudlui Nuzuli Sebagai Dasar Pengembangan Fikih Maqasidi’ Pidato Pengukuhan Guru Besar Pada UIN Sunan Kalijaga, Februari 2024, Dalam naskah ini, hukum Islam sebagai rekayasa sosial memperoleh penekanan yang sangat kuat.
[49] Gilles Kepel, Jihad: The Trail of Political Islam (Cambridge: Harvard University Press, 2002); Mawil Y Izzi Deen, “Islamic environmental ethics, law, and society,” dalam This Sacred Earth (Routledge, 2003), 158–67; Olivier Roy, Jihad and Death: The Global Appeal of Islamic State (Oxford: Oxford University Press, 2017).
[50] José Casanova menjelaskan bagaimana agama di era modern dapat mengalami “publikisasi” yang berujung pada proyek identitas eksklusif, terutama ketika agama dijadikan alat dalam politik identitas. Baca: José Casanova, Public Religions in the Modern World (Chicago: University of Chicago Press, 1994).
[51] Mas’udi menyebut bahwa fikih sejati adalah jawaban profetik terhadap realitas bukan sekadar sistem hukum. Ia berfungsi untuk menjamin hak-hak manusia, menyuarakan keadilan dan menggerakkan perubahan sosial. Baca: Masdar F. Mas’udi, Fiqh Sosial: Pandangan Islam tentang Transformasi Sosial.