UIN SUKA

Selasa, 25 Maret 2025 10:46:00 WIB

0

Puasa sebagai Momentum Giat Beribadah dan Bekerja Oleh: Fathorrahman Ghufron ( Dr. Fathorrahman Ghufron Dosen Fakultas Syariah dan Hukum)

Puasa ramadlan merupakan bulan tumbuh suburnya spirit beribadah plus bekerja. Di bulan ini sebagian besar muslim melakukan aneka macam praktek peribadatan dan aktifitas keagamaan seperti shalat tarawih, khataman, pengajian, taushiyah, dan lain sebagainya. Di sela rutinitas tersebut, ada kegiatan perekonomian yang sangat semarak yang dilakukan oleh setiap pelaku usaha di berbagai level dan jenis perdagangan.

Fenomena peningkatan geliat ekonomi di bulan ramadlan ini menjadi ceruk spiritual yang mempertemukan dua spirit dalam satu ruas yang saling bergandengan, yaitu beribadah sekaligus bekerja. Persenyawaan dua unsur ini menjadi moment of recharging aspek bathiniah dan lahiriah. Satu sisi setiap orang bisa melaksanakan ibadah dengan tenaga ekstra, di sisi bersamaan sekelompok orang memanfaatkan berbagai momentum untuk berjualan sepenuh tenaga.

Dalam kaitan ini, menguatnya dorongan beribadah dan bekerja di dalam ramadlan mencerminkan adanya panggilan jiwa raga setiap orang. Secara sosiologis, merujuk pada pandangan Max Weber dalam buku The Protestan Ethic and Spirit Capitalism, fenomena ini menjadi sebuah calling yang dalam tradisi protestan digunakan sebagai pemantik kezuhudan beragama dalam satu sisi dan kebebasan berusaha di sisi yang bersamaan.

Melalui konsep calling yang berkembang dalam tradisi Protestan, setiap penganutnya meyakini bahwa bentuk tertinggi dalam kewajiban moral adalah memenuhi tugasnya dalam urusan duniawi sekaligus memproyeksikan perilaku religius dalam aktivitas keduniaan sehari-hari. Persenyawaan ini meneguhkan hubungan simetris antara kapitalisme sebagai pendulang pendapatan dan agama sebagai pendulang pahala

Dalam ajaran Islam, konsep ini tercermin dalam sebuah riwayat yang menjelaskan pentingnya ajaran “bekerjalah untuk duniamu seakan-akan engkau akan hidup selamanya. Dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan-akan engkau akan mati besok”. Hadits ini menggambarkan sebuah tamsil keseimbangan psikologis yang perlu direfleksikan oleh setiap penganutnya agar bisa menjalani perkara keduniaan dan keakhiratan. Sebab, perkara keduniaan (bekerja) merupakan sebuah investasi berkelanjutan yang diharapkan bisa bermanfaat dan memberi keselamatan di akhirat kelak. Bahkan, keduniaan yang disikapi dengan sungguh-sungguh dan mengacu pada nilai-nilai keagaman yang luhur dapat menjadi jembatan transplantasi kebaikan (amr ma’ruf) yang akan mencegah keburukan (nahy munkar).

Oleh karena itu, puasa ramadlan yang dilakukan oleh setiap Muslim, yang satu sisi menjadi laboratorium keberagamaan (religiousity) agar bisa mengasah kepekaan batinnya, dan pada saat bersamaan menjadi aktifitas berekonomi untuk memperoleh nilai tambah kehidupan yang bermanfaat dan maslahat, sesungguhnya menjadi sebuah panggilan jiwa raga yang luhur.

Di samping itu, puasa ramadlan yang mengajarkan setiap orang agar giat beribadah sekaligus giat bekerja atau mencari nafkah, sesungguhnya ingin melepaskan kemalasan dan kepasrahan setiap orang agar tidak menjadi kaum yang terkutuk. Sebab, kemalasan adalah musuh terbesar dalam peradaban manusia yang melahirkan berbagai kebodohan, ketertinggalan, dan kemelaratan.

Melalui doktrin “giat beribadah dan bekerja” yang berkembang dalam puasa ramadlan,  spirit kapitalisme menjadi tumbuh seiring dengan bergeliatnya etika kaum beragama dalam menjalani kehidupannya. Dan, ketika doktrin ini terpatri dalam jiwa raga setiap orang, maka kemiskinan yang menjadi problem sosial yang paling rentan dalam kehidupan manusia akan bisa teratasi secara sistemik.

Untuk mengaktivasi puasa ramadlan sebagai moment pemenuhan diri (self fulfilling) dalam giat beribadah dan bekerja, agar tidak terjebak dalam kubang kemalasan dan kemiskinan, setidaknya ada tiga aspek yang perlu diinstall dalam jiwa raga kita. Pertama, niat sebagai pemantik langkah awal untuk menuju pada realisasi setiap rencana dan keinginan yang kita imajinasikan. Kedua, komitmen sebagai pemandu setiap proses yang kita lakukan agar berbagai tahapan yang kita lakukan tetap berdaya meskipun berhadapan dengan berbagai rintangan. Ketiga, integritas yang menjadi pengingat jati diri kita agar selalu bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan. (tulisan ini sudah terbit di KR tanggal 24 Maret 2025)

(Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, Wakil Katib PWNU Yogyakarta)