WhatsApp Image 2025-05-09 at 13.00.04.jpeg

Kamis, 08 Mei 2025 10:39:00 WIB

0

Qirā’ah Mu’āṣirah fī al Aḥkām: Mempertemukan Uṣul Fiqh dengan Filsafat Hukum dalam diskursus Hukum Kontemporer (Pidato Pengukuhan Guru Besar Prof. Dr. H. Shofiyullah Muzammil, M.Ag. Dosen FUPI)

Sidang senat terbuka yang terhormat,

Qirā’ah Mu’āṣirah terinspirasi dari judul kitab yang sangat mengispiratif karya monumental Muhammad Shahrūr ”al-Kitāb wal Qur`ān: Qirā’ah Mu`āṣirah” (1990).  Istilah tersebut sangat relevan dengan apa yang ingin saya sampaikan dalam kajian ini, yakni ingin menguraikan cara membaca yang baru (qirā’ah mu’āṣirah) dalam hukum Islam, sebagai hasil kajian saya dalam mempertemukan tradisi uṣul fiqh dengan filsafat hukum dalam diskursus hukum kontemporer.

Sebelum lebih jauh menemukan apa yang saya sebut sebagai “cara baca baru”, terlebih dahulu saya ingin menyampaikan sebuah kasus yang sangat menarik untuk dijadikan tempat belajar, yakni Fatwa MUI Pusat, No 14 tahun 2021, tentang Vaksin AstraZaneca, yang telah menetapkan hukum Ḥaram-Mubah.

Keputusan fatwa tersebut dilakukan setelah melakukan analisa mendalam terhadap hasil laporan tim auditor LPPOM MUI yang disampaikan kepada Komisi Fatwa MUI. LPPOM menjelaskan tentang proses  penyiapan bibit vaksin rekombinan [Research Virus Seed) hingga siap digunakan untuk produksi (tahap master seed dan working seed). Organisme rekombinan disiapkan dengan menyelipkan replication-deficient chimpanzee adenovirus (ChAdoxl) kepada Chromosome bakteri E.coli. Pada tahap ini terdapat penggunaan tripsin dari babi sebagai salah satu komponen pada media yang digunakan untuk menumbuhkan E.coli dengan tujuan meregenerasi transfeksi plasmid p5713 p-DEST ChAdoxl nCov-19.

Secara detil saya telah mengkaji masalah ini dalam artikel saya berjudul “Phronesis Dimension (Al-Shu’ūr Al-Faḍīllah) As A New Manhaj Of Contemporary Fiqh: Case Study of Central MUI Fatwa No. 14 of 2021 and East Java MUI Fatwa No. 1 of 2021 on the Law of AstraZeneca’s COVID-19 Vaccine Products” (2023)

Epistemologi Filsafat Hukum Islam

Sebelum lebih jauh memberi catatan pada kasus di atas, terlebih dahulu saya ingin menguraikan sebuah landasan epistemologi Filsafat Hukum Islam.

Pertama-tama saya melakukan pelacakan epistemic pada akar Filfasat Hukum Islam untuk membaca ulang keputusan fatwa tersebut. Saya mulai dari Thomas Aquinas (1225-1274 M).  Mengapa saya memulai dengan Thomas Aquinas? karena pendapat Thomas Aquinas tentang Filsafat Hukum, sangat relevan dengan Filsafat Hukum Islam yang saya yakini, yakni meletakan Hukum Tuhan (lex Divine) sebagai sumber hukum, sebagaimana Filsafat Hukum Islam, yang menjadikan kitab Al-Qur’an sebagai sumber hukum juga.

Thomas Aquinas dalam karyarnya “Summa Theologia” (1265-1274), yang menjelaskan filsafat hukum terkait adanya prinsip-prinsip moral universal yang dapat ditemukan melalui akal budi manusia yang harus ditaati oleh semua orang, terlepas dari keyakinan mereka. Hukum alam ini berasal dari Tuhan dan mencerminkan kehendak-Nya.

Thomas Aquinas membagi hukum ke dalam empat jenis, yaitu pertama, "lex aeterna" (hukum abadi Tuhan). Hukum yang mengatur seluruh alam semesta, berasal dari Tuhan, dan merupakan sumber dari segala hukum.  Kedua, "lex divina" (hukum Ilahi yang diwahyukan), yaitu bagian dari hukum abadi yang diwahyukan kepada manusia melalui kitab suci atau agama. Ketiga, "lex naturalis" (hukum alam yang berasal dari akal manusia) yaitu hukum yang berasal dari akal budi manusia dan mencerminkan hukum abadi, yang mengatur perilaku manusia secara umum.  Keempat, "lex humana" (hukum positif buatan manusia). Hukum yang dibuat oleh manusia untuk mengatur kehidupan masyarakat, dan harus selaras dengan hukum alam dan hukum Tuhan.

Teori Hukum Alam Thomas Aquinas ini kemudian dikembangkan hingga saat ini, dengan teori New Natural Law, oleh John Finnis, Germain Grisez (1928-2018) dalam karyanya Natural Law and Natural Right,(1980)  dan The Cambridge Companion to natural Law jurisprudence (2017)

Selain merujuk pada Thomas Aquinas, saya juga merujuk pada pendapat al Ghazālī  (1059-1111 M) yang mengkritik filsafat Yunani, terutama Aristoteles dan Neoplatonik sebagai yang tidak menghargai sumber ilmu yang berasal dari Tuhan sebagai basis epistemologi. Salah satu kesalahan filsafat Yunani dalam Tahāfut al-Falāsifah (1138 M) menurut al Ghazālī bukan pada persoalan akal nurani, akan tetapi kritik terhadap pemikiran filsuf, terutama yang berasal dari tradisi Aristotelian yang berpengaruh di dunia Islam. Al Ghazālī berpendapat bahwa ada aspek-aspek yang hanya dapat dipahami melalui wahyu dan agama Islam, bukan hanya dengan akal manusia.

Dengan menggunakan alasan dari kedua filsuf tersebut, saya semakin menyakini jika Filsafat Hukum Islam, menyadari secara mutlak bahwa hukum Tuhan atau wahyu yang tertulis, (lex Divina) merupakan sumber hukum mutlak yang tidak dapat digugat keberadaanya. Meskipun tentu, untuk menjelaskan sisi hukum dalam Al-Qur’an, menggunakan akal nurani manusia, sebagaimana Aristoteles yang mengatakan bahwa filsafat merupakan kerja akal murni manusia.

Pendapat Aritoteles tersebut menjadi basis filsafat Thomas Aquinas dan al Ghazālī. Keduanya berusaha untuk menyatukan pemahaman tentang agama dan filsafat, menggunakan pemikiran filsafat untuk memahami ajaran agama dan menggunakan ajaran agama untuk memberikan kerangka moral dan tujuan akhir bagi pemikiran filsafat.

Pertemuan Qirā’ah Mu’āṣirah fī al Ạḥkām dan Maqāṣid al Sharī’ah

Secara khusus al Ghazali dalam Iḥyā’ ‘Ulūmiddīn, menjelaskan tentang Maqāṣid Sharī’ah, baginya Syariah merupakan lex divine, yang menjelaskan hal apa saja yang harus dilindungi dalam kehidupan, khususnya manusia. Pendapat al Ghazālī ini merupakan pendapat gurunya, yakni Abdul Mālik Bin Abdullāh Bin Yūsuf Bin Abdullāh yang masyhur dengan al Imām Ḥarāmain al Juwaini. (1028-1085 M), pengarang kitab “al Burhān Fī Uṣul Fiqh”.

Imam al Juwaini sebagaimana dijelaskan oleh al Ghazālī membagi tiga tingkatan dalam Teori Maqāṣid, yaitu: Ḍarūriyāt (kebutuhan primer), Hājiyyāt (kebutuhan sekunder), dan Taḥsiniyyāt (kebutuhan tersier). Setelah al Ghazālī, ulama-ulama lainnya juga turut menghiasi dinamika teorisasi Maqāṣid seperti Izzudīn bin Abdussalām, Shihāb al Dīn al Qarafī, Najam al Dīn al Ṭūfī, Ibnu Taimiyah, dan Ibnu al Qayyīm. Para ulama ini masih mendudukan Maqāṣid sebagai maṣāliḥ al mursalah dan tidak menempatkannya sebagai uṣul al shar’iyyah.

Kemudian muncul, Abū Ishāq Ibrāhīm bin Mūsā bin Muḥammad al-Laksmī al-Gharnāṭī, yang dikenal dengan Imam al Shāṭibī (1388 M) melalui kitabnya al Muwāfaqāt fī Uṣuli  al Sharī’ah. Dalam hal ini, Imam al Shāṭibī mengajukan tiga perubahan penting dalam teorisasi Maqāṣid yang digunakan para ulama sebelumnya, yaitu:

Pertama, menganggap kedudukan Maqāṣid sebagai bagian dari uṣul al sharī’ah. Imam al Shāṭibī menganggap bahwa Maqāṣid dengan tiga tingkatan yang dikemukakan Imam Al Ghazālī di atas merupakan bagian dari ajaran pokok agama dan kaidah-kaidah syariah yang tidak dapat diabaikan. Sehingga semua ijtihad hukum maupun putusan pengadilan harus ditimbang melalui Teori Maqāṣid ini. Pandangan ini berbeda dengan jumhūr al ‘ulamā’ sebelumnya yang masih memperlihatkan dominasi analisis normatif-tekstual.

Kedua, menggeser kedudukan Maqāṣid dari hikmah di balik hukum (al ḥikmah min warā’i al aḥkām) menjadi prinsip-prinsip atau kaidah dasar dalam hukum (qawā’id al aḥkām). Jadi tidak lagi melihat Maqāṣid sesudah hukum ditetapkan melainkan menggunakan Maqāṣid sebagai pertimbangan dalam penetapan hukum. Dengan kedudukan ini, maka Maqāṣid tidak dapat dikalahkan dengan ketentuan-ketentuan hukum yang bersifat parsial (al aḥkām al juziyyah).

Ketiga, memanfaatkan kolektivitas dalil dari berbagai bentuknya (istiqrā’ al-ma’nāwī) baik yang terkait dengan naṣ secara langsung (manqūlah) atau tidak langsung (ghairu manqūlah). Kolektivitas antar dalil ini akan melahirkan satu pemahaman yang utuh tentang makna hakiki dari syariah dan tujuannya ketika syariah tersebut diberlakukan. Dari kolektivitas dalil ini lahirlah lima hal pokok yang menjadi maqāṣid dari hukum Islam yaitu menjaga agama, jiwa, keturunan, harta dan akal yang kemudian dikenal dengan al Usūs al Khamsah.

Meski demikian, kehadiran Imam al Shāṭibī tidak menghapus paradigma literal (linguistik-teologis), tapi ingin lebih melengkapinya agar ilmu ini dapat lebih sempurna dalam memahami perintah Allah. Pada dasarnya proyek al Shāṭibī ini ingin menggeser poros ilmu uṣl fiqh dari deduksi teks-teks parsial kepada paradigma antroposentris. Karenanya, fikih tidak hanya dicari di dalam teks-teks syariah saja, akan tetapi juga memperhatikan aspek-aspek pranata sosial kehidupan masyarakat. Teks-teks syariah tetap menjadi sumber utama yang memberikan bimbingan dalam kehidupan, tetapi pengalaman eksistensial kehidupan dalam suatu ruang sosial tertentu juga memberi wawasan bagaimana teks-teks syariah itu harus ditafsirkan.

Melalui Imam al Ghazālī dan Imam al Shāṭibī, saya menemukan jika kehidupan sosial menjadi salah satu pertimbangan dalam menentukan hukum. Setelah Thomas Aquinas menetapkan 4 jenis hukum; lex aeternal, lex divine, lex natura, dan lex humana, kini menjadi 5, yaitu lex social.  Pengikut di Indonesia antara lain, Prof. Hasbi Ash-Shiddieqy dan Prof.  Yudian Wahyudi.

Hasbi Ash-Shiddieqy, T.M, dalam Filsafat Hukum Islam (1975) menjelaskan jika hukum Islam harus mempunyai relasional dengan dinamika masyarakat, bahkan lebih jauh dapat melakukan rekayasa sosial. Gagasan Hasbi sebenarnya bermaksud merumuskan ketetapan fikih dari hasil ijtihad yang lebih cocok dengan kebutuhan masyarakat Indonesia, agar fikih tidak menjadi barang asing dan diperlakukan sebagai barang antik. Dalam pandangan penggagasnya, hukum Islam harus mampu menjawab persoalan-persoalan baru, terutama dalam segala cabang dari bidang muamalah yang belum ada ketetapan hukumnya. Pendapat ini diikuti oleh Yudian Wahyudi dalam Tajdīd-Tajdīd Prof Drs KH Yudian Wahyudi MA PhD Mem ‘Pancasila’ kan Al Asmā’ (2022).

Yudian Wahyudi, berupaya merekonseptualisasi Maqāṣid Sharī’ah, secara praksis sosial. Baginya, konsep-konsep klasik Maqāṣid Sharī’ah perlu dikembangkan dan diadaptasi untuk menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, hak asasi manusia, dan dinamika keberadaban manusia. Selain itu juga, Yudian Wahyudi juga memandang Maqāṣid Sharī’ah sebagai metode dalam memahami dan mengaplikasikan hukum Islam. Ia menekankan bahwa hukum-hukum Islam harus dilihat dalam konteks tujuan atau maksud yang ingin dicapai.

Bagi keduanya, baik Ash-Shiddieqy ataupun Yudian, hukum (fiqh) juga harus mampu hadir dan berpartisipasi dalam membentuk gerak langkah kehidupan masyarakat. Keduanya memiliki pemikiran yang sama, yakni memaknai hukum Islam dalam bingkai law as a tool to social engineering. 

Selanjutnya saya membaca Akkermans (2012) dan Naivi (2022) keduanya menuliskan sumber pertimbangan hukum Lex Rae Sitae. Istilah lex rei Sitae atau lex Situs menyatakan jika asas ruang/situasi posisi memiliki norma hukum khusus yang harus dihormati atau keadaan khusus yang sangat unik yang memerlukan norma kepastian dalam berbuat. Istilah Lex Situs lebih dikenal dalam Hukum Perdata internasional. Ini artinya bisa saya pahami bahwa unsur berikutnya yang menjadi sumber pertimbangan hukum adalah kondisi khusus memiliki ruang hukum sendiri. 

Dengan demikian, setelah melakukan pelacakan literatur dari Thomas Aquinas, al Ghazālī, al Shāṭibī, Hasbi dan Yudian, Akkermans, dan Naivi, tentang sumber penetapan hukum, akhinya ditemukan menjadi 6 jenis, yakni (1) lex Aeterna, (2) lex divine, (3) lex nature, (4) lex humana, (5) lex socius, dan (6) lex rae Sitae/lex Situs.

Fiqh Ethic Perspektif  Qirā’ah Mu’āṣirah fī al Aḥkām

Berdasar pelacakan terhadap literatur, kini saya dapat menjelaskan mengapa hukum vaksin AztraZenica yang dikeluarkan oleh MUI Pusat mengikuti prinsip-prinsip dari 6 jenis hukum, yakni Ḥaram-Mubah. MUI mempertahankan sikap kehati-hatian dalam situasi yang darurat, mendesak yakni menyelamatkan salah satu dari al Khamsah, yaitu nyawa.

Meskipun dalam keterdesakan dan tekanan atas bahaya yang mengancam, MUI tetap mempertahankan atas hukum keharaman babi dan turunnnya (intifā’ al Khinzīr Ḥarām Muṭlaq), yang telah dituliskan dalam hukum Tuhan (Lex Divine) Surat Al Baqarah (2): 173. Sikap keteguhan  dalam memegang Lex Divine, menjadikan hukum tersebut tetap haram, namun karena kondisi yang sangat mendesak, dan dengan mempertimbangkan sisi fungsi dalam ilmu farmakologi dan medis, bahwa tripsin, menjadi unsur yang saat ini mampu mengikat virus yang dilemahkan, dan demi alasan khusus (lex rae sitae) perlindungan pada nyawa orang banyak, yang diamanatkan oleh syariah harus ditegakkan  dan diperjuangkan, maka hukum ḥaram, dengan dikontekskan pada dilema hidup-mati manusia, (lex socius), diberi hukum baru, yakni mubah, diperkenankan-untuk batas waktu dan kondisi tertentu, sebelum ada pengganti tripsin halal sebagai pengikat virus covid tersebut.

Sikap ini bagi saya merupakan sikap keadilan tanpa merusak wibawa syariah, meskipun dihadapkan pada bencana kematian. Keadilan yang saya maksud “menempatkan sesuatu pada tempatnya” (wad’u al shai’i fī maḥallihi) atau “memberi pihak lain haknya melalui jalan yang terdekat”. Lawannya adalah “kezaliman” yaitu menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya (wad’u al shai’i fī ghairi maḥallihi). 

Setiap manusia tentu mempunyai hak untuk memiliki atau melakukan sesuatu, karenanya hak-hak itu harus diperhatikan dan dipenuhi dengan sebaik-baiknya. Hak-hak setiap manusia itu misalnya hak untuk hidup, memiliki sesuatu, belajar, bekerja, berobat, kelayakan hidup dan jaminan keamanan. Sayangnya, dalam kondisi plural dan tidak ideal, pejuangan keadilan tidak dapat dicapai secara optimal.

Terkait dengan hal tersebut, saya membaca tulisan John Rawls, Justice as Fairness: A Restatement (2001) yang menawarkan bagaimana menata masyarakat yang majemuk secara fair. Konsep fairness dipahami sebagai kemampuan untuk bersikap dan bertindak yang dapat diterima dan didukung secara timbal balik. Keadilan dipahami bukan lagi sebagai norma, akan tetapi sebagai Justice as Fairness, akomodasi atas pluralitas. Tidak ada keadilan dalam greater walfare yang diperoleh dengan adanya beberapa situasi individu-individu yang tidak beruntung. Karena pada realita terburuk, keadilan merupakan kesetaraan dalam ketidaksetaraan. Keadilan dalam kesetaraan maksudnya terdapat kebebasan (liberty) dan hak politik dasar yang sama bagi setiap manusia tanpa memandang kelebihan atau kekurangan yang dimiliki, dimana kebebasan (liberty) dan hak politik disini tidak boleh dikurangi atau dikompensasikan dengan yang lain.

Penjelasan di atas merupakan Qirā’ah Muāṣirah fī al Aḥkām, dengan melakukan kerja integratif mengkaitkan nalar hukum berdasar pada 6 sumber hukum, lex Aeterna, lex divina, lex natura, lex humana, lex socius dan lex rae sitae, untuk dicari pertimbangan keadilan dalam kondisi ketidakmerataan.

Semua merasakan kesetaran (equal) dalam kebebasan (liberty), peluang distribusi merata dan kesejahteraan (wealth) yang konsisten dengan kedua kebebasan tersebut yaitu kesetaraan kewarganegaraan dan kesetaraan kesempatan dapat dicapai. Inilah alasan kuat, mengapa lex rae situe menjadi unsur baru dalam hermeuntika hukum yang harus dikembangkan lebih jauh dalam kajian akademik

Selanjutnya, alasan saya menggunakan istilah Qirā’ah Mu’āṣirah Shahrūr, karena secara metodologi hermeneutiknya, sesuai dengan metode Shahrūr dalam hermeneutika Al-Qur’an yang menggunakan dua pendekatan : (1).mengungkap hubungan antara sebuah teks tertentu dengan teks lainnya yang diistilahkan dengan manhāj al tartīl dan (2). pendekatan limit atau batasan (naẓāriyāt al ḥudūd). Asumsi dasar dari teori ini adalah bahwa Tuhan-lah yang menentukan batas batasan (limit/ḥudūd) pelaksanaan syariah Islam.

Teori limit ini merumuskan dengan meletakkan dua istilah dari al Kitāb yakni Istiqāmah dan Ḥanifiyah. Istiqāmah dipahami sebagai kesungguhan untuk tetap berada dalam jalan yang lurus. Sementara Ḥanifiyah dipahami sebagai penyimpangan dari jalan yang lurus.

Dengan demikian, hermeneutika Shahrūr melalui tahapan (1) analisis tekstual normatif dengan mempertemukan (2) analisis historisnya, untuk mencoba (3) memahami kondisi kekinian melalui serangkaian observasi, untuk kemudian (4) menemukan penjelasan baru yang sesuai dengan ruang baru, sebagai sesuatu yang ḥanifiyah. Sebuah  kecenderungan yang keluar dari tekstual-normatif, akan tetapi kontektual dengan kehidupan kini. Karena itulah menurut Shahrūr tidak ada tafsir yang sinonim yang kemudian oleh Shahrūr disebut dengan asinonimitas (عدم الترادف(.

Istilah asinonimitas (ghair mutarādif) atau ketidak-sinoniman adalah salah satu konsep paling penting dan khas dalam teori hermeneutika Muhammad Shahrūr. Konsep ini ia angkat secara serius dalam al Kitāb wa al Qur’ān: Qirā’ah Mu‘āṣirah sebagai landasan linguistik tafsirnya.

Konsep hermeneutika Al-Qur’an yang digunakan oleh Muhammad Shahrūr dalam bukunya al Kitāb wa al Qur’ān: Qirā’ah Mu’āṣirah merupakan pendekatan yang sangat berbeda dari tafsir tradisional. Ia mencoba merumuskan pembacaan kontemporer (qirā’ah mu‘āṣirah) terhadap Al-Qur’an dengan menggabungkan pendekatan linguistik, logika modern, dan semangat zaman (zeitgeist).

Dengan analogi Qirāah Mu’āṣirah model Shahrūr tersebut, yang mempertimbangkan 4 langkah hermeneutikalnya, saya menjadikan istilah Qirā’ah Mu’āṣirah fī al Aḥkām sebagai upaya membaca kontektualistas hukum Islam dengan 4 langkah, (1) analisis literatur yang berasal dari lex divine, lex aeterna, untuk kemudian (2) mempertemukan dengan lex natura, lex socius, guna menemukan (3) keterbatasan hukum (limitasi) (lex humana) atas sebuah kasusistik/ lex rae sitae, untuk mencari serta (4). memperjuangkan keterlindungan tehadap kesetaraan, kebebasan dan kesejahteraan yang mendasar dalam kondisi ketidaksetaraan yang tidak dapat dihindari.

Melalui apa yang saya sebut Qirā’ah Mu’āṣirah fī al Aḥkām tersebut dapat diambil suatu simpulan bahwa hukum Islam akan berpeluang mengembang semakin aplikatif, inovatif secara revolutif. Hukum Islam akan selalu ḥanifiyah dengan perkembangan ruang/situs, dan dinamika sosial tanpa kehilangan keteguhannya (Istiqāmah) pada syariah (lex Divina). Hukum Islam akan selalu menzaman (murûnah), ṣālih likullil azmān wal ahwāl wal amkān. Wallāhu a’lamu bis ṣawāb

Demikian semoga ada manfaatnya.


 

Referensi

al Ghazālī, A. H. (2017). Al-Mustasfa min ʿIlm al-Uṣūl (Vol. 1). Cairo: Dar al-Thaqafah.

al Juwaini, Adb al Mālik Bin Yūsuf (1997), al Burhān fī Uṣul al Fiqh. Kairo: Dar al-Anshar.

Akkermans, Brams (2012), dalam “Lex Rae Sitae in perspective : Natioal Development of a Common Rule ?, Masstricht European Private Law Institue Working Paper No 2112/14

Anam , Khoirul. (2022), Tajdīd-Tajdīd Prof Drs KH Yudian Wahyudi MA PhD Mem ‘Pancasila’ kan al Asmā’, Penerbit Cakrawala, Yogyakarta

Hasbi Ash-Shiddieqy, T.M, (1975), , Filsafat Hukum Islam, Penerbit Bulan Bintang, Jakarta

Hasbi Ash-Shiddieqy, T.M , Sejarah Pertumbuhan  dan Perkembangan Hukum Islam, Penerbit Bulan Bintang

Hallaq, Wael B. (2009). An Introduction to Islamic Law (New York: Cambridge University Press.

Muslehuddin, M, YW Asmin (1991),  Filsafat Hukum Islam Dan Pemikiran Orientalis: Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam, - Tiara Wacena Yogya

Muzammil, Shofiyullah. (2023). “Phronesis Dimension (Al-Syu’ūr Al-’Faḍīllah) As A New Manhaj Of Contemporary Fiqh: Case Study of Central MUI Fatwa No. 14 of 2021 and East Java MUI Fatwa No. 1 of 2021 on the Law of AstraZeneca’s COVID-19 Vaccine Products”. Journal of Asian Wisdom and Islamic Behavior, 1(2), 104-119

Naivi Chikoc Barreda, (2022), Succesion Internationale et Dispositions speciales de la lex rei sitae, L’Harmattan, Canada,

Purwadi, Ari, (2016), Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional, Pusat Kajian Hukum Pembangunan, UNWIKU Surabaya,

Prahassacitta, Vidya. (2018), Makna Keadilan Dalam Pandangan John Rawls, Https://Business-Law.Binus.Ac.Id/2018/10/17/Makna-Keadilan-Dalam-Pandangan-John-Rawls/

Rawls, John (1971). A Theory of Justice, Cambridge, Mass: Harvard University Press.

Rawls, John (2001). Justice as Fairness: A Restatement, Cambridge, MA: The Belknap Press of Harvard University Press.

Shahrur, Muhammad. (1990). Al-Kitāb wa Al-Qur’ān; Qirā’ah Mu’āṣirah. Damaskus: al-Ahali li al Tabā’ah wa al Nasyr wa al Tauji’.

------------. (2004). Metodologi Fiqh Islam Kontemporer, terj. Sahiron Syamsudin dan Burhanudin. Yogyakarta: elSaq Press.

Syaiful Arif , (2022), Islam dan Pancasila Perspektif Maqashid Syari’ah, Prof KH Yudian Wahyudi, PhD” dengan Penerbit Cakrawala, Yogyakarta

Wahyudi , Yudian. (2007). Maqāṣid Sharīʼah dalam Pergumulan Politik: Berfilsafat Hukum Islam Dari Harvard Ke Sunan Kalijaga, Nawesea, Pesantren Nawesea.

Wahyudi, Yudian. (2007). Ushul fikih Versus Hermeneutika: membaca Islam dari Kanada dan Amerika, Pesantren Nawasea Press

 

 

 


 

UCAPAN TERIMA KASIH

 

فَبِاَيِّ اٰلَاۤءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبٰنِ

Sungguh dusta dan kebohongan tak termaafkan bila tidak mau mengakui dan mensyukuri anugerah nikmat yang telah Allah limpahkan selama ini. Raḥmān dan Raḥīm Allah demikian nyata dan mendominasi dalam hidup saya selama ini. Begitu kasih dan sayangnya Allah pada hamba-Nya yang ḍaif dan bodoh ini walau sejatinya masih jauh dari pantas dan layak tapi hari ini Allah ijinkan juga berdiri di mimbar yang mulia dan terhormat ini dengan mengenakan pakaian kehormatan yang menjadi mimpi semua insan akademis.

Selain karena Irādah Allah, capaian prestasi sebagai Guru Besar ini bisa terwujud pastinya berkah doa dan tirakat azimat dan pusaka hidup saya, Ummi Hj Aisyah Makky sejak saya masih berusia 5 bulan ditinggal oleh almarḥum ayahanda Kyai Ahmad Muzammil Imron. Lebih dari lima puluh tahun beliau tidak pernah lelah dan berhenti berdoa dan berpuasa tirakat untuk kesuksesan dan kemuliaan anak dan cucu hingga cicit beliau. Keikhlasan, kekuatan, kesabaran, ketegaran serta keistiqamahan beliau dalam memohon dan bermunajat pada Allah demi dan untuk kemuliaan serta kesuksesan anak cucu cicit beliau kini mulai berbuah. Beliau adalah azimat hidup kami. Beliau adalah pusaka tak ternilai kami. Beliau adalah malaikat yang Allah turunkan untuk kami sekeluarga, Bani Muzammil Imron. Kakak-kakakku yang tidak pernah lelah menasehati dan mensupport adik bungsunya yang ndablek ini untuk selalu berprestasi. Mas Althofurrohman dan Mbak Avie, Mas Achmad Adib dan Mbak Nina serta Mbak Iffah dan Mas Abu Dzarrin al-Hamidy.

Orang kedua yang sangat berjasa mengantarkan saya berdiri di mimbar terhormat dan mulia ini adalah orang yang telah mewakafkan hidupnya dua puluh jam untuk menemani saya dalam segala keadaan. Dia sesungguhnya adalah yang akan jadi bidadariku di surga kelak tapi Allah turunkan saat ini ke dunia. Suḥbatu al Rūḥi, Dr. Hj. Imelda Fajriati. Sosok bidadari yang membuat hidupku selalu memiliki mimpi, harapan, keinginan dan cita-cita. Tanpa kehadirannya lenyaplah seluruh asa dan cita-cita hidup di dunia ini semua. Tidak ada untaian satupun kata-kata yang mampu menorehkan cinta dan kasih sayangku padanya,

“aku ingin mencintaimu dengan sederhana; dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu

aku ingin mencintaimu dengan sederhana; dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada”

Alya Mafaza, Ahmad Jabir Muzammil dan Muhammad Nadirsyah Muzammil. Tiga cindur mataku, qurratu ʿayni yang menjadi sumber energi dan kekuatan yang tiada pernah susut dalam hidupku. Terimakasih wahai anak-anakku. Engkau bertiga telah berhasil mengantarkan ayahmu ini bisa berdiri di mimbar yang mulia dan terhormat. Kalian bertiga bersama Mama ibarat gabungan beberapa timnas sepakbola terbaik dunia Brazil, Jerman, Prancis dan Belanda yang bersatu melawan timnas Madura United. Penguasaan, ketrampilan, keindahan, kecepatan dan kekuatan dalam menguasai dan mengolah bola begitu apik kalian racik sehingga sepakbola tidak lagi sebagai olahraga tapi lebih sebagai pertunjukan seni yang berkualitas dan mengasyikkan untuk ditonton dan dinikmati. Pertandinganpun berakhir dengan skor gol yang memuaskan penonton, 2-3 untuk Madura United.

Allāhummaghfir wa yarḥam, Kyai Ahmad Dimyathi Romly dan Ibu Nyai Muflihah Marzuqi allāhumma adkhilnā  al jannata ma’ahumā, âmîn.. Almarḥum berdua adalah orang yang sangat besar peran dan jasanya mengantarkan saya bisa berdiri di podium kehormatan ini. Takdir Allah membuat almarḥum berdua tidak bisa hadir di ruangan ini dan hanya menyaksikan dari alam sana. “Kabeh wis onok tulisane” the magic word yang selalu diingatkan oleh almarḥum dalam menjalani hidup ini. Itulah yang hingga kini jadi pegangan kami, Bani Dimyathi Romly. Adik-adikku yang selalu kompak saling mendukung untuk selalu berprestasi dan bermanfaat sebagaiamana pesan almarhum. Adinda Soraya dan Prof Yon Mahmudi, Adinda Kyai Afifuddin dan dik Nafis, Adinda Izzulhaq, PhD dan dik Ulfa, Adinda Fara Habiba dan dik Muayyad, Adinda Dzul Azmi dan dik Nayla serta Adinda Ahmad Muharom dan dik Zaza. 

Terima kasih tak terhingga saya haturkan untuk Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementrian Agama yang telah menerbitkan SK Guru Besar Bidang Filsafat Hukum Islam untuk saya setelah sebelumnya dinyatakan lulus ujian kompetensi guru besar nasional oleh Kemenag.

Terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya untuk Ketua dan Sekretaris Senat Universitas, Prof Kamsi dan Prof Maragustam, duet maut yang sangat energik dan produktif. Rektor Prof Noorhaidi yang membanggakan dengan segudang prestasi akademiknya, mulai dari jadi sepasang dosen suami-istri pertama di UIN Sunan Kalijaga yang sama-sama meraih gelar Profesor hingga karya-karya ilmiahnya yang terindeks Scopus dengan h-indexnya mencapai 31. Prof Isitiningsih, Ibu WR satu yang lembut khas keibuan namun terukur dalam bertindak. Bapak WR dua, Dr Kyai Moh Sodik, M.Si. yang seolah Tuhan takdirkan untuk menjadi penyejuk dan peredam emosi di segala cuaca dan Cak Dr Rozaky WR tiga yang kapasitas, kapabilitas, otoritas dan kompetensi serta jam terbangnya di bidang kemahasiswaan tiada tanding tiada lawan.

Terima kasih juga untuk pasukan PAU di bawah komando al Ustadh al Mukarram Dr. H. Ali Sodiq, S.Ag., M.A. duo Kabiro AUK-AAKK. Ibarat pelatih Shin Tae Yong, beliau adalah pelatih sekaligus manager yang sangat terampil dan piawai dalam menjalankan roda PAU. Beliau mampu memunculkan pemain handal dan berbakat serta berdedikasi tanpa naturalisasi seperti Mas Khoirul Anam, Mas Suefrizal, Ibu Ita, Mas Roger, Mas Pamuji, Mba Tantri, Mba Devi dkk.

Terimakasih untuk Bapak Dekanku, Prof Robby Habiba Abror beserta timnya yang hebat, Prof Saifuddin Zuhri “yang” Qudsy, Dr. Salehuddin dan yang tidak kalah luarbiasanya, Dr. Munawar Ahmad, M.Si. Perjalanan sejarah dan kebersamaan saya dengan Pakdhe Robby selama ini membuat teman tendik seperti Ibu Isti, Ibu Wulan dkk mempertanyakan apa benar kami berdua saudara kembar lain bapak dan ibu? Prof Saifuddin Zuhri “yang” Qudsy adalah provokator dan promotor ulung yang berhasil menjebloskan saya ke jurang IA Scholar dan keluar membawa Scopus Q1. Sementara Dr Munawar Ahmad adalah sosok genuine ilmuan inelektual cendekiawan yang mendarmabaktikan hidupnya untuk ilmu pengetahuan dan kebaikan serta keberhasilan bagi semua orang. Beliau adalah orang yang senang melihat orang lain senang dan berhasil. Tipe manusia yang mulai langka pada jaman persaingan yang semakin tidak sehat ini. Semoga dalam waktu dekat ini segera turun SK GB beliau, āmīn. Mas Salehuddin sosok energik kreatif kader potensial Cak Rozaky dalam bidang kemahasiswaan yang saat ini mulai merambah bisnis menambah poin remunerasi sebagai “youtuber” dengan subscriber sedikit agak jauh dibawah Bapak Fahruddin Faiz.

Terimakasih untuk Ibu kabag dan duo-kasubbagku yang baik dan murah senyum, Ibu Latifah, Ibu Isti dan Ibu Wulan adalah kombinasi tim yang handal. Beruntung FUPI memilikinya. Mas Ichsan, Mas Wahyudi, Ibu Umy, Mas Dani, Bu Edni, Mas Hanafi, Bapak Maryanto, Bu Intan, Mas Agus, Mas Sarmin dan semua tendik FUPI yang gercep hebat dan ulet.

Terimakasih untuk guru dan kolega dosen FUPI dan Bina Mulia, Prof Amin Abdullah, Prof Kyai Sahiron, Prof Almakin, Prof Inayah, Prof Irma, Prof Kyai Mustaqim, Prof Kyai Zuhri, Prof Baidowi, Abah Kyai Rafiq, Kyai Mansur, pak Indal Abror, pak Ustadi, pak Soehadha, Prof Shafa, pak Alim, Ndan Fathan, pak Novian, pak Agung, bu Nia, bu Uma, bu Aida, bu Adib, bu Fitri, Prof Sekar, pak Taufik, pak Waryani, Mas Zikry, Mas Dery, Mas Arif, Mas Afandi, Mas Lutfi, Mas Muammar, Mas Yasser, bu Dian, bu Khodijah, bu Nafis, bu Imas, bu Hikma, bu Aven, Mas Akmal, pak Ali imron, Mas Faiz Aziz, Mas Mahatma Yoga, pak Roma, Mas Afif, Mas Prabha, Mas Erham, si ganas Pak Mutik dan yang lainnya.

Terimakasih untuk beliau yang saya takdhimi pengasuh PP Tebuireng Jombang, KH Abd Hakim Mahfudz beserta bunyai Lelly, Pengasuh PP Darul Ulum Jombang KH. A. Tamim Romly dan bulek Muflihah, Pengasuh PP Langitan, KH Ali Marzuqi dan bulek Aisyah, Pengasuh PP Madrasatul Quran, KH. Ir. Abd Hadi dan bunyai, Pengasuh PP AIS, KH A Junaidi Hidayat dan bunyai, Pengasuh PP Darul Quran wal Irsyad, PP KH. Abd Kharis Masduki dan bunyai, Pengasuh PP Sunan Pandanaran, Dr. KH. Mu’tashim Billah, MPd. dan bunyai Faiqoh, Pengasuh Wahid Hasyim KH Drs. Abd Jalal Hadi dan bunyai Nely, Pengasuh PP Krapyak KH Hamid Abd Qadir dan bunyai, Pengasuh PP Annur KH Yasin Nawawi dan bunyai, KH Ashari Abta dan bunyai serta Kyai Masruri dan bunyai. Rektor Almaata, Prof Hamam Hadi dan bunyai Ida, Ketua PWNU DIY KH Dr Zuhdi Muhdor dan bunyai, Ketua RMI DIY KH Nilzam Yahya dan Ibu Dr. Maya serta ketua Hebitren DIY KH Khoerondan bunyai.

Terimakasih untuk para guruku di Majelis Permusyawaratan Pengasuh Pesantren se-Indonesia (MP3I), Habib Umar Muthohar dan Ibunyai Ruqayah, Kyai Badawy Basyir dan bunyai Atik, Kyai M Zaim A Ma’shoem dan bunyai Durroh, Kyai Khoirul Fuad dan bunyai Dina, Kyai Dr Sholahuddin Fatawi dan ning Lil, Kyai Imam Baehaqi dan ning Amiroh, Kyai Saiful Rijal dan bunyai (yg baru blm kenal) dan Syaikh Yusuf Fauzi Talib dan bunyai.

Terimakasih para masyaikh dan Ibunyai di DPP Himpunan Bisnis dan Ekonomi Pesantren (HEBITREN) Romo Kyai Hasib Wahab Hasbullah dan Ibunyai Fatimah, pak Yonoharyono, Umi Waheeda, Bang Reza Pahlevi, Bang Khrisna Soejitno, Pak Sumarna, Kyai Hamid Kalsel, Ibu Yuyun, Kyai Aly Suudi, Kyai Latif Malik, Kyai Muin, Ning Fatin, Ning Najla dll plus Mas Doni tentunya.

Terimaksih yang tak terhingga untuk para masyaikh dan bunyai di Komisi Fatwa MUI Pusat, Prof Kyai Asrorun Niam, Dr. Kyai Fahrur Rozie, Prof Kyai Maulana Hasanuddin, Prof Kyai Amin Summa, Prof Kyai Jaih Mubarok, Prof Kyai Abdurrahman Dahlan, Prof Kyai Tholabie, Kyai Arwani, Kyai Muiz Ali, Kyai Imam Addaruquthni, Habib Umar al-Haddad, Kyai Aminuddin, Kyai Miftahul Huda, bunyai Dr. Mursyidah Tahir, bunyai Dr. Hana, bunyai Dr. Faizah, Kyai Endy, Kyai Sulhan, Kyai Darwis dll plus mas Irbab tentunya.

Taklupa terimakasih untuk para kolega di ICMI Orwil DIY Prof Mahfud Sholihin, Prof Rohmat Wahab, Prof Edy Suandi Hamid, Prof Fathul Wahid, Bapak Hery Zudianto, Bapak Syauqi, Romo Charis Zubair, pak Nandang, pak Khamim, Ibu Trias, Ibu Afifah, Mas Akbar Soesanto

Matorsakalangkong dhe keluarga besar Forum Cendekiawan Keluarga Madura Yogyakarta dan semua komunitas reng Medhure di Jogja wabilkhusus se moljeh Dr. Kyai Abdul Malik Madani beserta Ibu Lutvia Malik dan Prof Dr Moh. Mahfud MD dan Ibu Yati. Beliau berdua sekeluarga  adalah sudah menjadi orang tua saya sejak saya hijrah dan menetap di Jogja. Prof Nurhasan Ismail, Dr. Asmai, KH Yubaidi, Dr. Saifuddin, Mas Noeroel, Mas Asmirandi ben sadejeh keluarga Medhureh neng Jogja.

Terimakasih untuk semua keluarga besar PP. Asshomadiyah Burneh Bangkalan yang telah sangat amat berjasa membentuk dan menempa saya seperti saat ini. Keluarga besar yang saat ini dipimpin oleh pamanda Kyai Abdullah Muad Makky dan bulek Umroh bersama bik Maemunah Mukhlish Makky, bik Cicik Mursyidah Muqaffy, bik Sakdiyah Abdul Bar Makky, bik Asma Masduqi Makky, bik Mudhi Muhaimin Makky, bulek Ined Komaruddin Makky dan bik Muarifah Jazuli Nur Makky.

Terimakasih yang mendalam untuk almukarram Kyai Dr. Zainul Arifin, M.Ed., MA dan bunyai, Kya Abdul Hamid Wahid dan bunyai Dr. Iah Khadijah, Bapak Rully Yusuf sekeluarga dan Gus Rudy Siswanto sekeluarga yang persahabatan saya dengan beliau semua ini sudah seperti keluarga tunggal nasab.

Masih terlalu panjang deretan nama yang harusnya saya tuliskan di sini sebagai bukti bahwa prestasi yang saya capai saat ini menjadi seorang Profesor Guru Besar UIN Sunan Kalijaga adalah berkah bantuan, dukungan, partisipasi dan doa orang banyak. Tanpa mereka semua mustahil ini terwujud.

Saya pasti tidak akan mampu dan bisa membalas semua kebaikan orang-orang baik tersebut, saya hanya bisa menengadahkan tangan memohon kepada Allah Yang Maha Membalas untuk membalas semua kebaikan orang-orang baik tersebut baik yang sudah saya sebutkan di atas atau yang belum saya sebutkan dengan balasan berlipat kebahagiaan, kesuksesan dan kemuliaan dunia akhirat, āmīn yā rabb ‘ālamīn.

والله الموفق إلى أقوم الطريق

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

CURRICULUM VITAE

 

Nama                 : Prof Dr. H. Shofiyullah Muzammil, S. Ag.,M. Ag.

Tmp T Lahir      : Bangkalan, 28 Mei 1971

NIP                    : 197105282000031001

Pangkat Gol      : Guru Besar lV/c

Keahlian            : Filsafat Hukum Islam

Unit Kerja         : Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam (FUPI) UIN Sunan Kalijaga

Email                 : shofiyullah.mz@uin-suka.ac.id

shofiyullah1001@gmail.com

Phone cell          : 08122716894

Scopus ID         : 57406852000

Orcid ID            : 0000-0002-7441-5888

Sinta ID             : 6076589

Google Scholar : https://bit.ly/GoogleScholarShofiyullahMuzammil

Ayah                  : Alm KH Ahmad Muzammil Imron

Ibu                     : Ny Hj, Siti Aisyah Makky

Istri                    : Dr. Hj. Imelda Fajriati, M. Si

Anak                 : Alya Mafaza (UGM)

 Ahmda Jabir Muzammil (SLTA PP Darul Quran wal Irsyad)

Muhammad Nadirsyah Muzammil (SDN Serayu Yogyakarta)

Ayah Mertua      : Alm KH. A. Dimyathi Romly, SH

Ibu                     : Almh Ny, Hj.  Dra. Muflichah Marzuqi

Alamat               : Jln Manggis no 62A RT 06 RW 28 Gaten Condongcatur

Depok Sleman DIY


 

Pendidikan Formal:

1.      SDN 1 Burneh, Bangkalan lulus 1981

2.      SMPN 1 Bangkalan lulus 1986

3.      MASS Aliyah Tebuireng, Jombang lulus 1991

4.      S1 IKAHA Tebuireng, Jombang lulus 1995

5.      Pendidikan Kader Ulama (PKU) MUI Pusat, Jakarta lulus 1996

6.      S2 IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta lulus 1998

7.      S3 UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta lulus 2009

Pengalaman Jabatan:

1.      Kepala Pusat Bahasa, Budaya dan Agama tahun 2012-2014

2.      Wakil Dekan Fak Ekonomi dan Bisnis Islam tahun 2016-2020

3.      Wakil Dekan Fak Ushuluddin dan Pemikiran Islam tahun 2020-2024

Organisasi:

1.      Wakil Ketua Umum DPP HEBITREN tahun 2024-2029

2.      Sekretaris Jenderal DPP MP3I tahun 2018 – sekarang

3.      Ketua 2 ICMI Orwil DIY tahun 2022-2027

4.      Ketua 5 Presnas IKAPETE Pusat 2023-2029

5.      Anggota Komisi Fatwa MUI Pusat tahun 2020-2025

6.      Anggota Komisi Fatwa MUI DIY tahun 2016-2021

7.      Wakil Katib Syuriah PWNU DIY tahun 2011-2016

8.      Pendiri dan Pengasuh Pondok Pesantren Mahasiswa AL-ASHFA Sleman Yogyakarta.