WhatsApp Image 2025-07-17 at 10.43.55.jpeg

Jumat, 18 Juli 2025 10:50:00 WIB

0

Indonesia Emas atau Indonesia Cemas? Teologi Publik dan Peran Kampus dalam Menjawab Tantangan Zaman

Saya duduk di barisan ketiga dari depan, di sebuah ruang besar yang disusun rapi di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Udara sejuk dari pendingin ruangan tak sepenuhnya mampu menenangkan pikiran saya yang berjejal dengan tanda tanya: ke mana arah bangsa ini sebenarnya berjalan?

Di depan saya, para cendekia lintas iman dan generasi hadir untuk membahas tema yang tak lazim disentuh dalam diskusi sehari-hari: “Teologi Publik untuk Kemaslahatan Bangsa”. Sebuah tema yang, jujur saya akui, pada awalnya terdengar berat dan akademik. Namun, sepanjang sesi, tema itu justru berubah menjadi cermin. Cermin untuk melihat realitas bangsa, dan sekaligus refleksi atas apa yang bisa—dan seharusnya—agama lakukan di ruang publik kita hari ini.

Teologi yang Menyapa Publik


Saya tertegun saat mendengar pernyataan Prof. Noorhaidi Hasan, Rektor UIN Sunan Kalijaga, yang membuka acara dengan nada tenang tapi penuh makna:

“Sering kali agama justru dimanfaatkan aktor-aktor tertentu untuk menjustifikasi pandangan politiknya. Karena itu, teologi publik dihadirkan agar teks-teks agama dapat dikontekstualisasikan sesuai kebutuhan masa kini.”


Kata-kata itu seperti mengetuk dinding kesadaran saya. Bukankah memang hari ini kita menyaksikan agama begitu mudah dipakai sebagai tameng ideologis, bahkan alat polarisasi? Seminar ini membuka mata: bahwa teologi tidak boleh hanya berada di menara gading, dalam ruang-ruang ibadah, atau buku-buku akademik. Ia harus turun tangan dalam kehidupan nyata.

Teologi publik, sebagaimana dijelaskan oleh Prof. Dr. Moch. Nur Ichwan, adalah bentuk kontribusi iman yang tidak egoistik, melainkan memberi ruang untuk sebanyak mungkin kebaikan sosial.

“Teologi publik adalah sumbangan keimanan subjektif tertentu untuk kemanfaatan dan kemaslahatan objektif sebanyak mungkin orang.”
(Prof Ichwan Teologi Publik Kritis dan Kemaslahatan Bangsa.pdf, hlm. 1).


Solidaritas sebagai Tindakan Iman

Suasana menjadi lebih dalam ketika Pdt. Irene Ludji dari UKSW Salatiga berbicara. Dengan suara lembut tapi tajam, ia memperkenalkan istilah teo-etika solidaritas. Sebuah konsep yang bagi saya, terasa seperti jembatan antara langit dan bumi. Ia berkata,

“Teologi solidaritas menuntut kita untuk mendengarkan suara-suara dari mereka yang tertindas dan mengalami diskriminasi.”
(Final-TeologiPublik-LudjiAIPI2025.pdf, hlm. 17).

Saya termenung. Betapa jarangnya kita mendengar kalimat seperti ini dari mimbar-mimbar keagamaan. Solidaritas, yang seharusnya menjadi inti iman, justru sering diabaikan dalam rutinitas keberagamaan kita.

Saya merenung, mungkinkah kita telah terlalu sibuk dengan ritus, sehingga lupa bahwa ada manusia di balik angka kemiskinan, konflik, dan ketidakadilan yang terus terjadi?

Kampus dan Tanggung Jawab Etis

Saya keluar masuk dunia akademik hampir setiap hari. Tapi hari itu, saya melihat kampus dalam wajah yang berbeda. Tidak sekadar institusi yang mencetak sarjana, tapi sebagai ruang moral yang seharusnya menumbuhkan keberanian dan empati.
Saya sangat tersentuh oleh kritik yang muncul di seminar ini—tentang bagaimana sebagian besar kurikulum kita masih "jadul", ketinggalan zaman, dan tidak menyentuh realitas sosial yang ada. Seminar ini seperti menyiramkan air segar pada lahan kering intelektual kita.

Gong yang Menggugah: Indonesia Emas atau Cemas?

Penutup seminar itu tak kalah membekas. Prof. Dr. M. Amin Abdullah, dengan bahasa yang tajam namun penuh kebapakan, melontarkan pertanyaan yang rasanya masih bergema sampai tulisan ini saya ketik:

“Kita betul-betul gelisah: apakah yang akan kita songsong ini Indonesia Emas atau Indonesia Cemas?”
(kutipan langsung dari pidato penutup).

Pertanyaan itu bukan sekadar retoris. Ia adalah tamparan reflektif. Di balik euforia pembangunan, bonus demografi, dan jargon Indonesia Emas 2045, kita tahu bahwa yang menganga di bawah permukaan adalah krisis solidaritas, krisis nalar publik, dan krisis keberagamaan yang membumi.

Prof. Amin menyampaikan bahwa AIPI sedang menulis tiga buku penting—tentang budaya demokrasi, pendidikan publik, dan masyarakat sipil. Ia menyebutkan rencana forum lanjutan di Makassar dan Ambon yang akan melibatkan aktivis, seniman, dan warga biasa sebagai agen demokrasi. Ini bukan sekadar proyek ilmiah. Ini adalah upaya membumikan harapan.

“Diskusi publik ini penting sekali khususnya untuk perguruan tinggi supaya bisa mengeliminasi kurikulum yang jadul, update terhadap current issue, mengenal diskriminasi sosial, dan menghindari agama yang ritus-sentris.”

Di Ambang Fajar Baru

Ketika saya meninggalkan aula seminar itu, langit Yogyakarta mulai mendung. Tapi batin saya justru terasa lebih terang. Seminar itu bukan hanya memberi saya materi baru—ia memberi saya harapan. Bahwa masih ada yang berpikir serius tentang masa depan bangsa ini. Bahwa masih ada kampus yang tidak puas menjadi menara gading, tapi ingin menjadi taman bagi nilai-nilai kemanusiaan.

Di luar sana, Indonesia masih sibuk berpacu menuju “emas”. Tapi seperti yang Prof. Amin katakan, kita juga bisa jatuh dalam “cemas”. Dan teologi publik, bagi saya, bukan sekadar wacana keilmuan. Ia adalah panggilan: agar iman kita tak hanya menjangkau langit, tapi juga membela bumi. (faozihmsk)