IEDUL FITRI SEBAGAI MOMENTUM SILATURAHIM DAN REKONSILIASI

Oleh Fathorrahman Ghufron, Wakil Dekan III Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Wakil Katib Syuriyah PWNU.

Pemilihan umum yang akan diselenggarakan pada tanggal 14 Februari 2024 mendatang telah menciptakan aroma kontestasi sejak dini. Berbagai pihak yang berkepentingan telah mengusung figur-figur yang dianggap layak sebagai calon pemimpin. Tidak sedikit di antara mereka membentuk polarisasi dengan modus politik identitas. Perbedaan dukungan pun dikelola sedemikian rupa untuk memperlebar gesekan sosial.

Pemilu yang berlangsung di era digital, dilingkupi oleh berbagai modus pelintiran kebencian yang dilakukan oleh setiap pendukung maupun kontestan. Dalam 10 tahun terakhir ini, pemilu dilakukan seiring wabah media sosial telah dililit oleh “rezim hoax” yang semakin sistematis. Bahkan, di era digital, hoax dikapitalisasi oleh pemilik perusahaan media sosial untuk meraih keuntungan. Setiap percakapan di media sosial selain menuai kebencian atau kedengkian antar warganet, juga berkontribusi menaikkan saham pemilik perusahaan media sosial.

Namun, polarisasi yang ditimbulkan oleh kontestasi politik tersebut, bukan berarti menjerembabkan masyarakat Indonesia ke dalam kubang permusuhan. Satu hal yang perlu disadari, masyarakat Indonesia selalu mempunyai cara agar bisa keluar dari sekian jebakan polarisasi melalui ketahanan budaya (cultural resilience) yang bisa digunakan sebagai penyelesai masalah yang ditimbulkan oleh dampak politik maupun dampak media sosial.

Merujuk pada pandangan Koentjaraningrat, secara antropologis sejak beratus tahun lamanya orang Indonesia banyak ditempa oleh nilai-nilai budaya kearifan dalam menyikapi berbagai persoalan hidupnya. Warisan leluhur dijadikan instrumen kultural untuk mengedepankan dan mengkonstruksi pertahanan diri yang cerdik.

Selain itu, meminjam istilah M Zaid Wahyudi (Kompas 17/1/2016), orang Indonesia memiliki kecenderungan sikap menerima tanpa syarat atas sesuatu yang dialami (unconditional positive acceptance). Maka, orang Indonesia pun tidak mau berpanjang-lebar dengan kejadian yang menimpa, dan lebih banyak fokus pada apa yang akan dihadapi. Sehingga, peristiwa semacam gesekan politik pun bisa memaklumi dan dimaafkan atas dorongan orang lain maupun diri sendiri.

Modalitas sosial-budaya tersebut menciptakan sebuah ekosistem kohesi sosial yang bisa menjalin dan merajut kembali setiap polarisasi, disparitas, dan berbagai elemen pemisah lainnya. Namun, untuk menyatukan “balung pisah”, terkadang orang Indonesia menunggu momentum yang bisa meredakan emosi dan melapangkan dadanya. Melalui momentum itu, setiap orang yang terlibat akan mudah merespons dan mengakui setiap kekhilafan yang diperbuat.

Dalam kaitan ini, momentum yang selalu dimanfaatkan untuk melakukan silaturahmi dan rekonsiliasi adalah momentum keagamaan seperti Hari Raya Iedul Fitri. Momentum ini dianggap paling strategis digunakan sebagai pembentukan rekonsiliasi yang memudahkan setiap orang menunjukkan nilai kebaikan antar sesama.


Energi Iedul Fitri

Dalam suasana iedul fitri, setiap orang tergerak untuk meleburkan egoisme kediriannya dengan cara saling bermaafan. Setiap orang rela meminta maaf atau memberi maaf atas kesalahan yang disengaja maupun tidak. Di platform media sosial, setiap orang memposting ungkapan mulya sebagai penanda kerendahan hati dan kebesaran jiwa. Permohonan maaf menunjukkan bahwa setiap orang sebenarnya merindukan kedamaian dalam kehidupannya.

Selain itu, suasana psiko sosial untuk saling memberi respons ini menciptakan sebuah aura rekonsiliasi yang penuh kebahagiaan dan keceriaan. Melalui momentum iedul fitri, setiap gesekan sosial melebur dalam kesatu-paduan yang tentram.

Sesuai dengan namanya, iedul fitri yang berarti kembali suci, momentum ini mengajak setiap orang untuk membersihkan pikiran, hati, dan perilaku kita dari berbagai keburukan yang menyebabkan kita benci, dengki, hingga menimbulkan keretakan. Orang Indonesia yang secara genealogis mempunyai watak unconditional positive acceptance tentu tidak akan keberatan menerima ajakan rekonsiliasi.

Meski demikian, rekonsiliasi ini tentu tidak sekedar pemanis bibir. Bila mencermati padanan rekonsiliasi dalam bahasa Arab yang berarti tashaluh maknanya saling berdamai. Dalam tindakan kesalingan ini adalah upaya dari dua belah pihak untuk menciptakan perdamaian yang dalam bahasa Arab disebut ishlah.

Bila dalam proses ini terdapat persoalan yang mengganjal dua belah pihak lantaran perkara-perkara materiel yang harus diselesaikan dan dibutuhkan kesepakatan yang tidak menimbulkan sengkata di kemudian hari, diperlukan tindakan shuluh baik dalam bentuk litigasi maupun non-litigasi demi terwujudnya perdamaian.

Dengan demikian, ketika seperangkat rekonsiliasi yang diawali dengan tindakan ishlah dan shuluh yang baik, pada gilirannya kita akan menjadi orang shaleh yang selalu menganjurkan kebaikan (mashlahah) dan menghindar dari keburukan (mafsadah). Maka momentum seperti iedul fitri akan menciptakan tapak keshalehan yang akan berkontribusi pada terwujudnya persatuan dan kesatuan.

Dari sekian reportoire kebajikan dalam hari raya dan narasi kesantunan yang ditunjukkan oleh setiap orang yang berkenan meminta maaf terlebih dahulu, sejatinya iedul fitri harus dijadikan sebuah marwah dalam kehidupan sehari-hari. Iedul fitri yang memberikan ruang rekonsiliasi yang semestinya kita manfaatkan untuk melarutkan jentik egoisme. Hal ini penting dilakukan agar aura sosial kehidupan, baik di lingkup interaksi dalam jaringan (dunia maya) maupun luar jaringan (dunia nyata), dipenuhi oleh benih-benih kedamian dan kebahagiaan.

Beberapa figur publik, baik di kalangan partisan maupun non partisan yang berlomba-lomba melakukan open house bersama rakyat maupun kolega dan saling berkunjung untuk menjalin silaturahmi menjadi penanda bahwa di kalangan elit telah menabuhkan gong perdamaian. Ketika antar elit sudah bersedia merendahkan egoisme diri dan mengedepankan sikap persaudaraan, sejatinya sikap luhur ini harus diikuti oleh berbagai lapisan masyarakat. Tidak patut lagi kita terjebak dalam polarisasi akibat kontestasi pemilu yang sifatnya hanya sementara.

Semoga iedul fitri menjadi sebuah momentum berharga yang selalu mengimajinasi kita untuk merajut persatuan dan kesatuan dalam keseharian serta menginspirasi kita untuk menegakkan perdamaian dan keamanan di Indonesia dan peradaban global.