WhatsApp Image 2025-05-09 at 12.44.00.jpeg

Kamis, 08 Mei 2025 12:36:00 WIB

0

KAJIAN FILOSOFIS TENTANG URGENSI PAI DAN PEMBENTUKAN KESADARAN HANIFIYYAH (Pidato Pengukuhan Guru Besar Prof. Dr. Usman, SS. M.Ag. Dosen FITK)

Segala puji bagi Allah SWT Rabb Al-‘Alamiin, yang atas limpahan Rahmat serta karuniaNya, kita semua dalam keadaan sehat wal’afiat dan dapat hadir pada Sidang Senat Terbuka UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Salawat serta salam semoga selalu dilimpahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW, yang menjadi suri tauladan bagi semua umatnya, dan sekaligus sebagai pembawa Rahmat bagi seluruh alam.

Hadirin Sidang Senat Terbuka UIN Sunan Kalijaga yang saya hormati,

Naskah ini menghadirkan kajian tentang PAI kaitannya dengan pembentukan kesadaran Hanifiyyah. Berbicara tentang kesadaran sudah banyak dibahas oleh banyak ahli. Mereka adalah Auguste Comte (19 Januari 1798 – 5 September 1857, filsuf dan sosiolog dari Perancis), C.A van Peursen (8 Juli 1920 – 19 Oktober 1996, filsuf dan theolog dari Belanda), Paulo Reglus Neves Freire (19 September 1921 – 2 Mei 1997, filsuf Pendidikan dari Brazilia), Muhammad Abid Al-Jabiry (27 Desember 1935 – 3 Mei 2010, filsuf Islam dari Marokko), dan Kuntowijoyo (18 September 1943 – 22 Februari 2005, budayawansastrawan, dan sejarawan dari Indonesia). Ketertarikan mereka mengkaji kesadaran tentu memiliki alasannya. Secara umum dapat dijelaskan bahwa kesadaran memiliki posisi penting dalam kehidupan manusia sebab, sesuai statemen Kuntowijoyo dengan meminjam pendapat Thomas Samuel Kuhn, yang menyebutkan bahwa dalam kesadaran ada proses Mode of Thought – Mode of inqury – dan Mode of knowing. Dalam proses itu manusia dibikin sadar sepenuhnya terhadap persoalan/hal yang dihadapinya. Maksudnya bahwa dengan proses kesadaran yang sesungguhnya/sebenarnya, manusia menjadi paham secara tepat (sesuai halnya/das ding an sich). Hal ini menggambarkan bahwa, misalnya, ketika manusia disodori “alat tulis” spidol dan pensil kemudian diminta untuk menggunakan menulis pada obyek yang sesuai dengan alat tersebut, tentu Ia akan memilih spidol ketika hendak menulis di white board, dan pensil ketika hendak menulis di kertas, bukan sebaliknya karena jika seperti itu maka alat dan obyek tidak fungsional. Contoh sederhana ini menggambarkan bahwa proses kesadaran yang tepat mengantarkan kepada hasil yang tepat (baik serta benar), baik untuk hal yang bersifat EmpirisRasional, maupun yang EmpirisRasionalReligius (penjelasan detailnya ada di dalam naskah ini).   

Kemudian perlu kami tegaskan bahwa kajian mereka tentang kesadaran adalah sesuai dengan bidang keilmuannya masing-masing, dan tidak ada kaitannya sama sekali dengan agama Islam (khususnya Pendidikan Agama Islam). Dengan demikian jelas pembahasan mereka berkenaan dengan wilayah sosial, politik, serta budaya dan masing-masingnya berdiri secara parsial. Sebaliknya kami melihat kategori-kategori tersebut tidak berada secara terpisah melainkan selalu terbungkus oleh warna agama, yang berarti keseluruhannya terhubungkan satu sama lain dalam satu tujuan, yaitu sebagai arena pengabdian (dalam Islam disebut ‘ibadah). Artinya kesadaran mereka yang terpantul dalam prilaku sosial, poltik, serta budaya sangat ditentukan oleh kualitas kesadaran keberagamaannya. Atas dasar itu maka kami menemukan bahwa tahap kesadaran mereka dapat dikategorisasikan dalam empat jenis, yaitu jahiliyyah, diniyyah, ilmiyyah, dan hanifiyyah. Keempat kesadaran tersebut tentunya lebih bersifat Empiris – Rasional – Religius, bukan terbatas pada Empiris – Rasional sebagaimana yang dijelaskan para tokoh terdahulu (ada perbedaan teoritik antara kami/penulis dengan tokoh-tokoh tersebut).

Selanjutnya kaitan antara Kesadaran Hanifiyyah dengan PAI, dapat ditegaskan bahwa PAI yang meski dikembangkan di tiga Lokasi Pendidikan (Informal, Nonformal, dan Formal) hendaknya konsep yang mampu menumbuhkembangkan kesadaran Hanifiyyah. Alasannya ialah bahwa Kesadara Hanifiyyah merupakan kesadaran yang mencerminkan suatu Kesadran/Paradigma/Bangunan Pikir manusia yang selalu sadar, bahwa kebaikan dan kebenaranlah yang akan selalu diraih dan diimplementasikan dalam hidup secara obyektif/hakiki/senyatanya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR ISI

 

KATA PENGANTAR     ……..…………………………………………………………….  iv

DAFTAR ISI     ……...……………………………………………………………………… v

PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR

KAJIAN FILOSOFIS TENTANG URGENSI PAI DAN PEMBENTUKAN KESADARAN HANIFIYYAH

I.     PENDAHULUAN     …………………………………………………………………….. 1

II.  BANGUNAN PIKIR  (PARADIGMA) PAI DALAM PEMBENTUKAN

KESADARAN HANIFIYYAH     ……………………………………………………….19

A.  Makna Paradigma     …………………………………………………………………. 19

B.  Pembentukan Kesadaran Hanifiyyah Dengan Paradigma PAI     …………………… 20

1.      Kesadaran Hanifiyyah Dan Obyektivitasnya     …………………………………… 21

2.      Kesadaran Hanifiyyah Dan Pembentukannya Yang Berdasar Paradigma PAI    

a.  Paradigma PAI     ………………………………………………………………. 21

b. Kesadaran Hanifiyyah Dan Pembentukannya     ………………………………. 24

1). Konsep Manusianya     ……………………………………………………… 24

2). Kurikulum / Materi Pembelajarannya     ……………………………………. 25

3). Metode Pembelajaran Dan Teorinya     ……………………………………… 25

III. Penutup      ……………………………………………………………………………... 26

DAFTAR PUSTAKA     ……………………………………………………………………  28

UCAPAN TERIMAKASIH     ……………………………………………………………..  30

DAFTAR RIWAYAT HIDUP     ……………………………………………………………  32

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

KAJIAN FILOSOFIS

TENTANG URGENSI PAI DAN PEMBENTUKAN KESADARAN HANIFIYYAH

Prof. Dr. Usman SS., M.Ag

I.  PENDAHULUAN

Judul tersebut memuat makna PAI sebagai sebuah konsep, isi / materi dan sekaligus langkah implementasinya berdasar kajian / analisis filosofis. Dengan demikian itu merupakan informasi akademik yang riil representatif dan fungsional, bukan sekedar informasi akademik yang konseptual serta kosong. Untuk itu dalam penjelasannya penulis bermaksud mengungkap secara lengkap hakikat konsep serta implementasi PAI yang betul-betul mampu menjadi kerangka konseptual dalam pembentukan kesadaran hanifiyyah.

Kemudian kenapa harus kesadaran hanifiyyah ? Alasan pertama ialah, merujuk kepada hasil penelitian penulis sendiri, terungkap bahwa manusia muslim bisa dipetakan kesadarannya menjadi empat kesadaran. Yakni Jahiliyyah, Diniyyah, ‘Ilmiyyah, Hanifiyyah.[1]

Secara umum, masing-masingnya dapat dijelaskan, pertama, Kesadaran Jahiliyyah secara kebahasaan berarti kondisi suatu masyarakat / manusia yang belum mengenal Islam. Bisa juga, bila difahami dari kata kerjanya (tajaahala al-amru /تجا هل الا مر ) bermakna membodoh, pura-pura tidak tahu, atau tak menghiraukan, tidak mau tahu.[2]  Sebutan itu memang dimaksudkan untuk menjelaskan sikap bangsa Arab yang tidak mengenal Allah. Jadi sikap membodoh dan pura-pura tidak tahu oleh mereka bukan berarti cerminan bahwa kondisi mereka bodoh/dungu/kosong pengetahuan tentang segala hal. Sebab bila dilihat dari kemampuan budaya; seni, ekonomi, politik, dll., menunjukkan tingginya peradaban bangsa tersebut. Melainkan kedunguan itu adalah suatu gambaran bahwa mereka mampu mengenal Yang Ilahi namun tidak tepat/salah alamat. Ini terbukti dari adanya sebutan atau nama-nama bagi tuhan mereka, seperti manaś, latta, ‘uzza, dan hubal. Kenyataan inilah yang menurut agama Islam dipandang sesat (karena syiriknya), dan itu pula yang menjadi dasar serta tujuan perlunya risalah Muhammad SAW , sebagaimana disebutkan dalam: Q.S  21: 25 dan 4 : 48,[3]  

 

وما ارسلنا من قبلك من ر سؤ ل الا نؤ حي اليه انه لا اله الا انا فا عبدؤن (الانبياء 25)            

         ان لله لا يغفر ان يشرك به ويغفر ما دؤن ۮلك لمن يشاء ؤمن يشرك با لله فقد افترئ اثما عظيما

( النساء 48)

Setelah risalah ketauhidan dan kewajiban beribadah hanya terhadap Allah sampai kepada mereka, sikap membodoh/tidak mau tahu dari sebagiannya pun ada, dan ini terbukti dari prilaku pembangkangan mereka terhadap Nabi.

Perihal pokok yang ingin penulis tegaskan ialah bahwa prilaku membodoh atau tidak mau tahu itu tidak lain merupakan sebuah kesadaran / alam pikiran. Pada hakekatnya dalam kasus ini unsur kesengajaan jelas ada, dan itu didasarkan pada fanatisme; dengan pertimbangan selera, tradisi, dll. Kesadaran ini tidak jauh bedanya dengan kesadaran mitis/primitif, yakni adanya sikap patrimonial, sederhana/ringkas/jalan pintas, tidak kreatif,   imitatif, non-ilmiah, serta tertutup.

Kesadaran seperti ini penulis temukan pada sebagian masyarakat muslim (Yogyakarta). Mereka pada umumnya ber-KTP Islam,[4] tetapi prilaku keberagamaannya  menunjukkan sikap yang tidak konsisten terhadap apa yang telah mereka imani sesuai makna ketauhidan sebagaimana yang termaktub dalam ayat di atas. Kesimpulan ini, pada satu sisi, tidak bertentangan dengan pendapat Mark. R. Woodward,[5] yang menyatakan bahwa pendekatan Teologis sangat tidak tepat untuk memahami keberagamaan masyarakat, mengingat ketidakmungkinan hal itu dilihat secara normatif, sehingga merupakan Islam normatif/kesalehan normatif. Oleh karena itu pula Woodward berpendapat bahwa kejawen adalah muslim bukan hindu-budha. Namun di sisi lain, penulis sependapat dengan Paul Stange, dalam karyanya yang dimuat di “Antropological Forum”, sebagaimana dinukil Hairus salim dalam “Konstruksi dan Suara Yang Lain”, yang menyebutkan bahwa  pendekatan yang digunakan Woodward adalah logika teoritis dan teks, yang bisa menyesatkan. Disamping itu sumber datanya sekunder serta landasan etnografis yang terbatas.[6]     

Memang pendekatan teologis (yang ditopang penalaran deduktif) dalam memahami keberagamaan masyarakat menyebabkan kesimpulan jauh dari realitas. Demikian pula model strukturalisme Levi Strauss dan fenomenologi dari Durheim, yang menekankan makna keberagamaan adalah memiliki kekhasannya sendiri sesuai struktur masing-masing agama, serta sebagaimana yang ditampilkan masyarakat (kesimpulan didasarkan kepada penalaran induktif), sangat mengandalkan pada fakta.  Atas dasar itulah maka penulis lebih memilih menggunakan pendekatan hermeneutika dalam analisanya.[7] Langkah ini tampaknya bisa menjelaskan letak ketidak konsistenan suatu jenis kesadaran tersebut. Misal pandangan masyarakat dimaksud terhadap Nyi Roro kidul (penguasa laut selatan) yang menjadi permaisuri Panembahan Senopati (pendiri kerajaan Mataram) hingga Hamengku Buwono X, sekaligus sebagai pelindung kerajaan tersebut. Sebagai contoh, sebagian masyarakat Yogakarta (yang diwakili Kabupeten Bantul, khusunya kecamatan Sanden), menyelenggarakan upacara labuhan bertajuk Bekti Jolo Lidi dengan menghanyutkan kepala kerbau di pantai Samas. Tujuan kegiatan itu ialah untuk memohon Roro Kidul agar melindungi mereka supaya jauh dari seluruh bencana dalam kehidupan ini.  Juga adanya kepercayaan yang bercorak dinamis dan animis. Pada dinamisme, seperti pengakuannya terhadap kekuatan gaib yang menyatu pada benda-benda tertentu : keris, tombak, kereta kencana, akik, dsb. Kemudian animisme ialah percaya kepada makhluk gaib yang mempribadi atau sebagai person, dan mereka memberi nama wewe/sundel bolong, gendruwo, Nyi Roro kidul, tuyul, dll. Keseluruhan contoh tersebut ketika dicarikan konfirmasinya kepada mereka, maka jawabannya tidak jelas oleh karena tidak memiliki referensi yang jelas, disamping mereka sendiri ternyata belum pernah mengetahui sendiri hal-hal seperti itu selain hanya berdasar katanya dan katanya (jw. gethok tular). 

Ditilik dari segi logika, penalaran yang berlaku pada jenis ini disebut semi-deduktif. Sebab nuansa rasionalnya tidak tampak sama sekali, selain hanya ungkapan fantasi negatif (khayalan), dan ini termasuk irrasional. Kesadaran seperti itu terbentuk oleh dominasi harapan yang besar untuk penyelesaian permasalahan hidupnya, sementara dirinya tidak berkualitas (tidak punya kemampuan riil dan seketika).

Begitupun pada kasus hukum serta politik; kasus suap dan money politic, menunjukkan suatu perangai diri yang memang dengan sengaja tidak mau tahu (padahal sebenarnya tahu) kalau dirinya melanggar ketentuan hukum. Berdasar analisa tersebut; data lapangan serta bentuk penalaran mereka dan dihubungkan dengan referensi makna keberagamaan yang tertuang dalam sumber Islam (al-Qur-an dan Sunnah Rasul), maka penulis menegaskan bahwa kesadaran jenis ini disebut dengan Kesadaran Jahiliyyah.

Kedua, Kesadaran yang penulis temukan pada masyarakat muslim Yogyakarta berbentuk Diniyyah. Arti kebahasaan kata diniyyah,[8]  berasal dari sebutan  الدين \ القضاء  yang berarti putusan. Juga dapat bermakna  الدينة الطاعة serta الديانة, artinya ketaatan, kepatuhan, adat, kebiasaan, agama, dan kepercayaan. Sebutan lain yang termaktub di al-Qur-an ialah  ملة , yang memiliki makna sama seperti tersebut di atas.[9]   Sedangkan menurut David Trueblood,[10] pada agama lebih ditekankan ke persoalan pengabdian diri kepada Yang Ilahi. Kemudian agama sebagai perangai diri yang muncul dalam sikap serta prilaku, bisa disebut sebagai wujud keberagamaan. Menurut Y. Glock dan R. Starck,[11]  keberagamaan seseorang dapat diamati dari : keyakinan/keimanannya, pengetahuan keagamaannya, pengamalan keagamaannya, pengalaman keagamaannya, serta dampak dari keagamaannya.

Penulis memahami kelima dimensi itu merupakan satu kesatuan kesadaran yang sempurna, apabila kondisi kapasitas dan fungsinya terwujud secara seimbang. Sebaliknya tentu ketidak sempurnaan perangai akan terjadi jika implementasinya ditekankan hanya pada dimensi-dimensi tertentu. Umpama, penekanan tertuju pada pentingnya iman, amal dan pengalaman keagamaan, tanpa dibarengi dengan pengetahuan serta nilai dampak sosialnya, ini akan mewujudkan perangai keberagamaan yang eksklusif.[12]  Secara umum, manusia muslim yang menekankan keberagamaan pada hal semacam itu, merasa mempunyai semangat dan kualitas keagamaan yang tinggi serta paling benar.  Berbarengan dengan itu, disadari maupun tidak, mereka telah membuat pembedaan hirarkik; dunia versus akherat, bidang agama versus bidang non-agama, dan materi/jasmani versus non-materi/ruhani, yang sekaligus harus mengutamakan nilai-nilai keagamaan dalam menjalankan kehidupan ini. Dari itu muncul ketetapan pada mereka untuk selalu mengedepankan dalil-dalil (naqli/nash) keagamaan dalam pemecahan seluruh permasalahan kehidupan ini.  Sementara itu penguraian dalil tersebut dilakuan dengan pendekatan kebahasaan/tekstual, bukan pendekatan logis (yang menekankan meaning).  Perangai tersebut tentunya didasarkan pada suatu kesadara (spekulatif); pikiran dan perasaan, bahwa beragama yang benar dan sungguh-sungguh adalah seperti itu. Kesadaran inilah yang penulis sebut sebagai tahap diniyyah. 

Jenis kesadaran ini tampak pada masyarakat muslim Yogyakarta, yaitu mereka yang terhimpun dalam beberapa jama’ah. Kelompok tersebut misalnya : Ihya’ al-Sunnah / Lasykar Jihad (Didirikan oleh Ja’far Umar Thalib, tahun 2000), Taruna al-Qur-an, dan al-Turats/Ibn Qayyim.[13]  Mereka sependapat bahwa dalam memahami dan melaksanakan ajaran agama Islam tidak ada cara lain kecuali mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW. seperti apa adanya. Upaya penafsiran ajaran Islam oleh orang perorang lepas dari ketentuan sunnah dan al-Qur-an; seperti mempertimbangkan tradisi, termasuk perbuatan bid’ah dan itu merusak sendi Din al-Islam. Hal serupa juga menjadi pedoman beragama bagi kelompok Majlis Mujahidin serta Hisbu al-Tahrir.[14] 

Berikutnya ialah kelompok Jama’ah Tablig,[15] yang berpandangan perlunya ittiba’ Rasul serta para sahabatnya. Selama ini umat Islam difahami oleh mereka telah menjalankan ajarannya dengan baik, akan tetapi satu hal yang sering ditinggalkannya, yaitu kewajiban berda’wah/tablig. Padahal jika hendak konsisten mengikuti jejak rasul, tentunya tabligh adalah menjadi ibadah wajib. Atas dasar itulah, sesuai pemikiran pendirinya Maulana Muhammad Ilyas dari India, kelompok tersebut melakukan da’wah keliling keluar dari daerahnya (jaulah); dalam halaqah, dari wilayah terdekat hingga luar negri, dari 3 hari sampai 40 hari dan setahun. Bahkan pelaksanaan tablig dipandang lebih utama dan harus didahulukan dari pada pergi haji ke Makkah, meskipun sama-sama ke luar negeri.

Agak berbeda dengan kelompok-kelompok yang disebutkan sebelumnya  dalam idiologi dan metode da’wah; karena keluwesan/kelonggaran implementasi nilai-nilai keagamaan Islam mereka, bahkan tidak jarang disebut sebagai kaum sinkretik, terdapat komunitas yang tergabung dalam kegiatan tarekat; Naqsyabandiyah, Qadiriyah, dan Qadiriyah wa al-Naqsyabandiyah. Umumnya mereka menyatu (muncul dan berkembang) pada pondok-pondok pesantren yang berlabel tradisional, juga masyarakat pendukungnya yang tersebar secara mayoritas di desa-desa, dan sebagian kecil lainnya di perkotaan.       

Ditinjau dari teori Glock dan Stark serta makna eksklusifitas sebagaimana dijelaskan di atas, kelihatan bahwa semangat kelompok-kelompok tersebut untuk selalu merespon semua persoalan kehidupan dengan kaca mata agama cukup dominan. Artinya semaksimal mungkin mereka menjadikan agama sebagai satu-satunya pendekatan dalam mengelola kehidupan dan mengatasi problema yang muncul; dari mulai menerapkan hukum dan politik  sampai cara pengobatan model Nabi, serta menolak jenis pendekatan apapun selain itu. Ini adalah merupakan dasar keberagamaan mereka, yang tidak lain bertumpu pada sebuah kesadaran, yakni yang penulis sebut dengan Kesadaran Diniyyah.                     

Keiga, Kesadaran Ilmiyyah, yakni berasal dari sebutan    علميةyang berarti mengenai ilmu atau berdasar ilmu.[16]  Mengikuti pandangan Joachim wach,[17]  istilah ilmiyah bisa dalam dua pengertian. a, pengertian yang sempit, istilah tersbut menunjuk pada metode yang dipergunakan dalam ilmu pengetahuan alam. Sedangkan b, dalam pengertian yang lebih luas, menunjuk kepada setiap cara kerja yang menggunakan disiplin logis dan saling kaitan antara premis-premis yang telah ditentukan sebelumnya dengan jelas. Adapun menurut Kuntowijoyo,[18] tahap ilmiyah ditandai dengan suatu kesadaran yang berwujud keterbukaan/open ended. Tentunya ini karena berdasar keteguhan untuk meraih dan memperkokoh obyektivitas bagi setiap pandangannya. Hal ini hanya bisa dicapai apabila dalam setiap dinamikanya menggunakan pendekatan sebagaimana yang berlaku pada kajian ilmu pengetahuan atau scientfic approach. Nilai utama, selain keterbukaan, juga berupa sikap realistis dalam memaknai sesuatu. Akan tetapi perlu penulis tegaskan bahwa oleh karena dominasi paradigma moderen; dimulai sejak masa renaissance dan kemudian ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan serta teknologi beserta hasil-hasil temuannya, yang bernuansa positivistik dan pragmatik, menjadikan ukuran makna realitas terreduksi ke dalam pengertian yang empiris, naturalistik, dan nilai kemanfaatannya. Oleh karena itu nilai obyektivitas sesuatu menurut kacamata ilmiyah tidak lain adalah bila hal itu dapat diukur, diamati, dan dibuktikan, serta memberi manfaat secara langsung/seketika bagi kehidupan di sini dan sekarang ini.

Memang paradigma seperti itu, yang tidak lain ditopang oleh metode kerja ilmu pengetahuan pasti alamnya, berdampak pada pembentukan kesadaran ilmiyah pada manusia moderen yang senantiasa bersikap kreatif, inovatif, kritis, dinamis, dan teliti. Artinya dimensi quriositas serta selalu untuk menjelajah (discovery dan inquiry) sangat mereka kedepankan. Di sinilah, ditinjau dari bidang logika, penalaran induktif dan yang kemudian dikoreksi oleh penalaran abduktif, [19]    mengiringi langkah ilmiyah para ilmuwannya.

Kesadaran ilmiyah seperti ini penulis temukan pada kelompok-kelompok akadimisi, baik yang terlibat dalam kegiatan lembaga pendidikan formal maupun yang di luar itu. Umpamanya, pada pendidikan formal ada upaya peningkatan sumber daya manusia melalui program peningkatan jenjang pendidikan dari S1 ke S2, dan dari S2 diteruskan ke S3. Tujuannya ialah mengembangkan kemampuan profesi mereka, sehingga benar-benar menjadikan kompeten di bidangnya masing-masing.

Penulis memahami bahwa upaya tersebut, dengan merujuk ke landasan operasional setiap Perguruan Tinggi berupa Tri Dharmanya:Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian, menekankan kepada pembentukan kesadaran akademik/ilmiyah. Ini terbukti dari kecenderungan untuk secara seksama memahami dan menerapkan teori-teori dan metode pendekatan ilmiyah sesuai bidang kajiannya, pada setiap implementasi di wilayah pendidikan, penelitian, serta pengabdian. Sedangkan pada pendidikan dasar dan menegah serta lingkup instansi pemerintah maupun swasta, kesadaran tersebut muncul karena dampaknya, diantaranya, dari proses pembentukan kesadaran sebagaimana yang mereka peroleh dari lembaga pendidikan tinggi tersebut. Begitupun pada masyarakat serta lingkup keluarga, sudah tampak kesadaran ilmiyahnya. Seperti sebagian masyarakat yang menolak pandangan adanya hubungan antara musibah (jw. pagebluk) dengan kemurkaan para dewa/penguasa jagad ini. Dari itu jika dulu anak-anak ataupun keluarga mereka sakit (apapun jenisnya; panas, gila, dll.) di bawa ke dukun untuk berobat, maka sekarang ini pengobatannya dimintakan ke dokter. Pertimbangan mereka ialah, dukun tidak memiliki kemampuan yang pasti dan jelas (tidak dapat dipertanggung jawabkan) serta spesialisasi penyakit, kecuali kira-kira/ngarang. Padahal, menurut mereka, ternyata penyakit banyak jenisnya dan harus ditangani oleh ahlinya masing-masing. Bukti lain adanya kesadaran ilmiyah pada masyarakat serta keluarga juga terjadi pada bidang politik; seperti langkah perumusan dan penetapan kebijakan serta pelaksanaannya. PILKADA yang kita saksikan, terlepas dari pelanggaran yang terjadi oleh akibat campur-tangan/tindakan kelompok manusia yang berkesadaran jahiliyyah (dari masyarakat awam sampai tokohnya), sudah ada i’tikad kearah demokratis yang terimplementasikan dalam suasana LUBER. Melalui cara ini semestinya nilai obyektivitas dan penghormatan terhadap hak serta kewajiban manusia sebagai individu maupun kelompok (humanisme) lebih terjamin. Pada keluargapun kesadaran demikian tampak ketika orang tua tidak lagi memposisikan dirinya sebagai pemegang kekuasaan tunggal dalam mengambil keputusan. Melainkan suasana dialogis, misal ketika anaknya mau sekolah/kuliah kemana, nikah dengan siapa, dsb., diarahkan secara obyektif berdasar kondisi anak dan realitas kelurga.                        

Keempat, Kesadaran hanifiyyah, yaitu dari kata  الحنيف  atau الحنف , yang artinya yang lurus atau kelurusan (الاستقامة / المستقيم). Misalnya  كل من كان علي دين ابرهيم , juga bisa  المتمسك بالاسلام , dalam kalimat lain dapat disebutkan pula dengan ungkapan  الحنيفية في الاسلام   yang berarti yang berpegang teguh pada agama/ajaran Islam.[20]  Sementara itu dalam Q.S al-Nahl/16 : 120 dan 123, kata hanif dihubungkan dengan kesadaran yang dimiliki Nabi Ibrahim. Yakni suatu alam pikiran yang selalu berkondisi dan berfungsi lurus. Makna aktifnya, dengan demikian, kenyataan ini tidak mungkin eksis manakala tidak ada usaha untuk menstabilkan dan menyeimbangkan daya-daya ruhaniyah dalam implementasinya. Alam pikiran lurus/hanif ini diterangkan dalam Qur-an S. al-An’am ayat 74 - 79, berkaitan dengan kemampuan Nabi Ibrahim untuk selalu menyadarkan dirinya (make self conscious) sebagai hamba Allah/’abdullah, yang keseluruhan sikap serta prilakunya dalam hal apapun senantiasa untuk penghambaannya kepada Allah. Dengan kata lain kiprah kehidupan dunia selalu didasarkan pada ketauhidannya terhadap Allah. Akan tetapi berbeda dengan Isma’il R. al-Faruqi, [21]  yang memaksudkan pendasaran tersebut sebagai usaha Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Islamization of Knowledge/Textualize of Context), penulis sebaliknya lebih sepaham dengan Kuntowijiyo serta Louay Safi, [22]  yang memaknai hal itu sebagai upaya mengkontekskan ajaran Islam (Contextualize of Islamic Knowledge/ Membumikan Islam). Ayat tersebut menyatakan :    

واۮ قال ابرهيم لابيه ازر اتتخۮ اسناما الهه اني اَرٰىكَ وقومك في ضَلٰلٍ مبين

وكۮلك نري ابرهيم ملكوت السموت والارض وليكون من الموقنين 

فلما جن عليه اليل راكوكبا قال هۮا ربي فلما افل قال لا احب الافلين

فلما راالقمر بازغا قال هۮا ربي فلما افل قال لين لم يهد ني ربي لاكونن من القوم الضالين

فلما راالشمس بازغة قال هۮا ربي هۮااكبر فلماافلت قال يقوم اني برئ مما تشركون

اني وجهت وجهي للۮي فطر السموت والارض حنيفا وماانا من المشركين [23]

Ada perbedaan pandangan di kalangan mufassirin, sebagaimana dijelaskan oleh Sulaiman bin Umar al-‘Ajilli al-Syafi’i,[24]  terhadap kandungan ayat tersebut. a, pemahaman Ibn Katsir, al-Maraghi, Fahrurrazi, dan  Rasyid Ridla, menyatakan bahwa dialog Ibrahim itu menggambarkan kondisi beliau yang sudah dewasa serta menjadi Nabi, dan hal itu merupakan  strategi da’wahnya guna menanamkan ketauhidan kepada umatnya. b, al-Thabary, al-Baghawi, dan Sayyid Quthb, menjelaskan bahwa saat itu Ibrahim belum dewasa dan belum menjadi Nabi. Ayat itu menggambarkan langkah Allah dalam memelihara kepribadian Ibrahim yang akan dipersiapkan menjadi RasulNya.

Lain dari itu semua, penulis memahami yang demikian sebagai penggambaran oleh Allah tentang citra kesadaran hanifiyyah yang semestinya dimiliki dan diimplementasikan umat Islam. Dasar pertimbangan perintah Allah tersebut ialah, a, menyadarkan kembali kepada seluruh manusia bahwa semula mereka (sesuai perjanjian di alam arwah :واشهدهم علي انفسهم الست بربكم قالو بلي شهدنا),[25]  kondisinya bertuhan yang satu/fitrah. Namun karena kehidupan duniawi yang penuh godaan (oleh iblis beserta sekutunya), dapat menjadikan manusia lupa akan hal itu, dan ini sudah disinyalir pada ungkapan terakhir ayat tersebut yakni saat disidang pada hari kiamat mereka mengaku lupa. b, dengan modal dasar kesadaran ini manusia diharapkan bisa mengantarkan dirinya ke kehidupan yang sempurna/sukses, dan itulah manusia yang hanif. Yaitu diri yang senantiasa menjabarkan nilai-nilai asma’ al-husna pada setiap saat dan tempat. Bukan maksud penulis untuk mengatakan manusia harus menjadi Allah, tetapi pengimplementasian makna dari asma’-asma’ tersebut merupakan wujud penghambaan diri manusia yang paling tepat, sembari menyadari bahwa dirinya tetap sebagai abdullah. Pentauhidan seperti itu memasukkan manuisa sebagai pribadi yang memiliki kategori Kesadaran Hanifiyyah, lurus, atau  istiqamah.   

Indikator kepribadian dimaksud dapat difahami dari ungkapan-ungkapan cerdas Ibrahim pada ayat-ayat di atas. 1), sisi kognitif  yang ditopang data empiris, membuat dirinya sadar secara fenomenologis (meminjam dasar filosofi Edmund Husserel), [26]  untuk menganalisis dan berkesimpulan bahwa kebenaran obyektif  pada kenyataannya ada dan dapat dicapai. Melalui cara demikian, keraguan-keraguan yang menyelimuti pemahamannya bisa dipatahkan dan diganti dengan kepastian (kebenaran yang valid). 2), tahap berikutnya secara intuitif, [27] (penulis memaknai sama dengan yang bersifat nalar/naẓari, artinya kearifan, pertimbangan, atau ilham), Ibrahim melakukan pemahaman mendalam (consider) atau pertimbangan yang hati-hati dan teliti terhadap proses pemahaman fenomenologisnya (dari fenomenal dan eidetis menuju ke yang transendental dengan aku transedentalnya) lalu berkesimpulan mengenai adanya sesuatu yang berupa dan berada di luar indrawi serta rasional. Bisa juga berarti beliau mampu melakukan identifikasi terhadap realitas/yang-ada, sekaligus menetapkan sarana dan pendekatan dalam mencapai kebenaran yang valid/obyektif.

 

Berikut ini Skema yang menggambarkan sarana serta cara dimaksud :       

  SKEMA YANG ADA :               Konkrit / Indrawi   

           

                      Riil                                            Jauh (yang ghaib; Tuhan, dll.). 

                           

Yang-ada                            Abstrak               Dekat (Ruh).                                                                                   

Ens                                     

Being                                     Potensi                                                

Realitas                       

                      Possible                     

                                                        Aktus

Tatkala mendapati bintang, bulan, dan matahari, dia meneliti serta memahaminya lewat sarana indrawi dan sekaligus mengkomparasikan secara rasional; menggeser yang satu sambil mengukuhkan yang lain berdasar kualitas. Tetapi setelah mengetahui benda-benda tersebut lenyap dari pandangannya, ia  menyimpulkan bahwa tidak mungkin semua yang lenyap itu tepat diakui sebagai Tuhan atau Yang Transendental. Sebab Kesadaran manapun pasti akan mengakui bahwa yang transenden tidak akan pernah teratasi/terkondisikan oleh sesuatu selain dirinya. Berikutnya kearifannya (pertimbangan intuitif/naẓari terhadap analisis ilmiyahnya tadi) mengharuskan dirinya untuk berketetapan (teguh pendirian) bahwa ada sesuatu Yang-Ada transendental dibalik yang-ada yang penuh keterbatasan tersebut. Keteguhannya ini merupakan kebijaksanaan diri yang ditopang oleh ketepatan pemilihan serta penerapan sarana dan cara/pendekatan dalam memahami sesuatu tersebut. Meskipun tidak berarti bahwa masing-masing kecakapan tersebut berdiri sendiri-sendiri, akan tetapi merupakan satu keutuhan fungsi (functional unity). I’tibar Allah  itulah tampaknya merupakan penjelasan potret diri manusia yang mampu menyadarkan dirinya (bisa mengidentifikasi; memilah dan memilih sarana, cara, dan obyek kajian secara akurat/inilah analisis metodologis) untuk tetap lurus/istiqamah/hanif; mampu menentukan, bukan ditentukan, serta sebagai subyek yang selalu sadar, bukan obyek yang dimanipulasi, juga selaku pangkal dan tujuan. Dari itu maka kebaikan dan kebenaranlah yang akan selalu diraih dan diimplementasikan dalam hidup.

Alasan kedua, kenapa harus Kesadaran Haifiyyah ? Yakni dari keempat kesadaran tersebut dapat ditegaskan bahwa Kesadara Hanifiyyah merupakan kesadaran yang mencerminkan suatu Kesadran/Paradigma/Bangunan Pikir manusia yang selalu sadar, bahwa kebaikan dan kebenaranlah yang akan selalu diraih dan diimplementasikan dalam hidup secara obyektif/hakiki/senyatanya.

II.    BANGUNAN PIKIR (PARADIGMA) PAI DALAM PEMBENTUKAN KESADARAN HANIFIYYAH

A.    Makna Paradigma:

Paradigma, yakni bentuk rekonstruksi mode of thought (cara berfikir) dan mode of inquiry (cara penyelidikan), dan yang menghasilkan mode of knowing (cara memahami) sesuatu. [28]

Hal itu sekaligus merupakan paradigma yang terbangun atas kerangka dasar ontologis dan epistemologis; kemudian termanifestasikan pada aksiologis (khususnya etis/moralitas/akhlaq/perilaku etis). Paradigma dimaksud berpengaruh kepada seluruh kehidupan mereka; berbudaya/berperilaku (ekonomi, politik, sosial, budaya, hukum, dan beragama). Selanjutnya jika dirujukkan pada kehidupan nyata, terbukti bahwa ada perbedaan yang mencolok diantara individu satu dengan lainnya. Padahal jika dilihat dari proses edukasi yang mereka tempuh tampak sama. Seperti, dua orang yang sama-sama dari satu keluarga, satu lingkungan masyarakat, dan satu lembaga pendidikan formal, secara otomatis orang pasti mengatakan keduanya memiliki paradigma yang sama. Akan tetapi kenyataannya berbeda, yakni yang satu berparadigma mitis dan idiologis. Sementara yang satunya lagi, misalnya, berparadigma ilmiah.

Konstruksi paradigma tersebut jelas melalui proses edukasi (Informal, Nonformal, dan Formal. Meskipun penentuan akhirnya bukan pada ketiganya melainkan pada/oleh diri individu sendiri/Internal). Jika dikatakan bahwa kesadaran manusia tersebut ditentukan oleh kerangka dasar ontologi dan epistemologi, kemudian termanifestasikan pada aksiologis (khususnya etis/moralitas/akhlaq/perilaku etis), maka prose itu menggambar pemahaman yang mendalam; mulai dari realitas/ontologis hingga pemahaman logis berupa konsep/ide/pengertia/pemahaman/epistemologis. Selanjutnya kedua kerangka dasar tersebut memandu yang bersangkutan (individu) berprilaku (dan kenyataannya memang konsep/ide/ilmu memandu individu berprilaku). Dengan demikian manakala individu dimaksud berkerangka dasar ontologi serta epistemologi yang berbeda satu dengan yang lainnya, maka manifestasinya (satu orang dengan lainnya) pasti berbeda.

Berdasar penjelasan tersebut maka dapat ditegaska, dengan merujuk pada temuan penulis tentang empat kesadaran manusia muslim; Jahiliyyah, Diniyyah. Ilmiyyah, dan Hanifiyyah,[29] bahwa kesadaran Hanifiyyah memandu perilaku individu untuk selalu sadar, bahwa kebaikan dan kebenaranlah yang akan selalu diraih dan diimplementasikan dalam hidup secara obyektif/hakiki/senyatanya. Ini tentu berbeda dengan tiga kesadaran lainnya, yaitu jahiliyyah, diniyyah, dan ilmiyyah, meskipun pada ketiganya juga ada nuansa kebaikan serta kebenaran, namun obyektivitasnya berbeda.

B.     Pembentukan Kesadaran Hanifiyyah Dengan Paradigma PAI

1.    Kesadaran Hanifiyyah Dan Obyektivitasnya.

Kesadaran, menurut Dermot Moran,[30] bermakna pemahaman seseorang terhadap realitas/fenomena, yang di dalamnya terjadi proses konstitusi (pengemasan) terhadap fenomena itu, sehingga ia dipahami sedemikian rupa sampai kepada halnya (das Ding an sich), juga oleh I. Kant,conditions of objects as things in themselves” [als Dinge an sich selbst]),[31] secara objektif. Ini merupakan cara seseorang memahami realitas yang dihadapinya sesuai bangunan pikir yang dimiliki/dipegangi oleh setiap manusia/masyarakat.

Kemudian, berdasar pendapat Kuntowijoyo (yang menukil pendapat Thomas S. Kuhn) serta Dermot Moran (yang merujuk kepada pendapat Edmund Husserl), sebagaimana telah penulis jelas di atas, maka dapat ditegaskan bahwa  kesadaran dan paradigma tersebut mengandung pengertian yang sama. Dalam hal ini keduanya berarti sama-sama merupakan cara memahami realitas yang dihadapinya sesuai bangunan pikir yang dimiliki/dipegangi oleh setiap manusia/masyarakat. Pada kenyataannya, keduanya terjalin secara simultan, dan pembentukan keduanya berlangsung dalam proses edukasi serta seumur hidup. Namun penting untuk ditegaskan bahwa sesuai Tema tulisan ini, yakni PAI Dan Pembentukan Kesadaran Hanifiyyah, maka kesadaran/paradigma dan implementasinya tidak terlepas dari nilai keberagamaan Islam. Artinya dari segi makna dan proses pembentukannya, kesadaran hanifiyyah (merujuk kepada Teori Glock & Starck; lihat hal. 5 di atas), berlandaskan pada nilai Keimanan dalam Islam, pengetahuannya, pengamalannya, pengalamannya, dan dampak dari keagamannya.  

2.    Kesadaran Hanifiyyah Dan Pembentukannya Yang Berdasar Paradigma PAI

a.      Paradigma PAI

PAI sebagai struktur keilmuan pendidikan yang bernuansa keislaman, tentunya memiliki konsep dasar keilmuan yang khas dirinya. Terlepas dari aliran-aliran theologi dalam Islam, dalam pembahasan ini penulis tidak mau terjebak dalam perbedabatan aliran tersebut. Demikian pula bidang keilmuan yang lainnya, seperti filsafat Islam klasik, tasawuf, dan bathiniyyah (sufisme syi’ah), penulis juga tidak akan terjerembab di dalamnya. Alasannya adalah, dengan merujuk kepada pendapat Imam Al-Gazali sebagaimana yang dijelaskan oleh Mahmud Hamdi Zaqzuq, [32] bahwa keempat bidang keilmuan pada masanya tersebut (Al-Gazali) diragukannya. Misal, Teologi/Kalam, mereka pandai berdebat tapi tidak menguasai metode kritik/filsafat, sementara mereka mau bicara tentang filsafat. Dengan demikian keilmuan mereka tidak mampu mencapai pengetahuan yang hakiki. Juga bahaya yang ditimbulkan lebih besar dari manfaatnya.

Berdasar itu maka penulis mengambil langkah analisisnya secara filosofis terhadap data yang kredibel, seperti nash Al-Quran dan Al-Sunnah, meskipun tetap merujuk kepada tafsir Al-Quran dan analisis Hadits yang secara akademik dapat dipertanggungjawabkan.

Memahami paradigma PAI akan lebih tepat jika kita menengok implementasi paradigma/kesadaran/nalar Islam sebagaimana yang ditemukan Kuntowijoyo. Beliau berpendapat bahwa kualitas kesadaran manusia muslim Indonesia dapat dipetakan ke dalam tiga tahap, yaitu mitis, idiologis, dan ilmiah. Penjelasannya pada masing-masing tahap kesadaran, mengisyaratkan gambaran kualitas pendidikan pada masing-masing tahap dimaksud.

Menurut Kuntowijoyo, pada tahap mitis masyarakat merasa diri mereka sebagai wong  cilik  (Jawa, atau kecil  kualitas,  minder  wardeg,  pen),  persatuan  dan  kesatuan  berdasar  sentimen/fanatisme, dan metode penyatuan massa berbentuk koperasi. Semangat mengikuti yang lebih atas; kekuasaannya, ilmunya, dan juga yang lainnya, berdasar kemantapan hati yang membabi-buta. [33] Tentu ini mengindikasikan suatu langkah edukasi oleh pendidik dan terdidik laksana hubungan antara pemerintah dengan yang diperintah, subjek dengan objek. Berdasarkan hal itu polanyapun bersifat instruktif serta tergantung pada pendidik. Kuntowijoyo menerangkan gambaran kesadaran ini bahwa kondisi masyarakat masih dibawah sistem dan struktur sosial, politik, ekonomi, serta budaya yang diciptakan oleh imperialis yang bersifat diskriminatif. Artinya meletakkan bangsa Indonesia pada posisi kelas terjajah (inlander) (Kuntowijoyo, 1998; 74–76).

Kesadaran tahap kedua yaitu idiologis.[34] Akibat alam segar kemerdekaan, memunculkan semangat baru bangsa ini untuk menata kehidupan mereka, baik politik, hukum, maupun lainnya. Akan tetapi tampaknya karena merupakan masa transisi, maka angin segar itupun tidak lepas dari semangat tradisionalis yang fanatik kesukuan, ketokohan, dan hal lainnya yang seperti itu. Hal tersebut menyebabkan timbulnya polarisasi/ dikotomi dalam kehidupan mereka. Semangat fanatik seperti itu, secara edukatif, memunculkan sikap dan perilaku dalam penyelenggaraan proses pendidikan yang tidak berbeda dengan yang berlangsung pada tahap mitis. Memang ada tindakan-tindakan konkrit untuk membenahi bidang  pendidikan,  tapi  kurang  menyentuh  wilayah   substansial;   seperti   perubahan paradigma, melainkan hanya soal yang tidak mendasar. Misal perubahan menuju penggunaan model kelas dan berjenjang, pembangunan gedung dan sarana sekolah lainnya yang mewah, pemberlakuan model kurikulum yang lebih baku serta berkesinambungan. Akan tetapi pendidikan yang  berlaku pada wilayah  informal  serta  non-formal, tampak tidak menunjukkan perubahan yang berarti selain tetap mempertahankan model tradisional yang sudah berkembang selama itu.

Perubahan zaman menuju ke moderen,[35] yang dihembuskan oleh barat, memberi dampak pada perubahan model kesadaran muslim Indonesia menjadi ilmiah (tahap ketiga). Cara hidup tradisionalis (tahap satu dan dua), berubah menjadi perilaku hidup moderen. Ini ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, kehidupan sosial, politik, dan budaya bercorak plural, serta model pendekatan yang irrasional (non-ilmiah) mulai ditinggalkan menuju ke pendekatan yang rasional (ilmiah). Namun harus dicatat bahwa pendekatan ilmiah yang mereka kembangkan adalah hasil adopsi secara apa adanya (sama dengan aslinya) dari barat yang jelas-jelas berparadigma positivistik serta pragmatik. Memang, kaitannya dengan dunia pendidikan, semangat kesadaran ini menumbuhkan sikap kritis untuk memberlakukan sistem pendidikan andragogis menggantikan sistem paedagogis. Seperti mulai digesernya posisi pendidik yang dulu sebagai instruktur berubah menjadi fasilitator. Berdasarkan hal itu hubungan pendidik dengan terdidik bukan lagi sebagai subjek–objek, tetapi sama-sama merupakan subjek dalam proses pendidikan. Namun pada sisi lain, sikap kritis mereka yang positivistik dan pragmatik membentuk karakter bangsa ini ke pola hidup yang materialistik. Artinya yang mereka jadikan ukuran dalam kehidupan ini ialah jika sesuatu itu secara konkrit/empirik terpahami oleh manusia. Di samping itu realitas dapat memberi manfaat langsung (pragmatik) bagi kebutuhan hidupnya saat ini juga. Ini sekaligus pula menunjukkan karakter bangsa yang cenderung empirisis dan atau positivistik.[36] Hal ini penulis tegaskan bahwa dasar filosofi pada paradigma/kesadaran ilmiah tersebut lebih bersifat Empiris-Rasional.

Di satu sisi penulis sependapat dengan pemikiran Kuntowijoyo tersebut, berkenaan dengan pemetaan tahap kesadaran manusia dan hubungannya dengan paradigma/kesadaran pendidikannya. Sekaligus pula kaitan hal itu dengan pemecahan masalah kahidupan mereka; yang diasumsikannya bahwa permasalahan timbul oleh sebab manusianya, dan karena kualitas itu terproses melalui pendidikan, maka jika manusianya bermasalah tentu dapat disimpulkan bahwa pendidikannya pun bermasalah.

Namun di sisi lain penulis berbeda dengan beliau, yang merujukkan data penelitiannya kepada kategori sosial, politik, serta budaya masyarakat muslim Indonesia yang  menurutnya  masing-masing  berdiri  secara  parsial. Penulis melihat kategori-kategori  tersebut  tidak berada secara terpisah melainkan selalu terbungkus oleh warna agama. Ini berarti keseluruhannya terhubungkan satu sama lain dalam satu tujuan, yaitu sebagai arena pengabdian  (dalam Islam disebut ‘ibadah).  Artinya  kesadaran  mereka  yang  terpantul dalam perilaku mereka (ekonomi, sosial, politik, budaya, hukum, dan agama) sangat ditentukan oleh kualitas    kesadaran  keberagamaannya. Atas pertimbangan itu  maka (sesuai yang penulis temukan; telah disebutkan di awal tulisan ini). Paradigma/kesadaran pendidikan mereka   dapat dikategorisasikan  dalam  empat jenis,  yaitu   Jahiliyyah,  Diniyyah, ‘Ilmiyyah, dan Hanifiyyah. Kategorisasi ini tampak lebih spesifik, yakni bermuatan nilai religius. Ini sebagai konsekuensi dari warna agama yang membungkus seluruh perilaku mereka. Dengan demikian penulis tegaskan bahwa, khususnya pada Kesadaran/Paradigma Hanifiyyah, dasar filosofi yang melandasinya ialah lebih bersifat Empiris-Rasional-Religius / Religius-Rasional-Empiris / Iman-Ilmu-Amal.

Dengan penjelasan tersebut terbukti bahwa terdapat perbedaan temuan penulis dengan Kuntowijoyo (termasuk dengan para tokoh lainnya seperti; C.A van Peursen, Auguste Comte, Paulo Freiere, dan M. ’Abid Al-Jabiry). Ini paling tidak menunjukkan adanya pengembangan lebih lanjut pada kerangka teoritik yang selama ini telah dibakukan.

b.   Kesadaran Hanifiyyah Dan Pembentukannya

1). Konsep Manusianya

Jika capaian tujuan manusia hanifiyyah adalah yang berkarakter kreatif, dinamis, progresif, inovatif, objektif dan rasional, maka ini tidak lain merupakan perwujudan dari falsafah hidupnya yang bertauhid, berilmu, dan beramal. Kemudian proses capaian tujuan tersebut bisa terealisir apabila pengembangannya dengan menerapkan teori dan metode belajar objektif. Maksudnya secara konseptual teori itu memuat langkah-langkah yang mampu mengantarkan manusia/masyarakat muslim menyadarkan dirinya/being conciousness (bisa mengidentifikasi; memilah dan memilih sarana, cara, dan obyek kajian secara akurat) agar tetap lurus/istiqamah/ hanif; mampu menentukan, bukan ditentukan, serta sebagai subyek yang selalu sadar, bukan obyek yang dimanipulasi.

2). Kurikulum/Materi Pembelajarannya

Capaian itupun dapat berhasil apabila dibarengi dengan penerapan kurikulum yang, pertama, mampu mengembangkan seluruh potensi yang ada pada diri manusia; mengikuti pendapat Bloom, [37] yaitu kognitif, affektif, dan psikomotorik. Artinya muatan kurikulum harus dapat mengembangkan potensi indrawi, rasio, dan intuitif.  Kedua, muatan kurikulum harus sejalan dengan perubahan zaman, mengingat menjadi dan kebenaran itu sendiri berada dalam proses. Ini sejalan dengan sunnah Allah/hukum alam/natural law, sebagaimana firmanNya dalam al-qur’an surat al-Thalaq ayat 7 :  لايكلف الله نفسا الا ما اتها; artinya, Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. [38] Ini menunjukkan bahwa menjadi dan kebenaran adalah sesuai dengan kondisinya masing-masing seperti yang telah dititahkanNya. Oleh sebab itu muatan kurikulumnya haruslah yang bernuansa realitas/empirik, rasional, dan religius (amal, ilmu, iman, yang semestinya harus dibalik menjadi Iman-Ilmu-Amal). Sebab dalam Islam Iman menjadi pondasi utama bagi setiap manusia yang beramal dan yang sekaligus harus berdasar Ilmu.

3). Metode Pembelajaran Dan Teorinya

Belajar adalah proses untuk menjadi (To Be), dan kebenaran merupakan karakternya (The good character of Being Human in Religious Conciousness). Sementara itu kebenaran identik dengan objektivitas. Atas dasar itulah penulis menyebut teori belajarnya dengan Teori Objektif (Theory of Being Objective). Berdasar itu maka sebutan yang tepat dalam proses menjadi, yakni pengembangan dan atau perluasan yang normatif serta historis bersama-sama dalam suasana dinamik. Artinya kefitrahan/ ketauhidan/keimanan (meski sebagai standar/norma; itulah Qur-an dan Sunnah Nabi) harus direalisasikan pada wilayah historis/kehidupan dalam dinamika rekonstruktif (selalu up to date). Tentunya bentuk penalaran yang mengiringinya bukan deduktif maupun induktif, melainkan abduktif (Sober, 1995; 9–35). Penalaran ini dicirikan dengan semangat quriosity/selalu menjelajah dan memperbaharui (discovery and inquiry). Kenyataan ini berpengaruh pada hubungan antar subyek pendidikan (Pendidik dan terdidik) dalam nuansa dialogis, kritis dan produktif, bukan instrukrtif.

Meskipun memiliki kesamaan teoritiknya, yakni belajar adalah dalam proses menjadi (To Be) dan menuju kepada kebenaran (yang objektif), tetapi pada progresivisme hanya terbatas pada menjadi, dan kebenaran hanya yang sesuai dengan kehidupan di sini dan sekarang ini yang sangat kausalistik. Oleh karena itu bisa jadi belajar hanya sebatas pada pengembangan kompetensi empiris sekaligus rasional (nalar abduktif). Sebaliknya bagi paradigma hanifiyyah menjadi dan kebenaran, disamping yang di sini dan sekarang ini, juga selalu dikaitkan/sesuai dengan menjadi serta kebenaran Yang-Ilahiyah. Itulah konsekuensi dari posisinya sebagai hamba/‘abdun. Atas dasar itu maka belajar adalah merupakan bentuk pengembangan kompetensi indrawi, rasional dan intuitif.

III.        PENUTUP

Pada hakikatnya Kesadaran/Paradigma/Bangunan Pikir sangat prinsip bagi kehidupan manusia, siapapun. Untuk itu hal tersebut harus diupayakan pengkondisiannya/pengembangannya/edukasinya oleh tiga Lokasi Pendidikan (Informal, Nonformal, dan Formal), meskipun pada akhirnya yang mengembangkan lebih lanjut (bisa merubah total dan sekaligus menetapkan kesadaran yang baru) adalah individu yang bersangkutan.

Sudah kita ketahui bahwa kategorisasi kesadaran sangat variatif sesuai dengan penemunya. Namun secara umum dapat ditegaskan bahwa ada kategorisasi kesadaran yang ditetapkan oleh penemunya yang hanya bertumpu pada dasar filosofinya yang Empiris dan Rasional. Ini sesuai dengan lingkup kajian bidang keilmuannnya, yakni, misalnya, sosial – politik – budaya. Sementara disisi lain, dalam hal ini penulis/kami, memandang bahwa Kesadaran/Paradigma/Bangunan Pikir tidak terlepas dari keberagamaan manusianya. Oleh karena itu kategrisasi yang ditetapkannya bernuansa keagamaan (Khususnya Islam, karena sesuai data penelitiannya yaitu Masyarakat Muslim Yogyakarta).

Berdasar itu maka sudah semestinya bahwa Kesadaran/Paradigma/Bangunan Pikir Masyarakat Muslim bertumpu pada dasar filosofinya, yakni yang Empiris – Rasional – Religius. Bisa juga dasar filosofi ini disebut dengan Iman – Ilmu – Amal, bukan sebaliknya Empiris/Amal – Rasional/Ilmu – Religius/Iman, sebab dalam Islam Iman adalah pondasi utama segala ilmu dan kemudian dalam beramal.

Untuk itu, mengingat pentingnya Kesadaran/Paradigma/Bangunan Pikir Masyarakat Muslim yang Hanifiyyah begitu penting (dan ini yang bernuansa Religius), maka pengkondisiannya/pengembangannya/edukasinya harus benar-benar melalui PAI yang rancang-bangunnya sungguh-sungguh mampu mewujudkan Kesadaran/ Paradigma/Bangunan dimaksud. Ini guna menopang keberhasilan pembangunan generasi bangsa menuju Indonesia emas.

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

A. Maftuh Abegebriel, 2004, et. al. (Ed.)  (Yogyakarta : SR-Ins Publishing).

A.W Munawwir, 1984, Kamus Al-Munawwir: Arab-Indonesia Terlengkap, Edisi Lux (Yogyakarta : Pondok Pesantren Al-Munawwir).

Benyamin S. Bloom, 1974. Taxonomy of Educational Objectives: The Classification of Educational Goals, cetakan ke VIII (New York : David Mckay Company, Inc.).  

David Trueblood, 1990, Filsafat Agama, terj. H.M Rasyidi, (Jakarta : Bulan Bintang).

Dermot Moran, 2008, Edmund Husserl: Founder of Phenomenology (Cambridge, Polity Press).

Edmund Husserell, 1990, “Metaphysics, Epistemology”  Dalam Frank N. Magill (Ed.), (New York: Harper Collins Publishers).

Elliott Sober,1995, Core Questions in Philosophy : A Text with Readings, 2nd edtion (New Jersey : Prentice Hall, Englewood Cliffs).         

Greg Fealy, 2004, Islamic Radicalism in Indonesia: The Faltering Revival?, in: Daljit Singh/Chin Kin Wah (eds.), Southeast Asian Affairs 2004 (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies).

Ismail Raji al-Faruqi, 1982, Tauhid : Its Implications for Thought and Life, (Pensylvania : The International Institute of Islamic Thoughts).

Jessica Stern, 2003, Terror in the Name of God: Why Religious Militants Kill. (New York: Ecco/HarperCollins).

Joachim Wach,1958, The Comparative Study of Religions, Edited with an Introduction by Joseph M. Kitagawa (New york and London : Columbia University Press).

Kuntowijiyo,1998, Muslim Tanpa Masjid: Esai-Esai Agama, Budaya, dan Politik Dalam Bingkai Strukturalisme Transendental (Bandung : Mizan).

___________, 2005, Islam Sebagai Ilmu : Epistemologi, Metodologi & Etika  (Jakarta : Teraju, 2005).

K. Bertens, 1985, Filsafat Barat Abad XX : Perancis (Jakarta : Gramedia).

Louay Safi,1996, The Foundation of Knowledge: A Comparative Study in Islamic and Western Methods of Inquiry, (International Islamic University Malaysia Press).

M. ‘Abid al-Jabiri, 1989, Takwin al-‘Aql al-‘Arabi (Beirut : Markaz Dirasah al-Wihdah al-’Arabiyyah, Cet. IV).

___________, 1990, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi: Dirasah Tahliliyyah Naqdiyyah li Nuḍumi al-Ma’rifah fi al-Śaqfah al-‘Arabiyyah (Beirut : Markaz Dirasah al-Wihdah al-‘Arabiyyah, Cet. III).

Mahmud Hamdi Zaqzuq, 1997, Al-Manhaj Al-Falsafi Baina Al-Gazali wa Descartes (Kairo, Dar al-Ma’arif).

Mark. R Woodward, 1999, Islam Jawa: Kesalehan Normatif Versus Kebatinan, terj. Hairus Salim HS. (Yogyakarta, LkiS).

Muhamad Iqbal Ahnaf, 2004, MMI and HTI: The Image of The Others, Dalam Negara Tuhan: The Thematic Encyclopaedia.

Nicholas F. Stang, 2024, "Kant’s Transcendental Idealism", The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Spring 2024 Edition), Edward N. Zalta & Uri Nodelman (eds.), URL=.

Noorhaidi Hasan, 2002, Faith and Politics: The Rise of the Laskar Jihad in the Era of Transition in Indonesia (in: Indonesia, 2002), vol. 73. 

Simuh, 1988, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita: Suatu StudiTerhadap Serat Wirid Hidayat Jati (Jakarta : U.I Press).

Sulaiman bin Umar al-‘Ajilli al-Syafi’I, 1996, al-Futuhat al-Ilahiyah bi Tauhid Tafsir al-Jalalain li al-Daqaiq al-Khafiyah, juz. II (Bairut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah).

Thomas S. Kuhn, 1970, The Stucture of Scientific Revolutions, Second Edition, Enlarged, Ed. In Chief Otto Neurath (USA, Chicago, University of Chicago Press).

Usman, 2013, Jenis Kesadaran/Paradigma Masyarakat Muslim (Yogyakarta, Pustaka Pelajar).

___________, 2018, Teori Pendidikan Islam Kontemporer: Suatu Analsis Filosofis (Yogyakarta. Magister FITK – UIN Sunan Kalijaga).

Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an, 1983/1984  Al-Qur’an Dan Terjemahnya, (Jakarta, Deprtemen Agama R.I.). 

Y. Glock and R. Starck, 1986, Dalam Roland Robertson, Sociology of Religion, terj. Oleh Paul Rosyadi (Jakarta : Aksara Persada). 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

UCAPAN TERIMAKASIH

 

Syukur alhamdulillah selalu penulis haturkan kepada Allah SWT, yang selalu melimpahkan rahmat dan karuniaNya bagi kehidupan penulis, sehingga akhirnya penulis dapat menempuh dan meraih gelar profesi akademik/Guru Besar/Profeso ini dengan lancar  dan sukses. Meskipun kami akui juga bahwa selama proses perolehan tersebut terkadang terasa ada hambatan, namun hal itu tampaknya kesalahan pemahaman penulis yang terbatas sebagai hamba Allah, sebab bisa jadi hal itu merupakan ujian untuk lebih tekun dan sabar.

Kemudian keberhasilan ini tentunya tidak terlepas dari dukungan beberapa pihak :

1.  Alm. Abah dan Ibu penulis yang semasa hidupnya selalu mendidikkan Iman – Ilmu – Amal serta kedisiplinan sebagai pedoman dalam menjalani kehidupan ini, agar sukses dunia dan akhirat.

2. Alm. Bapak dan Ibu mertua yang telah memberikan dukungannya, sehingga penulis lebih bersemangat.

3. Istri dan Anak-Anak penulis tercinta, yang selalu mendukung tugas-tugas pokok penulis, termasuk dalam usaha perolehan profesi Guru Besar/Profesor ini.

4. Kakak-kakak penulis yang selalu memberikan dukungan dan semangatnya, sehingga memotivasi penulis untuk lebih maju. 

5. Rektor dan para Wakil Rektor UIN Sunan Kalijaga, yang mendukung pengembangan karier akademik Dosen.

6. Ketua, sekretaris, dan anggota Senat UIN Sunan Kalijaga yang telah memproses serta menyetujuai proses pengajuan Guru Besar ini.

7. Dekan dan para Wakil Dekan FITK Sunan Kalijaga yang mendorong para Dosen untuk mengembangkan karier akademiknya.

8. Para kolega Dosen FITK yang secara langsung maupun tidak langsung, telah memberi semangat kepada penulis untuk meraih dan mengembangkan karier akademik penulis.

9. Para Tenaga Kependidikan yang telah memperlancar proses pengajuan profesi Guru Besar/ Profesor ini. Juga kolega penulis yang telah memperlancar proses perolehan profesi Guru Besar/ Profesor ini.    

Untuk itu kepada mereka semua penulis sampaikan terimakasih yang tak terhingga serta doa semoga kebaikan yang telah disampaikan kepada penulis mendapatkan balasan yang terbaik dari Allah SWT, Jazakumullah Khairul Jaza’  aamiin.

Yogyakarta, 6 Mei 2025

Usman

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I.     KETERANGAN PERORANGAN

1

Nama Lengkap

Prof. Dr. Usman  SS.  M.Ag

2

NIP  & NIDN

19610304199203 1001    (NIND: 2004036102)

3

Nomor Sertifikat Pendidik

092100500220

3

   Pangkat dan Golongan Ruang

Pembina Utama (IV / d)

4

Tempat Lahir/Tanggal Lahir

Pekalongan, 4 Maret 1961

5

Jabatan Terakhir

Profesor (Guru Besar)

6

Jenis Kelamin

Laki – Laki

7

Alamat Rumah

Jalan Imogiri Barat Km. 8: Dusun Bibis Rt. 05 Rw. 35 – Timbulharjo – Sewon – Bantul – DIY.

8

e-mail & HP.

usmanmbabsel@gmail.com        081 328 855 626

9

Kantor

Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Jalan Marsda Adisucipto Yogyakarta 55281,

Telp. (0274) 513056,  Fax. (0274) 519734

Email : ftk@uin-suka.ac.id

 

II.  KETERANGAN PENDIDIKAN

Universitas/Institut dan Lokasi

Gelar Akademik

Tahun Selesai

Bidang Studi

Sekolah Dasar Negeri  Pekalongan

 

1974

 

PGAN 6 Tahun Pekalongan

 

1981/1982

 

IAIN Yogyakarta

Sarjana Muda (BA)

1984

Bahasa Inggris

IAIN Yogyakarta

Sarjana (S1)

1989

Pendidikan Agama Islam

UGM Yogyakarta

Sarjana (S1)

1994

Filsafat

PPs. IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Magister Agama

1999

Aqidah Filsafat

PPs. Fak. Filsafat UGM

Doktor

2013

Filsafat Pendidikan Islam

III.    KETERANGAN PEKERJAAN

No

Pangkat/Golongan Ruang

Jabatan

TMT

Nama Jabatan

Pejabat yang mengeluarkan

Nomor dan Tgl SKEP

1

2

3

4

5

1

Pembina Tk.I (IV/b) 1 Oktober 2008

Dosen (Lektor Kepala)

Menteri Agama

No.B.II/3/1211,

 Tgl. 30 – 04 – 2007.

2

1 Februari 2000 – 2002

Sekretaris II Kopertais III DIY

Koordinator Kopertais III DIY.

 

3

1 Mei 2007 – 2011

PD.I Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga

Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

 

4

1993 – Sekarang

Dosen Tetap Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga

Menteri Agama

No.B.II/3.-E/18925

Tgl. 30 Oktober 1993.

5

1999 – 2020

Dosen Tidak Tetap

FKIP UST Tamansiswa

 

 

IV.   PENGALAMAN MENGAJAR

No.

Jenjang

Semester

Mata Kuliah

1.

S.1

a. Gasal

b. Genap

Filsafat Umum

Filsafat Ilmu

2.

S.2

a. Gasal

 

b. Genap

1). Filsafat Ilmu

2). Filsafat Pendidikan Islam

1). Islam Dan Sains

2). Metodologi Penelitian Pendidikan Islam

3.

S.3

a. Gasal

 

b.

1). Filsafat Pendidikan Islam Dalam Praktek

1). Filsafat Pendidikan Islam Humanis

2). Isu-Isu Kritis Dalam Pendidikan.

 

V.       KETERANGAN PUBLIKASI

Usman, Bachri Gazali, & Alim Ruswantoro

Filsafat Ilmu

Pokja Akademik 2005 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Usman

Mistisisme Serat Wedhatama, dalam “Warna Islam Dalam Mistisisme Jawa”

Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 2006

Usman (Editor)

Pendidikan Islam: Konsep, Aksi Dan Evaluasi

Fakultas Tarbiyah Dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 2010

Usman

Pendidikan Yang Bermasalah Dan Langkah Perbaikannya

Jurnal Penelitian Agama April  2007 Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Usman

Rekonstruksi Atas Rekonstruksi Pemikiran Islam Moh. Iqbal

Jurnal Studi Islam, Mukaddimah, Kopertais Wilayah III, DIY.

 No. 23 Th.XIII/2007.

Usman

Model Pemikiran Manusia Dan Relasinya Terhadap Pendidikan

Jurnal Inferensia : Penelitian Sosial Keagamaan STAIN Salatiga Desember 2011

Usman

Menangkal Gerakan Komunisme Yang Anti Hak Asasi Manusia Lewat Pendidikan: Suatu Kritik Idiologi 

Jurnal Studi Agama “Millah” Agustus  2012. Studi Islam dalam Multiperspektif, Program Pascasarjana, Fakultas Ilmu Agama Islam, Magister Studi Islam, UII.

Usman

Islamic Educational Transformation: A Study of Scientific and Competence Development in the Study program of PAI (Islamic Education) in Islamic State Universities (UIN)

Jurnal Pendidikan Islam, Juni 2017, Islamic Education and Social Transformation, Volume 6, Number 1, June 2017. ISSN Print: 2301-9166, ISSN Online: 2356-3877

Usman

Jenis Kesadaran/Paradigma Masyarakat Muslim Yogyakarta

Pustaka Pelajar, Cetakan I, September 2013, ISSBN: 978-602-229-244-9

Usman

Contemporary Educational Paradigm In The Context of

Muslim Community Awareness of Yogyakarta

 

(International Journal), IOSR Journal of Research & Method in Education (IOSR-JRME) e-ISSN: 2320–7388,p-ISSN: 2320–737X Volume 7, Issue 1 Ver. II (Jan. - Feb. 2017), PP 24-34

Usman

Teori Pendidikan Islam Kontemporer: Suatu Analisis Filosofis

Program Magister Dan Doktor Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga YOGYAKARTA ()2018)

ISBN: 978-60261513-9-1

Usman Dan Hamdan

Strategic Policy Towards a World-Class University: An Indonesian Islamic University Experience

Educational Administration: Theory and Practice

2024, 30(4), 9208-9218

ISSN: 2148-2403

https://kuey.net/

Usman Dan M. Agung Richmawan

Unraveling the Strategic Roadmap to Achieve World-Class Status in

Indonesia's Islamic Universities: A Comparative Study

E-ISSN 2240-0524

ISSN 2239-978X

Journal of Educational and Social Research

www.richtmann.org

Vol 14 No 4

July 2024

Usman (Narasumber)

Integrasi-Interkoneksi Keilmuan Dan Kurikulum Prodi PGMI Dalam Perspektif Filsafat Sains

Seminar Nasional Dan Publikasi Ilmiah “Pengarusutamaan

Paradigma Integrasi-Interkoneksi Dalam Kurikulum Dan Keilmuan Prrodi PGMI/PGRA” Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga 17 September 2014. 

Usman (Pembicara)

“Gerakan Radikal Dan Fenomena Komunisme Gaya Baru”

Seminar Nasional “Gerakan Radikal Dan Fenomena Komunisme Gaya Baru” IAIN Surakarta. 24 November 2011.

Usman (Narasumber)

Mengintegrasikan Kesalehan Privat Dengan Kesalehan Publik Dalam Bidang Pendidikan

Seminar Nasional “Membangun SDM Yang Memiliki Kesalehan Privat Dan Kesalehan Publik Secara Intrgratif” Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, 5 – 6 November 2014

Usman (Narasumber)

“Seminar Nasional Persiapan Kelas Internasional Pascasarjana”

Seminar Nasional Persiapan Kelas Internasional Pascasarjana, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 19 Januari 2015.

 

VI. KETERANGAN TANDA KEHORMATAN YANG TELAH DIMILIKI

 

Nama Bintang/Satyalancana

Surat Keputusan

Nama Negara/ Instansi yang memberi

Nomor

Tanggal

1

2

3

4

5

1

Satyalancana Karyasatya X Tahun

62/TK/Tahun 2010

1 Desember 2010

Presiden Republik Indonesia

2

Satyalancana Karyasatya XX Tahun

52/TK/Tahun 2013

26 Juli 2013

Presiden Republik Indonesia

3

Satyalancana Karyasatya XXX Tahun

35/TK/Tahun 2023

19 Juni 2023

Presiden Republik Indonesia

 


 


[1] Usman, Jenis Kesadaran/Paradigma Masyarakat Muslim (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2013), 103 -141.

[2] A.W Munawwir, Kamus Al-Munawwir: Arab-Indonesia Terlengkap, Edisi Lux (Yogyakarta : Pondok Pesantren Al-Munawwir, 1984), h. 236 – 237.

[3] Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an,  Al-Qur’an Dan Terjemahnya, (Jakarta, Deprtemen Agama R.I. 1983/1984), h. 126 dan 498.  

[4] Meminjam pendapat Simuh, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita: Suatu StudiTerhadap Serat Wirid Hidayat Jati (Jakarta : U.I Press, 1988), h. 2 – 3,  mereka lebih tepat disebut Islam Kejawen, yaitu sinkretisme antara tradisi jawa dengan unsur ajaran Islam, khususnya tasawuf. Ia dicirikan dengan bentuk ajaran yang sangat sedikit mengungkap aspek syari’at (hukum atau aturan-aturan lahir dari agama Islam), bahkan ada yang tidak menghargainya sama sekali.

[5] Mark. R Woodward,  Islam Jawa: Kesalehan Normatif Versus Kebatinan, terj. Hairus Salim HS. (Yogyakarta, LkiS, 1999). h. 1 – 11.

[6] Ibid. h. x-xi,   Pendekatan yang dimaksudkannya ialah, bertitik tolak dari tesisnya bahwa kunci Islam ada pada dua kalimat syahadat, kemudian jika ditemukan dalam teks; bisa tertulis maupun yang tergelar/ budaya, menunjuk ke arah nilai itu maka tidak ada alasan untuk menamai prilaku keagamaan seseorang ataupun kelompok yang terwarnai oleh tradisi lokal dimana mereka berada menjadi di luar Islam, misal kejawen disebut dengan bukan Islam tetapi Hindu-Budha. Sebab jika kelokalan dijadikan alasan mendasar, maka bagaimana dengan adanya Islam Timur Tengah, Islam, Indonesia, dll. ? Tradisi lokal yang menyatu dalam peribadatan Islam tidak menjadi alasan untuk mengatakan bukan Islam lagi.       

[7] Hermeneutika, berarti pemaknaan atau penafsiran dengan cara mengungkap maksud pikiran penulis/author sebagaimana yang tesirat dalam teks, oleh H.G Gadamer  diterangkan secara berbeda dari dua tokoh hermeneutika: Friedrich Schleiermacher (1768-1834) dan Wilhelm Dilthey (1833-1911), yang menyatakan bahwa metode yang tepat untuk membahas fakta-fakta historis ialah penafsir harus keluar dari zaman dimana ia saat itu hidup, kemudian masuk dan merekonstruksi zaman si pengarang sambil menampilkan kembali keadaan dimana si pengarang berada saat itu. Jadi penafsir harus menyamakan diri dengan pembaca yang asli (artinya bahkan menjadi “si pengarang”). Sedikit berbeda dengan Schleiermacher, Dilthey menambahkan bahwa pendekatan model Ilmu Pengetahuan Alam yang berkembang selama ini (periode moderen) tidak mungkin tepat digunakan untuk wilayah Ilmu Budaya, melainkan hal itu hanya dapat ditempuh dengan hermeneutika; yang berarti menandai; lewat verstehen atau to understand, bukan menjelaskan sebagaimana berlaku pada Ilmu Pengetahuan Alam, dan memang dasar filosofi kedua ilmu itu berbeda. Bagi Gadamer, penafsiran tidak mungkin lepas dari prejudice/persangkaan penafsir/subyektivitas; tentu yang sah, dan yang tidak sah disingkirkan,  dan metode kedua tokoh tersebut belum menjelaskan bagaimana menyingkirkan hal tersebut. Dari itu ia menawarkan metodenya dengan menyatakan bahwa subyektivitas bisa digeser menuju ke yang lebih obyektif. Penafsiran bukan semata-mata reproduksi; mengeluarkan isi teks semula (artinya tertutup/sebatas lingkaran yang terkait dengannya),  tetapi juga produksi (maksudnya memperkaya arti teks). Dengan demikian kontekstualisasi sudah semestinya terjadi, sebab penafsiran itu sendiri mengandaikan adanya kemungkinan keterbukaan terhadap masa depan. Kemudian cara hermeneutikanya dijelaskan melalui analisanya tentang bahasa, yang berbeda  dari eksistensialisme M. Heidegger; yang melihat bahasa sebagai alat komunikasi, sistem tanda, serta tidak  membedakan antara kata dengan tanda. Sebaliknya menurut Gadamer, bahasa melampaui sistem tanda, meskipun pada hakekatnya obyek dan tanda tidak dapat dipisahkan tetapi ketika kita mencari kata yang tepat, tidak sama dengan mencari tanda untuk menunjukkan obyek yang sudah hadir lengkap, namun obyek belum tampak sepenuhnya. Dengan demikian sebenarnya terdapat kesatuan yang erat antara kata dan tanda, oleh karenanya mencari kata sama dengan mencari kata yang seolah-olah menyatu pada benda. Begitupun bahasa dan pemikiran menurutnya merupakan suatu kesatuan yang tak terpisahkan. Walaupun kemudian dikritik Habermas; yakni adanya keuniversalan dalam pengenalan hermeneutika Gadamer, sehingga pandangannya menjadi naïf tentang percakapan-percakapan prailmiah serta tidak menyadari kepentingan penguasaan yang meresapi bahasa biasa, maka mestinya perlu melengkapinya dengan meta-hermeneutika,(teori kitis yang mengawasi penyimpangan/pemutar-balikan yang ada pada percakapan non-ilmiah), namun ia (Gadamer) menolak pandangan Habermas yang mempertentangkan antara realitas dengan tradisi kultural yang mempengaruhi kehidupan, yaitu pekerjaan dan penguasaan. Ia mengatakan bahwa tidak ada pertentangan itu, malahan dalam tradisi terdapat kebenaran yang sesungguhnya, serta menjadikan kita bisa melakukan pengenalan sekarang, dan terhadap pekerjaan serta hubungan-hubungan sosial.         

[8] A.W Munawwir, Op. Cit., h. 472 – 473.

[9] Departemen Agama R.I, Op. Cit., Q.S al-Baqarah 130 dan 135,  h. 34.

[10] David Trueblood, Filsafat Agama, terj. H.M Rasyidi, (Jakarta : Bulan Bintang, 1990), h. 3.

[11] Y. Glock and R. Starck, dalam Roland Robertson, Sociology of Religion, terj. Oleh Paul Rosyadi (Jakarta : Aksara Persada, 1986), h. 288. 

[12] Eksklusif, artinya menutup diri. Sikap ini, meminjam istilah yang dikemukakan M. ‘Abid al-Jabiri dalam karyanya Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi: Dirasah Tahliliyyah Naqdiyyah li Nuḍumi al-Ma’rifah fi al-Śaqfah al-‘Arabiyyah (Beirut : Markaz Dirasah al-Wihdah al-‘Arabiyyah, Cet. III, 1990), h. 13, 253,315, & 383, dan dalam Takwin al-‘Aql al-‘Arabi (Beirut : Markaz Dirasah al-Wihdah al-’Arabiyyah, Cet. IV, 1989), h. 76-77,  diakibatkan oleh model penalarannya yang bayani dan ‘irfani.  Bagi irfani, kebenaran ibadah terletak pada cara bagaimana mendekatkan diri/ taqarrub kepada Allah (sufisme), dan di dalam amalannya lebih mengedepankan riyaḍah baținiyyah sekaligus menyingkirkan peran rasio untuk tujuan itu. Demikian pula mereka yang bayani, sembari menolak sufisme dan rasionalisme, menegaskan pentingnya amal ibadah yang sesuai dengan Qur-an serta Sunnah Nabi dan pandangan para salaf al-shalih (salafi atau ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah). Dampak dari pendirian tersebut ialah adanya klaim kebenaran atas pendirian mereka masing-masing. Sementara pihak lain di luar mereka dipandang sebagai kelompok bid’ah.        

[13] Ketiga kelompok ini sama dari segi idiologis dan implementasi da’wahnya. Idiologi yang mereka kembangkan pada hakekatnya sama dengan Wahabiyah. Meski demikian mereka menolak untuk dikatakan sebagai Wahabi. Alasannya, Muhammad bin ‘Abdu al-Wahhab bukan nabi maka tidak benar untuk dijadikan panutan. Sedangkan kesamaan pendapat dengannya sudah merupakan hal yang wajar. Baca Juga: a. Greg Fealy, Islamic Radicalism in Indonesia: The Faltering Revival?, in: Daljit Singh/Chin Kin Wah (eds.), Southeast Asian Affairs 2004 (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2004) p. 106. b. Jessica Stern, Terror in the Name of God: Why Religious Militants Kill. (New York: Ecco/HarperCollins, 2003). c. Noorhaidi Hasan, Faith and Politics: The Rise of the Laskar Jihad in the Era of Transition in Indonesia (in: Indonesia, 2002), vol. 73, pp. 145–170. 

[14] Muhamad Iqbal Ahnaf, MMI dan HTI: The Image of The Others, dalam Negara Tuhan: The Thematic Encyclopaedia, A. Maftuh Abegebriel et. al. (Ed.)  (Yogyakarta : SR-Ins Publishing, 2004), h. 691 – 725.

[15] Untuk wilayah Yogyakarta, koordinasi dipusatkan di Masjid al-Ittihad (jalan Kaliurang) dan percetakan al-Shaf (Jalan Timoho). Adapun pusat markaz Jamaah Tablig di Indonesia berada di Jakarta, khususnya di masjid Kebon Jeruk di Jl Hayam Wuruk, Jakarta Kota. 

[16] A. W. Munawwir, Op. Cit., h. 1037.

[17] Joachim Wach, The Comparative Study of Religions, Edited with an Introduction by Joseph M. Kitagawa (New york and London : Columbia University Press, 1958), h. 14.

[18] Kuntowijiyo, Muslim Tanpa Masjid: Esai-Esai Agama, Budaya, dan Politik Dalam Bingkai Strukturalisme Transendental (Bandung : Mizan, 1998), h. 60 – 63.

[19] Penalaran induktif melaju dengan titik berangkatnya pada realitas khusus/particular, kemudian ditetapkan kesimpula/ teori. Juga bisa bertitik-tolak dari teori tertentu yang kemudian digunakan sebagai alat penguji data, dan selanjutnya diambil  kesimpulan. Dengan kata lain cara analogical, qiyasi atau generalisasi dalam berkesimpulan (ini mestinya deduktif; di sini teori maupun norma/dallil posisinya sudah final, sehingga terkesan tertutup) masih berlaku di dalamnya. Cuma bedanya dengan deduktif terletak pada kemungkinannya untuk mengoreksi atau sekaligus menolak teori yang dijadikan acuan dimaksud apabila ditemukan perbedaan realitas. Dengan demikian sifatnya terbuka . Adapun abduktif menolak generalisasi, sebaliknya selalu bertumpu pada realitas data, meskipun diawali dengan suatu postulat. Meski postulat tersebut bukan spekulatif, melainkan ditopang oleh premis-premis rasional-empirik dalam bentuk pengujian yang berkesinambungan. Jadi jelas lebih terbuka. Penjelasan ini, lihat Elliott Sober, Core Questions in Philosophy : A Text with Readings, 2nd edtion (New Jersey : Prentice Hall, Englewood Cliffs, 1995), h. 9 – 35.         

[20] A.W  Munawwir, Op. Cit., h. 328.

[21] Ismail Raji al-Faruqi, Tauhid : Its Implications for Thought and Life, (Pensylvania : The International Institute of Islamic Thoughts, 1982).

[22] Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu : Epistemologi, Metodologi & Etika  (Jakarta : Teraju, 2005).

23. Louay Safi, The Foundation of Knowledge: A Comparative Study in Islamic and Western Methods of Inquiry, (International Islamic University Malaysia Press, 1996).

[23] Departemen Agama R.I, Op. Cit., h. 199.

[24] Sulaiman bin Umar al-‘Ajilli al-Syafi’I, al-Futuhat al-Ilahiyah bi Tauhid Tafsir al-Jalalain li al-Daqaiq al-Khafiyah, juz. II (Bairut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1996), h. 382 – 383.

[25] Departemen Agama R.I, Op. Cit., h. 250.

[26] Proses pemahaman ini berlangsung dalam tiga langkah penjernihan lewat epoche/penangguhan penyimpulan atas data, dengan langkah : pemahaman indrawi (terhadap yang fenomenal), pemahaman rasional (terhadap yang eidetis/substansi), dan pemahaman aku transcendental (terhadap makna/meaning). Baca, Edmund Husserell,  “Metaphysics, Epistemology”  dalam Frank N. Magill (Ed.), Op. Cit., h. 502 – 505.

[27] Bagi Henri Bergson, intuisi, sebagaimana dijelaskan oleh K. Bertens merupakan insting yang menjadi sadar, yang mencapai taraf refleksi. Jika akal budi terarah pada materi mati dan sumber bagi ilmu pengetahuan alam, maka intuisi tertuju ke kehidupan dan menyediakan dasar bagi filsafat. Meski demikian keduanya saling berhubungan, sebab keduanya sama-sama membutuhkan; Laksana ruh dengan materi, tidak mungkin salah satunya ada tanpa yang lainnya. Kemudian akal budi/intelegensi hanya dapat memahami obyek-obyek anorganis, tidak kontinyu, dan kuantitatif (inilah tingkat ilmuan), sedangkan intuisi dapat menangkap obyek organis/kehidupan, kontinyu/duree/lamanya, dan kualitatif. K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX : Perancis (Jakarta : Gramedia, 1985), h. 263.  Adapun penggunaan kategori kognitif, afektif (Bergson menyebutnya intuitif, sedangkan penulis menamakannya nalar/nadhar) serta psikomotorik (penulis menyebutnya kecakapan penerapkan/skill), didasarkannya pada pendapat Benyamin S. Bloom (sekaligus selaku editor) dalam karyanya Taxonomy of Educational Objectives: The Classification of Educational Goals, cetakan ke VIII (New York : David Mckay Company, Inc., 1974), h. 1 – 9.  

[28] Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, Op. Cit. h. 11. Juga Thomas S. Kuhn, The Stucture of Scientific Revolutions, Second Edition, Enlarged, Ed. In Chief Otto Neurath (USA, Chicago, University of Chicago Press, 1970), h. 43 – 51.

[29] Usman, Teori Pendidikan Islam Kontemporer: Suatu Analsisi Filosofis (Yogyakarta. Magister FITK – UIN Sunan Kalijaga, 2018).  

[30] Dermot Moran, Edmund Husserl: Founder of Phenomenology (Cambridge, Polity Press, 2008), 5 – 6.

[31] Nicholas F. Stang, "Kant’s Transcendental Idealism", The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Spring 2024 Edition), Edward N. Zalta & Uri Nodelman (eds.), URL=.

[32] Mahmud Hamdi Zaqzuq, Al-Manhaj Al-Falsafi Baina Al-Gazali wa Descartes (Kairo, Dar al-Ma’arif, 1997), h. 49 – 55.

[33] Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Mesjid, Op.Cit. h. 33-38.

[34] Ibid. h. 60-63.

[35] Ibid. 74-81.

[36] Ibid. 78-81.

[37] Benjamin S. Bloom, Taxonomi of Educational Objekctives : The Classification of Educational Goals, (New York : David Mckay Company, 1974), h. 20-24.

[38] Departemen Agama R.I., Op.Cit., h. 946.