Saya duduk di barisan ketiga dari depan, di sebuah ruang besar yang disusun rapi di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Udara sejuk dari pendingin ruangan tak sepenuhnya mampu menenangkan pikiran saya yang berjejal dengan tanda tanya: ke mana arah bangsa ini sebenarnya berjalan?
Di depan saya, para cendekia lintas
iman dan generasi hadir untuk membahas tema yang tak lazim disentuh dalam
diskusi sehari-hari: “Teologi Publik untuk Kemaslahatan Bangsa”. Sebuah
tema yang, jujur saya akui, pada awalnya terdengar berat dan akademik. Namun,
sepanjang sesi, tema itu justru berubah menjadi cermin. Cermin untuk melihat
realitas bangsa, dan sekaligus refleksi atas apa yang bisa—dan seharusnya—agama
lakukan di ruang publik kita hari ini.
Teologi
yang Menyapa Publik
Saya tertegun saat mendengar
pernyataan Prof. Noorhaidi Hasan, Rektor UIN Sunan Kalijaga, yang
membuka acara dengan nada tenang tapi penuh makna:
“Sering kali agama justru
dimanfaatkan aktor-aktor tertentu untuk menjustifikasi pandangan politiknya.
Karena itu, teologi publik dihadirkan agar teks-teks agama dapat
dikontekstualisasikan sesuai kebutuhan masa kini.”
Kata-kata itu seperti mengetuk dinding kesadaran saya. Bukankah memang hari ini
kita menyaksikan agama begitu mudah dipakai sebagai tameng ideologis, bahkan
alat polarisasi? Seminar ini membuka mata: bahwa teologi tidak boleh hanya
berada di menara gading, dalam ruang-ruang ibadah, atau buku-buku akademik. Ia
harus turun tangan dalam kehidupan nyata.
Teologi publik, sebagaimana
dijelaskan oleh Prof. Dr. Moch. Nur Ichwan, adalah bentuk kontribusi
iman yang tidak egoistik, melainkan memberi ruang untuk sebanyak mungkin
kebaikan sosial.
“Teologi publik adalah sumbangan
keimanan subjektif tertentu untuk kemanfaatan dan kemaslahatan objektif
sebanyak mungkin orang.”
(Prof Ichwan Teologi Publik Kritis dan Kemaslahatan Bangsa.pdf, hlm. 1).
Solidaritas
sebagai Tindakan Iman
Suasana menjadi lebih dalam ketika Pdt.
Irene Ludji dari UKSW Salatiga berbicara. Dengan suara lembut tapi tajam,
ia memperkenalkan istilah teo-etika solidaritas. Sebuah konsep yang bagi
saya, terasa seperti jembatan antara langit dan bumi. Ia berkata,
“Teologi solidaritas menuntut kita
untuk mendengarkan suara-suara dari mereka yang tertindas dan mengalami
diskriminasi.”
(Final-TeologiPublik-LudjiAIPI2025.pdf, hlm. 17).
Saya termenung. Betapa jarangnya
kita mendengar kalimat seperti ini dari mimbar-mimbar keagamaan. Solidaritas,
yang seharusnya menjadi inti iman, justru sering diabaikan dalam rutinitas
keberagamaan kita.
Saya merenung, mungkinkah kita telah
terlalu sibuk dengan ritus, sehingga lupa bahwa ada manusia di balik angka
kemiskinan, konflik, dan ketidakadilan yang terus terjadi?
Kampus
dan Tanggung Jawab Etis
Saya keluar masuk dunia akademik
hampir setiap hari. Tapi hari itu, saya melihat kampus dalam wajah yang
berbeda. Tidak sekadar institusi yang mencetak sarjana, tapi sebagai ruang moral
yang seharusnya menumbuhkan keberanian dan empati.
Saya sangat tersentuh oleh kritik yang muncul di seminar ini—tentang bagaimana
sebagian besar kurikulum kita masih "jadul", ketinggalan zaman, dan
tidak menyentuh realitas sosial yang ada. Seminar ini seperti menyiramkan air
segar pada lahan kering intelektual kita.
Gong
yang Menggugah: Indonesia Emas atau Cemas?
Penutup seminar itu tak kalah
membekas. Prof. Dr. M. Amin Abdullah, dengan bahasa yang tajam namun
penuh kebapakan, melontarkan pertanyaan yang rasanya masih bergema sampai
tulisan ini saya ketik:
“Kita betul-betul gelisah: apakah
yang akan kita songsong ini Indonesia Emas atau Indonesia Cemas?”
(kutipan langsung dari pidato penutup).
Pertanyaan itu bukan sekadar
retoris. Ia adalah tamparan reflektif. Di balik euforia pembangunan, bonus
demografi, dan jargon Indonesia Emas 2045, kita tahu bahwa yang menganga
di bawah permukaan adalah krisis solidaritas, krisis nalar publik, dan krisis
keberagamaan yang membumi.
Prof. Amin menyampaikan bahwa AIPI
sedang menulis tiga buku penting—tentang budaya demokrasi, pendidikan publik,
dan masyarakat sipil. Ia menyebutkan rencana forum lanjutan di Makassar dan
Ambon yang akan melibatkan aktivis, seniman, dan warga biasa sebagai agen
demokrasi. Ini bukan sekadar proyek ilmiah. Ini adalah upaya membumikan
harapan.
“Diskusi publik ini penting sekali
khususnya untuk perguruan tinggi supaya bisa mengeliminasi kurikulum yang
jadul, update terhadap current issue, mengenal diskriminasi sosial, dan
menghindari agama yang ritus-sentris.”
Di
Ambang Fajar Baru
Ketika saya meninggalkan aula
seminar itu, langit Yogyakarta mulai mendung. Tapi batin saya justru terasa
lebih terang. Seminar itu bukan hanya memberi saya materi baru—ia memberi saya
harapan. Bahwa masih ada yang berpikir serius tentang masa depan bangsa ini.
Bahwa masih ada kampus yang tidak puas menjadi menara gading, tapi ingin
menjadi taman bagi nilai-nilai kemanusiaan.
Di luar sana, Indonesia masih sibuk
berpacu menuju “emas”. Tapi seperti yang Prof. Amin katakan, kita juga bisa
jatuh dalam “cemas”. Dan teologi publik, bagi saya, bukan sekadar wacana
keilmuan. Ia adalah panggilan: agar iman kita tak hanya menjangkau langit, tapi
juga membela bumi. (faozihmsk)