INTERKONEKSI AGAMA DAN SAINS

Oleh: Fathorrahman Ghufron (Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama Fakultas Saintek UIN Sunan Kalijaga/ Wakil Katib PWNU Yogyakarta).

Di masa pandemi, perdebatan yang membenturkan antara agama dan sains menjadi cara pandang dilematik yang sangat riuh dalam menganalisis virus covid-19. Masing-masing pihak saling mengkostestasikan kedua sudut pandang secara berhadap-hadapan (vis a vis). Dampaknya, dua sudut pandang tersebut selalu saling bersitegang, sementara covid-19 semakin melenggang dengan berbagai modus paparan dan sebarannya. Bahkan, tak jarang pula, masyarakat awam yang tak mengerti duduk persoalan seluk-beluk perbedaan pandangan yang terjadi, terjebak dalam bingkai saling membenarkan dan menyalahkan.

Mencermati, debat kusir yang nyaris tak berujung, ada baiknya kita merefleksikan buku “sains religius” agama “saintifik: dua jalan Mencari Kebenaran” yang ditulis oleh Haidar Bagir dan Ulil Abshar Abdalla. Dalam buku ini, ada upaya titik temu dan jalan tengah dalam meletakkan agama dan sains sebagai worldview yang interkonektif dalam mencermati covid-19.

Di samping itu, melalui buku ini, Haidar dan Ulil ingin menegaskan bahwa dalam menggunakan agama sebagai cara pandang melihat fenomena covid-19 tidak patut bila hanya menyandarkan diri pada pendekatan fatalisme. Demikian pula dalam memahami sains yang selama ini bekerja secara ilmiah dalam mendignosa covid-19, tidak patut berhenti pada cara absolutisme dan pemujaan berlebih (bigotry) sehingga mengantarkan kita pada sikap “takhayyul” pada sains.

Dalam konteks ini, apa yang dilakukan oleh Haidar dan Ulil tersebut ingin menyadarkan kita bahwa pada dasarnya agama dan sains mempunyai dimensi kebenaran yang sama sama ingin berkontribusi bagi kehidupan manusia. Ketika agama dilingkupi oleh berbagai dogma dan fatwa yang bisa meyakinkan setiap pemeluknya, sains pun memiliki akar religiusitas yang serupa. Melalui berbagai kerja eksperimentasi keilmuan dalam memahami fenomena alam seperti covid-19, sains menyuguhkan berbagai temuan yang bisa meneguhkan akidah dan kaidah keberagamaan kita.

Melalui cara kerja saling menembus (semipermeable), saling menguji (intersubjektif testability), dan imajinasi yang kreatif (creative imagination) seperti yang dijelaskan Prof. Amien Abdullah dalam buku “Multidisiplin, Interdisiplin, dan Transdisiplin: Metode Studi Agama dan Studi Islam di Era Kontemporer, maka sebenarnya tidak perlu ada penggiringan mana yang dianggap paling benar ketika agama dan sains hendak menyuguhkan temuan dan informasi baru tentang bagaimana menangani dan menyikapi covid-19.

Sistem Rajut

Dalam konteks ini, hubungan agama dan sains harus dibangun dengan sistem rajut yang interkonektif agar keduanya tidak selalu didudukan pada titik monodisiplin dan titik seteru yang saling bersitegang. Dan, untuk membangun sistem rajut antara agama dan sains, meminjam cara pandang Dr. Khurul Wardati, seorang Matematikawati UIN Sunan Kalijaga, setidaknya ada lima spirit yang perlu dilakukan oleh setiap pihak. Pertama, Profesional dengan cara menempatkan agama dan sains secara terukur, sistematis, akuntable namun responsif dengan dinamika yang terjadi.

Kedua, Religius dengan cara manafasi setiap uji eksperimentasi maupun inovasi antar kutub keilmuan sebagai ibadah agar apapun yang dilakukan selalu diniatkan untuk kemaslahatan bersama. Ketiga, Integral dengan cara menghubungkan setiap persepsi, definisi, dan teori dalam agama dan sains dengan frekwensi berfikir yang seirama.

Keempat, Moderat dengan cara menumbuhkan cara pandang yang berimbang dalam menempatkan agama dan sains sebagai metode dan pendekatan (methode and approach) dalam memahami dan mencermati setiap gejala dan fenomena yang terjadi dalam kehidupan dan jagat raya. Kelima, adaptif dengan cara menyesuaikan diri dalam menghadapi setiap persoalan dan perubahan yang ada dalam agama dan sains.

Dalam kaitan ini, bila kelima konsep tersebut bisa digunakan dalam memahami setiap fenomena alam seperti covid-19, maka agama dan sains bisa didudukkan dalam sistem rajut yang harmonis dan saling melengkapi tanpa saling menyalahkan apalagi saling menyesatkan.