Yogyakarta, Senin (8/9/2025) — Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta menggelar sosialisasi pembelajaran program magister dan doktoral di Gedung Pascasarjana.
Direktur Pascasarjana, Prof. Moch.
Nur Ichwan, dalam sambutannya menegaskan bahwa program magister dan doktoral di
UIN Sunan Kalijaga tidak hanya menekankan penguasaan teori, tetapi juga
mendorong mahasiswa untuk menghasilkan riset yang bermanfaat bagi masyarakat.
“Kampus ini berkomitmen melahirkan ilmuwan yang tidak hanya unggul secara
akademik, tetapi juga mampu merespons tantangan global,” ungkapnya.
Sementara itu, Rektor UIN Sunan
Kalijaga, Prof. Dr. Noorhaidi Hasan, menegaskan bahwa Program Pascasarjana
tidak boleh kehilangan peran strategisnya sebagai motor penggerak ilmu
pengetahuan di lingkungan PTKIN. “Jangan sampai kejayaan Pasca berakhir — itu
dosa sejarah,” tegasnya.
Transformasi
Sistem: Mahasiswa Jadi Asisten Peneliti
Dalam pidatonya, Prof. Noorhaidi
mengingatkan bahwa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, yang berdiri sejak 1983
sebagai institusi tertua di PTKIN, harus kembali menjadi lokomotif, bukan
sekadar gerbong. Ia menolak pola pendidikan “sambilan” dan menekankan bahwa
studi doktoral harus dijalani secara penuh waktu. “Kalau perlu tidur hanya dua
sampai tiga jam sehari. Energi akademik kita harus seperti santri yang menaruh
kitab di kepala agar tidak mengantuk,” ujarnya.
Mulai tahun akademik 2025/2026,
mahasiswa program doktor diwajibkan masuk dalam kluster riset tematik yang
dipimpin profesor sebagai principal investigator. Model ini mengadopsi sistem
PhD di Belanda dan universitas top Eropa.
“Mereka bukan lagi mahasiswa,
melainkan asisten peneliti. Seleksi masuk ditentukan dari kesesuaian proposal
dengan proyek profesor,” jelas Noorhaidi. Enam kluster riset prioritas sudah
disiapkan, yaitu Digital Islam, Green Islam, Manajemen Keragaman Keagamaan,
Kurikulum Cinta dan Pendidikan Inklusif, Halal Studies, serta Kajian Teks
Klasik.
Fokus
Akademik, Hapus Vokasional
Rektor menegaskan, mulai 2025
program magister dan doktor Pascasarjana tidak lagi mengandung unsur
vokasional. “Di fakultas boleh separuh vokasional. Tapi di Pasca? Tidak. Ini
murni akademik — melatih cendekiawan untuk bersaing dalam peta perdebatan
teoritis global,” tegasnya.
Ia juga membuka peluang kerja sama
dengan penerbit nasional untuk menerbitkan tesis dan disertasi terbaik, agar
hasil riset tidak berhenti di ruang kelas, melainkan ikut membentuk percakapan
akademik nasional.
Alarm
Bahasa Asing dan Kritik Sistemik
Rektor menyuarakan keprihatinan
keras atas lemahnya kemampuan bahasa asing mahasiswa, yang ia sebut sebagai
akibat dari kegagalan sistem pendidikan sejak dini. Ia menilai, kondisi ini
bukan sekadar persoalan teknis, melainkan alarm serius bagi daya saing akademik
Indonesia di kancah global. “Bagaimana mungkin generasi Z tak mampu berbahasa
Inggris dengan baik? Padahal tanpa itu, kita akan tersisih dari percaturan ilmu
pengetahuan internasional,” tekan Noorhaidi.
Menurutnya, standar tinggi tetap
bisa dicapai bila ada kesungguhan, dan hal itu harus ditanamkan sejak awal agar
mahasiswa Pascasarjana siap bersaing di forum akademik dunia.
Dimensi
Makro dan Ancaman Sosial
Pidato juga menyinggung tantangan
ekonomi dan sosial global. Noorhaidi mengutip riset yang menyebut stabilitas
negara baru tercapai jika pendapatan per kapita mencapai 6.000 dolar AS,
sementara Indonesia masih di bawah 5.000 dolar AS. “Semakin maju teknologi,
semakin rentan keretakan sosial. Dalam situasi ini, agama harus hadir sebagai
solusi, bukan sumber konflik,” tandasnya.
Di akhir pidatonya, Noorhaidi menegaskan bahwa Pascasarjana UIN Sunan
Kalijaga memiliki warisan intelektual besar, yang selama ini telah melahirkan
banyak pimpinan PTKIN di Indonesia. “Empowering Knowledge, Shaping the Future.
Kita tidak boleh jadi penonton, apalagi pecundang dari perubahan global,” tegasnya.
Ia berharap Pascasarjana melahirkan ilmuwan
sejati yang pulang ke lembaganya sebagai agen perubahan, bukan sekadar membawa
gelar akademik. (humassk)