_*PUSAT LAYANAN DIFABEL (PLD) LPPM UIN SUNAN KALIJAGA*_
Tadarus Difabel Minggu 47
Setelah ia meneruskan kepada saya beberapa pesan _WhatsApp_ berisi kegentingan terkait *maraknya demonstrasi rakyat yang diwarnai kekacauan* sejak tanggal 28 Agustus 2025, *seorang mahasiswa difabel selanjutnya bertanya melalui pesan WA*: _“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Mohon maaf sebelumnya pak saya mau bertanya. Dengan kondisi seperti ini bagaimana perkuliahan di kampus besok ya pak? *Dan bagaimana caranya kami pulang ke kos apalagi yang difabel netra ya?*”_…Ada juga yang bertanya lewat saluran telepon serta pertanyaan lainnya dari orang tua mahasiswa difabel: _“Nuwun sewu bapak bade matur..dos pundi situasi wonten Jogja njih?” (“Mohon maaf bapak, saya ingin bertanya…bagaimana situasi di Jogja ya?”)_… demikian, *pertanyaan sederhana tapi terasa sangat ontologis dan eksistensial*… Saya sampaikan situasi Jogja dan UIN relatif aman. Saya sangat memahami kegelisahan orang tua dan mahasiswa difabel tersebut, *di tengah situasi maraknya demontrasi yang kadang berujung rusuh seorang difabel bisa berada pada situasi yang paling sulit* untuk *mampu keluar dari situasi* tersebut...
*Rasa aman adalah panglima psikologi tertinggi* bagi setiap individu dalam membangun harapan... Pesan mahasiswa difabel di atas tidak hanya menyuarakan keprihatinan terhadap keselamatan pribadi, *tetapi juga mencerminkan keresahan epistemologis* yang lebih dalam: bagaimana kita *memahami harapan* dan keselamatan dalam situasi yang penuh ketidakpastian. *Perasaan ini menggambarkan titik lemah dari posisi difabel dalam menghadapi pergolakan sosial*, di mana mereka *sering kali menjadi kelompok yang paling terpinggirkan* dalam krisis semacam ini.
Kegelisahan tersebut juga menunjukkan bahwa *kebutuhan untuk merespons situasi dengan kebijakan yang inklusif dan memperhatikan kebutuhan nyata difabel sangat penting*. Dalam konteks ini, mitigasi yang lebih konkret dan humanistik sangat diperlukan, dan kita perlu menyiapkan solusi yang mampu memberikan rasa aman bagi difabel dalam situasi yang penuh tantangan ini… di tengah keterbatasan, *kami di PLD menyadari hal ini butuh dituangkan ke dalam layanan dasar* saat situasi darurat…
Sejenak, *MARI KITA PINDAH DULU ke AKAR MASALAH, pemicu segala kekacauan ini*… *Diksi yang digunakan* oleh pejabat publik dalam pidato atau pernyataan mereka *sangat mempengaruhi* dinamika sosial yang terjadi. Dalam hal ini, *kata-kata yang terucap* dari seorang pemimpin atau tokoh publik *dapat membentuk realitas sosial yang LEBIH BESAR*... Pemahaman epistemologi, yang saya maksud dalam hal ini, berperan sebagai landasan untuk memahami cara kita memperoleh pengetahuan tentang situasi yang sedang berlangsung dan *bagaimana hal itu mempengaruhi tindakan kolektif* masyarakat termasuk *kalangan para mahasiswa*
*Setiap diksi*, kalimat yang dipilih *dapat memperburuk* atau *dapat meredakan ketegangan sosial*, dapat *menciptakan ruang untuk dialog* atau malah dapat *meningkatkan polarisasi yang merugikan*. Pernyataan yang diucapkan oleh pejabat publik memiliki *dampak yang signifikan* terhadap *pola pikir dan perasaan* masyarakat. Epistemologi ini menunjukkan bahwa dalam konteks sosial, *pemahaman kita akan situasi sangat dipengaruhi oleh cara pesan-pesan tersebut disampaikan*… Diksi adalah awal kelahiran *apakah sebuah kalimat akan menjadi *Bom Nuklir Sosial* ataukah menjadi *EMBUN PAGI bagi publik yang menyejukan*
Dalam kajian epistemologi, *pengetahuan tidak bersifat netral*. Pengetahuan yang diterima dan disebarkan oleh publik sering kali dibentuk oleh struktur kekuasaan yang dominan, yang dalam hal ini adalah para pejabat dan media sosial… *Pemilihan diksi yang cermat tidak hanya sekadar soal komunikasi yang efektif*, tetapi juga soal *bagaimana pengetahuan itu DIBINGKAI dan DITERIMA oleh MASYARAKAT*...
Dalam konteks ini, *pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan oleh pejabat publik* bisa jadi membentuk kerangka berpikir masyarakat tentang "benar" dan "salah", "aman" atau "berbahaya". Epistemologi ini tidak hanya mengajarkan kita tentang *bagaimana pengetahuan dikonstruksi*, tetapi juga bagaimana *pengetahuan itu mempengaruhi tindakan sosial yang lebih besar*. _*Untuk kelompok difabel*_, proses ini sering kali menciptakan realitas yang tidak menguntungkan, di mana kebutuhan mereka *dianggap kurang penting* dibandingkan dengan kebutuhan kelompok mayoritas. Hal ini menunjukkan bahwa dalam setiap proses perumusan kebijakan atau respon terhadap demonstrasi, _*kebutuhan dan realitas hidup difabel seharusnya tidak terpinggirkan*_. Mereka butuh _*Dewan Perwakilan yang peduli Difabel*_
*Demonstrasi yang sedang terjadi* bisa dipahami sebagai manifestasi dari ketidakpuasan masyarakat terhadap struktur sosial dan politik yang ada. *Namun, dalam situasi seperti ini, peran difabel sering kali terlupakan*. Mereka berada pada *posisi yang lebih rentan* ketika respons terhadap demonstrasi tidak mempertimbangkan aksesibilitas dan kebutuhan mereka.
*Kegelisahan yang disampaikan oleh mahasiswa difabel dalam pesan WA kepada saya* di awal tulisan ini menunjukkan bahwa dalam setiap situasi krisis, mereka memerlukan perhatian khusus dan *perlakuan yang sesuai dengan kondisi mereka*. Kalimat polos _*“Bagaimana caranya kami pulang ke kos apalagi yang difabel netra?”*_ adalah jeritan nyata yang tidak bisa dijawab dengan teori besar atau jargon politik, tapi dengan tindakan kebijakan nyata. Pertanyaan itu *sangat konkret* dan menggambarkan *kebutuhan nyata yang sering terabaikan* dalam kebijakan atau pengambilan keputusan yang bersifat umum.
*Demonstrasi* yang terjadi tidak hanya *membawa dampak sosial bagi masyarakat pada umumnya*, tetapi juga menciptakan *tantangan yang lebih besar bagi kelompok difabel*. Mereka bukan hanya membutuhkan jaminan keselamatan fisik, tetapi juga akses terhadap informasi yang dapat membantu mereka melewati krisis ini dengan lebih aman.
*Untuk itu*, pengelolaan situasi ini memerlukan pendekatan yang lebih inklusif dan berbasis pada epistemologi harapan, di mana harapan *bukan hanya sebuah konsep yang idealis,* tetapi juga sesuatu yang bisa *diakses dan diwujudkan dalam tindakan nyata.*
*Dengan demikian*, kita dapat mewujudkan sebuah perubahan sosial yang tidak hanya menciptakan ruang untuk perbedaan pendapat, tetapi juga *memastikan bahwa kelompok difabel dapat turut berpartisipasi dengan aman dan setara dalam kehidupan sosial-politik*… Jika anda ikut mengambil refleksi dari renungan ini… bergabunglah dalam perjalanan kami di *UIN Sunan Kalijaga: _"Empowering Knowledge Shaping The Future"_*
_*Koordinator Pusat Layanan Difabel UIN Sunan Kalijaga*_
Asep Jahidin