Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh
Yang kami hormati:
Ketua, Sekretaris dan anggota Senat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Rektor beserta para Wakil Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Para Dekan beserta para Wakil Dekan dan Direktur dan Wakil Direktur Pascasarjana.
Para tamu undangan, kolega dari berbagai perguruan tinggi serta keluarga dan sahabat-sahabat saya yang hadir dalam forum yang mulia ini.
Puji syukur mari kita panjatkan kehadirat Allah swt, Allahumma shalli ’ala Muhammad wa ’ala ali Muhammad. Izinkan saya menyampaikan pidato pengukuhan Guru Besar Bidang Ilmu Religi dan Budaya yang berjudul Resonansi Agama dan Budaya di Balik Pendulum Akal Imitasi dan Disrupsi Digital.
Hadirin yang kami muliakan
Disrupsi digital telah melampaui batas-batas tradisi, mengguncang tatanan agama dan budaya dengan cara yang mungkin belum kita bayangkan sebelumnya. Bagaikan ombak yang menerjang pantai, ia tidak hanya mengubah permukaan, tetapi juga meresap jauh ke dalam inti nilai-nilai yang telah lama mengakar dalam kehidupan ini. Ketegangan antara akal imitasi dan disrupsi digital bagaikan pendulum yang bergerak terus-menerus, membawa kita dalam pusaran yang dapat menggantikan cara-cara lama dan mendesak kita untuk merenung tentang esensi dan makna yang kini mulai terpecah, bahkan terdistraksi, dalam dunia yang terhubung tanpa batas ini.
Dalam bayang-bayang globalisasi digital, budaya lokal dan ajaran agama yang dahulu kukuh rawan rapuh, seperti dinding yang terkikis waktu. Nilai-nilai yang dulu diwariskan dengan hati dan jiwa kini hanyut dalam derasnya arus informasi yang mengaburkan garis demarkasi antara yang hakiki dan temporal. Dunia maya, alih-alih menawarkan kebebasan tanpa kendali, justru mengendalikan diri kita dalam perangkap keseragaman dan memisahkan kita dari akar budaya sejati. Gaya hidup baru yang serba cepat dan mudah mengakses segala hal, tanpa sadar, telah mengalihkan perhatian kita dari esensi yang lebih mendalam, dari kebijaksanaan yang ada dalam setiap tradisi yang pernah kita pegang teguh.
Penyebaran informasi yang tak terhingga melalui media digital kini membentuk semacam ekosistem yang membatasi, menciptakan ruang di mana kebenaran sering kali terdistorsi. Di balik layar, misinformasi tumbuh subur, merusak pemahaman kita tentang agama dan budaya, menciptakan ketegangan yang semakin tajam antar kelompok, bahkan memicu polarisasi yang membahayakan harmoni sosial. Dalam dunia yang terfragmentasi ini, manusia terombang-ambing antara kehilangan identitas dan pencarian akan kepastian, terjebak dalam dilema antara mempertahankan yang lama atau berlari mengejar yang baru. Teknologi, meski membuka jendela baru pengetahuan, sering kali juga mengekang kesadaran kritis kita untuk mengorbankan bagian dari diri kita agar merenungkan ketergantungan ini, di balik upaya merawat jati diri.
Di tengah pergeseran ini, agama dan budaya tak bisa lagi berdiri sendiri dalam menghadapi perkembangan teknologi yang semakin pesat, terutama dengan munculnya akal imitasi (AI). Dalam dunia yang semakin terhubung dan digital, keduanya harus beradaptasi dengan perubahan yang terjadi. Seiring dengan kemajuan AI, kita dihadapkan pada dilema etis yang mendalam tentang potensi AI yang dapat menggeser nilai-nilai agama dan budaya. AI juga membuka peluang besar, seperti dalam penciptaan ruang baru untuk dialog antaragama atau memperkaya pemahaman terhadap teks-teks suci melalui analisis data besar yang tak dapat dilakukan oleh manusia secara konvensional.
Ancaman terbesar dalam menggabungkan teknologi dengan agama dan budaya adalah hilangnya kedalaman makna dalam pengalaman spiritual. Ketika algoritma dan mesin mulai menentukan ”kebenaran” dalam konteks agama dan budaya, risiko kehilangan dimensi personal dan transendental dalam beribadah dan berbudaya tak terelakkan. Dekonsentrasi posisi ulama dalam menghadapi perkembangan teknologi memperburuk situasi ini, karena otoritas agama yang selama ini dipegang oleh agamawan mulai tergerus. Dalam dunia yang didominasi oleh akal imitasi, umat beriman mungkin akan kehilangan kemampuan untuk merasakan kehadiran yang transendental, dan spiritualitas pun hanya menjadi data yang diprogram dan diprediksi oleh mesin. Kenyataan ini mendorong manusia untuk meredifinisi makna genuine dari praktik religi dan budaya di dunia yang terotomatisasi.
Di balik ancaman itu, tersirat harapan yang terbit dari pemanfaatan teknologi dengan bijaksana. Teknologi dapat memperkaya praktik keagamaan dan budaya, membuka peluang untuk kolaborasi global yang lebih luas. AI dapat digunakan untuk mengakses dan menganalisis teks-teks agama dari berbagai tradisi secara lebih mendalam, menciptakan pemahaman lintas agama yang lebih inklusif. Teknologi juga memungkinkan kita untuk menghidupkan kembali tradisi budaya yang mungkin terancam punah akibat globalisasi dan modernisasi. Kontestasi pengetahuan yang muncul dengan dominasi platform digital membuat kita harus berhati-hati dalam mempertahankan otoritas ulama. Kooptasi ulama oleh teknologi, yang bisa merubah mereka menjadi agen dari sistem yang lebih besar, memperlihatkan betapa kompleksnya dinamika ini dalam menjaga kemurnian ajaran agama dan budaya.
Kendati disrupsi digital menantang kita untuk menjaga esensi spiritual dan budaya, kita juga dihadapkan pada peluang untuk memperkaya pengalaman religius dan budaya melalui kolaborasi dengan teknologi. Masa depan harus disambut dengan terbuka, dengan memanfaatkan teknologi untuk memperdalam pemahaman tentang diri sendiri, Tuhan, dan budaya, tanpa abai esensi keberagaman yang mengkonstruk kemanusiaan. Tantangan yang ada harus dihadapi dan dimanfaatkan dengan baik dan benar, agar tercipta equilibrium antara kemajuan teknologi dan kedalaman spiritual dalam praktik beragama dan berbudaya.
Sidang Senat dan hadirin yang kami muliakan
Akal Imitasi (AI) telah mengubah cara pandang dan kebutuhan umat Islam terhadap eksistensi dan peran agamawan (ulama). Pada saat yang sama, eksistensi dan peran agamawan telah diakui sebagai poros penting bagi umat Islam untuk menyandarkan kebutuhan dan persoalan keagamaan mereka terhadapnya. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif, dengan menggunakan observasi dan tinjauan terhadap kebijakan formal dan informal yang tersedia secara online. Penelitian ini secara obyektif menggambarkan bagaimana peran ulama telah bertransformasi dalam menanggapi kompleksitas problematika umat melalui AI. Akal imitasi (AI) telah menyebabkan independensi dan kebebasan individu sehingga teror budaya digital tak lagi terhindarkan. AI telah menggeser posisi pengguna (umat) dari Masyarakat penganut agama yang pasif menjadi aktif dalam melakukan interaksi dengan AI untuk memecahkan beragam persoalan keagamaan yang membutuhkan jawaban cepat dan mendesak. Penelitian ini juga menemukan bahwa budaya digital yang telah meliputi baik pengikut (umat) maupun agamawan dalam berdialog dengan kenyataan telah mendepersonalisasi individu dalam cara berpikir yang Merdeka dan bebas. Umat Islam dan agamawan tak dapat menampik teror budaya digital (ancaman AI) yang telah hadir dalam kehidupan mereka dan harus mampu bersikap terbuka dan kritis dalam berinteraksi dengan AI.
Peran agamawan yang sebelumnya begitu dominan dan memonopoli ruang keberagamaan telah digeser oleh budaya digital yang masif. Kehendak individu untuk menyandarkan semua persoalan keagamaan kepada otoritas agama mulai bergeser kepada teknologi digital. Hari ini, setiap individu adalah makhluk digital dan setiap tindakannya merepresentasikan budaya digital (Kim, 2001). Individu punya kebebasan untuk melengkapi kebutuhan kognitif dan persoalan keberagamaannya dengan Akal imitasi kapan pun dan di mana pun (Hussain et al., 2020; Othman & Omar, 2019). Akibatnya, terjadi depersonalisasi dan deinteraksi antara penganut agama dengan agamawan. Akal imitasi dengan segala bentuknya seperti ChatGPT dapat melayani langsung setiap persoalan yang diajukan oleh para penganut agama dengan menggunakan gadget atau device yang mereka miliki (Corrêa & Fernandes de Oliveira, 2021; Saveliev & Zhurenkov, 2021; Schüller, 2022). Dalam data Statistik Pengguna ChatGPT menunjukkan bahwa saat ini ChatGPT memiliki lebih dari 100 juta pengguna, hanya dalam waktu 5 hari. ChatGPT telah melampaui 1 juta pengguna dan mendapat sekitar 1 miliar kunjungan per bulan (Duarte, 2023). Munculnya berbagai aplikasi Akal imitasi perlahan tapi pasti dapat mengubah peta sentral agamawan dalam menjawab setiap persoalan keagamaan.
Sejauh ini studi tentang ancaman Akal imitasi terhadap eksistensi dan peran agamawan cenderung mengabaikan perspektif individu sebagai makhluk digital yang mempunyai kebebasan dan budaya digital. Kajian tentang ancaman AI terhadap agamawan seringkali dilihat dalam kerangka media an sich (Guembe et al., 2022; Jussupow et al., 2022; Mirsky et al., 2023). Padahal teror budaya digital telah terjadi di tengah-tengah kehidupan keberagamaan masyarakat tanpa dapat dihindari oleh agamawan (Liang, 2020; Wu, 2021). Tiga kecenderungan dapat ditemukan dari literatur yang melihat ancaman Akal imitasi: Pertama, sebagai horor dan zombie digital yang menghantui agamawan sebagai keniscayaan atas kebutuhan individual untuk memperoleh penjelasan AI dengan cepat (Aldana Reyes & Blake, 2015; Macfarlane, 2018). Kedua, kesejahteraan digital oleh sebagaian peneliti dilihat dalam kerangka realitas media (Dennis, 2021; Gui et al., 2017). Ketiga, ancaman digital dilihat sebagai panik moral dalam media baru untuk menegasikan peran agamawan yang dianggap lambat dalam merespons persoalan umat dan kerapkali bertentangan dengan pilihan nilai yang dianut (Elliott et al., 2019; Galinec & Luić, 2020). Dari tiga kecenderungan tersebut tampak kajian mengenai ancaman Akal imitasi terhadap eksistensi dan peran agamawan belum mendapatkan cukup perhatian dalam kajian yang ada, padahal independensi dan kebebasan individu sangat dibutuhkan untuk pemahaman seksama atas AI yang terus berkembang.
Tujuan tulisan ini melengkapi kekurangan dari studi terdahulu yang mengabaikan ledakan budaya digital dalam perkembangan AI yang berimbas pada eksistensi dan peran agamawan. Studi yang ada cenderung melihat dalam konteks yang lebih umum, belum merespons fakta desentralisasi dan depersonalisasi yang dialami oleh agamawan. Sejalan dengan itu tiga pertanyaan dijawab dalam penelitian ini: (1) bagaimana ancaman AI terhadap eksistensi dan peran agamawan; (2) faktor apa yang menyebabkan terjadinya ancaman AI; dan (3) bagaimana ancaman AI membawa akibat pada hubungan antara umat dengan agamawan. Jawaban atas tiga pertanyaan tersebut tidak hanya memberikan pemahaman mendalam atas terror budaya digital yang dialami oleh umat dan agamawan tetapi juga memungkinkan dirumuskannya suatu perspektif yang lebih terbuka dan akomodatif terhadap perkembangan AI yang semakin pesat.
Tulisan ini didasarkan pada suatu argumen bahwa ancaman AI terjadi atas kebebasan dan independensi umat yang kerap berbeda dengan aktualisasi dan respons dari agamawan. Pengguna AI memandang bahwa agamawan seringkali terlambat dalam memberikan solusi atas persoalan keagamaan yang muncul. Sedangkan agamawan merasa diri paling otoritatif dalam memberikan fatwa. Faktor ledakan informasi dan tantangan modernitas atas sikap dan keputusan keagamaan yang mendesak untuk memperoleh jawaban cepat dan memuaskan bagi umat Islam. Penggunaan AI dengan segala bentuknya dalam ikut menjawab problem keumatan menjadi dasar penting bagi kemajuan dan kemerdekaan berpikir penggunanya (umat). Dengan demikian, terjadinya pergeseran otoritas dan delegitimasi agamawan dengan kehadiran AI tidak dapat dilepaskan dari perbedaan perspektif antara umat dengan agamawan.
Budaya digital merupakan sebuah budaya yang tercipta dari ide, kreativitas, serta karya seni yang didasarkan pada teknologi dan internet (Kaun, 2021). Digitalisasi secara meluas telah berpengaruh pada berbagai aspek kehidupan masyarakat (Kirillova, 2023). Transisi digital memberikan perubahan dalam lanskap industri global yang ditandai dengan kemunculan teknologi inovasi dan mempengaruhi proses organisasi. Proliferasi teknologi telah mendorong pada perubahan pada pekerjaan, belajar, sosialisasi, kencan, interaksi keluarga, dan kegiatan ibadah yang berusaha mengadopsi teknologi baru (Ha, 2022). Hal ini memicu kemunculan konsep dan wacana pembuatan lingkungan digital yang disimulasikan dapat bertahan sebagai dunia virtual yang memberikan impak imersifitasnya kepada pengguna yang melahirkan sebuah ruang virtual, di mana ruang ini telah mengubah konsep ruang dan waktu yang berujung implikasinya pada komunikasi (Zhang, 2023). Hal ini sejalan dengan keuntungan fungsionalitas seperti efisiensi dan efektivitas yang ditawarkan teknologi digital kepada masyarakat (Alshirah 2021). Dengan demikian secara tidak langsung budaya digital merupakan implikasi dari adanya kapitalisasi dari penggabungan teknologi dan bisnis ke dalam sistem terdesentralisasi yang menyebabkan pergeseran infrastruktur dalam sikap masyarakat(Kraus et al., 2022).
Budaya digital dalam konteks sosial ditandai dengan berubahnya cara komunikasi dalam masyarakat, di mana komunikasi yang semula langsung menjadi termediakan oleh teknologi(Unay-Gailhard & Brennen, 2022). Dalam masyarakat yang termediatisasi oleh teknologi ini mengarah pada mentalitas faktor manusia baru yang memaksa untuk mereformasi skill dan kemampuan yang dimiliki oleh manusia. Coman et al (2022) dalam studinya menunjukkan bahwa teknologi mampu menghilangkan tugas dan mengoptimalisasi pekerjaan manusia. Sejalan dengan hal tersebut, Domil et al., (2022); Awang et al., (2022) mengklaim bahwa ketergantungan terhadap teknologi menandakan adanya ancaman. Kondisi ini memaksa manusia untuk terus menggunakan teknologi (Harari, 2017) dan memutus hubungan penggunaan teknologi dinilai dapat meruntuhkan tidak hanya sistem ekonomi, namun juga sistem sosial dalam masyarakat. Dengan demikian integrasi teknologi ke dalam kehidupan manusia memungkinkan terbentuknya tekno-sapiens (Delio, 2008). Hubungan ini memperlihatkan bahwa manusia dan teknologi sampai kepada titik ketergantungan massal, di mana penggunaan teknologi dalam kehidupan tidak dapat dihentikan (Harari, 2017). Dengan demikian budaya digital secara tidak langsung tidak hanya menggeser pada tataran infrastruktur, namun juga pada aspek pengalaman yang diciptakan dan tataran sosial kultural (Huynh-The et al., 2023).
Akal imitasi mengacu pada penggunaan algoritme yang memungkinkan mesin untuk melakukan tugas yang biasanya membutuhkan kecerdasan manusia (Theodosiou & Read, 2023). Tahun 1955 McCarthy menjelaskan AI sebagai ilmu dan teknik pembuatan mesin cerdas, di mana mesin-mesin ini dinilai dapat membantu pekerjaan manusia (36). Dalam evolusinya sistem akal imitasi dimulai dengan Artificial Narrow Intelligence yang melakukan tugas tertentu seperti pendeteksi wajah, Artificial General Intelligence yang memiliki kemampuan hampir sama dengan manusia, dan Artificial Super Intelligence dengan kemampuan menganalisis dan memproses di luar kemampuan manusia (Saghiri et al., 2022). Seiring dengan perekembangan teknologi, akal imitasi mengacu pada upaya ilmiah dan teknologi untuk melakukan fungsi yang terkait dengan usaha manusia (Helm et al., 2020). Akal imitasi dinilai memiliki tanggung jawab yang sama dengan manusia ketika melakukan dan menegosiasikan keputusan baik secara individu atau saat menjadi asisten manusia (Zhang, 2023). Dengan demikian akal imitasi dinilai sebagai katalis yang berpotensi untuk revolusi industri 4.0. (Maxmen, 1987;Fayed et al., 2023).
Munculnya Revolusi Industri 4.0 telah membawa pada arah digitalisasi dan perkembangan Artificial Intelligent (AI) yang ditandai dengan polarisasi, populisme, proteksionisme, post-thruth, dan interaksi ambigu yang menjerumus pada sekularisasi dan visibilitas agama baru (Jackelén, 2021). Perkembangan tersebut berdampak pada semua aspek termasuk dalam agama. Hal ini dapat dilihat dari AI berupa robot bot yang mampu menjawab pertanyaan mengenai Tuhan dan Agama. Beberapa robot di antaranya adalah robot Kannon Mindar di Jepang yang menyampaikan upacara penyembahan dan kerohanian agama Buddha (Kopf, 2020). Robot bot dalam bidang agama menjadi pemicu ambiguitas dan desakralisasi agama. Pada saat yang sama, pembicaraan mengenai agama dan ketuhanan dalam konsep Islam merupakan bagian dari akidah, di mana hal ini sangat krusial yang perlu dibicarakan oleh para ulama (Ardae, 2020). Dengan demikian AI akan berpotensi menimbulkan dampak negatif dalam aspek keagamaan, yaitu AI memiliki potensi menghidupkan kembali agama kontemporer dan gerakan agama baru serta kesalahpahaman secara teologis (Singler, 2017).
Agamawan merupakan seseorang yang dinilai memiliki keahlian dalam bidang khusus pada agama yang dianutnya. Dalam hal ini agamawan merujuk pada seseorang yang memiliki previlage dan kehormatan seperti tokoh agama dan pemuka agama yang mampu memberikan pengaruh besar terhadap kelompoknya (Zahrah & Damayanti, 2023). Konsepsi tentang agamawan menjadikan seseorang yang dikontruksikan identitasnya sebagai tokoh agama dipercaya sebagai pendakwah, penasehat, petunjuk dan pendidik (Olojo, 2017; Ichwan, 2011). Identitas ini menunjukkan posisi seseorang dalam struktur sosial dengan mengacu pada kategori status mereka, di mana artinya individu cenderung bertindak sesuai dengan identitas yang lebih menonjol. Sejalan dengan hal itu, tokoh agama dalam struktur masyarakat memiliki kedudukan sentral untuk memberikan legitimasi untuk mengatur, mempengaruhi, dan mengambil tindakan untuk kelompok agamanya. Agamawan memandang agama tidak sekedar sebagai pegangan yang dianut namun juga menjadi pedoman dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu, agamawan sebagai tokoh agama yang paham akan nilai-nilai agama yang dianutnya juga berkontribusi dalam menyelesaikan persoalan-persoalan sosial masyarakat (Sirait, 2020).
Dalam konteks Islam, agamawan merujuk pada tokoh seperti ulama. Mutrofin & Madid (2021) menunjukkan bahwa ulama pada zaman al-Ghazali juga dapat disebut sebagai status sosial dalam masyarakat yang diperoleh karena memiliki previlage berupa sanad dan pengetahuan akan agama dan dianggap pantas dalam masyarakat. Hal inilah yang kemudian menjadikan ulama memiliki peran yang sentral dalam masyarakat. Dalam hal ini ulama diposisikan dan dianggap mampu dalam masyarakat sebagai opinion leader (Sugiana et al., 2019). Opinion leader ini sendiri muncul sebagai peran ulama dalam konteks masyarakat desa, di mana ulama dinilai dapat memberikan informasi yang sesuai dengan akidah Islam. Dalam konteks Indonesia, studi Horikoshi-Roe (1979) yang dilakukan di Jawa Barat mengungkapkan bahwa peran ulama pada era orde baru menjadi perhatian dan tumpuan adalah peran mereka yang secara tradisional menjadi penanggung jawab dalam mempertahankan keyakinan warga. Peran ulama sendiri terbagi menjadi dua. Pertama, peran normatif, yaitu seorang ulama memiliki peran yang telah ditentukan sebelum menduduki posisi dalam masyarakat. Kedua, peran ideal, yaitu peran yang diharapkan sebagai seorang yang memiliki otoritas tinggi dalam masyarakat (Sugiana et al., 2019). Dalam hal ini dapat dilihat dari peran ulama dalam mencegah timbulnya gerakan radikal dalam masyarakat, memutuskan perkara(Wazis, 2019). Hal ini sejalan dengan studi bahwa tokoh agama dalam masyarakat dijadikan sebagai teladan baik secara perilaku, sifat, dan tindakan.
Penelitian kualitatif ini, secara khusus, ditulis dengan topik ancaman Akal imitasi terhadap eksistensi dan peran agamawan yakni ulama Islam. Akal imitasi dipilih berdasarkan kemajuan teknologi yang semakin massif, khususnya dalam kehidupan sosial keagamaan. Dalam hal ini, AI yang dimaksud adalah Robot Fatwa dan berbagai jenis aplikasi AI yang tersedia di internet maupun play store. Berbagai macam aplikasi AI yang digunakan pada penelitian ini menjadi data untuk menunjukkan ancaman terhadap eksistensi dan peran agamawan. Muncul puluhan hingga ratusan jumlah aplikasi AI yang dapat memenuhi kebutuhan hidup para pengguna internet hari ini, seperti: 1). Synthesis untuk membuat video dari teks; 2) Midjourney untuk membuat karya seni dari kata-kata; 3). Dreamstudio untuk mengubah teks menjadi gambar; 4). Boomy bisa menciptakan lagu, 5). Crypko yang mampu membuat karakter atau ilustrasi; 6). Supreme.ai yang bisa membuat meme; dsb.
Data primer dalam artikel ini bersumber pada lima aplikasi AI yang secara terbuka dapat berinteraksi dengan melakukan dialog dan tanya jawab tentang berbagai persoalan keagamaan dan kehidupan terdapat berbagai jenis aplikasi AI yang mampu menjawab rasa penasaran dan kebingungan umat beragama tentang segala hal, seperti: 1). ChatGPT; 2). Microsoft Bing; 3). Google Bard; 4). Perplexity; dan 5) Tome. Sedangkan data sekundernya adalah beberapa artikel atau buku yang diterbitkan tentang AI dan budaya digital. Data sekunder dipilih berdasarkan intensifnya penggunaan platform media online dalam mempublikasikan AI. Perkembangan AI banyak disebarkan di internet dengan berbagai website, youtube, gambar dan meme yang ada. Sebaran berita ini beserta penjelasannya di berbagai portal berita atau aplikasi media sosial lainnya menjadi salah satu sumber informasi utama dalam menggali budaya digital yang kompleks.
Beberapa poster gambar dan meme yang ada dipilih dan dikategorikan berdasarkan isi dan pernyataan singkatnya tentang ancaman AI. Setelah dikategorikan, data-data poster dan meme tersebut dstrukturkan dalam satu tabel untuk memudahkan dalam pembacaannya. Data yang telah diklasifikasikan berdasarkan kategori dan tabel kemudian dianalisis secara interpretatif dengan mengacu pada konsep budaya digital sebagai dasar kerangka analisis.
Terlepas dari kemudahan yang ditawarkan oleh AI pada saat yang sama keberadaan AI mengancam otoritas dan keberadaan tokoh agama. Ancaman tersebut dapat dilihat pada tiga hal:
Dekonsentrasi Posisi Ulama
Dekonsentrasi di sini merujuk pada AI yang diketahui dapat membantu, mempercepat proses, melancarkan usaha syiar agama, berguna bagi umat beragama namun status ulama sebagai sumber pengetahuan justru kehilangan pengakuan publik muslim. Status ulama sebagai sumber pengetahuan kehilangan pengakuan oleh kehadiran AI. Faktanya tempat ulama digantikan oleh AI menjadi tak terelakkan. Table 2 berikut menunjukkan bentuk dekonsentrasi posisi ulama.
Tabel 1
Konten Berita |
Coding
|
Sumber |
AI membantu jamaah haji dan Umroh |
Independensi |
Robot AI akan Bantu Jemaah Haji dan Umrah di Masjidil Haram
https://www.inews.id/news/internasional/robot-ai-akan-bantu-jemaah-haji-dan-umrah-di-masjidil-haram |
AI mempercepat sertifikasi halal |
Akselerasi |
Artificial Intelligence (AI) untuk Sertifikasi Halalhttps://brain.ipb.ac.id/2023/03/20/artificial-intelligence-ai-untuk-sertifikasi-halal/ |
AI bagi Arab Saudi telah dimanfaatkan untuk program transformasi ekonomi besar-besaran Kerajaan termasuk proyek-proyek infrastruktur futuristik yang ambisius |
Transformasi |
New IDC Study Examines the Critical Role of AI in Saudi Arabia’s Digital Transformationhttps://www.eyeofriyadh.com/news/details/new-idc-study-examines-the-critical-role-of-ai-in-saudi-arabia-39-s-digital-transformation
|
AI penting bagi Muhammadiyah untuk syiar dakwah |
Enrichment |
Muhammadiyah harus Manfaatkan AI untuk Kuatkan Dakwah
|
AI bagi NU sangat berguna sekaligus menjadi ancaman |
Empowering |
Tantangan NU dan Pesantren di Tengah Perkembangan AI
https://www.nu.or.id/nasional/tantangan-nu-dan-pesantren-di-tengah-perkembangan-ai-lc9gH |
Sumber: Diolah dari berbagai pemberitaan media (authors)
Table dan gambar di atas menunjukkan pentingnya AI dalam kaitannya dengan kebutuhan untuk menjawab persoalan keagamaan. Data 1 memperlihatkan bahwa AI dalam bentuk Robot sangat membantu Jemaah Haji dan Umroh. Sebagai gambaran, Robot AI dilengkapi dengan layer sentuh 21 inci yang menawarkan serangkaian layanan yang disesuaikan untuk para pengunjung Masjidil haram. Teknologi AI tersedia dalam 11 bahasa termasuk Arab, Inggris, Prancis, Rusia dan Cina. Data 2 menunjukkan pentingnya sebuah cara untuk mempercepat proses pembuatan dan penerbitan sertifikat halal adalah dengan menerapkan AI dalam system informasi dan sertifikasi halal yang dimiliki. AI diharapkan akan menjadi mesin pintar yang bisa membantu atau menggantikan berbagai kegiatan yang selama ini masih dilakukan secara manual. Jumlah produk bersertifikat halal di Indonesia masih sangat rendah. Total tercatat hingga ahir tahun 2022 kurang dari 1,5 juta produk yang telah bersertifikat halal. Padahal, terdapat 64 juta UMKM dengan jutaan produk yang telah terdaftar dan perlu disertifikasi. Data 3 menunjukkan bahwa sebagai organisasi Islam tertua di Indonesia, Muhammadiyah dapat ikut berkontribusi dalam memberikan perhatian pada pemanfaatan serta pengembangan AI untuk keperluan dakwah. Data 4 menunjukkan bahwa AI sangat berguna bagi orang Islam, bisa juga jadi ancaman. Data tersebut merupakan bentuk dekonsentrasi posisi ulama.
Tabel 2. Robot AI dan Metaverse
|
|
Gambar 1. Instagram: AI robot deployed in holy mosques at Makkah and Madinah (#scenenowsaudi) |
Gambar 2. UAE appoints first-ever Minister for AI https://tribune.com.pk/story/1536528/uae-appoints-first-ever-minister-artificial-intelligence |
|
|
Gambar 3. Arab Saudi andalkan Teknologi AI dan Robot untuk Layani Jamaah Haji (Dok. Sindonews). |
Gambar 4. Sebuah robot membagikan Salinan al-Quran kepada peziarah yang melakukan ritual haji terakhir mereka sebelum meninggalkan Mekkah (Sumber: SPA via Arab News). |
|
|
Gambar 5. Ruang Kuliah Virtual di Kampus Siber Muhammadiyah (SIBERMU) |
Gambar 6. Metaverse Gedung Kampus SIBERMU |
Launching Kampus Siber Muhammadiyah (SIBERMU) https://www.youtube.com/watch?v=wT6ZsAsimak (47:23, 51:28) |
Dengan tersedianya teknologi AI bagi jemaah haji dan umroh menunjukkan bahwa kebutuhan yang selama ini tersentralisasi pada Ulama dan tokoh agama terkait segala persoalan selama di tanah suci bisa teratasi. Kedua, dengan menggunakan AI persoalan sertifikasi halal yang selama ini secara manual tak mampu menyelesaikan fatwa halal atas puluhan juta produk dari UMKM dapat lebih cepat teratasi. Ketiga, dengan AI, Muhammadiyah dapat terbantu dalam memecahkan berbagai problem keummatan untuk kepentingan dakwahnya. Keempat, dengan AI, NU meyakini sangat berguna tetapi juga bersikap kritis.
Kontestasi Pengetahuan
Kehadiran AI berdampak pada bergesernya monopoli pengetahuan ulama. Dalam konteks AI dan agamawan terjadi kontestasi pengetahuan, yakni bahwa agamawan tidak lagi dapat mendominasi pengetahuan agama. Selain itu, benturan perspektif beresiko melahirkan konflik dan perbedaan pemahaman. AI dapat membantu memberikan jalan keluar atas persoalan-persoalan keagamaan meskipun terbatas.
Tabel 3. Bentuk Kontestasi Pengetahuan
Konten Berita |
Coding |
Sumber |
AI beri saran saling menghormati dan toleransi |
Negosiasi
|
Saran ChatGPT tentang Toleransi di Saat Hari Raya Nyepi dan Malam Pertama Ramadhan Bersamaan
|
AI berbahaya sering salah dan membingungkan |
Oposisi |
ChatGPT Berbahaya untuk Pertanyaan dan Fatwa Islam
https://theislamicinformation.com/id/berita/chatgpt-berbahaya-untuk-pertanyaan-fatwa-islam/
|
AI tetap terbatas |
Kompromi |
AI tak bisa Gantikan Peran Ulama. Ini Penjelasan Dosen Informatika Umsida
https://umsida.ac.id/ai-tak-bisa-gantikan-peran-ulama-kata-dosen-umsida/
|
AI bisa melahirkan ancaman, ke depan bisa juga digunakan sebagai sistem untuk menanamkan nilai-nilai pemurtadan, radikalisasi, dan terorisme.
|
Negosiasi |
Kiai Wahfiudin: Umat Islam Harus Antisipasi Akal imitasi. ChatGPT berisiko menyesatkan umat
https://mui.or.id/berita/29783/kiai-wahfiudin-umat-islam-harus-antisipasi-kecerdasan-buatan/ |
Tabel di atas menunjukkan ada 5 poin penting berkaitan tentang kontestasi pengetahuan antara ulama dan AI. Pertama, data 1 menjelaskan bahwa karena hari Raya Nyepi bersamaan dengan malam pertama Ramadan, maka ChatGPT memberi saran agar kedua agama saling bertoleransi dan saling menghargai. Kedua, data 2 menegaskan bahwa ChatGPT hanya bermanfaat bagi professional, sedangkan urusan agama kembalikan pada cedekiawan muslim atau agamawan. Untuk urusan agama, informasinya sering salah dan membingungkan. Ketiga, data 3 memaparkan bahwa AI sebenarnya tidak secerdas manusia karena tidak didesain untuk problem solving. Keempat, data 4 menunjukkan bahwa AI bisa digunakan sebagai sistem untuk menanamkan nilai-nilai pemurtadan, radikalisasi dan terorisme.
|
|
|
|
Figure 1 |
Figure 2 |
Figure 3 |
Figure 4 |
Sumber: Youtube
Gambar di atas menunjukkan berbagai bentuk kekhawatiran dan panik moral terhadap keberadaan AI. Gambar pertama menunjukkan posisi ilmuwan AI yang menakutkan bagi agamawan. Gambar kedua mengingatkan umat bahwa ilmuwan AI dapat juga membuat ayat atau pun hadis palsu. Gambar ketiga menyoal apakah ChatGPT membenci umat Islam. Gambar keempat menunjukkan jika AI benar-benar menjadi ancaman bagi agamawan karena anti-Islam.
Kooptasi Ulama
Keberadaan AI beresiko mempengaruhi pengetahuan agama ulama. Kooptasi Ulama yang dimaksud adalah bahwa AI hadir secara tak terbantahkan dan dinilai positif untuk dakwah Islam, diapresiasi oleh beberapa negara berpenduduk mayoritas muslim, dan sangat membantu dan memudahkan untuk memecahkan persoalan umat. Sehingga tokoh agama dan ulama pun ikut menggunakannya dan bahkan hingga ada yang kehilangan sanad keilmuan. Sebagaimana bentuk kooptasi ulama dalam table di bawah:
Tabel 4
Konten Berita |
Coding |
Sumber |
AI dinilai positif untuk menyebarkan dakwah Islam |
Positif |
MUI Kaji Strategi Kecerdasan Artifisial untuk Dakwah Islam
https://mui.or.id/berita/29786/mui-kaji-strategi-kecerdasan-artifisial-untuk-dakwah-islam/
|
AI diapresiasi oleh negara untuk urusan agama |
Kontributif |
Pertama Kali di Dunia, Dubai Luncurkan “Fatwa Maya”
|
AI semakin membantu dan memudahkan untuk menjawab persoalan keagamaan |
Solutif |
Kini Pertanyaan Seputar Agama bisa dijawab Robot
|
Table di atas menunjukkan bahwa ada 3 poin penting berkaitan dengan kooptasi ulama, sehingga keberadaan AI tidak terbendung bahkan menjadi ancaman yang nyata bagi tokoh agama. Pertama, data 1 menunjukkan bahwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) mendorong agar AI dapat dimanfaatkan untuk dakwah Islam. Kedua, data 2 menunjukkan bahwa negara seperti UEA bahkan meluncurkan fatwa maya dengan memanfaatkan AI. Ketiga, data 3 memperkuat sebelumnya jika persoalan keagamaan bisa dijawab oleh Robot AI. Dengan demikian, keberadaan AI adalah positif, kontributif dan solutif dan telah mengkooptasi agamawan dalam perannya selama ini dalam berdakwah dan menjawab persoalan umat.
Penelitian yang menganalisis ancaman akal imitasi (AI) terhadap eksistensi dan peran agamawan ini menemukan kompleksitas independensi yang muncul di dalam masyarakat. Pada kenyataannya, masyarakat menyatakan posisi ketidaktergantungannya pada otoritas agamawan karena kehadiran AI dinilai memberikan kemudahan bagi masyarakat. Tiga bentuk ancaman ditemukan dalam penelitian. Pertama, realitas bahwa telah terjadi dekonsentrasi posisi ulama di mana status ulama sebagai sumber pengetahuan kehilangan pengakuan dan tempat ulama diambilalih oleh AI. Kedua, telah terjadi kontestasi pengetahuan antara agamawan dan AI di mana ulama tidak lagi dapat mendominasi pengetahuan agama, hingga terjadi konflik dan beresiko melahirkan perbedaan paham. Ketiga, telah terjadi kooptasi ulama di mana keberadaan AI beresiko memepengaruhi pengetahuan agama ulama, bahkan ulama pun ikut memakai AI, hingga kehilangan sanad keilmuan. Dari gambaran tersebut, kehadiran AI telah menjadi suatu tantangan dan ancaman besar bagi eksistensi dan peran agamawan yang melahirkan berbagai bentuk independensi yang kompleks.
Kuatnya hubungan agama dengan AI berisiko menjadikan interaksi antara umat sebagai pengguna AI dengan agamawan mengalami transformasi dan pergeseran makna. Di satu sisi, AI memberi manfaat besar bagi para penganut agama (pengguna) untuk memperoleh jawaban cepat dari persoalan keagamaan mereka dan mendalami agamanya. Di sisi lain, AI juga melahirkan berbagai ancaman bagi eksistensi dan peran agamawan atau cendekiawan. Terjadi depersonalisasi di mana pengguna secara merdeka dapat berinteraksi langsung dengan teknologi digital sehingga menyebabkan interaksi langsung dengan agamawan menjadi berkurang (Singler, 2017). Pemahaman agama yang diterima secara instan dapat mendistorsi maksud dari tafsir keagamaan. Olehnya, polarisasi umat dengan agamawan menjadi tak terhindarkan disebabkan interaksi yang massif dengan beragam latar belakang preferensi pengguna berdasarkan jawaban dari kecenderungan pertanyaan yang diajukan, tanpa dialog langsung secara mendalam sebagaimana yang dilakukan dengan agamawan (Geraci, 2010). Meskipun posisi AI terhadap pengguna beragam (negosiasi, oposisi dan kompromi) dan resepsi yang berwarna (positif, kontributif dan solutif), teknologi AI telah membuktikan posisi independen para penggunanya, dapat mengakselerasi proses dan keputusan keagamaan dengan sangat cepat, dan melakukan transformasi gagasan, pengayaan intelektual dan pemberdayaan keumatan.
AI telah mendorong transformasi pengetahuan agama bergerak lebih massif melalui berbagai platform teknologi media. Hal ini meletakkan partisipasi pengguna AI memiliki posisi sejajar dengan agamawan dalam hal akses teknologi digital (Sabilirrasyad et al., 2018). Sebelumnya, agamawan memiliki kuasa atas pengetahuan agama dan berhak memberikan fatwa atau keputusan atas problem keumatan. Namun, kehadiran AI memberikan ruang kepada masyarakat untuk memperoleh dan bahkan mengkritisi lebih dalam lagi hasil jawaban yang dirasa kurang meyakinkan, hingga melampaui batas-batas aturan yang terdapat dalam ajaran agama sekalipun. Umat Islam akhirnya dapat memperoleh ruang kebebasan berekspresi dan melawan tabu kompleksitas isu-isu keagamaan yang jarang dipertanyakan kepada agamawan (Du Toit, 2019). AI akan terus lahir dalam berbagai bentuk yang lebih mutakhir untuk menjawab kebutuhan manusia. Tidak saja dalam urusan agama, bahkan di luar dimensi keagamaan yang meliputi akses atas jasa pelayanan haji dan umroh, mempercepat sertifikasi halal, membangun kampus metaverse, dan sebagainya (Ahmed & La, 2021). Fakta ini terus berjalan hingga mengisi kebutuhan-kebutuhan manusia dari problem keagamaan hingga segala bidang kehidupan.
Proses perkembangan AI menjadi fakta dari teror budaya digital di mana individu yang selama ini tunduk dan patuh pada otoritas agama dapat secara bebas mengemukakan persoalannya. Setiap pengguna terus melakukan reproduksi makna hidupnya dalam mempelajari dan memahami agamanya. Sebagai contoh, terlihat jelas bahwa teror budaya digital tak lagi dapat dielakkan. Dialog imajiner antara individu dengan teknologi AI telah mewakili kemerdekaan berpikir, kebebasan memilih, dan pemberontakan moral atas kebekuan (kejumudan) dan keterlambatan fatwa keagamaan yang seringkali tertinggal dari isu-isu modernitas yang terus menantang dan kompleks (Ardae, 2020). Setiap pengguna teknologi AI adalah pelaku budaya digital, tak terkecuali agamawan itu sendiri. Budaya digital telah mengubah peta komunikasi di masyarakat melalui mediasi teknologi (Unay-Gailhard & Brennen, 2022). AI dapat berfungi sebagai pencerdasan sekaligus pemberontakan terhadap kebuntuan dialektis antara umat Islam dan agamawan. Partisipasi umat secara intensif dalam berbagai macam teknologi AI telah menciptakan jembatan dialogis yang terbuka dan percepatan informasi tentang pemahaman keagamaan akan terus memasok kebutuhan para penggunanya.
Studi ini menekankan bahwa ancaman AI sebagai keniscayaan. Baik umat Islam maupun agamawan perlu melihat keberadaan teknologi AI secara terbuka dan bekerjasama untuk memecahkan persoalan keagamaan bersama. Studi yang ada kurang memperhatikan dimensi budaya digital dalam merespon hubungan antara umat dan agamawan. Sejalan dengan itu, studi ini menambahkan ruang studi baru, yaitu meletakkan teknologi AI sebagai realitas tak terbantahkan yang hadir sebagai ancaman sekaligus berkah bagi masyarakat untuk berinteraksi secara virtual dan terus mengembangkan pemahaman keagamaan sesuai dengan tantangan zaman. Teknologi AI menyumbangkan berbagai terobosan aktual yang menantang dan menyelaraskan pola pikir manusia dengan basis rasa ingin tahunya dan kritisismenya di hadapan ilmu pengetahuan dan teknologi AI yang akan terus berkembang.
Penelitian ini menunjukkan bahwa AI saat ini telah membawa perubahan yang signifikan, baik positif maupun negatif. Salah satu dampak yang menonjol dari ancaman Akal imitasi (AI), seperti yang ditunjukkan dalam penelitian ini adalah dekonsentrasi posisi agamawan. Menanggapi pengaruh dan kebutuhan yang tak terpisahkan setiap individu atau umat beragama terhadap AI kaum agamawan melalui berbagai institusi keagamaan akhirnya melihat potensi AI yang positif untuk kepentingan syiar dakwah. Otoritas, wibawa dan sentralisasi pada peran agamawan dengan segala bentuknya telah mengalami pergeseran, dari yang semula sangat dibutuhkan menjadi diabaikan. Pada saat yang sama, hubungan antara umat beragama dan agamawan telah melemah di bawah pengaruh dan ancaman AI. Institusi keagamaan ataupun organisasi masyarakat seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Muhammadiyah dan NU tidak dapat melepaskan diri dari kebutuhan akan instrumentalisasi. Artikel ini merekomendasikan agar umat beragama dan agamawan menanggapi teror budaya digital secara dinamis, daripada membatasi diri mereka pada respons dan tafsir yang statis dan tekstual.
Secara tradisional, posisi otoritas agama menjadi pusat bagi umat beragama. Tetapi faktanya, telah terjadi pergeseran paradigma dan nilai-nilai keagamaan yang signifikan dengan hadirnya teknologi AI di tengah-tengah umat beragama. Persebaran teknologi AI dalam berbagai aplikasi menggambarkan bahwa praktik-praktik budaya digital telah memasuki ruang-ruang publik secara massif. AI telah mampu menjawab setiap keragu-raguan, kebingungan dan persoalan keagamaan yang dihadapi oleh umat Islam. Ancaman AI tidak saja mampu menjawab setiap problematika umat, tetapi juga menantang jawaban yang lebih kritis. Teror budaya digital yang terimplementasi dalam keseharian umat dalam interaksinya dengan teknologi AI terjadi dengan penuh kesadaran. Di satu sisi, intensitas individu berdialog dengan teknologi AI akan terus melahirkan jawaban-jawaban yang menantang. Di sisi lain, agamawan yang mengabaikan ancaman AI akan tertinggal dalam arus deras informasi yang terus berkembang. Setiap pengguna teknologi AI adalah makhluk digital. Sebagai pengguna teknologi digital, interaksi yang berkesinambungan dengan teknologi AI adalah bentuk ledakan budaya digital. Teror budaya digital tidak membutakan siapapun, ia hanya meninggalkan pendangkalan, pembodohan dan sikap pasif yang kolot karena sikap acuhnya atas perkembangan teknologi AI yang semakin pesat.
Sumbangan keilmuan dari penelitian ini mengonfirmasi berbagai penelitian tentang AI yang telah dilakukan tidak hanya pada domain agama, tetapi juga pada berbagai disiplin ilmu sosial, eksakta, kedokteran dan sebagainya. Penelitian ini melengkapi berbagai penelitian terdahulu yang melihat potensi AI bagi kehidupan umat manusia. Penelitian ini mengajukan kritisisme, retrospeksi dan introspeksi dalam kajian budaya digital agar dapat lebih bijak dalam menggunakan teknologi AI. Keterbatasan penelitian ini terletak pada semakin cepatnya aplikasi AI yang lahir untuk menjawab segala kebutuhan umat beragama dengan segala bentuknya yang menarik. Sehingga dibutuhkan penelitian lanjutan yang mengakomodasi sample yang lebih besar dan lebih spesifik dalam memahami setiap teknologi AI yang muncul di kemudian hari demi memperoleh pemahaman yang lebih konprehensif.
Referensi
Ahmed, H., & La, H. M. (2021). Evaluating the Co-dependence and Co-existence between Religion and Robots: Past, Present and Insights on the Future. International Journal of Social Robotics, 13(2), 219–235. https://doi.org/10.1007/s12369-020-00636-x
Aldana Reyes, X., & Blake, L. (2015). Digital horror : haunted technologies, network panic and the found footage phenomenon. Digital Horror.
Awang, Y., Shuhidan, S. M., Taib, A., Rashid, N., & Hasan, M. S. (2022). Digitalization of Accounting Profession: An Opportunity or a Risk for Future Accountants? https://doi.org/10.3390/proceedings2022082093
Coman, D. M., Ionescu, C. A., Duică, A., Coman, M. D., Uzlau, M. C., Stanescu, S. G., & State, V. (2022). Digitization of Accounting: The Premise of the Paradigm Shift of Role of the Professional Accountant. Applied Sciences (Switzerland). https://doi.org/10.3390/app12073359
Corrêa, N., & Fernandes de Oliveira, N. (2021). Good AI for the Present of Humanity Democratizing AI Governance. AI Ethics Journal, 2(2). https://doi.org/10.47289/AIEJ20210716-2
Dennis, M. J. (2021). Towards a Theory of Digital Well-Being: Reimagining Online Life After Lockdown. Science and Engineering Ethics, 27(3), 32. https://doi.org/10.1007/s11948-021-00307-8
Domil, A., Burca, V., & Bogdan, O. (2022). Assessment of Economic Impact Generated by Industry 5.0, from a Readiness Index Approach Perspective. A Cross-Country Empirical Analysis. https://doi.org/10.1007/978-981-16-7365-8_9
Du Toit, C. W. (2019). Artificial intelligence and the question of being. HTS Teologiese Studies / Theological Studies, 75(1). https://doi.org/10.4102/hts.v75i1.5311
Duarte, F. (2023). No Title.
Elliott, M., Berentson-Shaw, J., Kuehn, K., Salter, L., & Brownlie, E. (2019). Digital Threats to Democracy. SSRN Electronic Journal. https://doi.org/10.2139/ssrn.3752429
Fayed, A. M., Mansur, N. S. B., de Carvalho, K. A., Behrens, A., D’Hooghe, P., & de Cesar Netto, C. (2023). Artificial intelligence and ChatGPT in Orthopaedics and sports medicine. In Journal of Experimental Orthopaedics. https://doi.org/10.1186/s40634-023-00642-8
Galinec, D., & Luić, L. (2020). Design of Conceptual Model for RaisingAwareness of Digital Threats. WSEAS TRANSACTIONS ON ENVIRONMENT AND DEVELOPMENT, 16, 493–504. https://doi.org/10.37394/232015.2020.16.50
Geraci, R. (2010). Apocalyptic AI. In Apocalyptic AI: Visions of Heaven in Robotics, Artificial Intelligence, and Virtual Reality. Oxford University Press. https://doi.org/10.1093/acprof:oso/9780195393026.001.0001
Guembe, B., Azeta, A., Misra, S., Osamor, V. C., Fernandez-Sanz, L., & Pospelova, V. (2022). The Emerging Threat of Ai-driven Cyber Attacks: A Review. Applied Artificial Intelligence, 36(1). https://doi.org/10.1080/08839514.2022.2037254
Gui, M., Fasoli, M., & Carradore, R. (2017). Digital well-being. Developing a new theoretical tool for media literacy research. Italian Journal of Sociology of Education. https://doi.org/10.14658/pupj-ijse-2017-1-8
Ha, L. T. (2022). Socioeconomic and resource efficiency impacts of digital public services. Environmental Science and Pollution Research. https://doi.org/10.1007/s11356-022-21408-2
Harari, Y. N. (2017). Homo Deus a Brief History of Tomorrow. In An Imprint of Harper Collins.
Helm, J. M., Swiergosz, A. M., Haeberle, H. S., Karnuta, J. M., Schaffer, J. L., Krebs, V. E., Spitzer, A. I., & Ramkumar, P. N. (2020). Machine Learning and Artificial Intelligence: Definitions, Applications, and Future Directions. In Current Reviews in Musculoskeletal Medicine. https://doi.org/10.1007/s12178-020-09600-8
Horikoshi-Roe, H. (1979). Mental Illness as a Cultural Phenomenon: Public Tolerance and Therapeutic Process among the Moslem Sundanese in West Java. Indonesia. https://doi.org/10.2307/3350898
Hussain, A., Shabir, G., & Taimoor-Ul-Hassan. (2020). Cognitive needs and use of social media: a comparative study of gratifications sought and gratification obtained. Information Discovery and Delivery, 48(2), 79–90. https://doi.org/10.1108/IDD-11-2019-0081
Huynh-The, T., Gadekallu, T. R., Wang, W., Yenduri, G., Ranaweera, P., Pham, Q. V., da Costa, D. B., & Liyanage, M. (2023). Blockchain for the metaverse: A Review. Future Generation Computer Systems. https://doi.org/10.1016/j.future.2023.02.008
Ichwan, M. N. (2011). Official ulema and the politics of re-islamization: The Majelis permusyawaratan ulama, sharatization and contested authority in post-new order Aceh. Journal of Islamic Studies. https://doi.org/10.1093/jis/etr026
Jackelén, A. (2021). TECHNOLOGY, THEOLOGY, AND SPIRITUALITY IN THE DIGITAL AGE. Zygon. https://doi.org/10.1111/zygo.12682
Jussupow, E., Spohrer, K., & Heinzl, A. (2022). Identity Threats as a Reason for Resistance to Artificial Intelligence: Survey Study With Medical Students and Professionals. JMIR Formative Research, 6(3), e28750. https://doi.org/10.2196/28750
Kaun, A. (2021). Ways of seeing digital disconnection: A negative sociology of digital culture. Convergence. https://doi.org/10.1177/13548565211045535
Kim, J. (2001). Phenomenology of Digital-Being. Human Studies, 24(1–2), 87–111. https://doi.org/10.1023/A:1010763028785
Kirillova, N. B. (2023). Impact of digital culture on shaping young people’s creative activity. Perspektivy Nauki i Obrazovania. https://doi.org/10.32744/pse.2023.2.1
Kopf, G. (2020). Does AI Have Buddha-Nature? Reflections on the Metaphysical, Soteriological, and Ethical Dimensions of including Humanoid Robots in Religious Rituals from one Mahayana Buddhist Perspective. Frontiers in Artificial Intelligence and Applications. https://doi.org/10.3233/FAIA200965
Kraus, S., Durst, S., Ferreira, J. J., Veiga, P., Kailer, N., & Weinmann, A. (2022). Digital transformation in business and management research: An overview of the current status quo. International Journal of Information Management. https://doi.org/10.1016/j.ijinfomgt.2021.102466
Liang, T. Y. (2020). Horror image of ai algorithm: Visual culture studies perspective. Taiwan Journal of East Asian Studies. https://doi.org/10.6163/TJEAS.202012_17(2).0001
Macfarlane, K. E. (2018). Zombies and the viral web. Horror Studies, 9(2), 231–247. https://doi.org/10.1386/host.9.2.231_1
Maxmen, J. S. (1987). Long-Term Trends in Health Care: The Post-Physician Era Reconsidered. https://doi.org/10.1007/978-3-642-71537-2_10
Mirsky, Y., Demontis, A., Kotak, J., Shankar, R., Gelei, D., Yang, L., Zhang, X., Pintor, M., Lee, W., Elovici, Y., & Biggio, B. (2023). The Threat of Offensive AI to Organizations. Computers & Security, 124, 103006. https://doi.org/10.1016/j.cose.2022.103006
Olojo, A. E. (2017). Resistance through Islamic clerics against Boko Haram in northern Nigeria. African Security Review. https://doi.org/10.1080/10246029.2017.1294092
Othman, N. A., & Omar, F. I. (2019). Cognitive needs of ICT usage in business among women entrepreneurs. International Journal of Innovative Technology and Exploring Engineering.
Sabilirrasyad, I., Zikky, M., & Hakkun, R. Y. (2018). Jamarat Ritual Simulation with Myo Armband for Precise Throws Speed. 2018 International Electronics Symposium on Knowledge Creation and Intelligent Computing (IES-KCIC), 205–209. https://doi.org/10.1109/KCIC.2018.8628557
Saghiri, A. M., Vahidipour, S. M., Jabbarpour, M. R., Sookhak, M., & Forestiero, A. (2022). A Survey of Artificial Intelligence Challenges: Analyzing the Definitions, Relationships, and Evolutions. In Applied Sciences (Switzerland). https://doi.org/10.3390/app12084054
Saveliev, A., & Zhurenkov, D. (2021). Artificial intelligence and social responsibility: the case of the artificial intelligence strategies in the United States, Russia, and China. Kybernetes, 50(3), 656–675. https://doi.org/10.1108/K-01-2020-0060
Schüller, K. (2022). Data and AI literacy for everyone. Statistical Journal of the IAOS, 38(2), 477–490. https://doi.org/10.3233/SJI-220941
Singler, B. (2017). An introduction to artificial intelligence and religion for the religious studies scholar. Implicit Religion. https://doi.org/10.1558/imre.35901
Sirait, S. (2020). Liberation Theology According to Abdurrahman Wahid and Gustavo Gutierrez. Jurnal THEOLOGIA. https://doi.org/10.21580/teo.2020.31.1.5554
Sugiana, D., Mirawati, I., & Trulline, P. (2019). PERAN ULAMA SEBAGAI OPINION LEADER DI PEDESAAN DALAM MENGHADAPI INFORMASI HOAKS. Avant Garde. https://doi.org/10.36080/avg.v7i1.848
Theodosiou, A. A., & Read, R. C. (2023). Artificial intelligence, machine learning and deep learning: Potential resources for the infection clinician. Journal of Infection, xxxx, 1–8. https://doi.org/10.1016/j.jinf.2023.07.006
Unay-Gailhard, İ., & Brennen, M. A. (2022). How digital communications contribute to shaping the career paths of youth: a review study focused on farming as a career option. Agriculture and Human Values, 39(4), 1491–1508. https://doi.org/10.1007/s10460-022-10335-0
Wazis, K. (2019). PERLAWANAN AHLI HADIS TERHADAP GERAKAN RADIKALISME DALAM KONSTRUKSI MEDIA ONLINE. Jurnal Al-Hikmah. https://doi.org/10.35719/alhikmah.v17i1.12
Wu, C. (2021). Spectralizing the White Terror: Horror, Trauma, and the Ghost-Island Narrative in Detention. Journal of Chinese Cinemas, 15(1), 73–86. https://doi.org/10.1080/17508061.2021.1926156
Zahrah, S. N., & Damayanti, N. A. (2023). The relationship between religious leaders and the knowledge of mothers in reducing stunting: a literature review. In Journal of Public Health in Africa. https://doi.org/10.4081/jphia.2023.2622
Zhang, F. (2023). Virtual space created by a digital platform in the post epidemic context: The case of Greek museums. Heliyon, 9(7), e18257. https://doi.org/10.1016/j.heliyon.2023.e18257
Sidang Senat dan Hadirin yang Kami Muliakan
Saya sepenuhnya menyadari bahwa pencapaian Guru Besar ini bukanlah hasil kerja seorang diri, melainkan berkat dukungan, kerjasama, dan kontribusi dari begitu banyak pihak yang luar biasa. Setiap langkah yang saya raih tidak lepas dari bantuan dan doa yang ikhlas yang diberikan oleh orang-orang baik di sekitar saya. Dengan penuh rasa hormat, izinkan saya untuk mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah berperan, baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam perjalanan ini. Tanpa kalian, semua ini tidak akan mungkin terwujud.
Dengan segala rasa hormat, saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Agama RI yang telah memberikan kesempatan berharga kepada saya untuk berkontribusi dalam dunia akademik sebagai tenaga pendidik di lingkungan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) yang penuh kehormatan dan prestasi ini, kampus kita tercinta UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Tak lupa, saya juga mengucapkan terima kasih kepada Kementerian Pendidikan Tinggi Sains dan Teknologi RI.
1. Secara khusus terima kasih saya haturkan kepada Mendiktisaintek RI yang telah menandatangani SK Guru Besar kami.
2. Terima kasih tak terhingga saya haturkan kepada Senat UIN Sunan Kalijaga yang dipimpin oleh Prof Kamsi dan Prof Maragustam; Rektor Prof. Noorhaidi Hasan beserta para Wakil Rektor I, II, III (Prof Istiningsih, Dr. Moch. Sodik dan Dr. Abdur Rozaki). Para Wakil Dekan I,II,III FUPI (Prof Saifuddin Zuhri, Dr. Munawar Ahmad dan Dr. Ahmad Salehuddin); Bapak Ibu Kaprodi dan Sekprodi di FUPI (Prof. K.H. Zuhri & Mas Derry / S3 AFI), (Gus Dr. Fatkhan & Mas Arif / S2 AFI), (Pak Dr. Novian & Mas Rizal / S1 AFI), (Pak Indal & Mas Asrul / S1 ILHA), (Mas Dr. Yoga & Mbak Hikmalisa / S1 SA), (Mas Roni & Pak Zikri / S1 SAA), (Bu Dr. Dian & Mbak Dr. Hj. Khodijah / S2 SAA), (Bu Dr. Subkhani & Bu Aida / S1 IAT), (Pak Dr. Ali Imron & Mas Dr. Akmal / S2 IAT), dan (Cak Dr. Mutiullah & Cak Praba / SI). Mas Erham (Ketua PSMF) dan Dr. Ali Shodiq (Kabiro AUK dan AAKK).
3. Terima kasih doa dan dukungan dari semua rekan dosen dan keluarga besar FUPI. Terima kasih yang sebesar-besasrnya teruntuk Pak Kabag Akademik (Pak Khoirul), Bu Ita, Mas Roger, dkk OKH yang baik hati; Mbak Devi (Staf Senat UIN), Bu Kabag FUPI (Bu Hj. Siti Latifah, S.E.) dan jajaran tendik FUPI (Bu Isti, Bu Wulan, Pak Ichsan, Pak H. Muhadi, Pak Maryanto, Pak Sarmin, Pak Wahyudi, Bu Erna, Pak Sugeng, Pak Joko, Mas Dani, Mas Agus, Mbak Anik, Mbak Shifa, Bu Edni, Bu Oemi, Pak Hanafi, Mbak Vika, Bu Intan), Pak Sulis dan teman-teman CS FUPI (Mas Suwono, Mas Prih, Mbak Nisa, dkk). Bapak ibu dan para stafnya yang luar biasa, sangat berjasa dalam proses usulan GB saya sejak dari tingkat prodi, fakultas, universitas hingga diusulkan ke Kemendiktisaintek RI. Terima kasih saya haturkan atas dukungan kebijakan, pendampingan, dan dukungan lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
3. Terima kasih yang tulus saya ucapkan kepada Tim Penilai Angka Kredit (PAK) serta para reviewer karya ilmiah, baik di tingkat Fakultas, Universitas, maupun Asesor dan Penilai dari Tim Kemendiktisaintek RI. Terima kasih atas perhatian, waktu, dan masukan yang diberikan melalui proses review yang mendalam dan konstruktif.
4. Terimakasih yang setulus-tulusnya saya haturkan pada seluruh senior, guru-guru kami, para sahabat dan kolega kami serta dosen-dosen kami di UIN Sunan Kalijaga (Prof. Amin Abdullah, Prof. Siti Ruhaini Dzuhayatin, Prof. Alimatul Qibtiyyah, Prof. Siswanto Masruri, Prof. Kamsi, Prof. Noorhaidi Hasan, Prof. Muhammad Chirzin, Prof. Syamsiatun, Prof. Fatimah Hussein, Prof. Syafaatun Al-Mirzanah, Prof. Sekar Ayu Aryani, Prof. Wildan, Prof. Inayah Rohmaniyah, Prof. Sahiron Syamsuddin, Prof. Alef Theria Wasim, Prof. Baidowi, Prof. Nurun Najwa, H. Fahmi Muqoddas, Abah Rofiq, Ph.D., Mas Najib Kaelani, Ph.D.).
5. Kepada guru-guru kami di Program Doktor Kajian Budaya dan Media (Prof. Heru Nugroho, Ratna Noviani, Ph.D, Dr. Budiawan, Prof. Irwan Abdullah, Prof. Faruk). Terkhusus untuk guru-guru dan sahabat kami di Prodi S1, S2 dan S3 AFI (Prof. Iskandar Zulkarnain, Prof. Hj. Fatimah Hussein, Prof. K.H. Zuhri, Dr. Alim Roswantoro, Prof. K.H. Shofiyullah Mz., Dr. Waryani Fajar Riyanto, Dr. H. Fahruddin Faiz, Dr. Novian Widiadharma, Dr. Mutiullah, Dr. Muh. Fatkhan, Dr. H. Taufik, Dr. Iqbal, M. Arif, Arif Afandi, Adhika, Ali Usman, Rizal, Rosi, Hasna).
6. Para Dekan dan Direktur Pascasarjana Periode 2024-2028 (Prof. Nurdin, Prof. Khurul, Prof. Erika, Prof. Misnen, Prof. Sigit, Prof. Sodiq, Prof. Arif dan Prof. Nur Ikhwan). Teman-teman para Wakil Dekan 2 dan Wadir Pascasarjana Periode 2020-2024 (Prof. H. Ahmad Muttaqin, Prof. Casmini, Prof. Riyanta, Dr. Uki Sukiman, Dr. Arifah, Dr. Sunaryati, Dr. Zainal, dan Dr. Yani) dan WR2 (Prof Sahiron).
7. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada mitra penelitian dan publikasi bersama (Prof. Muttaqin, Sayuti, Ph.D., Prof. Sunarto, Dr. Kholid al-Walid, Dr. Ustadi Hamsah, Dr. Munawar Ahmad, Dr. Soehadha, Dr. Waryani Fajar Riyanto, Dr. Ammar dan para kolega lain yang tidak dapat saya sebutkan seluruhnya.
8. Saudara-saudaraku di Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah (Prof. Chairil Anwar, Pakde Sunaryo, Arif, Devi, Prof. Sjafri Sairin, Prof Amri Marzali, Prof Abdul Munir Mulkhan, Prof Ai Fatimah [Uhamka]). Terkhusus kepada Ketua PP Muhammadiyah ayahanda Prof Haedar Nasir, Muhammad Sayuti, M.Pd., M.Ed., Ph.D. (Sekretaris PP Muhammadiyah), Prof Abdul Mu’ti (Mendikbud RI 2024-2029), Hajriyanto Thohari (Dubes RI Lebanon), Prof. Muchlas (Rektor UAD), Prof. Nurmandi (Rektor UMY), Dr. Hj. Warsiti, S.Kp., M.Kp., Sp.Mat (Rektor UNISA), Prof. Waston (Kaprodi S3 PAI UMS), H. Fathurrahman Kamal, Lc., M.A. (Ketua Majelis Tabligh PPM), Dr. H. Hamim Ilyas, M.A. (Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah) dan jajawannya Ustadz Assoc. Prof. Wawan Gunawan Abdul Wahid, Dr. H. Khamim, H. Asep Purnama Bahtiar (Dewan Pakar Lembaga Pengembangan Pesantren PPM), Dr. Yayan Suryana, M.Ag. (Wakil Ketua PWM DIY), Dr. Phil. Quratul Uyun, S.Psi., M.Si., Psikolog (Dekan FPSB UII), Dr. H. Fuad Nashori, S.Psi., M.Si., M.Ag., Psikolog (Dekan FPSB UII periode 2018-2022), Dr. H. Suharno, M.Si. (Dosen UNY/Wakil Ketua ICMI Orda Sleman 2021-2026, Dr. Kulsum Nur Hayati, M.Pd., M.Si. (PWA DIY), Dr. Rika Lusri Virga, S.IP., M.A. (Sekretaris PIM Suka), dr. Arinal Haq (Residen Neurologi UGM), Shofiq Ghorbal, S.Pd., M.Si (Kepala Sekolah SMK Muhammadiyah 4 Sukorejo Kendal), Ir Dede Ferry Firmansyah (Wirausahawan DIY), dll.
9. Teman-teman Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) DIY (Sucipto, Ph.D, Muh. Aziz, Ph.D, Dholina [UAD], Novy [Perpustakaan UMY], Affan, Heru, Tri [SMA MUHI], dkk.
10. Teman-teman seangkatan dan kakak/adik angkatan selama bersama-sama di Pondok Pesantren Gontor. Teman-teman IKPM Gontor Cabang Yogyakarta dan para guru Alumni Gontor senior (Prof Siswanto Masruri dan Ustadz Imam Mudjiono (PAI UII). Prof Muchlasin (UIN Salatiga), Prof Rika (UAD), Syeikh Tantowi (UAD), dkk. Sahabatku Dr. K.H. Hilmy Muhammad, M.A. (Anggota DPD RI).
11. Guru dan teman-teman diskusi yang mencerahkan: Prof. Amien Rais, Ir. H. Munichy B. Edrees (Arsitek senior FTSP UII) dan Prof Sunarto (UNNES Semarang). Mas Hanafi Rais, Mbak Hanum Salsabila Rais (S3 KBM), Rangga Almahendra, Ph.D (MM UGM), Dr Abbasyi (Aljazair), Stephan Lacroix (Perancis), Qasem Muhammadi (Qom, Iran), Syahrul Ramadhan, Ph.D (PCIM Teheran), Mas Ziyan (PCIM Maroko), Mas Mouhan dan Mas Fauzi (PCIM Mesir), Mas Hamka (PCIM Arab Saudi), dll.
12. Guru-guru dan teman-teman santri Arbain Irak dan Iran: KH Miftah F. Rakhmat, Ir. Dimitri Mahayana, Ph.D (ITB), Ust. Yasser, Ust. Syamsuddin, Ust. Bagas, Ust. Ahsa dkk lainnya. Sahabat Tareqat Qadiriyah Naqsabandiyah (TQN): KH Wahfiudin Sakam, Ustadz Idhan, Mas Riduan, Ust. Arif, Mas Doddi, dkk.
13. Kepada sahabat Ketua ICMI DIY Prof. Mahfud Solihin, Ph.D dan Ketua ICMI Sleman Akhmad Akbar Susamto, M.Phil., Ph.D.
14. Para sahabat Iranian Corner Indonesia: Dr. Akmal Kamil, M.A. (ICC Jakarta), Rifai Hasan, Ph.D (Paramadina), Ustadz Wahyu (STFI Sadra), Prof Abad Badruzzaman (UIN Tulungagung), Prof Farhan (UIN Ciputat), Andi Muthahhari (Masyhad, Iran), Ust. Safwan (Rausyan Fikr), Imam Ghozali, Dr Ebrahimi (Konselor Kebudayaan Iran). Teman-teman Forum Dekan Ushuluddin se-Indonesia: Prof Ismet (UIN Ciputat), Prof Uswatun Hasanah (UIN Palembang), Prof Islah Gusmian (UIN Surakarta), Prof Sam’ani (UIN Pekalongan), dkk. Forum Guru Besar Alumni Pondok Modern Gontor: Prof Din Syamsuddin, Prof Ris’an, Prof. Hamid Fahmi Zarkasyi, dkk.
15. Teman-teman sahabat Asosiasi Aqidah dan Filsafat Islam (ASAFI). Dr H Kholid al-Walid (Sadra), Dr. Iu Rusliana (UIN Bandung), Dr. Naila Farah dan Cak Wakhit (UIN Cirebon), Dr Irzum (UIN Kudus), dkk. Teman-teman APPFI: Prof Mukhtasyar, Prof Amin Abdullah, Dr Arqom, Prof Franz Magnis-Suseno (STF Driyarkara), dkk.Teman-teman seangkatan di Program S3 Kajian Budaya dan Media (KBM) UGM: Kangde Prof. Nurdin Laugu (UIN Yogyakarta), Mang Ozi / Prof. Fakhruroji dan Dr. Asep Sahid Gatara (UIN Bandung), Prof. Hj. Mundi Rahayu (UIN Malang), Prof. Sulchan Chakim dan Dr. Nawawi (UIN Purwokerto), Prof. Siti Isnaniyah, Dr. Fahmi dan Dr. Hj. Kamila Adnani (UIN Surakarta), dan Dr. Rulli Nasrullah (UIN Jakarta).
16. Kepada para kyai dan asatidz, guru-guru kami, sejak belajar di musholla, langgar dan masjid di kampung, masa TK, SD & MI, SMP hingga di Pondok Pesantren Gontor, bimbingan, arahan dan gemblengannya yang tulus dan ikhlas dalam mendidik kami. Juga untuk guru-guru kami, sahabat kami, teman ronda, kerja bakti dan teman mengaji di masjid kampung dan juga para takmir masjid (Masjid UIN, Masjid Syuhada’, Masjid Diponegoro, Masjid Jend. Sudirman, Masjid UNY, Masjid UGM, Masjid UAD, Masjid UMY, Masjid Kampus ISI, Masjid Bank mandiri lt. 3, dan beberapa masjid lainnya di DIY) sejak saya menginjakkan kaki di Kota Yogyakarta ini hingga menetap menjadi warga Sleman, saya haturkan terima kasih atas pertemanan dan persahabatannya. Juga kepada warga Perumahan Palagan Regency dan warga RT 03 RW 21, Takmir dan Jamaah Masjid al-Istiqomah, Perumnas Minomartani RT. 04 Jl. Tawes, Ngaglik dan Perumahan Pondok Permai Mlati, Sleman, terima kasih banyak atas jalinan kekeluargaan selama ini.
Kepada keluarga besar Bani Adenan Surabaya, keluarga besar Bani Ismail Sidoarjo, keluarga besar Bani Ahmari Magelang, keluarga besar Bani Aman Sukorejo, Kendal saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas segala dukungan moril, materiil dan sprituil atas capaian ini. Untuk Allahyarham H. Khusni dan Hj. Dewi Halimah (ayah dan ibuku), Allahyarham Ahmari Hanif dan Komariyah (bapak dan ibu mertua), istriku Hj. Nanum Sofia, S.Psi., S.Ant., M.A. dan anak-anakku (Sophia Shearly Salsabiela, Nabila Sofia dan Ayman Nour Ramadan), ayah mohon maaf yang setulusnya atas harapan dan keinginan kalian yang belum dapat ayah penuhi. Terima kasih atas momen kebersamaan selama ini. Mohon maaf jika ayah sering meninggalkan keluarga saat studi, bekerja dan harus berbagi waktu dengan kalian untuk mengabdi di kampus, masyarakat dan keluarga. Semoga Allah senantiasa meridhoi langkah-langkah kita semuanya. Amin.
CURRICULUM VITAE
Nama Lengkap : Prof. Dr. H. Robby Habiba Abror, S.Ag., M.Hum.
Tempat & Tanggal Lahir : Surabaya, 23 Maret 1978
Golongan / Pangkat : Pembina Tingkat I - IV / b
Bidang Keahlian : Ilmu Religi dan Budaya
Dekan Fakultas : Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga
e-mail : robby.abror@uin-suka.ac.id
RIWAYAT PENDIDIKAN PERGURUAN TINGGI
2001 S1 Aqidah dan Filsafat (AF) IAIN Sunan Kalijaga
2004 S2 Ilmu Filsafat UGM
2014 S3 Kajian Budaya dan Media UGM