Pidato Rektor Idul Fitri dan Syawalan dengan semangat keberagaman

Oleh : Prof. Dr .Phil. Al Makin.S.Ag., MA

(Rektor UIN Sunan kalijaga Yogyakarta)

Allahu akbar Allahu akbar, La ilaha illah Allah wa Allah akbar. Allah akbar wa lillahi al-hamd.

Taqbbal Allahu minna wa minkum taqabbal ya karim, wa ja’alna Allah wa iyyakum mina al-aidin wa al-faizin.

Assalamualaikum wr. wb.

Shalom

Om Swastiastu

Namo Buddhayo

Salam Kebajikan

Para tamu semuanya, Bu Bupati, Para pimpinan agama Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, Konghucu, Kepercayaan, semua agama, selamat datang di kampus UIN Sunan Kalijaga, rumah bagi semua aliran, mazhab, organisasi, iman, dan semua tradisi keagamaan

Ketua dan Sekretaris Senat yang kita mulyakan,Para wakil Rektor,Para Dekan,Dua Kabiro,Para ketua Lembaga dan Unit .Terimakasih sebesar-besarnya pada panitia, tidak saya sebut satu persatu.

Para tamu offline maupun online,Para Guru Besar,Para Wakil Dekan,Para Kaprodi,Para dosen,Para Tendik,Mungkin para mahasiswa,Para pemirsa.Semoga semuanya sehat dan berbagahagia

Saya sebagai Rektor sangat berbahagia menyapa semua tamu dan pemirsa baik online maupun offline. Mari kita syukuri nikmat Kesehatan dan kebahagiaan di era pandemi yang sudah berjalan setahun ini, dan sudah kita jalani lebaran yang kedua.

Tema kita dalam acara ini adalah dengan semangat keberagaman, kita saling belajar dan saling mendengar. Maka akan kita dengar perspektif lebaran tidak hanya Idul Fitri, mungkin kita juga ingin mendengar dari para pemuka dan cendikiawan agama lain: Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu, kepercayaan serta iman lain.

UIN Sunan Kalijaga bertekad dalam era administrasi saya sampai tahun 2024 akan menjadi rumah bagi semua mazhab, aliran, organisasi, iman, dan tradisi keagamaan. UIN Sunan Kalijaga akan mengayomi dan berlaku adil bagi semua kebelbagiaan yang ada. Kita akan afirmasi dengna ikhlas dan tawadu. Kata filosof kuno Romawi dari Epictetus maupun Marcus Arelius, adalah Don’t debate over what good man is, be the one, atau Stop talking about your philosophy, embody it. Begitu juga Seneca filosof lain selalu menekankan do it, don’t just talk about it. Kali ini kita tidak berseminar, berdebat, dan berwacana tentang keragaman, toleransi, dan kebhinekaan, kita lakukan saja. Kita dengar dari tamu undangan dan hargai perspektif iman lain dalam memandang dan mengapresiasi Idul Fitri.

Kita akan dengar bagaimana lebaran, persamaan dan pelajaran dari Natal mungkin, puasa dengan Nyepi dengan amati geni, amati karyo, amati lelungan, amati lelunguan. Kita akan menyimak bedanya Idul Fitri dengan Waisak. Apa itu imlek dan kalender hijriah. Perbandingan perhitungan antara solar dan lunar, bulan dan matahari.

Kenyataannya selama pandemi, kita saling belajar. Saya ingat pertama kita lewati Paskah tahun 2020 secara virtual, saya dengar urbi et orbi, tentang kota Roma dan dunia diterjemah dalam berbagai bahasa. Kemudian Nyepi dengan berbagai puja dan upakara secara minim kontak dan bergerombol. Tahun baru imlek juga begitu, hanya ramai di social media. Khotbah para Romo, Pastur, bahkan Sri Paus, Pedande, Bhante semua menyiratkan prihatin pada pandemi-Covid-19, solidaritas antar umat beragama, dan saling mentaati protocol di masjid, gereja, kapel, vihara, pure, dan tempat ibadah lain. Pandemi memaksa kita untuk adaptasi dan menyesuaikan diri. Saatnya kita jujur, bahwa berbeda agama itu rahmat untuk saling belajar, saling memahami, saling mengerti.

Saya sudah sampaikan berkali-kali dalam berbagai forum bahwa ukuran moderasi itu menurut Kementrian Agama dalam buku Moderasi Beragama Kementiran Agama 2019, ukurannya adalah toleransi. Dalam hal ini saya mengingat Prof Mukti Ali yang menjabat Menteri tahun 1971-1978 yang mengemukakan adanya toleransi antar agama, yaitu dengan agama yang berbeda dan kedua yaitu inter-agama, yaitu toleransi kelompok dalam agama itu sendiri. Dalam Islam tentu ada banyak aliran, mazhab, organisasi, partai politik, masjid, tarawih, subuh, yang bermacam-macam yang harus bertoleransi satu dan lainnya.

Dalam hal hubungan antar agama Indonesia jelas fondasinya, saya senang sekali membaca karya Driyarkara yang tebal editornya adalah sahabat dan mentor saya Romo Budi Subanar dan St Sunardi. Gerakan lalu kita diiingat tokoh-tokoh besar dari Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Nurcholish Madjid (Cak Nur), Djohan Effendi, Teha Sumartana, Ibu Gedong, Romo Mangunwijaya dan lain-lain. Di Yogyakarta ada kelompok LSM seperti Dian Intefidei, di Salatiga Percik, di Jakarta Setara dan Wachid Institut. Ada ICIP, kelompok Salihara, dan FKUB-FKUB Kementrian Agama di seluruh propinsi Indonesia. Ajakan personal maupun LSM semua ada dalam tradisi Indonesia. Sanad ilmu kita jelas, rantai keilmuan kita juga sahih, kita harus saling belajar, memahami, toleransi antar dan inter-umat beragama.

Saya mengajukan indikator sederhana dalam moderasi dan toleransi beragama, merujuk pada buku kuno Republik Plato dan Ethika Nichomacus Aristoteles. Persahabatan. Ukuran toleransi dan moderasi beragama bisa dilihat seberapa banyak kita berteman, bersahabat, dan bergaul dengan orang di luar kelompok kita? Bagi yang Muslim, apakah kita punya teman Katolik, Hindu, Buddha, Konghucu, Kepercayaan? Adakah teman kita yang menari Bali? Pernahkah kita saksikan Romo yang tenang mendengar kita bicara? Tahukah kita bedanya kapel dan gereja? Mana yang pure dan mana yang vihara? Seberapa banyak, luas, dan beragam teman kita itulah ukuran dari toleransi dan moderasi kita. Maka mari perbanyak teman dan perluas pergaulan kita.

Saya kira semua iman mengajarkan persahabatan. Dalam Perjanjian Lama kita temui David dan Jonathan, Abraham dan Lot, Ruth dan Naomi, dan lain-lain. Tentu dalam Dhammapada I: 19-20 juga bercerita tentang persahabatan antara bikhu dan orang terpelajar. Tentu saja dalam kisah Mahabarata ada satyamitra, sahabat setia, seperti Arjuna dan Krisna, kusir dan pemanah. Mahabarata dan Ramayana dipenuhi dengan kesetiaan. jKisah baik untuk diikuti dan buruk untuk dihindari. Hanoman sangat setia pada Rama, Kumbakarna setia pada Alengka, Bisma setia pada sumpahnya hingga gugur di Kurusetra dengan panah Srikandi. Atau kesetiaan dewa Ganesha pada ibunya Parvati yang menjaganya ketika mandi, sang Ayah dewa Syiwa dihadang dan menebas lehernya. Digantilah kepala Genesha berupa gajah yang saat ini bisa dilihat arcanya.

Para pengikut Nabi Muhammad di Makkah dan Madinah juga disebut sahabat. Dari empat sahabat utama, yang meneruskannya menjadi khalifah di Madinah, hingga ratusan sahabat yang meneruskan semua sabda-sabdanya lalu dikompilasi menjadi hadits.

Hari ini kita meluaskan persahabatan kita, dan dalam empat tahun ke depan kita akan perluas persahabatan kita.

Saya teringat kisah manusia gua dalam Republiknya Plato, buku ke VII ayat 514-420. Tawanan di dalam gua itu hanya tahu bayangan dari api unggun, mereka melihat bayangan pohon, bulan, matahari, hewan, serta tanaman. Orang dalam gua itu tidak pernah melihat benda atau kehidupan nyata di luar gua. Seumur hidup di dalam gua. Suatu waktu salah satunya, pergi keluar dari gua. Dia bercerita tentang semua yang dilihat dalam alam nyata. Teman-temannya dalam gua tidak percaya dan marah. Dibunuhnya itu orang yang keluar gua dan menceritakan keadaan nyata di luar gua.

Saatnya kita keluar dari gua dan melihat di luar gua kita itu apa. Mungkin gua kita itu organisasi, mazhab, aliran, kelompok, mungkin universitas, negara, dan teman-teman yang hanya segua yang hanya melihat bayangan, bukan benda nyata. Hendaknya kita keluar dari gua, melihat sahabat-sahabat kita di luar kelompok kita, agama kita, masjid kita, gereja kita, pure kita, vihara kita. Mari keluar sejenak dan dengarkan versi di luar gua kita.

Untuk keluar dari gua perlu keberanian, nekat, dan mungkin tidak setuju dengan teman-temannya di gua. Untuk menjadi toleran, pro-kebhinekaan, perlu Pendidikan, pemahaman yang luas, persahabatan yang luas, dan berani ikhlas, rendah hati, siap belajar. Untuk tinggal di dalam gua, tidak perlu usaha, cukup salahkan yang keluar dari gua. Untuk menjadi fanatik, radikal, fundamentalis, tidak toleran, tidak perlu usaha. Lupakan Pendidikan, lupakan belajar, berhentilah rendah hati, banggakan diri sendiri, kelompok sendiri, fanatiklah, dan anggap apa yang ada di kelompoknya terbaik, yang lain salah.

Mari keluar dari gua, mari belajar, mari rendah hati, lihatlah dunia luas.

Allahu akbar Allahu akbar, La ilaha illah Allah wa Allah akbar. Allah akbar wa lillahi al-hamd.

Taqbbal Allahu minna wa minkum taqabbal ya karim, wa ja’alna Allah wa iyyakum mina al-aidin wa al-faizin.

Shalom

Om Swastiastu

Namo Buddhayo

Salam Kebajikan

Wassalamualikum wr. wb

Baca Juga :COVID-19 Sukses Bungkam Sifat Arogan Manusia