WhatsApp Image 2025-12-17 at 17.09.54.jpeg

Rabu, 17 Desember 2025 17:03:00 WIB

0

Dikukuhkan sebagai Guru Besar, Prof. Sodik Soroti Peran “The Others” dalam Kehidupan Kebangsaan

Di hadapan bangsa yang kerap terbelah oleh identitas, stigma, dan klaim kebenaran, Prof. Dr. Mochamad Sodik justru mengajak publik menoleh ke pinggiran, ke ruang-ruang sunyi tempat suara sering kali dibungkam dan kemanusiaan diuji. Dari podium akademik UIN Sunan Kalijaga, ia menyampaikan pesan yang tidak hanya ilmiah, tetapi juga etis dan politis,  merawat bangsa harus dimulai dengan keberanian menyapa the others, mereka yang selama ini diletakkan sebagai “yang lain”.

Wakil Rektor Bidang Administrasi Umum, Perencanaan, dan Keuangan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta itu resmi dikukuhkan sebagai Guru Besar dalam bidang Sosiologi Gerakan Keagamaan melalui Sidang Senat Terbuka pada Rabu (17/12/2025) di Gedung Multipurpose. Dalam pidato pengukuhan berjudul “Embracing the Others: Dari Refleksivitas Personal-Komunalis Menuju Masyarakat Nasionalis”, Prof. Sodik menuturkan perjalanan intelektual dan personalnya yang berkelindan dengan pengalaman hidup bersama komunitas-komunitas rentan dan terpinggirkan.


“Saya seperti ditakdirkan untuk mengalami dan bahkan melebur di dalam the others,” ujarnya membuka refleksi. Baginya, the others bukan sekadar kategori sosial yang tampak di permukaan, melainkan magma yang menyimpan kedalaman makna, menuntut kesungguhan sikap, dedikasi, dan keberanian moral untuk mendengarkan serta mengakui mereka sebagai subjek yang setara di hadapan hukum dan kemanusiaan.

Pengalaman pertama bersentuhan dengan the others ia alami sejak menjadi dosen muda yang aktif di Pusat Studi Wanita (PSW). Latar belakang keluarga santri dengan struktur pengetahuan patriarkal membawanya pada pergulatan baru ketika berhadapan dengan wacana gender di lingkungan kampus. Di titik inilah, Prof. Sodik merujuk pemikiran Simone de Beauvoir tentang perempuan sebagai the others, sebuah konstruksi patriarki yang menempatkan perempuan sebagai “liyan”, objek, dan subordinat.


Namun, ia tidak berhenti pada definisi klasik tersebut. Konsep the others yang ia ajukan justru lebih cair dan meluas, mencakup relasi antara self dan others dalam kehidupan sosial-keagamaan. Dalam konteks Indonesia, ia menemukan resonansi kuat pada konsep subaltern Gayatri Spivak, kelompok yang bukan hanya berbeda, tetapi juga dibungkam secara struktural. The others hadir dalam wujud komunitas minoritas, kelompok rentan, dan warga yang mengalami ketidakadilan baik oleh negara maupun masyarakat.

Pengalaman itu semakin menguat ketika ia melakukan rihlah ilmiah panjang bersama Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). Hampir dua dekade, sejak riset disertasinya Melawan Stigma Sesat, Prof. Sodik menyaksikan langsung luka, pengusiran, kekerasan, dan stigma yang melekat pada komunitas Ahmadiyah. Dari perjumpaan itu, lahir kedekatan emosional dan komitmen akademik yang membawanya berkeliling ke komunitas Ahmadiyah di berbagai daerah, bahkan lintas negara.


The others ketiga ia temukan dalam riset tentang pemuda sufi urban di Yogyakarta, sebuah fenomena keberagamaan alternatif di ruang kota modern. Berbeda dengan latar belakangnya sebagai penganut tarekat, sufi urban tampil cair, lentur, dan tidak terikat pada otoritas spiritual formal. Perjumpaan ini bukan sekadar kontras praksis keagamaan, tetapi juga mengguncang posisi epistemiknya sebagai peneliti, memaksanya terus menegosiasikan identitas diri di hadapan habitus religius yang berbeda.

Kesadaran sebagai outsider menjadi kunci refleksi Prof. Sodik. Ia menegaskan bahwa objektivitas ilmiah bukanlah kondisi bebas nilai, melainkan posisi reflektif yang terus dinegosiasikan. Di sini, ia merujuk sosiologi refleksif Pierre Bourdieu dan Loïc Wacquant, serta rasionalitas Weberian yang tidak semata instrumental, tetapi juga berorientasi nilai, emosi, dan tradisi yang mengendap dalam habitus sosial.

Ketertarikannya pada tradisi mikro dalam sosiologi, interaksionisme simbolik, manajemen kesan Erving Goffman, hingga refleksi eksistensial, membawanya pada kesimpulan bahwa aktor sosial bukan sekadar produk struktur. Individu adalah subjek aktif yang mampu menafsirkan, melawan, dan merundingkan batas-batas sosial, termasuk dalam pengalaman keagamaan dan relasi dengan the others.

Dalam kerangka itu, figure yang juga pernah menjabat sebagai Dekan Fishum ini,  mengajukan tiga tipologi reflektif masyarakat, yakni masyarakat egois yang berfokus pada pembentukan identitas personal; masyarakat komunal yang bertumpu pada solidaritas kolektif; dan masyarakat nasionalis (tanpa isme) sebagai simpul kebersamaan yang melampaui keduanya. Transisi dari personalitas ke komunalitas, hingga kesadaran kebangsaan, dipahami sebagai proses dialektis yang penuh kontestasi, di mana identitas bisa menjadi perekat, tetapi juga alat eksklusi.

Menutup pidatonya, Prof. Sodik menyampaikan seruan yang tajam sekaligus menggugah dari perspektif keilmuan dan syariah. Ia mengajukan kaidah fikih dar’ al-mafāsid muqaddam ‘alā jalb al-maṣāliḥ, menghindari kerusakan harus didahulukan daripada meraih kemaslahatan sebagai etika kebangsaan. Di tengah bencana banjir dan longsor yang melanda berbagai wilayah Indonesia, ia mengingatkan bahaya praktik beragama yang justru menormalisasi mafsadah atas nama maslahat.

“Agama tidak boleh direduksi menjadi instrumen legitimasi moral yang memutihkan kerusakan,” tegasnya. Sebab, jika itu terjadi, yang lahir bukan kesalehan publik yang autentik, melainkan ilusi moral kolektif.

Dari podium akademik UIN Sunan Kalijaga, Prof. Mochamad Sodik tidak sekadar dikukuhkan sebagai Guru Besar. Ia menawarkan kompas etis bagi bangsa, membangun personalitas dan profesionalitas dengan keberanian moral, mengokohkan komunalitas di atas etika kewargaan, dan melangkah bersama menuju masyarakat nasionalis yang berakar pada kemanusiaan.(humassk)