Delapan belas tahun lalu, PLD , memulai perjalanan ini, tanpa anggaran dan tanpa struktur organisasi yang rapi. Bermodalkan niat baik dan mimpi, kita mulai langkah dari obrolan kecil, dari ruang sempit yang kita sebut kantor.
Kit mulai dari keyakinan bahwa kampus ini, UIN Sunan Kalijaga, harus terbuka untuk semua; bahwa mahasiswa dengan disabilitas berhak mendapatkan akses yang setara, bukan karena belas kasihan, tapi karena itu adalah hak mereka sebagai warga negara dan sesama anak bangsa.
Ketika PLD berdiri, kita tidak hanya mengkritisi infrastruktur fisik yang tidak aksesibel. Lebih dalam dan lebih jauh lagi dari itu, kita menantang cara berpikir dunia pendidikan tentang kecerdasan, kesuksesan, dan kelayakan akademik.
18 tahun yang lalu mahasiswa disabilitas tidak hanya tidak terlihat - mereka juga tidak dibayangkan akan menduduki kursi kursi di Perguruan Tinggi. Kurikulum tidak memikirkan mereka. Kebijakan akademik tidak mengakomodasi mereka. Bahkan dalam diskusi tentang demokrasi, disabilitas atau inklusi pun, mereka kerap absen.
Selama ini kita terlalu sering menganggap bahwa universitas adalah ruang dan entitas netral, bahwa semua mahasiswa punya peluang yang sama, asal mereka “berusaha.” Padahal, kurikulum kita sering kali dibangun berbasis pada asumsi tubuh dan pikiran ideal. Penilaian kita mengandalkan kecepatan berpikir, hafalan, atau stamina fisik dan psikologis. Kita bicara meritokrasi tanpa menyadari bahwa merit yang kita ukur telah dikalibrasi dengan standar ableist dan dibangun dengan epistimologi yang bias normal.
Inilah mengapa perayaan 18 tahun PLD ini bukanlah ungkapan euforia, tapi momen untuk mereflkesikan seberapa jauh cara pandang kita tentang pendidikan dan tentang disabilitas telah berevolusi. Kita perlu bertanya secara kritis dan reflektif,
Apakah dosen sudah memahami makna universal design for learning?
Apakah kita melibatkan mahasiswa disabilitas sebagai co-creator kebijakan kampus?
Apakah kita siap membongkar asumsi tentang apa itu ‘mahasiswa ideal’?
PLD bukan sekadar tempat mahasiswa “dilayani.”
Ia adalah ruang politis.
Ruang pedagogis.
Ruang di mana universitas dipertanyakan, didekonstruksi dan direkonstruksi, serta dituntut bertanggung jawab. PLD bukan organisasi karitatif . PLD adalah bagian dari gerakan — gerakan untuk mendefinisikan ulang pendidikan tinggi sebagai hak, bukan privilege; sebagai ruang bagi keberagaman cara berpikir dan menjadi (being), bukan sebagai mesin standarisasi.
Yang ita pelajari dari pengalaman ini adalah bahwa aksesibilitas bukanlah tujuan akhir. Aksesibilitas adalah moral. Inklusi sejati berarti lebih dari menyediakan juru bahasa isyarat atau membuat dokumen PDF bisa dibaca screen reader, apalagi sekedar menerima mahasiswa disabilitas untuk memenuhi kewajiban administrasi atau menambah poin akreditasi.
Maka juga penting pada saat ini untuk merefleksikan apa yang perlu kita lakukan dalam dua puluh, tiga puluh tahun ke depan? Mau di bawa kemana PLD?
Dua puluh tahun ke depan, kita butuh lebih dari sekadar mempertahankan layanan. Kita butuh epistemologi baru yang tidak menganggap disabilitas sebagai ‘masalah yang perlu diakomodasi’, tetapi sebagai lensa untuk membongkar sistem pendidikan yang eksklusif. Bayangkan kurikulum yang didesain bersama dengan mahasiswa tuli, mahasiswa netra, atau mereka neurodiversity. Bayangkan sistem asesmen dan evalausi yang fleksibel, adil, dan tidak mensyaratkan homogenitas performa. Bayangkan jika keberagaman bukan beban administrasi, tapi fondasi dari cara kita membangun keilmuan. Dalam 18 tahun ini, kita telah membuktikan bahwa gugatan itu bukan sekadar kritik — ia adalah harapan, ia adalah kerja kolektif, dan ia adalah cinta pada dunia akademik yang lebih adil.
Karena inklusi bukan tentang “membuka pintu untuk yang lain,” tapi tentang mendefinisikan ulang rumah itu sendiri.
Saya ingin menggunakan momen ini untuk mengatakan: terima kasih. Terima kasih kepada pak Rektor dan seluruh pimpinan UIN yang selalu satu langkah lebih maju berjalan tegak memperjuangkan inklusifitas, keadilan dan kemanusiaan. Terima kasih kepada para pejabat administrasi dan tenaga kependidikan yang diam diam memodifikasi layanan administrasi dan akademik, kepada para dosen yang bertanya ‘apa yang bisa saya sesuaikan?’ tanpa menunggu aturan dan surat keputusan (SK). Terima kasih kepada mahasiswa, alumni, sahabat inklusi dan mitra PLD yang ikut merancang program, mengadvokasi perubahan, dan menjadi jembatan bagi kita semua, menjadi jalan mimpi inklusi menjadi kenyataan.
Setiap orang di ruangan ini adalah bagian dari cerita. Cerita tentang bagaimana UIN Sunan Kalijaga ini pelan-pelan berubah. Tentang bagaimana inklusi tidak datang dari atas, tapi tumbuh dari dalam—dari empati, dari kemauan untuk belajar, dan dari keberanian untuk bertindak meski belum sempurna.
Selama 18 tahun , kita telah mendampingi ratusan mahasiswa. Kita melihat mereka masuk dengan ragu, dan keluar dengan percaya diri. Mereka jadi dosen, guru, pekerja sosial, atlet, sutradara pemimpin komunitas, bahkan penggerak inklusi di tempat lain.
Mereka semua adalah bukti bahwa ketika hambatan dihilangkan, potensi akan muncul.
Delapan belas ini bukan hanya tentang hasil. Ini tentang proses. Tentang kekuatan kolaborasi. Tentang nilai yang kita jaga bersama: kesetaraan, keberpihakan, dan keberanian untuk terus belajar dan melakukan perbaikan.
Terima kasih kepada bapak ibu semua telah menjadi bagian dari perjalanan “sunyi” ini. Mari kita lanjutkan langkah ini. Karena kita tahu: gerakan ini belum selesai. Tapi kita tahu satu hal pasti — kita tidak berjalan sendiri.
Izinkan saya menutup refleksi ini dengan meminjam kalimat bijak:
Inklusi disabilitas bukan tentang memberi ruang bagi 'orang lain'—ini tentang memikirkan kembali arsitektur pengetahuan, partisipasi, dan kepemilikan." Untuk membangun universitas yang inklusif, kita harus bergerak melampaui solusi teknis dan membangun imajinasi ulang tentang politik dan epistemologis.
Taman Budaya, Yogyakarta
28 Mei 2025
Ro’fah
(co-founder PLD bersama Muhrisun & Andayani)