WhatsApp Image 2025-09-01 at 15.56.11(2).jpeg

Senin, 01 September 2025 16:21:00 WIB

0

Transformasi Belajar Agama di Era AI, FUPI UIN Sunan Kalijaga Dorong Mahasiswa Tetap Berakar pada Tradisi

Yogyakarta, 1 September 2025 – Dalam lanjutan acara Studium Generale Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam (FUPI) UIN Sunan Kalijaga yang mengangkat tema “Mahasiswa Ushuluddin Menjawab Tantangan Artificial Intelligence: Dari Tradisi ke Transformasi Digital”, dua pemateri utama memberikan wawasan mendalam mengenai dampak dan peluang kehadiran kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) dalam kehidupan akademik dan peradaban secara umum.

Salah satu pemateri, filsuf sekaligus Dosen FUPI, Dr. Fahrudin Faiz, dalam pemaparannya yang berjudul “AI dan Transformasi Mode Belajar Agama”, menekankan bahwa era kecerdasan buatan adalah fase baru dalam sejarah umat manusia yang kini menjadi faktor dominan dalam membentuk berbagai aspek kehidupan.


“AI telah mengubah cara kita belajar, bekerja, dan berinteraksi. Dunia sekarang diwarnai oleh automasi, peran data sebagai ‘minyak baru’, serta munculnya tantangan-tantangan baru dalam bidang etika, regulasi, dan relasi sosial,” ungkapnya.

Menurut Dr. Faiz, AI menghadirkan akses ilmu yang sangat luas dan mempercepat pencarian informasi, serta mendukung efisiensi riset. Namun, di balik kemudahan tersebut tersembunyi risiko serius: banjir informasi (information overload), budaya instan, melemahnya otoritas guru, menurunnya interaksi sosial, hingga ancaman plagiarisme dan manipulasi akademik.

“Penguasaan AI bukan hanya soal kecanggihan teknologi, tapi soal menjaga kendali, agar teknologi tetap memberi manfaat bagi kemanusiaan,” tegasnya.

Ia pun mengaitkan situasi ini dengan syarat-syarat klasik dalam menuntut ilmu sebagaimana tertuang dalam syair ulama terdahulu: kecerdasan (dzakā’), semangat (ḥirṣ), ketekunan (ijtihād), bimbingan guru (irsyād al-ustādz), dan waktu yang panjang (ṭūl al-zamān). Menurutnya, prinsip-prinsip ini tidak hanya tetap relevan, tetapi juga semakin kompleks dalam era digital.

“Kecerdasan hari ini bukan lagi sekadar menghafal, melainkan kemampuan menyeleksi, mengkritisi, dan menguji validitas informasi. Guru tetap penting sebagai kurator pengetahuan, karena AI hanya memberi jawaban, bukan berdialog. Sedangkan pembentukan karakter, kebijaksanaan, dan moralitas tetap butuh proses panjang,” ujarnya.

Dr. Faiz mengajak mahasiswa untuk menyikapi AI secara cermat—memposisikannya sebagai asisten, bukan pengganti. “AI boleh dipakai untuk brainstorming dan referensi awal, tapi mahasiswa tetap harus melakukan verifikasi, kritik, dan melengkapinya dengan sumber asli,” tambahnya.

Ia juga menggarisbawahi pentingnya kejujuran akademik, serta peran etika dan spiritualitas di tengah arus digital. “Gunakan AI untuk efisiensi agar kalian punya ruang lebih untuk diskusi, ibadah, berorganisasi, dan mengasah empati sosial,” pungkasnya.


Sementara itu, Dr. Eng. Ir. Sunu Wibirama, pakar teknologi informasi sekaligus dosen Fakultas Teknik UGM, menyoroti bahwa setiap fase revolusi industri selalu ditandai oleh temuan kunci yang mengubah wajah peradaban. Jika sebelumnya tenaga uap, listrik, dan komputer menjadi pemicu utama, maka dalam era Revolusi Industri 4.0, data dan AI menjadi pusat perubahan global.

“AI adalah lompatan besar. Ia merevolusi hampir semua sektor kehidupan, dari industri, transportasi, hingga pendidikan. Namun, AI bukan makhluk hidup. Ia bergantung pada data dan algoritma yang dibuat manusia,” jelas Dr. Sunu.

 Ia menegaskan bahwa AI membawa potensi luar biasa, tetapi juga tantangan besar, khususnya terkait bias, etika, dan ketimpangan akses teknologi. “AI kerap tidak sensitif terhadap konteks lokal, apalagi jika data pelatihnya berasal dari luar. Maka pemanfaatannya harus disertai kebijaksanaan,” tuturnya.

Dalam konteks akademik, AI bisa membantu dalam penelusuran literatur, eksplorasi ide, dan pengumpulan data awal. Namun, ia mengingatkan bahwa proses penulisan ilmiah harus tetap dilakukan secara hati-hati dan bertanggung jawab.

“Originalitas dan integritas adalah prinsip utama dalam dunia akademik. Itu tidak bisa digantikan mesin,” tegasnya.

Kedua narasumber sepakat bahwa AI harus dimanfaatkan secara cerdas, kritis, dan etis. Alih-alih menggantikan peran manusia, AI seharusnya menjadi alat bantu yang mendukung proses pembelajaran, bukan menghilangkan esensi nilai-nilai luhur dalam pendidikan dan pencarian ilmu.

Melalui Studium Generale ini, FUPI menegaskan kembali perannya sebagai lembaga akademik yang tidak hanya menjaga tradisi keilmuan Islam, tetapi juga aktif menjawab tantangan zaman dengan pemikiran kritis dan transformasi digital yang bermartabat.(humassk)