Citayam Fashion Week: Tindakan Subversif yang Berbahaya

Oleh Prof. Dr. Iswandi Syahputra, S.Ag., M.Si. (Guru Besar dalam bidang Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

Sebenarnya, apa yang sedang dilakukan remaja dalamCitayam Fashion Week(CFW) di kawasan Dukuh Atas, Jalan Sudirman, Jakarta Pusat? Apakah hanya sekedar ekspresi? Atau bentuk aktualisasi? Atau hanya ingin eksistensi? Atau merupakan bentuk promosi atau memang ada muatan ideologi?

Kita dapat menjawab semua pertanyaan itu dari jejak tanda dan makna yang ada, tersisa atau ditinggalkan dari perhelatan tersebut. Pertama, kita bisa memeriksa dengan detail tubuh biologis mereka yang melenggok di ‘catwalk’ jalanan itu. Misalnya, apakah mereka bertato? Bertindik telinga dan hidung? Mengapa mereka memamerkannya?

Sampai di sini, yang harus dipahami bahwa tubuh adalah pusat gairah, selera dan gaya bagi kaum muda. Segala hal yang ada di tubuh, atau melekat di tubuh selalu mampu memancing gairah, selera dan gaya. Model rambut, alis, bulu mata, hidung, otot hingga kuku dan seluruh bagian tubuh bahkan tato dan tindik puting susu(nipple piercing)merupakan pusat gairah, selera dan gaya yang dapat dipertontonkan dan dipamerkan.

Kedua,kita bisa melihat jejak tanda dan makna dalam segala bentuk barang yang digunakan tubuh seperti asesoris, pakaian, sepatu, sendal, topi dan asesoris lainnya. Mengapa memilih dan memamerkannya? Ini bukan merupakan pagelaran, pameran apalagi tontonan, tapi sebuah perlawanan simbolis. Mereka sedang bekerja melawan kemapanan orang kaya dengan fesyen satir. Menggunakan barang murah, tiruan atau imitasi untuk membongkar keberadaan barang mewah yang dibeli mahal para pesohor. Mereka bukan sekedar ingin membuktikan barang murah juga bisa menjadi gengsi sosial, tetapi menantang para pesohor untuk adu gengsi di ruang terbuka.

Karena itu, semuanya lebih dari sekedar sebuah pertunjukan identitas. Pertunjukkan itu bukan sekedar gaya untuk kesempurnaan sebuah penampilan, tetapi demonstrasi sebuah ideologi yang tersembunyi. Tubuh dan fesyen menjadi sarana sekaligus pusat kisah tentang demonstrasi dan perlawanan sebuah ideologi yang sengaja disampaikan, disamarkan atau disembunyikan melalui berbagai pesan simbolik.

Ketika pesan yang menyebar bukan saja memuat informasi, tetapi mengandung sebuah ideologi, maka persoalan gairah, selera dan gaya dalam tubuh menjadi lebih kompleks untuk dipahami. Mulai dari model rambut, tato, tindik puting susu(nipple piercing)pada tubuh hingga barang bermerk yang dikenakan oleh tubuh, tidak lagi secara sederhana dipahami sebagai persoalan etika tubuh. Masalah tubuh bergeser menjadi sebuah perjuangan tentang estetika, identitas bahkan semangat perlawanan atas budayamainstreamyang mendominasi ruang sosial.

Sampai sini semoga tidak terlalu berat untuk dicerna, karena sudah sejak awal jiwa saya meronta ingin mengulas fenomenaCFW ini, naluricultural studiessaya sudah mengedus-endus ingin menyantap fenomena langka ini, namun saya urungkan karena masih fokus pada rangkaian ibadah Haji di tanah suci. Bagi saya,CFWbukan fenomena biasa, tapi fenomena sejarah tentang identitas kaum muda perkotaan yang melakukan pemberontakan simbolik terhadap kemapanan kaum berada, para pesohor yang serakah dan sosialita yang hobi pamer di sosial media. Lihat saja keserakahan pesohor itu yang cepat tanggap ingin mempatenkanCFW, karena isi kepala mereka yang ada hanya mencari untung dari ketersohorannya. Lihat, bahkan banyak juga pesohor dan selebritas media yang ikut mengambil panggung tampil diCFW.Mengapa? KarenaCFWini adalah pasar, lapak, atau arena agar mereka tetap kokoh sebagai selebritas. Turunnya mereka ke lapakCFWuntuk menciptakan ruang negosiasi budaya agar mereka tidak dimusuhi, dibenci atau dijauhi olehfollowernya di media sosial atau penggemarnya yang berselera dangkal.

Remaja sebagai Pelaku Subversi Kebudayaan

Subversi merupakan bentuk pemberontakan untuk merobohkan struktur kekuasaan, dalam hal ini kekuasaan sebagai budaya kaum berada. Mereka yang hobi belanja barang mewah, kuliner mahal, wisata mancanegara atau kemewahan yang maha mahal lainnya kemudian sering didistribusikan melalui berbagai akun sosial media atau sering tampil di layar kaca memberi janji palsu kemewahan dunia, telah menciptakan perlawanan budaya dari kaum miskin kota. Perlawanan tersebut ada dan terasa secara terbatas pada komunal tertentu, belum menjadi sebuah ekspresi sub-budaya baru. Mereka menunggu waktu dan tempat yang tepat. Dan, inilah waktunya…

Kemajuan kota Jakarta yang ditata dan dikelola dengan cukup modern, beradab bagi pejalan kaki, berprikemanusiaan bagi kaum difabel, ramah bagi anak dan keluarga serta menawarkan beberapaspotyangcameragenicuntuk sekedar tampil pura-pura bahagia dan dipajang di sosial media, saya nilai menjadi rangsangan terkuat sub-budaya baru ini muncul. Gairah mereka sudah tidak tertahankan lagi untuk menggelar ‘pemberontakan budaya’ terhadap kaum berada kota yang suka pamer di sosial media dan memberi gairah palsu gemerlapnya dunia di layar kaca.

Mengaitkan kemunculan mereka dengan kemajuan tata kelola kota Jakarta yang ramah, memang bisa memicu sentimen positif politik bagi Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan. Tapi parahatersAnies juga sepertinya kesulitan mencari tombol untuk memainkan isu ini sebagai amunisi untuk menyerang Anies, sebabCFWini merupakan gerakan sub kebudayaan khas remaja perkotaan yang terpinggirkan. Pada sisi lain, ‘gaya melambai’ remaja diCFWini yang justru potensial mengguncang Anies yang terlanjur dikenal dekat dengan kelompok Islam. Tentang ‘gaya melambai’ remaja diCFWini akan saya ulas singkat sebagai potensi yang paling berbahaya bagi generasi Indonesia masa depan.

Kita kembali ke pokok bahasan.

Dalam konteks tersebut, remaja atau kaum muda harus diletakkan dalam suatu ruang kebudayaan (culture) dalam pengertian yang luas, menyeluruh dan dominan tentang keseluruhan cara bagaimana penghuninya hidup bersama. Sementara remaja, atau kaum muda merupakan salah satu penghuni di ruang budaya tersebut yang sedang merintis jalan baru. Jalan baru yang dirintis remaja tersebut dapat disebut sebagai sub-kultur (subculture). Suatu subculture dapat saja menyimpang dari budaya utama yang dominan (mainstream), saling bernegosiasi atau bahkan merebut dan memenangkan ruang kebudayaan itu. Berbagai kajian tentang remaja dan kaum muda di Inggris dalam subculture selalu meletakkan remaja memiliki potensi melawan terhadap kebudayaan mainstream yang dominan. Inggris memang menjadi salah satu negara yang dapat dirujuk tentang bagaimana remajanya melakukan perlawanan kebudayaan arus utama yang dominan dengan berbagai cara lewat imitasi berbagai produk yang biasa dipakai para pesohor pada masanya.

Perlawanan remaja dan kaum muda tersebut dilakukan melalui berbagai produksi subkultur.Bentuknya dapat dilihat dalam gaya, fesyen, bahasa atau musik. Subkultur tersebut memiliki kemampuan daya pikat yang kuat di antara kaum muda. Berbagai kajian subkultur kaum muda di Inggris dianggap mampu menyihir dan menawarkan solusi magis terhadap berbagai persoalan kelas sosial. Ini akan menjelaskan keanehan, bagaimana mungkinCFWbisa menarik Gubernur Anies, petinggi Eropa, Gubernur Jawa Barat dan pesohor lain ikutnimbrungjalan dizebra crosslokusCFW? Daya magis apa yang terkandung dalamCFWhingga para sosialita serakah itu berebut hak paten? Jimat apa yang ada dalamCFWhingga media semua mengarah kepadanya? Kita perlu buka kuliah khusus 12 pertemuan tatap muka untuk mendiskusikannya, sebab akan banyak literatur yang dapat dirujuk untuk menjelaskannya.

Namun demikian, sampai titik ini saya suka denganCFWkarena sepengamatan saya, ini gerakan sub kultur remaja kota pertama di Indonesia yang diekspresikan dengan sangat baik. Posisi saya melawan apapun bentuk dominasi kebudayaan, dan mereka hadir mewakili perlawanan saya terhadap budaya popular dominan bentukan media baru saat ini. Awalnya saya menikmatinya bukan sebagai tontonan, tetapi sebagai tuntunan pada generasi berikutnya, seharusnya beginilah cara anak muda melawan budaya pamer orang kaya dan berada. Jangan pula ikut-ikutan berpura-pura hidup mewah dan bahagia di sosial media.

Gaya Melambai, Menawan tapi Berbahaya

Berbeda dengan sejarah serupa remaja di Eropa, khususnya remaja di Inggris, paling tidak sebatas yang saya ketahui melalui beberapa literatur,CFWmemilih fesyen sebagai rudal utamanya untuk membombardir budaya arus utama remaja kota. Fesyen bukan sekedar tampilan, tapi gaya. Gaya membawa serta gerak dan gerik. Gerak dan gerik inilah yang saya baca mengandung ancaman sosial bagi generasi Indonesia mendatang karena adanya ‘gaya melambai’ sebagai pesan lain yang sengaja disembunyikan, ditampilkan, disamarkan atau dimunculkan.

Berbeda dengan gerakan serupa remaja di barat misalnya. Mereka menggunakan gaya dan benda sebagai strategi kebudayaan untuk membangun solidaritas komunal. Setidaknya ada tiga hal penting yang dalam kajian subkultur kaum muda yang sering membius tersebut.

Pertamahomologi,yaitu tentang benda simbolik pada kebudayaan subkultur dianggap sebagai ekspresi dari keprihatinan dan posisi-posisi struktural tersembunyi kelompok muda. Contohnya penggunaan rantai besar pada dompet, digunakan bukan untuk bergaya tetapi sebagai tanda solidaritas pada kaum muda yang berada dipenjara.

Kedua tentang brikolase(bricolage),yaitu tentang penggunaan simbol-simbol yang sebelumnya tidak terkait. Penggunaan simbol-simbol lama itu dipadukan untuk menciptakan makna-makna baru. Contohnya, mendesaincafedengan simbol atau atribut lama/klasik seperti penggunaan papan dan kapur tulis untuk menawarkan menu yang tersedia. Pilihan tersebut merupakan tanda yang hendak disampaikan untuk melakukan perlawanan terhadap jeniscafemodern.

Ketigagaya,suatu brikolase simbol yang membentuk suatu ekspresi yang koheren dan bermakna. Contohnya, mengambil beberapa hal (tidak seluruhnya) dari masa lalu, memadukannya dalam suatu penyusunan ulang sehingga menimbulkan makna baru.

Brikolasemenjadi model perlawanan dengan cara mendaur ulang objek budaya masa lalu dengan menghadirkan makna baru melalui berbagai penambahan dan pengurangan sehingga semakin mendorong munculnya makna baru yang diinginkan. Dalam dunia dikenal istilah kolase, yaitu seni menempelkan atau menggabungkan aneka benda sebagai sebuah karya seni berupa lukis, patung, atau instalasi. Sedangkanbrikolaseadalah kegiatan dalam bentuk dan dengan cara apa saja dengan maksud eksebisionis, agar sesuatu dapat dianggap ada dan dikenal. Model rambut klimis, tersisir rapi menggunakanpomadeyang dijadikan model remaja saat ini merupakanbrikolasegaya tata rambut dari remaja kelas atas di Eropa pada akhir perang dunia kedua.

Gaya melambai pada remaja diCFW,saya tidak bisa membaca kemana arah perlawanan subkultur ini, selain ancaman bagi kekuatan remaja masa depan Indonesia. Gaya melambai ini seperti ekspresi yang kadang disamarkan, kadang dimunculkan, kadang dipamerkan, kadang disembunyikan. Baik disamarkan, dimunculkan, dipamerkan, atau disembunyikan, gaya melambai ini bukan suatu yang layak menjadi tontonan gratis khalayak di ruang publik. Sebab, tentu kita tidak ingin anak keturunan, generasi mendatang Indonesia tampil gemulai, melambai-lambai di dalam percaturan global dan persaingan dunia yang membutuhkan ketangkasan dan kesigapan.

Sikap Pemda DKI Jakarta untuk menghentikan atau menutup sementara (?)CFWpersis karena adanya pameran dari remaja dengan gaya melambai ini, menurut saya sudah tepat karena ada kepentingan remaja Indonesia dan generasi mendatang yang harus diutamakan untuk dilindungi. Ini bukan soal kebebasan, tapi keselamatan generasi bangsa dari mental melambai-lambai. Sebaliknya, Pemda DKI Jakarta bisa memperluasCFWsebagai ruang demonstrasi bagi remaja yang merintis jalan kreasinya sendiri melalui dorongan munculnya jenis penyaluran lain seperti musik indie, lukisan/grafiti dan puisi satir atau berbagai bentuk lainnya sebagai ekspresi perlawanan mereka terhadap budaya mapan.

Jakarta adalah kunci, jika langkah ini dipilih Anies sebagai Gubernur DKI Jakarta, potensinya dicintai kaum muda miskin kota akan meluas hingga seluruh Indonesia.

Kan, lumayan buat menambah suara.

(Artikel ini telah terbit pada lamankronologi.id, edisi 29/07/2022)