UIN SUKA

Selasa, 17 Juni 2025 07:56:00 WIB

0

Serangan Israel ke Iran Oleh Prof. Dr. Ibnu Burdah Guru Besar Kajian Timur Tengah pada Fakultas Adab dan Ilmu Budaya

Serangan Israel ke Iran

Oleh Ibnu Burdah

Di tengah upaya diplomasi nuklir antara AS dan Iran di Muscat dan upaya diplomatic untuk penghentian perang Gaza, Israel melancarkan serangan skala besar terhadap sekitar seratus target militer dan fasilitas nuklir di Iran (13/6/25). Serangan itu dikabarkan melibatkan 200 pesawat tempur Israel dan agen-agen Israel yang ada di dalam negeri Iran. 

Serangan itu antara lain menewaskan panglima tertinggi pasukan elit Garda Revolusi Iran Hossein Salami, kepala Staf Angkatan Bersenjata Mohammad Bagheri, dan beberapa ilmuwan nuklir papan atas Iran. Serangan itu dinyatakan Israel sebagai upaya pencegahan terhadap pembangunan senjata nuklir oleh Iran. Sebuah ironi, pencegahan terjadinya kekerasan dengan cara melakukan kekerasan yang membawa korban dan destruksi besar. Tak hanya itu, pembunuhan terhadap ahli nuklir jelas menargetkan agar Iran tak memiliki kapasitas untuk kembali membangun kapasitas nuklirnya.

Proses negosiasi damai itu berhenti. Iran menarik delegasinya di Muscat. Perang terbuka Iran-Israel yang selama bertahun-tahun sebatas proxy ataupun perang sangat terbatas kini berubah perang langsung dan luas. Eskalasi berbahaya bagi kawasan kembali terjadi. Rangkaian serangan berikutnya dari Israel dan rangkaian balasan besar dari Iran terus memperparah situasi kawasan. Kendati semua pihak mendorong kedua pihak yang bertikai untuk menahan diri, aksi saling serang itu berpotensi menyeret kawasan ke dalam situasi yang sangat berbahaya.

Akumulasi Kemarahan

Rencana serangan besar-besaran terhadap fasilitas nuklir Iran sudah sangat lama diberitakan. Israel meletakkan kepemilikan senjata nuklir oleh negara lain di Timur Tengah sebagai garis merah yang tak boleh dilewati. Apalagi calon pemilik itu adalah Iran, negara yang dianggapnya selama ini sebagai sumber ancaman utama. Monopoli kepemilikan senjata nuklir di kawasan adalah harga mati dalam doktrin militer Israel. Serangan ini dipandang secara semena-mena oleh Israel sebagai investasi mahal untuk masa depan negara itu. Oleh karena itu, Israel adalah negara yang paling menentang negosiasi apapun dengan Tehran. Inilah alasan terpenting Israel berupaya menghabisi Iran.

Perkembangan beberapa tahun terakhir memperparah permusuhan kedua pihak. Israel begitu marah dengan serangan 07 Oktober yang disusul aksi penyanderaan. Serangan Israel sebagai balasannya yang dimulai sejak 8 Oktober 2023 itu belum benar-benar selesai hingga sekarang meskipun sudah membawa petaka kemanusiaan yang begitu mengerikan dan kehancuran Gaza secara merata. Israel di bawah Netanyahu sudah gelap mata. Tak peduli kecaman dan kutukan dunia terhadap tindakannya. 

Dan Netanyahu tahu bahwa Iran adalah actor terpenting di balik kemampuan militer Hamas melakukan serangan 07 Oktober dan membangun terowongan-terowongan “canggihnya”. Iran pula yang ada di balik kemampuan Hizbullah melakukan serangan dukungan untuk Hamas dari Lebanon Selatan. Iran pula di balik Houtsi Yaman yang tiba-tiba memiliki kemampuan rudal jelajah yang berkali-kali mengancam Tel Aviv dan target di Israel lainnya, juga kapal-kapal Israel yang melintasi Bab al-Mandib dan sekitarnya. 

Housti terus menebar ancaman ke Israel di tengah brutalitas Israel mengejar sisa-sisa kekuatan Hamas. Houtsi sangat sulit ditaklukkan sebagaimana Hamas tidak mau menyerah atau menyerahkan sandera meskipun kekuatannya tinggal tak seberapa. Israel sadar bahwa kekuatan utama pendukung kelompok-kelompok perlawanan itu adalah Iran.

Karena itu, serangan Israel ke Iran ini tak lain akumulasi kemarahan dan frustasi mendalam Netanyahu atas berbagai kegagalan, khususnya dalam menghabisi Hamas dan mengembalikan sandera. Kegagalan itu tak lepas dari langkah Iran yang terus-menerus memberi dukungan kepada  kekuatan-kekuatan yang terus melawan Israel.  Karena itu, opsi serangan besar-besaran terhadap militer dan fasilitas nuklir Iran ini diambil kendati jelas penuh resiko. Sebab, melumpuhkan Iran berarti sekaligus melumpuhkan sebagian besar kekuatan Hizbullah, Hamas, maupun Houtsi yang selama ini terus jadi sumber ancaman dekat bagi Israel. Dan terlambat melakukan serangan terhadap Iran juga berarti kegagalan menjaga monopoli senjata nuklirnya di kawasan.

Paritas

Sulit memprediksi kapan perang dimulai tapi lebih sulit lagi memprediksi kapan perang akan berakhir. Iran memang bukan tandingan Israel dari sisi keunggulan teknologi informasi, intelejen, dan kecanggihan pesawat tempur. Karena itu, Israel terlihat begitu dominan di wilayah udara Iran. Mereka mampu melakukan serangan terhadap target selektif, baik arsenal militer maupun fasilitas pengembangan nuklir,  dengan persisi tinggi bahkan terhadap para pemimpin tertinggi militer Iran. 

Namun, itu bukan berarti Iran tak memiliki kemampuan untuk mewujudkan perimbangan kekuatan. Kendati memang terlihat kedodoran dalam semua lini, Iran memiliki kapasitas luar biasa dalam rudal-rudal jarak jauh dan drone. Sistem pertahanan Israel yang berlapis buktinya dapat ditembus berulang-ulang. Kekuatan Iran juga terletak pada militansi dan kesetiaan para proxinya. Hasyd Sya’biy di Irak, Hizbullah di Lebanon, dan Houtsi di Yaman siap memberi tekanan terhadap Israel untuk mendukung Iran. 

Kita hanya berharap deeskalasi segera terjadi. Kawasan ini sudah terlalu letih dengan bara api dan beragam penderitaaan manusia akibat perang. Korban kemanusiaan dan hancurnya perdaban adalah harga yang terlalu mahal untuk tujuan seagung apapun. (Tulisan ini sudah terbit di media Cetak Jawa Pos Senin 16 Juni 2025)