IMG-20250715-WA0148.jpg

Selasa, 15 Juli 2025 13:18:00 WIB

0

Disertasi Toriq Ungkap Strategi Manajemen Pesantren dalam Meningkatkan Kemandirian Ekonomi dan Pendidikan

Dosen Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Muhammad Toriq Nurmadiansyah resmi meraih gelar doktor dalam bidang Ilmu Pendidikan Agama Islam dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Senin (14/7/2025), setelah mempertahankan disertasinya yang berjudul “Manajemen Pesantren dalam Penguatan Ekonomi dan Pendidikan: Studi pada Tiga Pesantren di Jawa Barat”. Sidang promosi doktor berlangsung di Aula Pertemuan Lantai 3 Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK), Sambilegi.

Disertasi Toriq mengangkat isu krusial mengenai kemandirian ekonomi pesantren melalui pendekatan manajerial yang berakar pada nilai-nilai spiritual, kekeluargaan, dan kepemimpinan partisipatoris. Penelitian ini difokuskan pada tiga pesantren bersejarah, Jawa Barat, yakni Pesantren Kebon Jambu al-Islamy, Pesantren KHAS Kempek, dan Pondok Pesantren Buntet yang dipimpin oleh para bunyai (pengasuh perempuan), dua di antaranya berdiri sebelum Indonesia merdeka.


Sidang dipimpin oleh Dekan FITK Prof. Dr. Sigit Purnama, M.Pd., dengan Ketua Prodi PAI S3 Prof. Dr. Sukiman, M.Pd. sebagai sekretaris. Adapun tim penguji terdiri dari para guru besar UIN Sunan Kalijaga  yakni Prof. Dr. Hj. Marhumah, M.Pd., Prof. Dr. Imam Machali, S.Pd.I., M.Pd., Prof. Dr. Pajar Hatma Indra Jaya, S.Sos., M.Si., Prof. Dr. Hj. Erni Munastiwi, MM., serta Dr. Muhammad Jafar Shodiq, S.Pd.I., M.S.I. Sementara 1 penguji lainnya adalah Guru Besar UIN Walisongo Semarang Prof. Dr. Nizar Ali, M.Ag. 

Penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif ini menyoroti bagaimana relasi patron-klien antara kiai (bunyai) dan santri tidak hanya bersifat spiritual, tetapi juga berfungsi sebagai landasan penguatan ekonomi pesantren. Dengan teori patron-klien dan resiprositas sebagai pisau analisis, Toriq menemukan bahwa loyalitas santri kepada kiai telah menjadi aset sosial yang menopang suksesnya unit-unit usaha pesantren.

“Santri tidak hanya menjadi murid dalam konteks keagamaan, tetapi juga pelaku dalam ekosistem ekonomi yang dikelola dengan prinsip spiritual dan kolektifitas,” ujar Toriq saat memaparkan temuannya.


Manajemen ekonomi di ketiga pesantren tersebut menunjukkan perpaduan antara nilai keikhlasan, kebersamaan, dan gotong royong, yang membentuk sistem ekonomi komunitas berbasis spiritualitas. Pesantren juga terbukti mampu mengadopsi teknologi digital dalam pengelolaan usaha, pemasaran, dan sistem keuangan, menunjukkan kapasitas adaptif yang tinggi terhadap dinamika ekonomi kontemporer.

Dalam disertasinya, Toriq menegaskan bahwa pesantren harus mampu mandiri secara ekonomi tanpa ketergantungan pihak luar. “Santri tidak boleh lapar, pesantren tidak cukup hanya berdoa. Harus memiliki kekuatan sumber daya ekonomi yang luar biasa,” katanya.

Pendidikan kewirausahaan di pesantren bukan sekadar pelatihan teknis, tetapi terintegrasi dalam pembentukan karakter, loyalitas, dan semangat kolektif. Relasi patron-klien yang kuat bertransformasi menjadi kemitraan produktif antara pengasuh dan santri dalam berbagai bidang usaha.

Dikatakan Toriq, Kemandirian ekonomi pesantren terbukti tidak hanya menopang keberlangsungan lembaga secara finansial, tetapi juga berperan langsung dalam memperkuat kualitas pendidikan yang diberikan kepada santri. Unit-unit usaha yang dikelola oleh pesantren memberikan ruang praktik kewirausahaan, pelatihan keterampilan, dan pembelajaran berbasis pengalaman nyata, sehingga pendidikan di pesantren tidak berhenti pada aspek teoritis keagamaan, tetapi juga mencakup pembentukan karakter produktif dan mandiri. Dengan demikian, ekonomi dan pendidikan berjalan beriringan: ekonomi mendukung sarana-prasarana dan keberlangsungan operasional pendidikan, sementara pendidikan mencetak sumber daya manusia yang mampu mengelola dan mengembangkan potensi ekonomi pesantren secara berkelanjutan.

Menariknya, Toriq secara khusus memilih pesantren yang dipimpin oleh perempuan sebagai subjek penelitiannya. Hal ini dianggap relevan dengan semangat pembaruan dalam manajemen pesantren. Promotornya, Prof. Dr. Hj. Marhumah, M.Pd., dalam sambutannya menyebut pemilihan pesantren dengan pengasuh perempuan (Bunyai) sebagai langkah visioner.

“Dari Cirebon, gagasan Kongres Ulama Perempuan Indonesia lahir. Dan pesantren-pesantren yang dikaji oleh Promovendus berada di garda depan dalam pembaruan pemikiran Islam berbasis gender dan spiritualitas,” ujar Prof. Marhumah. Gelar doktor ini bukan akhir dari perjuangan, tapi awal dari kontribusi yang lebih besar untuk dunia akademik dan masyarakat. “Pesantren harus menjadi lembaga yang tidak hanya mandiri secara ekonomi, tetapi juga memberi manfaat bagi lingkungan sekitar,” pungkasnya.


Dengan gelar doktor yang diraihnya, Muhammad Toriq Nurmadiansyah menjadi doktor ke-28 yang diluluskan Program Studi Pendidikan Agama Islam pada Program Doktor FITK UIN Sunan Kalijaga. Disertasi ini diharapkan tidak hanya memberikan kontribusi teoritis, tetapi juga menjadi inspirasi praktis bagi pesantren di seluruh Indonesia untuk memperkuat basis ekonomi untuk pendidikan yang berkemajuan.(humassk)