WhatsApp Image 2025-12-12 at 13.39.24(1).jpeg

Jumat, 12 Desember 2025 19:37:00 WIB

0

Sambutan Rektor dalam KUPI ( Prof. Noorhaidi Hasan, S.Ag., M.A., M.Phil., Ph.D.)

Halaqah Kubra pada hari ini hingga dua hari ke depan diselenggarakan dalam rangka membincangkan berbagai isu dan persoalan strategis di seputar masalah kesetaraan gender. Pada kesempatan ini saya juga ingin menyampaikan terima kasih atas kepercayaan yang diberikan oleh KUPI kepada UIN Sunan Kalijaga untuk bermitra sebagai penyelenggara acara ini. Pilihan KUPI terhadap UIN Sunan Kalijaga sebagai tempat pelaksanaan acara ini tentu tidak keliru, karena kampus kami sejak lama dikenal sebagai salah satu pelopor dalam upaya mengarusutamakan kesetaraan gender dengan pendidikan-pendidikan yang unggul dan kiprah yang luas di berbagai pengajian dan ruang publik di Indonesia.

Pilihan KUPI ini juga tidak salah karena pada tahun 1928, tepatnya 22 Desember, beberapa hari lagi, di Yogyakarta pernah diselenggarakan Kongres Perempuan Indonesia pertama yang diikuti oleh kurang lebih 30 organisasi perempuan dari seluruh Indonesia. Di antaranya Putri Indonesia, Wanita Katolik, Aisyiyah, Wanita Taman Siswa, cabang-cabang perempuan dari Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Indonesia Timur. Semua berkumpul untuk membincangkan isu-isu strategis, memperjuangkan kesetaraan perempuan di hadapan hukum, memperjuangkan akses pendidikan yang lebih luas dan terjangkau bagi perempuan, serta menyuarakan penolakan terhadap kawin paksa dan pernikahan di bawah umur. Mereka juga mengambil peran penting dalam perjuangan Indonesia menuju kemerdekaan. Jadi pada tahun 1928 saja, perempuan-perempuan Indonesia sudah menunjukkan prestasi luar biasa. Saya yakin kerja keras mereka memberi kontribusi penting bagi perkembangan bangsa dan negara kita.

Perjuangan mereka kemudian diteruskan oleh berbagai organisasi dan gerakan perempuan dengan latar belakang yang beragam, termasuk organisasi-organisasi perempuan Islam. Sebagai negara dengan penduduk muslim lebih dari 90%, pendekatan-pendekatan keislaman yang diterapkan para pejuang gender berlatar belakang Islam menjadi sangat penting. Mereka menafsirkan ulang ayat-ayat dan hadis-hadis yang selama ini sering dipahami secara bias dan menjadi legitimasi budaya patriarkal yang merugikan perempuan dalam relasi sosial. Alhamdulillah kerja panjang para ulama perempuan, para aktivis, para dosen, dan para pendekar kesetaraan telah membuahkan hasil. Kita termasuk negara yang terdepan dalam masyarakat Islam dalam memperjuangkan keadilan gender.

Sebelum saya lanjutkan, izinkan saya menyampaikan beberapa fakta penting. Pertama, terkait partisipasi perempuan dalam pembangunan di dunia Islam. Secara global, angka partisipasi perempuan dalam pembangunan adalah 48,7%. Namun di dunia Islam pada tahun 2024, angka ini berada pada 24,4%. Cukup jauh tertinggal, mungkin karena gejolak ekonomi global, konflik, serta perubahan-perubahan cepat di berbagai kawasan.

Namun ada hal menarik: partisipasi perempuan dalam pembangunan di Mesir berada di angka 15%, Tunisia 25%, Saudi Arabia 35%, Qatar 51%. Ini menunjukkan bahwa partisipasi perempuan berbanding lurus dengan kemakmuran negara. Semakin maju ekonomi suatu negara, semakin tinggi pula keikutsertaan perempuan.

Yang menjadi anomali adalah Indonesia. Partisipasi perempuan dalam pembangunan mencapai 53%, angka yang sangat mengesankan. Walaupun tren global menunjukkan korelasi dengan pertumbuhan ekonomi, Indonesia tampaknya berbeda. Barangkali karena keaktifan para aktivis perempuan, organisasi perempuan, serta gerakan-gerakan yang terus menyuarakan kesetaraan gender dan mendorong perempuan terlibat di berbagai lapangan kehidupan. Termasuk keterlibatan perempuan dalam politik di Indonesia mencapai 21%, lebih tinggi dibanding negara-negara lain di dunia Islam.

Ada lagi fakta yang menarik. Angka partisipasi perempuan dalam pendidikan tinggi di berbagai negara Islam juga meningkat signifikan. Di Saudi Arabia, jumlah perempuan yang kuliah bahkan lebih banyak daripada laki-laki. Ini menunjukkan bahwa anggapan bahwa negara-negara konservatif tidak memberi ruang pendidikan bagi perempuan tidak sepenuhnya benar. Negara-negara seperti Yordania, Tunisia, Malaysia, Bangladesh, dan Indonesia menunjukkan angka yang seimbang antara laki-laki dan perempuan dalam pendidikan tinggi.

Terkait pernikahan di bawah umur, angka global menunjukkan 1 dari 5 perempuan mengalami pernikahan anak, atau sekitar 20% secara rata-rata. Namun angka di dunia Islam ternyata justru berada di bawah rata-rata global: Irak 30%, Iran 28%, Yaman 17%, Mesir 16%, Maroko 15%, dan Indonesia 10,35%. Data-data ini membantu kita menjelaskan bahwa persoalan-persoalan gender tidak bisa dilihat hanya dari satu sisi seperti teks atau doktrin, melainkan perlu melihat faktor ekonomi, sosial, dan budaya lainnya.

Mudah-mudahan dialog publik Gerakan Ulama Perempuan Indonesia ini bisa menyentuh bukan saja persoalan-persoalan doktrinal yang selama ini menjadi tantangan dalam membangun budaya dan peradaban yang lebih adil, tetapi juga isu-isu lain sebagaimana telah saya jelaskan sebelumnya.

Kehadiran para ulama, para hadirin, para ustadz, dan para guru besar di sini bukan hanya membawa ilmu dan manfaat, tetapi juga keberkahan bagi UIN Sunan Kalijaga.