WhatsApp Image 2025-04-30 at 16.37.47.jpeg

Rabu, 30 April 2025 16:32:00 WIB

0

MEMAKNAI KEMBALI HAKIKAT DAN SASARAN UTAMA PENDIDIKAN PIDATO PENGUKUHAN GB (Prof. Dr. Sembodo Ardi Widodo, M.Ag. dosen FTIK)

Bismillaahir-rahmaanir-rahiim

Assalamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh

 

Yang Terhormat,

Bapak Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Para Anggota Senat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Para Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Para Dekanat di Lingkungan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Bapak Kaprodi dan Sekprodi PAI S3 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Para Dosen dan Staf Tendik FITK UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Para Tamu Undangan dan segenap hadirin sekalian yang berbahagia,

 

Pertama, puji dan syukur saya panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segala nikmat, rahmat, dan hidayah-Nya. Atas pertolongan-Nya pula saya masih diberi kesempatan dan kekuatan untuk menjalankan tugas-tugas akademis dan non-akademis saya sebagai dosen di kampus tercinta ini.

Kedua, saya ucapkan terima kasih yang sebesar besarnya kepada  Bapak Rektor dan Ketua Senat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang telah berkenan memberikan kesempatan bagi saya untuk menyampaikan orasi ilmiah dalam rangka pengukuhan saya sebagai Guru Besar dalam keilmuan Filsafat Pendidikan.

Ketiga, saya haturkan terima kasih kepada almarhum dan almarhumah Bapak ibu saya yang tercinta, Bapak Su’udi dan Ibu Istianah yang telah mendidik saya dengan segenap upaya, baik secara material maupun moral-spiritual. Kemudian terima kasih kepada keluarga besar saya, terutama sekali istri dan anak-anak saya yang telah memberikan dorongan dan motivasi kepada saya untuk terus berkarir dan berkarya dengan penuh tanggungjawab hingga saat ini. 

Keempat, saya haturkan banyak terima kasih kepada Bapak Rektor, Prof. Noorhaidi Hasan, S.Ag, M.A, M.Phil, Ph.D, Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Prof. Dr. Sigit Purnama, M.Pd, para Wakil Dekan FITK, Kaprodi dan Sekprodi PAI S3, para dosen dan tendik FITK serta para teman sejawat yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu yang telah memberikan bantuan, dukungan, dan motivasinya.

Para hadirin yang terhormat, berkat pertolongan Allah, saya dapat berdiri di majlis yang terhormat ini untuk menyampaikan pidato pengukuhan guru besar saya. Kalau tidak karena pertolonganNya tentunya saya belum bisa mencapai jabatan fungsional sebagai Guru Besar. Berdirinya saya di sini bukan menunjukkan bahwa saya ini orang yang cerdas, orang yang pintar, dan orang yang berprestasi. Namun jauh dari itu semua, saya ini terasa masih banyak kekurangan. Saya selesai doktor tahun 2005 lalu menjadi Guru Besar di akhir tahun 2024, sebuah rentang waktu yang sangat lama untuk mencapai gelar Guru Besar. Hal ini sudah cukup untuk membuktikan bahwa saya ini masih banyak kelemahan dan kekurangan.

Hadirin yang terhormat, terlepas dari perasaan di atas, mari kita lihat berbagai permasalahan  kehidupan yang terkait dengan pendidikan saat ini. Persoalan pendidikan tidak habis-habisnya untuk diselesaikan dan dikaji secara ilmiah-empirik. Pendidikan ingin menciptakan, ingin mendidik anak bangsa menjadi pribadi-pribadi yang baik, bermoral, berkarakter, dan berperilaku baik. Pendidikan mendambakan kemajuan dalam berbagai bidang kehidupan seperti politik, ekonomi, sosial-budaya, iptek, pembangunan bangsa dan negara dengan melahirkan SDM yang unggul. Namun demikian, cita-cita tersebut masih jauh dari harapan. Berbagai persoalan dalam kehidupan belakangan ini justru menunjukkan hal-hal yang sebaliknya. Dalam berbagai berita di media sosial masih banyak kita jumpai praktik-praktik korupsi, intoleransi, perbuatan asusila, penipuan, perkelahiran, perceraian, narkoba, perjudian, dan sebagainya. Orang-orang yang terlibat dalam praktik-praktik tersebut tentunya pernah mendapatkan pendidikan di sekolah atau lembaga pendidikan yang lainnya mulai dari SD, SMP, SMA, bahkan Perguruan Tinggi. Kurikulum berganti model namun hasilnya juga relatif sama. Kalau dicermati dan dianalisis secara mendalam ada kelemahan dan kekurangan dalam teori dan praktik-praktik pendidikan selama ini. Perlu ada telaah lagi terkait hakikat pendidikan, arah dan sasaran utama dalam pendidikan serta dari mana dan pada aspek mana sebaiknya kita  mendidik anak-anak bangsa ini mengingat obyek yang dididik itu manusia, yang melakukan berbuatan yang tidak terpuji  manusia, dan yang mendidik juga manusia.

Sebelum mengkaji persoalan-persoalan di atas, perlu disampaikan di sini dari perspektif filsafat pendidikan sebagai sebuah kajian, pencarian hakikat pendidikan melalui perspketif fenomenologi, dan selanjutkan ke arah kajian yang mendasar dan substansial untuk menemukan titik persoalan yang sangat mendasar dan sangat mempengaruhi terhadap pendidikan.

FILSAFAT PENDIDIKAN SEBAGAI KAJIAN

Filsafat pendidikan bisa dikatakan sebagai suatu pendekatan dalam memahami dan memecahkan persoalan-persoalan yang mendasar dalam  pendidikan, seperti dalam menentukan tujuan pendidikan, kurikulum, metode pembelajaran, manusia,  masyarakat, dan kebudayaan yang tidak bisa dipisahkan dari dunia pendidikan itu sendiri.

 Salah satu tugas filsafat dalam hubungannya dengan pendidikan yaitu mengkaji dan mengungkapkannya secara jelas dan mendalam atas konsep-konsep yang secara substansial menjadi kajian dalam pendidikan dan mengujinya dengan membongkarnya secara tegas dan sungguh-sungguh sehingga tidak ada lagi yang perlu diragukan. Tugas filsafat seperti ini yang sering disebut sebagai Filsafat Kritik, yaitu analisis terhadap konsep-konsep fundamental kita melalui pernyataan yang jelas dan kritik yang tegas atas konsep-konsep yang fundamental tersebut.[1]

Di samping tugas tersebut, ada kerangka kerja filsafat  yang lain, yaitu aktivitas fenomenologis dan normatif-evaluatif. Yang pertama untuk mencari suatu deskripsi yang komplit dan esensial serta tidak bias dari pengalaman-pengalaman dasar kita atau prasangka-prasangka kita dengan menggunakan disiplin-disiplin metodik yang tegas dan jelas. Sedang yang terakhir, para filosuf mencoba beraksi dalam rangka memberikan kritik terhadap perilaku-perilaku moral individu dan sosial untuk dinilai dan diarahkan kepada yang lebih baik.[2]

Pendidikan

Eksistensi pendidikan itu bisa dikatakan sangat kompleks,  terkait dengan berbagai aspek kehidupan dan kepentingan-kepentingan yang menyertainya. Ia berada dalam suatu lingkaran tarik-menarik beragam kepentingan ideologi, politik, sosial, budaya, agama, ekonomi, kemanusiaan dan lain sebagainya. Dalam konteks ini, kadang-kadang muatan kurikulum itu menjadi ajang berbagai kepentingan. Ada sementara kalangan yang menginginkan pendidikan itu berbasis kepada agama, sehingga muncul pendidikan yang bercorak atau berlabel agama tertentu seperti pesantren. Secara politis, pemerintah juga menginginkan pendidikan atau kurikulum yang dapat menopang dan mendukung ideologi politiknya. Oleh karena itu, pendidikan pada hakikatnya merupakan pencerminan dari kondisi negara, juga pencerminan dari ambisi-ambisi para pemimpin dan kekuatan-kekuatan sosial-politik yang sedang berkuasa. Dengan sendirinya pendidikan juga merupakan refleksi dari orde penguasa yang ada.[3] Dalam fenomena yang lain, kita juga menjumpai adanya kepentingan sementara orang untuk meletakkan pendidikan itu pada dunia pasar, dunia ekonomi dan ketenagakerjaan. Kurikulumnya ditambahkan dan didesain sedemikian rupa sehingga dapat menjanjikan peserta didik  terampil dan masuk dalam dunia kerja secara professional tetapi dengan biaya pendidikan yang relatif mahal.

Ada sementara ahli pendidikan yang ingin mencari esensi pendidikan agar terlepas dari hal-hal yang pada prinsipnya bukan esensi pendidikan itu sendiri. Dari sini lahirlah berbagai definisi pendidikan yang cenderung bersifat “normatif”. Aktivitas pendidikan bisa dipilah antara yang benar-benar merupakan aktivitas pendidikan dan yang bukan aktivitas pendidikan dengan mencari unsur-unsur dasarnya, komponen pokoknya, dan dari sini disimpulkan makna hakiki dari pendidikan. Apa yang menjadi unsur-unsur dasar pendidikan adalah adanya pemberi, penerima, tujuan baik, cara yang baik, dan konteks yang positif. Dari adanya lima unsur dasar pendidikan ini, pendidikan dapat dirumuskan sebagai aktivitas interaktif antara pemberi dan penerima untuk mencapai tujuan baik dengan cara yang baik dalam konteks positif.[4]

Pencarian esensi dari pendidikan seperti ini pada prinsipnya telah dilakukan oleh para ahli pendidikan sejak dahulu hingga sekarang, dan ini telah banyak melahirkan pengertian-pengertian pendidikan yang fundamental. Di antaranya adalah apa yang dikemukakan oleh M.J. Langeveld yang mengatakan bahwa “pendidikan atau pedagogi itu adalah kegiatan membimbing anak manusia menuju kepada kedewasaan dan kemandirian”. Sementara itu, Kingsley mengemukakan bahwa pendidikan adalah proses di mana kekayaan budaya non fisik dipelihara atau dikembangkan dalam mengasuh anak-anak atau mengajar orang-orang dewasa.[5]

Hubungan antara Filsafat dan Pendidikan

Hubungan filsafat dengan pendidikan dapat dilihat dengan mengidentifikasi pendekatan yang ada dalam filsafat kemudian dikaitkan dengan pendidikan. Pendekatan itu adalah spekulatif, preskriptif, dan analitis. Pendekatan spekulatif berarti memikirkan secara sistematis tentang segala sesuatu yang ada. Dalam bidang pendidikan, pendekatan ini diterapkan untuk menjelaskan konsepsi tentang kenyataan.[6]

Pendekatan preskriptif adalah upaya untuk menyusun standar pengukuran tingkah laku, nilai, dan sebagainya, termasuk di dalamnya untuk menemukan mana yang disebut baik, buruk, benar, dan salah. Pendekatan ini diperlukan, misalnya untuk penyusunan konsepsi tentang pendidikan moral atau kesusilaan. Sementara itu, pendekatan analitis berusaha untuk mengenali makna sesuatu dengan mengadakan analisis kata-kata pada khususnya dan bahasa pada umumnya. Dalam bidang pendidikan, pendekatan ini diperlukan mengingat sejumlah konsepsi dalam pendidikan diperlukan kejelasannya.[7]

Filsafat Pendidikan

Sebagai suatu sistem, filsafat pendidikan bisa dipetakan ke dalam dua wilayah. Pertama, sistematika berdasarkan pemikiran para tokoh yang bersangkutan, seperti John Dewey[8] dan Jean Piaget[9], atau menurut aliran-aliran filsafat yang ada, seperti realisme, naturalisme, pragmatisme, fenomenologi, dan strukturalisme, yang tentunya semua aliran ini mempunyai sistem-sistem pemikirannya yang khas.[10] Dalam hal ini, filsafat pendidikan menjadi semacam telaah atas pemikiran tokoh pendidikan dan atau aliran-aliran filsafat tertentu untuk dicari implikasinya dalam aspek-aspek pendidikan.

Kedua, Sistematika filsafat pendidikan yang disusun sesuai dengan sistematika dari ilmu pendidikan itu sendiri. Apa saja yang terkandung sebagai bagian atau unsur-unsur dari pendidikan itulah yang menjadi bagian dari sistematika filsafat pendidikan yang bersangkutan.[11] Dalam konteks ini, filsafat pendidikan tidak ubahnya seperti ilmu pendidikan dengan muatan-muatan pemikiran filosofis.

Pada aspek tertentu filsafat pendidikan bisa dipahami sebagai ilmu yang pada hakikatnya merupakan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan dalam lapangan pendidikan. Oleh karena bersifat filosofis, dengan sendirinya filsafat pendidikan ini pada hakikatnya adalah penerapan suatu analisa filosofis terhadap lapangan pendidikan.[12] Pengertian filsafat yang dikembangkan dari realitas problematika pendidikan di lapangan ini akan menjadi terbuka untuk munculnya pemikiran pendidikan yang baru.

PENCARIAN HAKIKAT MELALUI FILSAFAT FENOMENOLOGI

           Dalam konteks keterkaitan antara pendidikan dengan sistem pemikiran filosuf atau aliran filsafat, fenomenologi sebagai suatu aliran filsafat mempunyai implikasi dan konsekuensi dalam dunia pendidikan. Dalam pengertian lain pendidikan itu bisa dilihat dari kacamata fenomenologis, dan ini tentunya akan memberikan warna dan corak pendidikan  yang berbeda dengan misalnya pendidikan yang dilihat dari pandangan pragmatis atau positivistik.

Fenomenologi adalah suatu aliran filsafat kontemporer yang muncul di awal abad ke 20 yang diletakkan dasar-dasarnya oleh Edmund Husserl.[13] Aliran ini merupakan suatu aliran epistemologi dengan semacam intuisi untuk menentukan kebenaran atau kenyataan ilmiah, dan sekaligus untuk membebaskan diri dari pengaruh atau prasangka-prasangka yang bersifat simpati, menghargai, atau menolak.

Husserl memperbaiki pemikiran Descartes tentang kesadaran diri sendiri yang bersifat tertutup atau terisolir dari realitas, juga konsepsi Kant yang menegaskan bahwa manusia hanya mengenal fenomena (yang tampak), bukan nomenon (realitas itu sendiri atau Das ding an sich). Sedangkan yang tampak bagi kita adalah semacam tirai yang menyelubungi realitas yang ada di baliknya.[14] Husserl juga berusaha mengkritik nominalisme yang berkembang luas sejak Locke dan Hume di bawah nama empirisme dan psikologisme.[15]

Pemikiran fenomenologi Husserl mendasari filsafat sebagai ilmu yang rigorus (rigorous science), yang pada prinsipnya menolak sikap “scientisme” yang menghadapi kenyataan dan pengertian dengan metode dan sikap ilmu eksakta,[16] sebab sikap ini ternyata membina pertentangan antara subyek dan obyek, dan memasukkan sikap anti terhadap hal-hal nyata (fenomena keseharian).[17]

Menurut Husserl, kita banyak mengakarkan konsep-konsep dasar kita dari lifeworld, yaitu dunia keseharian manusia seperti rumah, pekerjaan, hobbi, dunia di mana kita bekerja, bergaul, makan, tidur, dan sebagainya. Kita berpikir dunia seperti ini sebagai yang objektif dan independen, lalu kitalah yang memberi makna. Kita dalam kehidupan sehari-hari biasa bergumul dan bersentuhan dengan institusi dan praktek-praktek sosial, seperti uang, pasar, rekreasi, dan sekolah misalnya, lalu kita membicarakan hal-hal yang berkaitan dengannya dalam bahasa dan cara berpikir yang biasa berlaku dalam masyarakat umum (common sense) tanpa menghiraukan hakikat yang sesungguhnya. Untuk memahami lifeworld seperti ini dengan benar, kita harus menggambarkannya secara fenomenologis, yaitu dengan memahami  konsep-konsep tersebut untuk dicari makna esensinya.[18]

Sebagai tokoh fenomenologi, Husserl memiliki titik tolak metodis dalam menangkap suatu objek pengertian atau konsep. Menurutnya, untuk mencapai suatu objek pengertian menurut keasliannya, harus diadakan suatu pembersihan atau penyaringan. Aktivitas operasional itu disebut “Reduksi” atau “Epoche”,[19] Ada tiga macam reduksi yaitu; reduksi fenomenologis, reduksi eidetis, dan reduksi transendental.

1. Reduksi Fenomenologis

Fenomenologi sebagai metode berpikir kritis membentangkan langkah-langkah yang harus diambil sehingga sampai pada fenomena murni. Manusia harus memulai dengan subjek (manusia dan kesadarannya, serta berusaha kembali kepada kesadaran murni). Untuk mencapai kesadaran murni tersebut, manusia perlu membebaskan diri dari pengalaman dan gambaran kehidupan sehari-hari. Jika hal tersebut telah dilaksanakan, maka akan tersisalah gambaran yang esensial.[20]

Untuk menangkap atau mencerna suatu pengertian (fenomena) dari sebuah objek dalam wujud yang semurni-murninya, menurut Husserl harus diadakan penyaringan atau reduksi. Pada umumnya dalam praktek hidup sehari-hari, barang-barang yang nampak pada kita, kita tidak menghiraukan akan penampakan itu sendiri. Namun, yang lebih kita pentingkan adalah yang menampakkan diri, yang ada di belakang penampakan itu yang segera kita anggap sebagai realitas di luar kita. Fenomena yang menyodorkan diri sebagai hal yang secara nyata ada itu tidak boleh kita terima begitu saja. Misalnya, ketika kita melihat objek “rumah”, maka janganlah tergesa-gesa mengatakan “ada rumah”. Ini adalah amatan pertama (first look), karena pada pengamatan pertama itu belum sanggup membuat fenomena itu mengungkapkan hakikat rumah tersebut. Oleh karena itu, keputusan tersebut harus ditangguhkan terlebih dahulu dengan menempatkannya di antara dua tanda kurung. Sesudah itu kita harus mengamati atau memandang pada tahap kedua (second look) untuk menilik apa yang kita alami di alam kesadaran kita. Jika tindakan dalam pengamatan kedua tersebut berhasil, kita akan menemukan fenomena atau gejala yang sebenarnya.[21]

Reduksi fenomenologis dapat ditempuh dengan menyisihkan atau menyaring pengalaman pengamatan pertama. Pengalaman inderawi itu tidak ditolak, tetapi perlu disisihkan dan disaring terlebih dahulu sehingga  tersingkirlah segala prasangka, pra anggapan, pra teori, pra konsepsi, baik yang berdasarkan keyakinan tradisional maupun yang  berdasarkan agama, bahkan seluruh keyakinan yang telah dimiliki sebelumnya.[22]

2. Reduksi Eidetis

Reduksi eidetis dimaksudkan untuk menemukan “eidos” yaitu intisari, atau hakikat fenomena yang tersembunyi.[23] Jadi hasil reduksi kedua adalah “pemilikan hakikat atau Wesenxchou”. Di sinilah kita melihat hakikat sesuatu, dan inilah pengertian yang sejati.

Hakikat yang dimaksud Husserl bukan dalam arti umum, misalnya “manusia hakikatnya adalah dapat mati”. Bukan suatu inti yang tersembunyi, misalnya “hakikat hidup”. Hakikat yang dimaksud adalah mencari struktur fundamental yang meliputi gabungan dari isi fundamental + semua sifat hakiki + semua relasi hakiki dengan kesadaran dengan objek yang disadari.[24]

3. Reduksi Transendental

Di dalam reduksi transendental ini bukan lagi mengenai objek atau fenomena, tetapi khusus “pengarahan (intensionalitas) ke subjek”, mengenai akar-akar kesadaran, yakni mengenai “akt-akt” kesadaran sendiri yang bersifat transendental. Fenomenologi harus menggambarkan cara berjalannya kesadaran transendental.[25] Sedangkan reduksi transendental harus menemukan kesadaran murni dengan menyisihkan kesadaran empiris sehingga kesadaran diri sendiri tidak lagi berlandaskan pada keterhubungan dengan fenomena lainnya. Kesadaran diri yang telah bebas dari kesadaran empiris itu mengatasi seluruh pengalaman, oleh karenanya bersifat transendental.

Fenomenologi  Dalam  Wacana  Pendidikan

Salah satu dari lifeworld adalah dunia pendidikan yang biasa kita lihat, kita alami, dan kita pikirkan eksistensi dan esensinya sepanjang kehidupan manusia. Untuk mencari makna yang mendasar dari fenomena pendidikan, dengan memakai kacamata fenomenologis, misalnya kita dapat  memisahkan suatu konsep dari pengalaman mengajar. Untuk itu kita kurung semua ide kita tentang mengajar, pendidikan, psikologi, teori-teori sosiologi, semua gagasan  otoritas dan sebagainya. Kita bahkan mengurung keyakinan kita bahwa ruang kelas yang kita masuki atau kita hayalkan  berada bebas dari kita. Pokoknya semua dugaan, prasangka, atau isu yang melingkupi konsep itu kita kurung, kita tangguhkan terlebih dahulu.

Kemudian, kita bandingkan pengalaman mengajar ini dengan pengalaman mengajar lain yang aktual. Bagaimana kita memproses ini ?. Dalam benak kita, kita mencoba merubah satu ciri khas dari pengalaman ini, lalu disusul dengan ciri pengalaman-pengalaman yang lain. Dalam setiap permasalahan, kita menanyakan diri kita sendiri apakah perubahan pengalaman itu secara mendasar sama dengan pengalaman yang asli. Apakah ia mempunyai kesamaan esensi atau struktur, dan apakah merefleksikan kesamaan pengorganisasian  konsep. Dengan membandingkan susunan pengalaman yang luas, kita memisahkan ciri-ciri esensial dari konsep yang kita uji. Jika kita mengikuti prosedur ini secara tepat, dan membandingkan hasil yang kita peroleh dengan penelitian-penelitian lain, maka kita dapat menggambarkan konsep dasar mengajar tersebut yang masih dianggap umum oleh anggota masyarakat.[26]

Kita lalu memikirkan fenomena tentang guru. Bagaimana dia menyampaikan materinya, menangkap keinginan murid, menjawab pertanyaan, mendisiplinkan murid, menilainya, dan sebagainya. Biarkan pengajarannya sebagai pengalaman pertama kita. Kemudian, kita amati guru lain yang berbeda dengan yang pertama dalam berbagai hal, sikap, materi yang diajarkan, umur, jenis kelamin, metode mengajar, pengetahuan, dan sebagainya. Kita mencoba menandai ciri-ciri umum dari masing-masing pengajarannya. Sekarang kita masukkan pemikiran yang lain. Kita hayalkan hal-hal tentang orang tua, para politikus, pedagang, muballigh, ulama, pendeta,  pengamat politik dan budayawan. Kita berpikir juga tentang televisi, komputer, surat kabar, handphone, dan sejenisnya. Apakah semua ini juga mengajar kita ?. Kalau ya, kapan dan dimana ?. Tiap hari kita dapat mendengar atau melihat perilaku politikus, ceramah atau nasehat keagamaan, berita dari mass media, dari WhatsApp dan lain sebagainya. Lalu apakah kita masih diajar dengan ini semua, jika ya, dalam hal apa. Jika tidak, mengapa tidak merasa diajar ?. Jika kita menemukan beberapa ciri khusus yang kita sadari tidak termasuk dalam hal mengajar, berarti kita telah sampai pada batas-batas dari konsep tersebut. Kemudian jika kita telah menetapkan secara tepat ciri utama yang fundamental dari konsep mengajar ini, lalu kita cari makna transendentalnya, maka kita telah sampai pada hakikat mengajar yang sesungguhnya.[27]

Fenomenologi  menekankan kebebasan berpikir yang tiada batasnya. Dengan disiplin dan usaha fenomenologik kita dapat meragukan semua asumsi kita, bahkan semua common sense, dan membongkar semua konsep dasar di mana kita menyusun pengalaman kita, seperti konsep-konsep mengenai ilmu pengetahuan, pendidikan,  pengajaran, guru, murid, dan teks, termasuk juga dalam pendidikan Islam. Diskripsi dari konsep-konsep seperti ini  akan menggambarkan apa yang esensi dan apa yang tidak bagi kita. Diskripsi ini akan menjelaskan kita pengetahuan yang seharusnya, dan pendidikan yang esensial dan pengajaran yang harus tercakup di dalamnya.

DARI NEURO-SCIENCE KE NIKMATUS-SCIENCE

Pada ranah fenomenologis selama ini kita masih berasumsi bahwa yang berpikir itu otak, yang melihat itu mata, yang mendengar itu telinga, yang merasakah penciuman itu hidung, yang merasakan makanan dan minuman itu lidah. Berawal dari anggapan bahwa hakikat yang berpikir itu otak maka secara keilmuan melahirkan apa yang disebut dengan neuroscience. Asumsi ini kemudian banyak melahirkan kajian dan penelitian yang mempromosikan hal tersebut secara massif dalam berbagai penilaian, fungsi, pemetaan, dan teori.[28] Neuroscience menjadi sebuah bangunan keilmuan yang sudah menjadi paradigma dan bahkan menjadi pembimbing manusia untuk bisa mengetahui tingkat kecerdasannya dan upaya untuk meningkatkan kecerdasannya sampai pada tahap menuntun manusia agar bisa hidup berhasil dan menjadi individu yang baik.

Berdasarkan analisis fenomenologis anggapan bahwa yang berpikir itu otak perlu dipertanyakan lagi. Kita perlu menguji asumsi tersebut. Dalam kehidupan sehari-hari kita sering melihat orang tidur bahkan kita sendiri tidur. Saat orang tidur, kita dapat menyaksikan organ-organnya lengkap. Otak masih ada, mata masih ada, telinga masih ada, hidung masih ada bahkan bisa bernafas, lidah masih ada, namun kita dapat menyaksikan bahwa semua alat-alat tersebut tidak berfungsi ketika orang sedang tidur. Orang tidur kita tanya 5 + 5 berapa, dia tidak bisa menjawab padahal otak masih ada. Orang tidur dikasih suara musik juga tidak mendengar padahal telinga masih ada, dikasih bau wangian juga tidak merasakan bau wanginya padahal hidung masih ada, lalu ditaruh gula di lidahnya juga tidak merasakan rasa manisnya gula padahal lidah masih ada. Alat-alat inderawi dan alat berpikir tadi lumpuh ketika orang sedang tidur ataupun mengantuk. Fenomena ini menunjukkan bahwa ada substansi yang sangat mendasar, berbentuk non material yang secara hakikat menjadikan orang itu berpikir, melihat, mendengar, dan merasa, suatu zat yang sesungguhnya merasakan dan mengenal apa yang dia lihat, merasakan dan mengenali apa yang dia dengar, merasakan apa yang dia cium, merasakan apa yang ada di lidah, bahkan merasakan dan mengenali apa yang dia pikirkan. Dalam bahasa agama Islam zat tersebut dinamakan Nikmat, berada di dalam hati setiap manusia. Kita semua dapat merasakan hal tersebut.

Nikmat ini tidak hanya merasakan dan mengenal data cerapan dari panca indera dan olah pikir, tetapi lebih dari itu dia dapat mengenal apa yang dirasakan dalam hati kita seperti rasa iri, dengki, emosi, amarah, dendam, benci, riak, sombong, tersinggung, dan sebagainya. Bendanya ghaib, tidak kelihatan tetapi bisa dikenali dengan rasa. Melalui reduksi eiditis dan transendental kita dapat menyimpulkan bahwa yang sesungguhnya melihat, mendengar, dan berpikir itu adalah nikmat. Ia berada di dalam hati setiap manusia. Nikmat itulah sumber daya manusia yang sesungguhnya.

Nikmat ini mestinya yang menjadi fokus utama pendidikan sebelum mengarahkan pendidikan ke aspek pengetahuan, keterampilan, dan kompetensi-kompetensi yang dibutuhkan individu untuk melaksanakan tugas dan pekerjaan tertentu dalam berbagai bidang keahlian. Pendidikan yang selama ini kita saksikan lebih mengedepankan aspek kognisi, skill, perilaku dan afeksi yang berbasis pada teori-teori psikologi yang berasal dari olah pikir manusia. Afeksi dan perilaku dibangun dari pemikiran atau teori-teori psikologi dengan tujuan agar individu menjadi baik, cerdas, dan kompeten.

Jika kita sudah memastikan secara hakikat bahwa yang melihat, mendengar, merasa, dan yang berpikir itu adalah nikmat yang ianya bersifat non material maka fokus pendidikan seharusnya diarahkan pada pendidikan nikmat, pendidikan pada rasa yang ada di dalam hati setiap orang. Pertanyaan segera muncul bagaimana cara mendidiknya, bagaimana metode pembelajarannya, dan bagaimana kurikulumnya. Pertanyaan ini tidak mudah dijawab karena keterbatasan manusia. Selama ini yang dilakukan oleh para pendidik terjebak pada istilah “jeruk makan jeruk”. Kita ingin memperbaiki rasa, nikmat, dan hati kita agar menjadi baik, agar menjadi pribadi yang baik melalui produk yang kita hasilkan dari pola pikir kita, melalui mapping yang kita buat, melalui teori yang kita rumuskan, melalui prosedur dan sistem yang kita buat, sedangkan zat yang berpikir yang melahirkan itu semua adalah nikmat yang ada dalam hati kita. Produk yang dihasilkan oleh nikmat tadi yang berupa olah pikir digunakan untuk memperbaiki nikmat itu sendiri yaitu zat yang sesunguhnya berpikir. Dalam kondisi seperti ini sesungguhnya manusia itu melampaui batas. Kallaa Innal insaana layathghaa ar raahustaghnaa (Sekali-kali tidak, sesungguhnya manusia itu benar-benar melampaui batas ketika melihat dirinya merasa cukup).

Lebih dari itu, setelah memunculkan dan bergumul dengan neuroscience, manuisa dengan kecerdasannya justru bergerak ke arah kecerdasan buatan (artificial intelligence), suatu tehnologi yang dihasilkan oleh manusia yang mempunyai kemampuan untuk memecahkan masalah layaknya manuisa, tampak seperti menirukan kecerdasan manusia yang dapat membantu tugas-tugas yang dibutuhkan oleh manusia. Banyak kajian yang bermunculan secara teoritis maupun aplikatif terkait artifial intelligence ini.[29] Artificial Intelligence banyak diterapkan dalam berbagai bidang seperti kesehatan, seni, keuangan, manufaktur, pendidikan, dan lain sebagainya.

Dalam dunia pendidikan, tehnologi ini dapat menggantikan peran guru dalam proses pendidikan dan pembelajaran anak didik. Dari aspek transfer pengetahuan dan keterampilan masih bisa dijadikan pijakan dalam pendidikan, namun dari aspek pendidikan rasa, nikmat atau hati masih dipertanyakan apakah  produk bisa memperbaiki rasa, nikmat, atau hati yang memproduksi produk tersebut. Dalam hal pendidikan rasa atau nikmat ini, apa yang dilakukan manusia masih tetap malampaui batas.

Nikmat atau rasa yang ada di dalam hati kita ini bukan milik manuisa tetapi milik Tuhan yang dititipkan untuk menyempurnakan kejadian manuisa yang suatu saat akan diambil lagi. Oleh karena itu, pendidikan atas nikmat ini harus melibatkan Tuhan dan harus mengikuti jalan dan aturan yang telah ditentukanNya.

Demikian pidato pengukuhan Guru Besar ini saya sampaikan semoga berkenan di hati para hadirin yang terhormat.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

 

 

REFERENSI

Azizi, Aydin, Applications of Artificial Intelligence Techniques in Industry 4.0, Springer Nature Singapore Pte Ltd. 2019.

Adolphs, Ralph, Cognitive Neuroscience Of Human Social Behaviour. Nature Reviews Neuroscience, Volume 4, March 2003, 165. ralph-adolphs@uiowa.edu, doi:10.1038/nrn1056

Bakker, Anton, Metode-metode Filsafat, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986.

Barnadib, Imam, Filsafat Pendidikan, Sistem dan Metode, Yogyakarta: Andi Offset, 1994.

______, Filsafat Pendidikan, Suatu Tinjuan,  Yogyakarta: Andi Offset, 1986.

Barnard, Philip J,. et al., Differentiation in cognitive and emotional meanings: An evolutionary analysis, Cognition And Emotion 2007, 21 (6), 1155-1183. Psychology Press Taylor & Francis Group. DOI: 10.1080/02699930701437477.

Beck, Robert N., Handbook in Social Philosophy, New York: Macmillan Publishing Co., Inc.

Bertens, K., Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1995.

_______, Filsafat Barat Abad XX, Inggris-Jerman, Jakarta : Gramedia, 1990.

Birling, The Encyclopedia of Philosophy, Vol. IX, Americana Corporation, 1974.

Blau, Joseph L., Men and Movements in American Philosophy, U.S.A: Prentice Hall Inc., 1966.

Blewett, J., John dewey: His Thought and Influence, New York: Fordham University Press, 1960.

Bochenski, I.M., Contemporary European Philosophy, California: University California Press, 1974.

Brubacher, John S., Modern Philosophies of Education, New Delhi: Tata Mc Graw Hill Publishing Company Ltd., 1978.

Burr, John R. dan Goldinger, Milton, Philosophy and Contemporary Issues, New Jersey: Prentice Hall, Inc., 1996.

Butler, J. D., Four Philosophies  and Their Practice in Education and Religion, New York: Harper and Broters, 1951.

Cardon, Alain, Beyond Artificial Intelligence: From Human Consciousness to  Artificial Consciousness, Great Britain and the United States: ISTE Ltd and John Wiley & Sons, Inc., 2018.

Copleston, Frederick, A History of Philosophy, London: Buns and Oates Limited, 1966.

Cottingham, John, ed., Western Philosophy, an Anthology, Oxford: Blackwell Publishers Ltd., 1996.

Crawford, Kate, Atlas of AI Power: Politics, and the Planetary Costs  of Artificial Intelligence, New Haven and London: Yale University Press, 2021.

Das, Ravindra, Generative AI and Cyberbullying, New York: CRC Press Taylor & Francis Group, 2025.

Davidson, Cognitive Neuroscience Needs Affective Neuroscience (and Vice Versa), Brain and Cognition 42, 89–92 (2000) doi:10.1006/brcg.1999.1170, available online at https://www.idealibrary.com

Delfgaauw, Bernard, Filsafat Abad XX, Terj. Soejono Soemargono, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1988.

Denny, JA, Enam Spirit Emas Spiritualitas di Era Artificial Intelligence, USA: Cerah Budaya Internasional, Ltd., 2024.

Dewey, John, Logic: The Theory of Inquiry, New York: Holt, Rinehart & Winston, 1938.

_______, Reconstruction in Philosophy, New York: American Library, 1955.

_______, Experience and Nature, New York: Dover Publications, Inc., 1958.

Dunjko, Vedran & Hans J. Briegel, Machine learning & artificial intelligence in the quantum domain: a review of recent progress, Reports on Progress in Physics, 2018.

Durant, The Story of Philosophy, New York: Simon and Schuster, 1961.

Edward, Paul, The Encyclopedia of Philosophy, New York: Mac Millan Co. Inc. and The Tree Press, 1967.

Gruber, Frederich, C., Historical and Contemporary Philosophies of Education, New York: Thomas Y Crowell Company, 1973.

Hadiwijono, Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat Jilid 2, Yogyakarta: Kanisius, 1980.

Hand, Michael, Towards a Theory of Moral Education, Journal of Philosophy of Education, Vol. 48, No. 4, 2014, p. 519-532.

Kartono, Kartini, Tinjauan Politik mengenai Sistem pendidikan Nasional: Beberapa Kritik dan saran, Jakarta: PT Pradnya Baramita, 1977.

Kattsoff, Louis O., Pengantar Filsafat, Terj. Soejono Soemargono, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1992.

Kneller, George F., Movement of Thought in Modern Education, New York: John Wiley & Sons Inc., 1984.

Knight, George R., Issues and Alternatives in Educational Philosophy, Michigan, Andrews University Press Berrien Springs, 1982.

Muhadjir, Noeng, Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial: Teori Pendidikan Pelaku Sosial Kreatis, Edisi V, Yogyakarta: Rake Sarasin, 2000.

Natamson, Maurice, Edmund Husserl: Philosopher of Invinite Tasks, Evanstone: North Western University Press, 1973.

Neisser, Ulric, Cognitive Psychology, New York: Appleton-Century-Crofts, 1967.

 

______, Cognition and Reality, San Francisco: Freeman, 1976.

 

O’Connor, Introduction to the Philosophy of Education, London: Routledge & Kegan Paul, 1957.

Piaget, Jean, The Psychology of The Child, New York: Basic Books, 1969.

______, Genetic Epistemology, New York: Columbia University Press, 1970.

______, Science of Education and The Psychology of The Child, New York: Viking, 1970.

Price, Kingsly, Education and Philosophical Thought, Boston: Allyn and Bacon, Inc., 1962.

Rapar Hendrik, Jan, Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1996.

Russell, Bertrand, History of Western Philosophy, London: George Allen & Unwin Ltd., 1961.

 

Sabzalieva, Emma and Arianna Valentini, ChatGPT and Artificial Intelligence in higher education: Quick start guide, UNESCO: United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization, 2023.

Singler, Beth, Religion and Artificial Intelligence: An Introduction, New York:  Routledge Taylor & Francis Group, 2025.

 

Siswanto, Joko, Sistem-sistem Metafisika Barat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.

Skinner, B.F., Reflections on Behaviorism and Society, Englewood Cliffs, N. J.: Prentice-Hall, 1978.

Smith, Samuel, Ideas of The Great Educators, New York: Barnes and Noble Books, 1979.

Spiegelberg, H., The Phenomenological Movement: A Historical Introduction, Martinus Nijhoff, The Haque, Vol. I.

Titus, Harold H., dkk., Persoalan-persoalan Filsafat, Terj. H.M. Rasyidi, Jakarta: Bulan Bintang, 1984.

 

Titus, Hepp, Smith (Ed.), The Range of Philosophy, U.S.A: Litton Educational Publishing, Inc., 1975.

Warwick, Kevin,  Artificial intelligence: the basics, New York: Routledge Taylor & Francis Group, 2012.

Wilds, Elmer Harrison, The Foundations of Modern Education, New York: Holt, Rinehart and Winston, 1970.

 

CURRICULUM VITAE

Identitas Pribadi

Nama                           : Prof. Dr. Sembodo Ardi Widodo, M.Ag.

Tempat/Tgl. Lahir       : Batang, 15 September 1968

Pekerjaan                     : Dosen Tetap Fak. Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga

Pangkat/Gol                : Guru Besar / IV/c

NIP                             : 196809151998031005

Alamat Rumah            : Jagalan, Rt. 5 Rw 2 Tegaltirto, Berbah, Sleman, Yogyakarta

Alamat Kantor            : Fak. Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga

                                      Jl. Marsda Adisucipto  Yogyakarta 55281, Tlp.(0274) 513056

No. Hp.                       : 081578146846

e-mail                          : sembodoaw@yahoo.co.id

NIDN                          : 2015096801

Riwayat Pendidikan

1.      SDN 1 Karangasem Batang, 1981

2.      SMPN 1 Batang, 1983

3.      Pondok Pesantren Pabelan, Muntilan, 1984

4.      KMI Gontor Ponorogo, 1989

5.      STAI Jam’iyah Mahmudiyah Langkat, 1995

6.      PPs. (S2) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1998

7.      PPs. (S3) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2005

Riwayat Pekerjaan

1.      Dosen  Fak. Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1998 s/d sekarang

2.      Dosen Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2006 s/d sekarang

3.      Dosen Pascasarjana UNSIQ Wonosobo, 2009 s/d sekarang

4.      Dosen STAI Nahdlatul Ulama Temanggung, 2000 s/d 2005.

5.      Anggota CTSD (Center for Teaching Staff Development) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2006 s/d 2010.

6.      Asesor Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi, 2008 s/d sekarang

7.      Pengurus Lembaga Pendidikan MA’ARIF NU DIY bagian Pengembangan Perguruan Tiggi, 2007 s/d 2012.

8.      Kepala Pusat Pengembangan Bahasa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2015 sd 2021.

 

Karya Ilmiah

  1. ”Kurikulum Bahasa Arab di PP Tebuireng dan Mu’allimin Muhammadiyah: Suatu Tinjauan Epistemologis”, dalam Jurnal Al-’Arabiyah, Vol.1 No.1, Juli 2004.
  2. ”Model-model Pembelajaran Bahasa Arab”, dalam Jurnal Al-’Arabiyah, Vol.2 No.2, Juli 2006.
  3.  ”Menelusuri Jejak-jejak Kekerasan dalam Islam”, dalam Jurnal UNISIA, No. 61/XXIX/III/2006.
  4.  ”Nalar Bayani, ’Irfani, dan Burhani dan Implikasinya terhadap Keilmuan Pesantren”, dalam Jurnal Hermenia, Vol.6 No.1, 2007.
  5. ”Metode Hermenetik dalam Pendidikan”, tulisan dimuat dalam buku Anthologi Pendidikan PPs. UIN Sunan Kalijaga, 2009.
  6. ”Analisis Struktural dalam Kajian al-Qur’an Surat Yusuf” dalam jurnal Ulumuna, Vol. XI, No. 2, 2007.
  7. ”Pendidikan Moral: Tinjauan dari Pendekatan Wahyu, Sufistik, dan Sosial-Budaya”, dalam jurnal Hermenia, Vol. 7, No.2, 2008.
  8. Kajian Filosofis Pendidikan Barat dan Islam, (Buku diterbitkan oleh Nimas Multima, Jakarta 2003).
  9. Struktur Keilmuan Kitab Kuning: Perspektif NU dan Muhammadiyah, (Buku diterbitkan oleh Nimas Multima, Jakarta 2008).
  10. Nasib Pendidikan Kaum Miskin (Buku, ISBN: 978-979-1795-7-0, Januari 2009).
  11. Pendidikan Islam di Indonesi: Dasar Pemikiran dan Implementasi (Buku, ISBN: 979-1795-51-7 Juli 2009).
  12. Sekolah Bertaraf Internasional (Buku, ISBN, Desember 2010).
  13. Potret Ujian Nasional di Indonesia (Buku, ISBN, Desember 2009).
  14. Semiotik: Memahami Bahasa Melalui Sistem Tanda (Buku: ISBN, Oktober 2013).
  15. Pendidikan dalam Perspektif Aliran-aliran Filsafat (Buku: ISBN, Oktober 2015).
  16. “Al-Tarbiyah al-Syahshiyah fi Indonesia” dalam Jurnal Al-Ulum IAIN Gorontalo.
  17. “Cultivating Cultural Education Values of Islam Nusantara in Islamic Senior High School Ali Maksum Krapyak” dalam Jurnal Pendidikan Islam FITK UIN Sunan Kalijaga, Juni 2016.
  18. Berbagai Pendekatan dalam Kajian Pendidikan (Buku: ISBN, 2018).
  19. Semiotika Pendidikan: Menggali Nilai-nilai Filosofis Pendidikan Melalui Jaringan Tanda (Buku: ISBN, 2019).
  20. Foreign Language Learning Management for World Class University Ranking (Comparative Study between State Islamic University (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta and the University of Malaya (UM) Malaysia)”, dalam Jurnal Pendidikan Islam : Volume 7, Nomor 2, Desember 2018.
  21. “Development and Maintenance of Arabic through Education in Islamic Education Institutions in Indonesia”, Pengembangan Dan Pemertahanan Bahasa Arab Melalui Pendidikan Di Lembaga Pendidikan Islam Di Indonesia, dalam jurnal al Mahāra Jurnal Pendidikan Bahasa Arab, Vol. 6, No.2, Desember 2020
  22. Refirming Understanding About Arabic Curriculum Management: Concept, Characteristics, and Study Area”, dalam jurnal LISANIA: Journal of Arabic Education and Literature, Vol.5, No.1, 2021.
  23. Scientific Framework of Nahdlatul Ulama Education and Its Contribution to the Development of National Education”, dalam jurnal EDUKASIA ISLAMIKA Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 6 No. 2, Desember 2021.
  24. Harmonizinng Knowledge Integration: Insights from Amin Abdullah and Nidhal Guessom in Pesantren-Based Higher Education”, dalam Al-Ishlah: Jurnal Pendidikan Vol.15, 3 (September, 2023).
  25. “Analysis of the Ministry of Religion's Program in Realizing Religious Moderation in Bantul Regency Society (Peter L. Berger's Social Construction Perspective)”, dalam jurnal Asian Journal of Philosophy and Religion (AJPR) Vol. 3, No. 1,  2024.
  26. “Advice Method: KH Raden Asnawi's Offer for Islamic Education in the Family Environment”, dalam jurnal   International Journal Ihya’ ‘Ulum al-Din, Vol 26, No 1, 2024.
  27. “Analysis of the implementation of education democracy in Indonesia (regulations, models, problems, and future prospects)”, dalam jurnal South African Journal of Education, Volume 44, Number 2, May 2024.
  28. “Al-Kutub Al-Madrasiyah Al-‘Arabiyah Fī Indūnisiyā Min Maẓūri Waṭanīyin Wa ‘Ālamīyin”, dalam Jurnal Ilmiah Islam Futura Vol. 24. No. 2, August 2024.
  29. “Navigating Existence and Community Harmony: A Case Study of Pondok Pesantren in Muslim Minority Ende, Nusa Tenggara Timur”, dalam Jurnal Ilmiah Peuradeun, Vol. 12, No. 3, September 2024.
  30. Hermeneutika Pendidikan: Dialektika Pemikiran untuk Pengembangan Pendidikan Islam di Indonesia (Buku: ISBN, Oktober 2023)



[1] C. D. Broad, The Main Tasks of  Philosophy, dalam Titus, Hepp, dan Smith, The Range of Philosophy, (U.S.A: Litton Educational Publishing, Inc., 1975), p. 9.

[2] Robert N. Beck, Handbook In Social Philosophy, (New York : Macmillan Publishing Co., Inc,), p. 2.

[3] Lihat lebih lanjut, Kartini Kartono, Tinjauan Politik Mengenai Sistem Pendidikan Nasional: Beberapa Kritik Dan Saran, (Jakarta: PT Pradnya Baramita, 1977), p. 77-82.

[4] Keterangan lebih lanjut tentang hal ini bisa dilihat, Noeng Muhadjir, Ilmu Pendidikan Dan Perubahan Sosial: Teori Pendidikan Pelaku Sosial Kreatif, Edisi V, (Yogyakarta: Penerbit Rake Sarasin, 2000), p. 1-8.

[5] Kingsley Price, Education and Philosophical Though, (Boston, U.S.A: Allyn and Bacon Inc., 1965), p. 4.

[6] Imam Barnadib, Dasar-dasar Kependidikan: Memahami Makna dan Perspektif Beberapa Teori Pendidikan, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1996), p. 11.

[7] Ibid.

[8] Terkait pemikiran pendidikan John Dewey bisa dibaca karya-karya beliau seperti:  Logic: The Theory of Inquiry, (New York: Holt, Rinehart & Winston, 1938);  Reconstruction in Philosophy, (New York: American Library, 1955); Experience and Nature, (New York: Dover Publications, Inc., 1958).

 

[9] Untuk pemikiran pendidikan Jean Piaget bisa dibaca karya-karyanya seperti: The Psychology of The Child, (New York: Basic Books, 1969); Genetic Epistemology, (New York: Columbia University Press, 1970); Science of Education and The Psychology of The Child, (New York: Viking, 1970).

[10] Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan: Suatu Tinjauan, (Yogyakarta: Andi Offset, 1986), p. 7.

[11] Ibid., p. 7.

[12] Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan: Sistem Dan Metode, (Yogyakarta: Andi Offset, 1986), p. 14.

[13] Edmund Husserl (1859-1938) adalah salah seorang filosof Jerman yang telah berhasil meletakkan pengaruh yang sangat kuat dan mendalam pada filsafat abad dewasa ini. Ia dilahirkan di Prosswitz, Moravia pada tahun 1859 dari keturunan Yahudi. Ia belajar di Universitas Leipzig, Berlin. Setelah menyelesaikan pendidikan di bidang olah raga di Wina, ia mengambil bidang astronomi, matematika, fisika dan filsafat. Tetapi lama kelamaan ia tertarik pada persoalan filosofis. Studi tentang hal tersebut dilanjutkan di Universitas Berlin hingga ke tingkat doktoralnya. Lihat Maurice Natanson, Edmund Husserl : Philosopher of Invinite Tasks, (Evanstone : North Western University Press, 1973), p. 13.

[14] Bertens, Filsafat Barat Abad XX Inggris-Jerman, (Jakarta : Gramedia, 1990), p. 95.

[15] Joko Siswanto, Sistem-Sistem Metafisika Barat, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1998), p. 98.

[16] Anton Bekker, Metode-Metode Filsafat, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1986), p. 108.

[17] Lihat lebih lanjut, Spiegelberg, The Phenomenological Movement, A Historical Introduction, (Martinus Nijhoff, The Haque, Vol. I), p. 77-81.

[18] George F. Kneller, Movements of Thought in Modern Education, (New York : John Wiley & Sons. Inc., 1984), p. 30.

[19] Bochenski, Contemporary European Philosophy, (California: University California Press,1974),  p. 137-138.

[20] Harold H. Titus, dkk., Persoalan-Persoalan Filsafat, Terj. H.U. Rasyidi, (Jakarta : Bulan Bintang, 1984), p. 399.

[21] Lihat, Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat 2, (Yogyakarta : Kanisius, 1980), p. 143.

[22] Jan Rapar Hendrik, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta : Kanisius, 1996), p. 119.

[23] Ibid., p. 120.

[24] Joko Siswanto, Sistem-Sistem…, p. 101,  dan lihat juga, Anton Bakker, Metode …,  p.114.

[25] Ibid., p. 102.

[26] Lihat, George F. Kneller, Movements …, p. 29.

[27] Lihat, Ibid.

[28] Terkait kajian neuroscience bisa dilihat misalnya: Richard J. Davidson, Cognitive Neuroscience Needs Affective Neuroscience (and Vice Versa), Brain and Cognition, 42, 89–92 (2000) doi:10.1006/brcg.1999.1170, available online at https://www.idealibrary.com; Ralph Adolphs, Cognitive Neuroscience Of Human Social Behaviour. Nature Reviews, Neuroscience, Vol. 4, March 2003, 165. ralph-adolphs@uiowa.edu, doi:10.1038/nrn1056; Michael Hand, Towards a Theory of Moral Education, Journal of Philosophy of Education, Vol. 48, No. 4, 2014, p. 519-532; Philip J. Barnard, et al., Differentiation in cognitive and emotional meanings: An evolutionary analysis, Cognition And Emotion, 2007, 21 (6), 1155-1183. Psychology Press Taylor & Francis Group. DOI: 10.1080/02699930701437477.

[29] Terkait hal ini bisa dibaca misalnya: Beth Singler, Religion and Artificial Intelligence: An Introduction, (New York:  Routledge Taylor & Francis Group, 2025); Kevin Warwick,  Artificial intelligence: the basics, (New York: Routledge Taylor & Francis Group, 2012); Emma Sabzalieva and Arianna Valentini, ChatGPT and Artificial Intelligence in higher education: Quick start guide, (UNESCO: United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization, 2023); Ravindra Das, Generative AI and Cyberbullying, (New York: CRC Press Taylor & Francis Group, 2025); Alain Cardon, Beyond Artificial Intelligence: From Human Consciousness to  Artificial Consciousness, (Great Britain and the United States: ISTE Ltd and John Wiley & Sons, Inc., 2018); Kate Crawford, Atlas of AI Power: Politics, and the Planetary Costs  of Artificial Intelligence, (New Haven and London: Yale University Press, 2021); Denny JA,  Enam Spirit Emas Spiritualitas di Era Artificial Intelligence, (USA: Cerah Budaya Internasional, Ltd., 2024).