IMG-20250705-WA0207.jpg

Minggu, 06 Juli 2025 18:35:00 WIB

0

Saresehan Kesetaraan Gender, Empat Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Paparkan Perspektif Kritis

Keluarga sebagai pilar bangsa memerlukan pondasi yang kuat, adil, dan inklusif agar mampu menopang tegaknya peradaban yang berkemajuan. Kesadaran inilah yang menjadi dasar penyelenggaraan saresehan bertema “Keluarga sebagai Pilar Bangsa: Perspektif Keagamaan dan Kekinian dalam Membangun Pernikahan yang Berkeadilan Gender dan Tangguh” di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada hari Sabtu (5/7/2025).

UIN Sunan Kalijaga bertindak sebagai tuan rumah dalam saresehan yang diinisiasi Dharma Wanita Persatuan (DWP) Pusat Kementerian Agama RI bekerja sama dengan DWP UIN Sunan Kalijaga, Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Sunan Kalijaga, Kalijaga Institute for Justice (KIJ), dan DWP Kanwil Kemenag DIY. Kegiatan dilaksanakan secara luring di Aula Convention Hall Lantai 1 dan daring melalui Zoom Meeting.


Dalam sambutannya, Penasihat DWP Kementerian Agama RI, Helmi Halimatul Udhmah, yang hadir sebagai keynote speaker, menegaskan bahwa keluarga yang tangguh dan berkeadilan gender merupakan pondasi lahirnya generasi bangsa yang berakhlak mulia, terdidik, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

Saresehan ini juga menghadirkan empat guru besar UIN Sunan Kalijaga, para pakar yang memiliki rekam jejak panjang dalam advokasi kesetaraan gender dan pengarusutamaannya di ranah akademik maupun sosial.

Ketua Umum DWP UIN Sunan Kalijaga, Prof. Dr. Euis Nurlaelawati membuka sesi pertama dengan materi “Fenomena Keluarga Muslim dan Berbagai Tantangan Kontemporer.” Ia menyoroti dua isu sentral dalam keluarga Muslim Indonesia, yakni pernikahan di bawah umur dan poligami. Kedua isu tersebut, menurutnya, memiliki kontribusi signifikan terhadap munculnya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).


“Dalam UU KDRT, kekerasan tidak hanya fisik seperti memukul, tetapi juga psikis, misalnya membuat pasangan sedih, kecewa, atau terluka batin. Poligami termasuk kekerasan psikis, begitu juga pernikahan anak di bawah umur yang belum layak melakukan hubungan seksual,” papar Prof. Euis.

Ia menjelaskan, meski Pasal 7 UU Perkawinan telah diamendemen melalui judicial review, praktik dispensasi nikah masih membuka celah pernikahan di bawah umur tanpa batasan usia minimal, berbeda dengan beberapa negara Muslim lain yang memiliki ketentuan lebih tegas.

Terkait poligami, ia memaparkan tiga model ketentuan di negara Muslim: pelarangan total (Tunisia, Turki), kebolehan terbatas (Indonesia, Malaysia), dan kebolehan yang dapat menjadi alasan perceraian atau perjanjian pra-nikah (Mesir, Maroko, Yordania). “Di Indonesia, poligami bukan alasan sah untuk menggugat cerai, tapi istri dapat menuntut cerai jika muncul efek negatif seperti pertengkaran, penelantaran ekonomi, dan tekanan psikis,” ungkapnya.

Sebagai solusi, Prof. Euis merekomendasikan penguatan bimbingan perkawinan, pembentukan family center berbasis masjid sebagai tempat curhat dan mediasi masalah keluarga, serta penyuluhan pencegahan kekerasan dalam rumah tangga yang harus diikuti oleh seorang maupun istri.

Narasumber berikutnya adalah Guru Besar Ilmu Hadis, Prof. Dr. Marhumah, M.Pd., mengangkat tema “Ekoteologi dan Kesetaraan Gender dalam Keluarga Muslim.” Menurutnya, kesadaran ekoteologis tidak hanya menempatkan manusia sebagai hamba Allah tetapi juga penjaga harmoni semesta.

“Teoantroposentris mengajarkan relasi yang seimbang antara ibadah kepada Allah dan tanggung jawab menjaga kelestarian alam. Kesadaran ini penting untuk ditanamkan dalam keluarga Muslim agar keadilan gender tidak hanya menata relasi suami-istri, tetapi juga relasi dengan lingkungan,” tegasnya.


Dalam kesempatan yang sama,  Guru Besar dalam bidang Kajian Gender,Prof. Alimatul Qibtiyah, S.Ag., M.Si., M.A., Ph.D. menyampaikan materi “Mengarusutamakan Nilai Anti Kekerasan dalam Keluarga dan Institusi Pendidikan.” Ia membeberkan fakta bahwa 90 persen kekerasan rumah tangga di Indonesia menimpa istri, termasuk kekerasan seksual.

“Interpretasi ayat yang bias gender memicu anggapan perempuan wajib melayani suami secara seksual, sementara sebaliknya tidak dianggap wajib. Bahkan catcalling yang acap kali dialami oleh banyak perempuan pun masih sering terjadi dan tergolong kekerasan seksual non fisik,” jelas Prof. Alim. Ia menekankan perlunya pembaruan mental model masyarakat agar perempuan dipandang sebagai subjek bermartabat yang memiliki kehendak dan hak setara.

Selain di keluarga, kekerasan serupa juga terjadi di institusi pendidikan, dimana ironisnya 9 persen pelaku adalah pihak yang seharusnya melindungi.

Menutup sesi saresehan, Guru Besar dalam bidang Islam dan Kajian Gender sekaligus Sekretaris KIJ, Prof. Dra. Siti Syamsiyatun, M.A., Ph.D. memaparkan materi “Literasi Keagamaan Perspektif Gender dan Toleransi Pro-Eksistensi berbasis Keluarga.” Ia mengingatkan, bangsa Indonesia dibangun atas kesepakatan cita-cita bersama, bukan hanya oleh satu agama, etnis, atau bahasa tertentu. Ia menawarkan Toleransi pro-eksistensi dalam menyikapi keberagaman tersebut.

“Toleransi pro-eksistensi lebih dari sekadar membiarkan agama lain, tetapi mengakui hak keberadaan mereka dan kontribusi bagi kehidupan bersama,” katanya.

KIJ UIN Sunan Kalijaga, lanjut Prof. Siti Syamsiatun, mengembangkan tiga kompetensi untuk membangun toleransi pro-eksistensi: kompetensi personal (mengenal agamanya sendiri secara kredibel), kompetensi komparatif (memahami agama lain untuk membuka ruang percakapan), dan kompetensi kolaboratif (bekerja sama lintas iman untuk menyelesaikan persoalan sosial bangsa).

Kegiatan yang dipandu oleh Muhrisun, M.SW., Ph.D., ini diikuti mencapai 900 peserta secara luring dan daring. Melalui kegiatan ini, UIN Sunan Kalijaga berkomitmen untuk mendukung pengarusutamakan kesetaraan gender, membangun keluarga tangguh berkeadilan, serta meneguhkan ekoteologi sebagai visi keilmuan dan keagamaan.(humassk)