Hadirin yang saya hormati, hampir semua orang dalam pengukuhan guru besar mengatakan tidak bercita-cita untuk menjadi profesor, namun saya agak lain. Ketika pertama kali diangkat menjadi dosen UIN Sunan Kalijaga, saya mengatakan dalam hati saya, “Saya matikan nafsu saya untuk mengejar jabatan struktural, namun saya akan bersungguh-sungguh mengejar jabatan fungsional”. Hal ini karena mengejar jabatan fungsional lebih mudah, hanya perlu berkompetisi dengan diri sendiri, mengalahkan rasa malas, dan memprioritaskan untuk memproduksi pengetahuan.
Namun realitasnya agak lain, saya “tersesat” menjadi DT (Dosen dengan Tugas tambahan) 14 tahun. Tahun 2011 saya menjadi sekretaris jurusan, setelah itu menjadi kaprodi, wakil dekan bidang kemahasiswaan dan kerjasama, dan sampai saat ini masih “tersesat” menjadi wakil dekan bidang akademik. Meskipun saya tersesat sekitar empat belas tahun, namun saya pikir ini merupakan “ketersesatan” yang indah (anugerah).
Pencapaian jabatan fungsional saya sebenarnya lancar-lancar saja, naik secara periodik dari tenaga pengajar III.a sampai lektor kepala IV.c. Hanya, untuk mendapatkan gelar Guru Besar agak lain, cukup berliku dan mengharu biru, terutama tahun 2023, aturannya berubah ubah, buka tutup “ndak karu karuan”. …. Untungnya ku tak pilih menyerah, atas dorongan teman-teman di dekanat, didukung senat, saya ajukan lagi, alhamdulillah 30 Desember 2024 Surat Keputusan Guru Besar saya keluar.
Berkenalan dengan Kajian Sosiologi Perubahan Sosial
Hadirin yang saya hormati, bidang kepakaran saya adalah Sosiologi Perubahan Sosial. Perubahan sosial adalah sebuah misteri yang layak dan asyik untuk dikaji. Banyak perubahan yang tidak pernah kita sadari. Ambil contoh tulisan Aria Wiratma Yudhistira yang dibukukan menjadi Dilarang Gondrong. Tidak banyak orang mengingat bahwa di masa lalu pernah ada pelarangan orang berambut gondrong, bahkan ada operasi pemberantasan rambut gondrong yang dilakukan oleh TNI (Yudhistira, 2010).
Kasus lain, saat ini jika ada siswi SMA beragama Islam yang tidak mengenakan jilbab akan dianggap menyimpang, padahal di masa lalu orang yang menggunakan jilbablah yang dianggap menyimpang. Di masa lalu, memakai jilbab dianggap sebagai penganut ektrim kanan yang dilarang negara. Bahkan Direktur Ashoka Indonesia, Ibu Nani Zulminarni, yang mengembangkan gerakan “Everyone a Changemaker”, pada satu kesempatan pernah berbagi cerita bahwa ia masuk ke dunia LSM bukan karena cita-cita awal, melainkan karena “tersesat”—tidak bisa mendapatkan pekerjaan formal hanya karena berjilbab.
Kajian sosiologi perubahan sosial merupakan kajian yang sangat menarik karena memotret hal yang sering tidak disadari (taken for granted) padahal kita bagian darinya. Aguste Comte mengatakan untuk mempelajari sosiologi cukup dilihat dari dua hal, yaitu dinamika sosial (perubahan yang terjadi) dan statika sosial (struktur yang tetap). Sosiologi (perubahan sosial) berusaha mencari pola perubahan ini (Ward, 1895).
Menariknya, mereka tidak selalu sepakat tentang bagaimana perubahan itu berlangsung. Aguste Comte mengatakan perubahan itu bergerak linier mengikuti hukum tiga tahap, dari teologi, metafisik, ke tahap positifis, gerakanya akan melaju lurus tanpa menoleh ke belakang. Cara berfikir irasional akan digantikan cara berfikir rasional (Comte, 2009; Turner, 2001). Perubahan semacam garis linier ini juga dituliskan oleh Karl Marx yang merumuskan perubahan masyarakat bergerak dari komunisme primitive, perbudakan, feodalisme, kapitalisme, sosialisme, dan komunisme akhir (Marx, 1976). Di sisi yang lain, Rostow, tokoh kapitalisme yang ramuan pembangunannya dipakai Indonesia di era Pak Harto, menggambarkan masyarakat juga bergerak linier dari tahap tradisional, pre condition for take off, take off, drive to maturity-kedewasaan sampai high consumtion (Rostow, 1960).
Agak lain, Pitirim Sorokin mengatakan perubahan itu tidak berjalan secara linier tapi bergerak seperti siklus yang berulang (Sorokin, 1957): apa yang kita tinggalkan, suatu hari bisa kembali lagi di masa depan. Celana “cutbray” yang dulu pernah menjadi tren, hilang, lalu muncul lagi, cara berfikir irasional akan muncul kembali setelah memasuki era positivism.
Michel Foucault menawarkan sudut pandang lain tentang perubahan sosial, bahwa perubahan sosial sangat dipengaruhi oleh wacana dan kekuasaan. Dalam sejarah penanganan gangguan jiwa misalnya, cara pandang masyarakat terhadap “orang gila” selalu berubah. Dulu, orang gila dianggap terjadi karena kerasukan setan, sehingga pengobatannya dilakukan oleh agamawan menggunakan terapi doa dan air. Setan terbuat dari api dan air bisa mengalahkan api. Lalu, muncul pemahaman bahwa kegilaan terjadi karena tekanan pikiran, yang membuat konselor atau psikolog menjadi pihak yang berwenang untuk menyelesaikan kegilaan dengan konseling. Setelahnya, ilmu pengetahuan menyimpulkan bahwa gangguan jiwa berkaitan dengan hormon dan zat kimia dalam tubuh, sehingga perawatannya beralih ke ranah medis oleh psikiater dengan menggunakan obat-obatan (Foucault, 2001).
Di Indonesia, pemikiran tentang perubahan sosial juga berkembang. Selo Soemardjan dalam bukunya Perubahan Sosial di Yogyakarta (1990) mencatat bagaimana perubahan sosial terjadi di masyarakat Yogyakarta (Soemardjan, 1990). Sementara Kartini Kartono, dalam Patologi Sosial (1997), mengkaji bagaimana perubahan perilaku menyimpang bisa berkembang menjadi norma baru atau sebaliknya (Kartono, 1997).
Perkenalan Saya dengan Sosiologi Perubahan Sosial
Saya mulai berkenalan dengan perubahan sosial sejak kuliah. Saat itu, saya menulis beberapa artikel di koran Kedaulatan Rakyat dan meneliti anak petani yang tidak mau jadi petani akibat kebijakan pemiskinan. Saya juga melanjutkan disertasi Selo Soemarjan terkait perubahan sosial di Yogyakarta dan konsepsi kekuasaan jawanya Benedict Anderson. Salah satu hasil disertasi tersebut saya tulis dalam sebuah jurnal dengan judul Dinamika Pola Pikir Orang Jawa di Tengah Arus Modernisasi (Jaya, 2012a).
Disertasi tersebut mengulas tentang nama orang Yogyakarta yang semakin “Islami”. Selain itu, saya juga mendeskripsikan perubahan orientasi arah rumah orang Yogyakarta. Dahulu, rumah-rumah umumnya hanya menghadap utara dan selatan-menghadap Nyi Roro Kidul atau Keraton. Namun setelah gempa orientasi arah rumah mulai berubah, lebih banyak menghadap jalan raya (tidak lagi berkiblat pada budaya atau keyakinan Jawa, tapi kiblatnya pada basis ekonomi-kapitalisme). Pergeseran ini menandai perubahan pola keyakinan orang Jawa, dari kepatuhan terhadap kontruksi budaya Jawa menjadi kesadaran fungsional. Rumah yang menghadap jalan tidak lagi berorientasi pada kepercayaan tradisional, melainkan pada faktor ekonomi karena dapat dimanfaatkan untuk berdagang (Jaya, 2012a).
Kepatuhan masyarakat terhadap raja juga berubah, jika dahulu orang patuh karena konsep kekuasaan Jawa, saat ini lebih karena kepentingan ekonomi, jadi sekali kali jika sultan mengusik kepentingan ekonomi kawulo, tidak segan kawulo akan siap demo tanpa takut kualat sebagaimana bayangan konsep kekuasaan jawa. Masyarakat siap “membrontak” sebagaimana terjadi dalam kasus sutet, pasir besi, RUUK DIY, dan juga permintaan kayu jati untuk perbaikan keraton yang rusak akibat gempa (Jaya, 2013).
Saya juga menulis tentang perubahan sumur dan kemandirian air di Yogyakarta, menulis transformasi wajah masjid di Yogyakarta, menulis tentang perubahan masyarakat menghadapi bencana, Saya juga menulis tentang transformasi kampung tuak di Lombok, juga transformasi desa pengemis di Madura, Yogyakarta, dan Banyumas.
Peran Intelektual: Menafsir atau Mengubah
Penelitian tersebut sebagian besar telah terbit dalam bentuk jurnal ataupun buku dan menjadi syarat diperolehnya gelar sarjana sampai doktor. Tulisan-tulisan saya tersebut membuat saya menjadi PNS, narasumber kuliah umum dan seminar di beberapa kampus, dan juga membuat kepangkatan saya melejit dari tenaga pengajar (III.a) menjadi guru besar (IV.c). Saya berhasil menjelaskan fenomena perubahan sosial di banyak kasus, dan merubah nasib saya menjadi dosen dan peneliti yang lebih baik, namun masyarakat yang saya teliti tidak berubah nasibnya. Nasib saya berubah, namun masyarakat yang saya teliti tidak berubah.
Karl Marx sudah mengkritik kerja-kerja intelektual seperti yang saya lakukan sejak tahun 1845. Marx menulis “Tesis kesebelas tentang Feuerbach”, Kata Marx “Para Ilmuan seperti burung Hantu, yang hanya bisa menafsirkan dunia dengan berbagai cara; padahal yang terpenting ialah mengubahnya” (Ypi, 2013) (Hegel, 1991).
Saya kawatir tidak hanya saya, namun banyak intelektual kampus terjebak pada menara gading dan lupa dengan realitas. Sosiolog seperti seorang novelis yang bisanya hanya menulis perubahan-perubahan yang sudah terjadi, padahal yang harus dilakukan adalah merubahnya. Dalam bahasa Gramschi, para inteletual belum menjadi intelektual organik. Kegelisahan ini sebenarnya tidak hanya melanda Marx. Namun alm Prof Masri Singarimbun pendiri Pusat Studi Kependudukan & Kebijakan (PSKK) UGM, alm Prof Sajogjo, atau guru saya, Prof. Heru Nugroho, juga gelisah.
APA TAWARAN SAYA? Sebelum masuk ke tawaran saya, dalam percaturan Ilmu Sosial ada kelompok Frankfurt School. Jurgen Habermas, dkk yang menjelaskan bahwa ada tiga jenis penelitian, yaitu penelitian empiris-analitis (instrumental), historis-hermeneutik (interpretatif), dan penelitian kritis-emansipatoris (aksi) (Habermas, 1973). Penelitian aksi mungkin salah satu yang bisa menjadi pilihan. Sosiologi punya tugas menjelaskan kepada masyarakat tentang satu kejadian, utamanya tentang masalah-masalah sosial yang dihadapi masyarakat. Konon merubah masyarakat bukan tugas sosiolog, sosiolog harus bebas nilai. Maka post-sosiologi atau pengembangan masyarakat merupakan kelanjutannya.
Merubah masyarakat juga tidak gampang, namun harus dipotret dari kacamata sosiologi terlebih dahulu. Kalau tidak, akan terjadi “tragedi kera dan ikan” atau seperti yang ditulis Tania Murai Lee dalam buku The Will to Improve, niat baik pemerintah untuk menolong dengan pembangunan ternyata malah merusak masyarakat (Li, 2007). Sosiologi memberi dasar analisis sosial sebelum intervensi. Analisis sosial dapat melakukan peramalan berdasar data-data yang ada. Sosiologi imaginasi dibutuhkan sebelum melakukan intervensi sosial.
Kasus yang sering saya jadikan contoh adalah Program Kube untuk pengungsi Merapi pada tahun 2010. Setelah Gunung Merapi meletus, petani sekitar Merapi tidak mempunyai pekerjaan karena tanahnya panas sehingga masih belum bisa ditanami. Pemerintah membuat Program KUBE lele terpal. Program tersebut didampingi sejumlah kampus. Usaha lelenya berhasil, sehingga semua orang panen lele, namun situasi tersebut menyebabkan harga lele yang biasanya Rp16.000,- menjadi Rp8.000,- harga ini tidak hanya untuk lele di sekitar Merapi, namun di seluruh DI Yogyakarta. Akibatnya peternak lele di Bantul, Kulun Progo juga turut merugi karena penurunan harga akibat program tersebut. Niat baik jika tidak diikuti analisis yang dalam dapat mengakibatkan bencana.
TRICKLE-DOWN EFFECT DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Bapak ibu hadirin yang saya hormati, Prof. Sajogyo (1971) mengatakan ilmu sosiologi berkembang dari kenyataan dan persoalan yang timbul dalam masyarakat dan hendaknya sosiologi mencarikan pemecahan dan jalan keluarnya (Sajogyo 1971: 2). Sosiologi tidak bisa lagi dalam posisi bebas nilai dan hanya menafsir dunia, namun sosiologi harus ikut terlibat dalam proses perubahan dan intervensi dalam pemecahan masalah sosial. Inilah satu paradigma baru ilmu pengetahuan yang memadukan hasil reseach dengan aksi yang dikembangkan Mazhab Frankfurt dan juga Prodi Pengembangan Masyarakat Islam ataupun Prodi Pembangunan Sosial. Prodi-prodi tersebut berusaha menjadi tekniknya ilmu sosial.
Saya rasa saat ini salah satu masalah sosial terbesar dan menjadi target SDG’s adalah pengentasan kemiskinan. Pengentasan kemiskinan menjadi tujuan nomer satu dalam SDG’s karena kemiskinan mempengaruhi enam belas sasaran SDG’s yang lain. Kemiskinan akan mempengaruhi pencapaian target tanpa kelaparan, kehidupan yang sehat, pendidikan yang berkualitas sampai air bersih. Saat ini jumlah penduduk miskin di Indonesia ada 25,22 juta jiwa (Badan Pusat Statistik, 2024). Jumlah ini hampir sama dengan jumlah penduduk Malaysia, 4 kali lipat penduduk Singapura, atau 55 kali penduduk Brunei Darussalam. Dengan demikian sosiologi perlu mencari cara atau strategi intervensi sosial dalam mengatasi kemiskinan.
Bagaimana strateginya?
Saya rasa selama ini pemerintah ataupun akademisi belum berhasil dalam mengatasi kemiskinan? Jika kita lacak tulisan di jurnal terkait kemiskinan, di sistem data base sinta ada sekitar 17.864 judul penelitian (Terdapat 11.416 judul dengan kata kunci kemiskinan dan 6.448 judul dengan kata poverty, dan 5.585 kata kemiskinan). 17.864 judul penelitian bukan jumlah yang sedikit, namun nyatanya kajian tersebut belum mampu membawa penurunan angka kemiskinan secara signifikan. Yang dilakukan para cendekiawan hanya melakukan tafsir atas masalah sosial dengan jalan menulisnya, akibatnya ada sekian ribu karya ilmuan, namun masalah sosial tidak ada habisnya.
Jika kita lihat anggaran yang dikeluarkan pemerintah untuk mengatasi kemiskinan, angkanya sangat besar. Pada tahun 2023 pemerintah mengeluarkan dana 496,8T dan angka kemiskinan turun, namun hanya turun 240.000 orang saja (BPS 2023). Hal ini berarti untuk menurunkan satu orang miskin butuh dana 1,7 M (496,8T triliun /240.000 orang). Semakin aneh jika melihat data tahun 2013, pemerintah mengeluarkan dana 106,8 triliun untuk mengentaskan kemiskinan, namun angka kemiskinan pada tahun 2014 malah meningkat sebesar 0,11 juta (Jaya, 2017). Besarnya dana yang dikeluarkan pemerintah tidak sebanding dengan laju penurunan angka kemiskinan, Anggaran Rp 92 Triliun Kok Cuma Kurangi Kemiskinan 0,97 Persen (Jaya, 2017). Angka ini jauh dibanding target pemerintah untuk menurunkan angka kemiskinan sebesar 7,5 persen (Setwapres, 2024).
Jumlah dana pengentasan kemiskinan yang besar tidak berkorelasi positif dengan penurunan angka kemiskinan. Mengapa hal ini terjadi? Inefisiensi. Inefisiensi ini terjadi karena dalam sistem demokrasi dana pengentasan kemiskinan dibagikan secara merata dengan tujuan “sebenarnya” sebagai instrumen untuk mengumpulkan suara saat pemilu melalui bantuan sosial (bansos). Akibatnya, besarnya anggaran dana pengentasan kemiskinan tidak berkorelasi positif dengan efektivitas pengentasan kemiskinan (Haryati, 2003).
Berdasarkan latar belakang tersebut maka saya akan mendiskusikan dua hal. Pertama, bagaimana strategi yang efektif untuk pemberdayaan masyarakat dan pengentasan kemiskinan? Kedua, apa tawaran saya secara teoritis?
Saya menawarkan konsep trickle-down effect sebagai strategi intervensi sosial, dimulai dari eksperimen skala kecil yang diharapkan dapat menghasilkan efek rembesan untuk mendorong perubahan yang lebih luas.
Kajian Pustaka
Untuk menjawab rumusan masalah tersebut maka pertanyaan pertama yang harus dijawab adalah dana pengentasan kemiskinan idealnya diberikan kepada siapa? Selama ini, intervensi kepada orang miskin cenderung dipukul rata diberikan kepada semua orang miskin yang jumlahnya lebih dari 25 juta orang, semua dapat tapi nilainya sangat kecil. Hal ini mengakibatkan program pemberdayaan tidak efektif guna mengatasi kemiskinan. Meskipun total anggaran yang digunakan besar, namun yang sampai ke keluarga miskin kecil karena dibagi rata dan banyak untuk rapat.
Merujuk kajian Amartya Sen tentang keadilan dalam buku The Idea of Justice (Sen, 2009). Amartya Sen bertanya, jika anda menemukan mainan seruling di jalan dan anda orang baik sehingga berusaha menemukan orang yang tepat guna memiliki seruling itu maka seruling itu akan anda berikan kepada siapa?
Jika ada tiga orang datang dan mengajukan penawaran kepada anda maka kepada siapa anda akan memberikannya? Paradigma humanis akan mengatakan diberikan kepada orang yang paling menderita, paling miskin-yang belum pernah punya mainan sama sekali. Paradigma fungsionalis akan mengatakan bahwa seruling tersebut sebaiknya diberikan kepada orang yang bisa memainkan seruling itu dengan baik sehingga orang-orang di sekitarnya bisa ikut menikmati. Paradigma teologi akan mengatakan seruling tersebut harus dikembalikan kepada pemilik aslinya, yang kehilangan seruling itu di jalan (Sen, 2009).
Kalau seruling diibaratkan sebagai dana pengentasan kemiskinan maka dana ini sebaiknya diberikan kepada siapa? Kalau diberikan kepada semua orang miskin, kepada yang tidak bisa memainkan seruling maka seruling itu tidak ada gunanya. Seruling itu harus diberikan kepada orang yang potensial dapat memainkannya. Kalau orang yang diberi seruling bisa memainkannya maka orang yang ada di sekitarnya juga akan meraskan manfaat dan disitulah akan muncul copy paste pengentasan kemiskinan dalam konsep trickle-down effect.
Tawaran (Tesis) Saya:
Saya berpendapat pendekatan fungsional lebih tepat untuk mengatasi kemiskinan di Indonesia. Oleh karena itu, perlu mencari orang yang punya potensi bisa menggunaan dana pengentasan kemiskinan, kemudian lakukan pendampingan sampai berhasil. Setelah berhasil pastikan terjadi trickle-down effect yang berdampak pada perubahan masyarakat.
Dalam kajian trickle-down effect, biasanya langkah utama yang dilakukan adalah mencari investor atau pemilik modal besar. Namun, dalam kasus ini, yang dicari adalah orang miskin yang paling potensial untuk diberdayakan. Bagaimana mengukur orang miskin yang potensial? Bisa menggunakan konsep N-Ach dari David McClelland yang mengidentifikasi individu dengan motivasi tinggi untuk meraih keberhasilan. Alternatif lainnya adalah menerapkan sistem pengajuan proposal, di mana individu atau kelompok mengusulkan rencana pemberdayaan mereka sendiri (Baddeley et al., 2017; Gollwitzer & Oettingen, 2015). Meskipun demikian menentukan individu yang potensial sebenarnya bukanlah tantangan terbesar. Yang lebih penting adalah memastikan pemberdayaan dilakukan secara terfokus—membantu sedikit orang dengan efektif melalui alokasi dana pengentasan kemiskinan yang tepat serta pendampingan yang intensif dan berkelanjutan.
E.F. Schumacher, dalam bukunya Small Is Beautiful: A Study of Economics as if People Mattered - mengkritik pendekatan ekonomi modern yang terlalu berfokus pada pertumbuhan (Schumacher, 1973). Meskipun trickle-down effect merupakan bagian dari teori pertumbuhan, namun saya berpendapat teori ini dapat direformulasikan menjadi model pemberdayaan yang dimulai dari satu individu potensial. Ketika individu tersebut berhasil mengembangkan usahanya, efek yang mengalir ke masyarakat di sekitarnya akan terjadi secara alami. Dengan kata lain, trickle-down effect tidak hanya dipahami sebagai distribusi manfaat dari kelas atas ke bawah, tetapi juga sebagai mekanisme perubahan sosial yang berakar dari pemberdayaan individu secara langsung. Pendekatan ini menawarkan perspektif baru dalam mengatasi kemiskinan, yakni dengan mengedepankan transformasi dari bawah yang lebih inklusif dan berkelanjutan.
Enam Kasus Kesuksesan Program Perubahan Sosial
Tesis atau tawaran yang saya ajukan ini mempunyai dasar yang kuat. Saya telah mengkaji enam kasus perubahan sosial dan telah menulisnya dalam enam jurnal. Semua kasus tersebut menunjukan bahwa perubahan sosial ternyata bisa dimulai dari satu orang yang kemudian dicontoh, menjadi teladan, menginspirasi, dan menyebar sehingga terjadi perubahan yang lebih luas. Pemerintah tidak perlu membantu setiap orang, melainkan cukup memberdayakan mereka yang memiliki potensi.
Kasus pertama telah saya tulis dalam jurnal berjudul Trickle Down Effect: Strategi Alternatif dalam Pengembangan Masyarakat (Jaya, 2012b). Tulisan tersebut membahas tentang terbentuknya kampung-kampung berdaya yang, dalam konsep teoritis, dikenal sebagai OVOB (one village one produck). Proses ini dimulai dari keberhasilan satu orang individu yang kemudian ditiru oleh banyak orang.
Awalnya saya meneliti Kampung Pelem Madu yang menjadi kampung peyek. Kampung Pelem Madu berubah menjadi sentra rempeyek dimulai dari satu orang yang berhasil dan akhirnya membuat para tetangga melakukan peniruan dan terbentuklah kampung peyek di Pelemadu. Fenomena serupa juga terjadi di berbagai wilayah lain, seperti Kampung Batik di Wijirejo Pandak Bantul, Desa Keramik di Kasongan dan Pundong Bantul, Desa Kerajinan Kayu di Krebet, Desa Jamu di Kiringan, Desa Wayang di Pucung Imogiri, Desa Kulit di Manding, Desa Bakpia di Pathok, dan juga di Kampung-Kampung Romadhon yang tumbuh selama bulan Puasa.
Kasus kedua terbit di Jurnal Inferensia Salatiga dengan judul Trickle Down effect dan Perubahan Wajah Masjid di Yogyakarta (Jaya, 2018). Penelitian ini menjelaskan perubahan fungsi masjid di Yogyakarta. Di masa lalu masjid hanya dibuka saat waktu salat saja, saat ini telah berubah. Perubahan wajah masjid di Yogyakarta dimulai dari keberhasilan satu masjid saja, yaitu Masjid Jogokaryan yang menular ke banyak masjid yang lain.
Kasus ketiga terkait banyaknya orang memberdayakan masyarakat dengan selokan yang dikasih ikan. Munculnya kelompok-kelompok berdaya tersebut ternyata dimulai dari satu titik, video viral dari Kampung Singosaren Bantul yang kemudian dicontoh di banyak tempat. Tulisan tersebut terbitkan di Jurnal Komunikasi Unpad Bandung dengan judul Media Sosial, Komunikasi Pembangunan, dan Munculnya Kelompok-Kelompok Berdaya (Jaya, 2020).
Kasus keempat tentang keberhasilan desa wisata yang juga dimulai dari satu titik lokasi yang kemudian menyebar. Tulisan ini terbit di jurnal Tourism Culture & Communication dengan judul The Role of Religious Belief In Sustainable Community-Based Tourism During Post-Disaster Recovery (Jaya & Izudin, 2022). Kasus kelima terkait pembangunan desa wisata dengan konsep glamping di Magelang. Terbit di Journal of Ecotourism dengan judul The role of ecotourism in developing local communities in Indonesia (Jaya et al., 2024). Kasus keenam terjadi di Gili Ketapang, perubahan kampung nelayan menjadi kampung wisata yang juga dimulai dari satu orang. Tulisan tersebut terbit di Jurnal Sosio Humaniora, dengan judul Innovator, Social Media, And The Emergence of A Tourism Destination in Gili Ketapang Probolinggo (Jaya, 2024).
Temuan dan Analisis Pembahasan
Dari enam kasus keberhasilan program pemberdayaan ini, satu hal yang menjadi jelas adalah bahwa perubahan sosial terkadang cukup dimulai dari satu orang dengan ide dan tekad kuat untuk memulai. Setelah itu perubahan akan mengalir, menjalar, dan mengubah wajah masyarakat. Jika ingin membuat program peningkatan kesejahteraan maka mulailah dari satu titik, seperti demplot (demonstration plot), yang dapat menjadi contoh dan menginspirasi perubahan lebih luas.
Kenapa satu titik? Pendekatan ini lebih murah. Setelah berhasil, inovasi tersebut perlu dilakukan difusi atau memasifkan agar ditiru di banyak tempat. Pada dasarnya, masyarakat berprilaku seperti koloni semut yang cenderung meniru dan mendatangi “tempat yang manis”. Proses peniruan ini akan mengikuti penjelasan tricle-down effect. Konsep trickel-down effect merupakan konsep yang menarik dan pernah diterapkan. Namun, konsep ini kemudian “terkubur” bersama dengan berakhirnya Orde Baru. Saya berpendapat ada banyak keberhasilan dalam praktik selama masa Orde Baru, meskipun juga terdapat berbagai kekurangan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan data-data yang telah didiskusikan pada bagian sebelumnya maka saya menyimpulan dan merekomendasikan:
1. Program pengentasan kemiskinan dapat dimulai dari mencari orang miskin yang memiliki potensi untuk berkembang. Orang-orang tersebut harus diberikan dana pengentasan kemiskinan dalam jumlah yang cukup. Jangan sampai dana pengentasan kemiskinan dibagi rata kepada semua orang miskin sehingga setiap orang akan dapat dana, namun jumlahnya sedikit. Lebih baik sepuluh kambing diberikan untuk satu orang miskin yang potensial, daripada setiap orang miskin dapat satu kambing. Kapan orang akan sejahtera jika modalnya hanya satu kambing. Alih-alih berkembang satu kambing ini semakin lama pasti akan mengalami guremisasi, mengecil, dan akan habis.
2. Pemerintah perlu membuat demplot (demonstrasion plot).
Program demplot ini penting untuk memberi contoh program pengentasan kemiskinan yang bisa diadopsi masyarakat. Tidak hanya berwacana, namun pemerintah harus menunjukan contoh bagaimana program bekerja dengan baik. Masyarakat dapat berkunjung untuk melakukan studi tiru di lokasi ini. Pemerintah juga perlu melakukan difusi program agar diadopsi oleh banyak masyarakat.
3. Scale-up dengan Media Sosial
Agar terjadi proses difusi dan peniruan yang masif pemerintah perlu mendifusikan temuan dengan cara mengkomunikasikan-memviralkan demplot yang telah sukses tersebut melalui media sosial.
4. Para ilmuan sosial jangan hanya menafsir dunia karena yang terpenting merubahnya.
DAFTAR REFERENSI
Badan Pusat Statistik. (2024). Persentase Penduduk Miskin Maret 2024 turun menjadi 9,03 persen. https://www.bps.go.id/id/pressrelease/2024/07/01/2370/persentase-penduduk-miskin-maret-2024-turun-menjadi-9-03-persen-.html
Baddeley, A. D., Hitch, G. J., & David McClelland. (2017). David McClelland on Achievement Motivation. Journal of Memory and Language.
Comte, A. (2009). The Positive Philosophy of Auguste Comte. In The Positive Philosophy of Auguste Comte. https://doi.org/10.1017/cbo9780511701467
Foucault, M. (2001). Madness and Civilization: A History of Insanity in the Age of Reason. In Routledge. Routledge.
Gollwitzer, P. M., & Oettingen, G. (2015). Motivation: History of the Concept. In International Encyclopedia of the Social & Behavioral Sciences: Second Edition. https://doi.org/10.1016/B978-0-08-097086-8.03102-0
Habermas, J. (1973). Knowledge and Human Interest. In Philosophy of the Social Sciences. https://doi.org/10.1177/004839317300300111
Haryati, E. (2003). Pembangunan Masyarakat Desa Dan Penanggulangan Kemiskinan: Kajian Diakronis Pengaruh Konfigurasi Politik terhadap Karakter Kebijakan Pembangunan Masyarakat Desa dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan Di Indonesia [Sekolah Pascasarjana UGM]. https://etd.repository.ugm.ac.id/penelitian/detail/24616
Hegel, G. W. F. (1991). Hegel: Elements of the Philosophy of Right. In Hegel: Elements of the Philosophy of Right. https://doi.org/10.1017/cbo9780511808012
Jaya, P. H. I. (2012a). Dinamika Pola Pikir Orang Jawa di Tengah Arus Modernisasi. Humaniora, Vol. 24, No. 2 Juni 2012: 133-140, 24(2), 133–140.
Jaya, P. H. I. (2012b). Trickle Down Effect: Strategi Alternatif dalam Pengembangan Masyarakat. Welfare: Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial, 1(1), 69–85.
Jaya, P. H. I. (2013). Hubungan raja dan rakyat di tengah gelombang demokrasi: studi tentang keberlangsungan konsep kekuasaan Jawa di masyarakat Yogyakarta, tahun 1998-2011 [Universitas Gadjah Mada]. https://etd.repository.ugm.ac.id/penelitian/detail/62024
Jaya, P. H. I. (2017). “Dream” and Poverty Alleviation. MIMBAR, Jurnal Sosial Dan Pembangunan, 33(1), 107–114. https://doi.org/10.29313/mimbar.v33i1.2102
Jaya, P. H. I. (2018). Trickle Down Efeck dan Perubahan Wajah Masjid di Yogyakarta. Inferensi: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, 12(1), 1–24. https://doi.org/doi.org/10.18326/infsl3.v12i1.1-24
Jaya, P. H. I. (2020). Media Sosial, Komunikasi Pembangunan, dan Munculnya Kelompok-kelompok Berdaya. Jurnal Kajian Komunikasi, 8(2), 166–178. https://doi.org/10.24198/jkk.v8i2.16469
Jaya, P. H. I. (2024). Inovator, Media Sosial, dan Terbentuknya Destinasi Wisata. Jurnal Sosial Humaniora, 15(1), 39–52.
Jaya, P. H. I., & Izudin, A. (2022). The role of religious belief in sustainable community-based tourism during post-disaster recovery. Tourism Culture & Communication.
Jaya, P. H. I., Izudin, A., & Aditya, R. (2024). The role of ecotourism in developing local communities in Indonesia. Journal of Ecotourism, 23(1), 20–37. https://doi.org/10.1080/14724049.2022.2117368
Kartono, K. (1997). Patologi Sosial. Rajawali Press.
Li, T. M. (2007). The Will to Improve: Governmentality, Development, and the Practice of Politics. Duke University Press.
Marx, K. (1976). The Capital. A Critique of Political Economy. Penguin.
Rostow, W. W. (1960). The Stages of Economic Growth: A Non-Communist Manifesto. In International Journal. Cambridge University Press. https://doi.org/10.2307/40198523
Schumacher, E. F. (1973). Small Is Beautiful: A Study of Economics as if People Mattered. In Vantage: Journal of Thematic Analysis. Blond & Briggs. https://doi.org/10.52253/vjta.2021.v02i02.10
Sen, A. (2009). The Idea of Justice. In Philosophy and Social Criticism. Harvard University Press. https://doi.org/10.1177/0191453714553501
Setwapres. (2024). Targetkan Penurunan Angka Kemiskinan 7,5 persen di 2024, Wapres Minta K/L Terkait Optimalkan Program dan Anggaran. Https://Www.Wapresri.Go.Id. https://www.wapresri.go.id/targetkan-penurunan-angka-kemiskinan-75-persen-di-2024-wapres-minta-k-l-terkait-optimalkan-program-dan-anggaran/
Soemardjan, S. (1990). Perubahan Sosial di Yogyakarta. Gadjah Mada Press.
Sorokin, P. A. (1957). Social and Cultural Dynamics. In Transaction Publishers. Transaction Publishers. https://doi.org/10.2307/40096961
Turner, J. H. (2001). Positivism: Sociological. In International Encyclopedia of the Social & Behavioral Sciences. https://doi.org/10.1016/b0-08-043076-7/01941-0
Ward, L. F. (1895). Static and Dynamic Sociology. Political Science Quarterly, 10(2), 203–220. https://doi.org/10.2307/2139729
Ypi, L. (2013). The owl of minerva only flies at dusk, but to where? A reply to critics. Ethics and Global Politics, 6(2), 117–134. https://doi.org/10.3402/egp.v6i2.21628
Yudhistira, A. W. (2010). Dilarang Gondrong!: Praktik Kekuasaan Orde Baru Terhadap Anak Muda Awal 1970-an. Marjin Kiri.
UCAPAN TERIMA KASIH
Memasuki bagian penutup ini, izinkan saya mengucapkan syukur dan terima kasih kepada banyak pihak. Jika tidak ada batasan jumlah halaman, saya rasa pidato pengukuhan ini isinya hanya ucapan terima kasih karena memang hanya berkat bantuan banyak pihak, saya dapat meraih gelar Guru Besar;
1. Puji Syukur Alhamdulillah saya panjatkan kepada Allah, SWT yang lebih banyak memberi keberuntungan kepada saya. Kalau bukan atas kemurahan dan kasih sayang-Nya, cerita saya sudah lama tamat, minimal pas pandemi Covid-19.
Alhamdulilah Allah masih memberi kesempatan saya untuk melanjutkan cerita.
2. Sholawat dan salam saya curahkan kepada Nabi Agung, Muhammad, SAW dan para nabi sebelumnya yang telah memberikan banyak teladan dan inspirasi bagi saya untuk melangkah. Kisah-kisah dalam Al-Qur’an membuat saya bisa melihat lebih jeli dan turut sedikit melakukan perubahan sosial di masyarakat,
3. Terima kasih tak lupa saya ucapkan kepada Ketua Senat, Sekretaris Senat dan anggota Senat yang sudah mensetujui pengajuan Guru Besar saya. Maturnuwun Prof. Dr. H. Kamsi, Prof. Dr. H. Maragustam, Para Guru Besar dan seluruh anggota Senat UIN Sunan Kalijaga,
4. Terima kasih tak lupa saya ucapkan kepada Bapak Rektor UIN Sunan Kalijaga, Bapak Prof. H. Noorhaidi S.Ag., M.A., M.Phil., Ph.D. dan juga Rektor sebelumnya Prof. Dr. Phil. H. Al-Makin, yang telah memberikan fasilitas, pengetahuan, motivasi sehingga saya bisa berjuang meraih gelar Guru Besar.
5. Terima kasih kepada Bapak Wakil Rektor I yang lama, Prof. Dr. H. Iswandi Syahputra yang merancang program postdoktoral untuk saya dan teman-teman. Berkat sentuhan beliau program ini menjadi lebih “hidup”. Terima kasih juga saya sampaikan kepada Wakil Rektor I saat ini, Prof. Dr. Hj. Istiningsih, M.Pd yang telah memfasilitasi dan dengan sigap memantau kebutuhan teman-teman dalam pengajuan Guru Besar.
6. Terima kasih kepada Wakil Rektor II sebelumnya, Prof. Dr. Phil. Sahiron, M.A. dan Wakil Rektor II saat ini, Dr. Mochamad Sodik, M.Si yang telah memfasilitasi serta menggelontorkan dana program percepatan Guru Besar.
7. Terima kasih kepada Wakil Rektor III, Dr. Abdur Rozaki, yang merupakan atasan sekaligus mentor saya dalam bidang kemahasiswaan, mitra kerja di prodi, serta Ketua Perkumpulan Pengembangan Masyarakat Islam (P2MI). Melalui beliau, ritme kerja tetap terjaga, dan semangat menulis dalam suasana riang gembira di bidang kemahasiswaan dapat terus muncul.
8. Terima kasih kepada teman-teman di Dekanat Fakultas Dakwah dan Komunikasi, baik yang lama atau yang baru. Karena saya bagian yang lama sekaligus bagian yang baru.
- Yang lama: Terima kasih yang tidak terhingga saya sampaikan kepada Prof. Dr. Hj. Marhumah, dekan yang selalu menginspirasi. dekan yang selalu melindungi, bahkan sering ofensif untuk mengembangkan dakwah dan mendorong semua orang di FDK untuk sukses, termasuk saya. Meminjam istilah Prof Atun dan Prof Ema, together on the top. Dari beliau saya belajar banyak hal. Termasuk perubahan kepakaran saya, dari analisis problem sosial ke sosiologi perubahan sosial juga karena saran beliau. Terima kasih-maturnuwun.
- Saya menulis naskah pidato ini sejak teman saya tercinta Pak Mustofa masih sugeng. Saya ndak rubah kata-kata untuk beliau: Terima kasih kepada Pak Dr. Mustofa, ini kolega saya yang banyak mendinginkan saya. Saya bisa menangkap banyak hikmah dan kelembutan sekaligus komitmen yang kuat ketika bekerja dengan beliau. Kalau bu Dekan memberi sentuhan api yang membakar untuk terus melangkah, maka Pak WD ini menjadi penyeimbang sehingga saya tidak oleng.
- Terima kasih kepada Ibu WD 2, Prof. Dr. Casmini- yang selalu memotivasi dengan gaya khas beliau agar saya segera mengumpulkan syarat profesor. “Mau dimarahi atau segera dikumpulkan”, kata beliau, saya milih dikumpulkan sekaligus dimarai.
- Terima kasih untuk bos saya sekarang, Mas Prof. Dr. Arif Maftuhin, M.Ag., M.A.I.S.-saya bersahabat baik dengan adik dan iparnya-Mbak Islah dan Mas Naeni. Dari Mas Naeni saya belajar Sosiologi. Pak Dekan ini galak katanya, tapi memang galak agar visinya tercapai. Tapi Saya ndak kaget, karena sejak tahun 2003 meja saya ada di dekat beliau. Hanya pada tahun 2010 kami dipisahkan, karena perceraian prodi-PMI dan IKS.
- Terima kasih kepada Buya Irsyad, Pak WD 2, yang saya banyak belajar dari beliau-soal kecepatan.
- Terima kasih kepada Kang WD 3, Kang Dr. Muksin Kalida-Pak Muksin satu angkatan PNS dengan saya pada tahun 2003.
9. Terima kasih kepada bapak ibu dekan se-UIN Sunan Kalijaga, baik yang lama atau yang baru-salah satunya Prof. Dr. Hj. Sri Sumarni, dari beliau saya dapat pesan WhatsApp kesasar yang ternyata membebaskan saya dari “ketidakpastian, kapan turunnya SK GB”, maturnuwun. Terima kasih banyak kepada para dekan yang menginspirasi.
10. Terima kasih kepada Para WD yang membuat saya terpacu untuk terus produktif. Secara spesifik terima kasih kepada Para WD 3, partner saya yang selalu memberikan aura gembira. Saya urutkan dari fakultas yang paling dekat ada Kyai Sofi, Mas Ahmad Salehudin, Lora Fatur, Mas Imam Machali, Mbak Sri Wahyuni, Kang Mas Sujadi, dan juga Akang Badrun. Nama-nama ini merupakan tim yang solit. Selain itu ada Pak Boy, Mas Nur dan teman-teman di kemahasiswaan. Terima kasih juga untuk teman-teman WD 1 saat ini, Bu Narti, Bu Ambar, Bu Uyun, Abah Rofik, Pak Andy, Pak Okto, Pak Saifuddin, Pak Nurul Hak, sehat terus dan terulah menginspirasi.
11. Terima kasih kepada LP2M dan perpustakaan; Dr. Muhrisun, Dr. Suhada, Mas Didik, Dr. Adib Sofia, (alm) Mas Zainal, Dr. Abdul Qoyum, Dr. Labibah, Dr. Tafrikhuddin, dan seluruh teman2 di LP2M. Bu Adib dan teman-teman LP2M menjadi penolong syarat tambahan saya. Terima kasih juga untuk Prof. Dr. Sukiman dan Prof. Dr. Sigit Purnama yang membantu dalam melengkapi syarat tambahan.
12. Terima kasih kepada para tendik yang sudah meringankan pekerjaan saya ketika menjadi DT sehingga saya tetap bisa meneliti dan menulis di tengah pekerjaan yang banyak. Jika diuraikan ada banyak nama, ada Bu Suratiningsih, Pak Dar, Pak Asngadi, Pak Bambang. Tak lupa saya mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang telah membantu proses pengajuan guru besar saya, Pak Kabag Akademik Dr. Khoirul Anwar, Kabag Kepegawaian Bu Ita-Sri Puspita Murni, S.E., M.M, Pak Suefrizal, M.S.I, Kabag Fadib sekaligus teman letting masuk PNS saya, Bu Nyai Siti Asfiah, S.Ag., M.M., Pak Kabag FDK Pak Agus, Bu Fitri Nur Istiqomah, S.E., M.M., Pak Choi, Teh Euis, Mas Aris, Mas Imam, Mas Sigit, Mas Edi, Mas Bagus, Pak Roger, Mas Aan, Pak Amir, Pak Basuki, Bu Lina, Bu Yuni, dan semua tim yang sudah membantu pengusulan GB saya. Saya juga menyampaikan terima kasih kepada Ibu Evi dan tim yang telah membuatkan video dokumentasi. Maturnuwun.
13. Terima kasih kepada tempat-tempat yang sering saya jadikan tempat singgah, Teman-Teman di Dewan Harian Daerah-45 Pembudayaan Nilai-Nilai Kejuangan. Ada Pak Ketua Dr. H. Sony-Bambang Wicaksono, Pak Gik, Bu Ana, Pak Is, Pak Widodo, Pak Prio, Mas Antok, Pak Hery, Bu Tutik, Bu Istiana, dan semuanya.
14. Tempat saya belajar pemberdayaan masyarakat, terima kasih kepada seluruh Komunitas Pegiat Sungai Yogyakarta. Terspesial di FKWA (Forum Komunikasi Winongo Asri) ada Bu Endang, Mas Ari, Mas Yudi, Mas Mul, Mas Irfan, Mbak Ana, Mas Imam, Lik Ran, Pak Pur, Yu Minul, Pak Marwan, Mas Unggul, dan semuanya. Tempat saya jadi sunan jaga kali.
15. Tempat saya mengabdi, terima kasih untuk teman-teman Takmir Masjid Al-Hidayah Paker. Mas Bamban Wismantoro, Mas Sulis, Mas Winarto, Pak Ngatijo, Kang Wanto, Mas Gun dan tentu Pakde saya Pak Sudras.
Ini tempat saya melunturkan label abangan saya. Tempat saya menjadi Khatib, tempat saya diskusi memakmurkan masjid, dan tempat saya menjadi ketua takmir masjid.
16. Guru-guru saya mulai dari TK, SD, SMP, SMA terima kasih.
17. Kolega saya di APSI, ISI (Ikatan Sosiolog Indonesia), dan P2MI-ada Mas Tantan, Bu Rosita, Bu Rasidah, Bu Samsinas, Bu Wati, Pak Muhtadi-teman2 pendiri P2MI.
18. Guru-guru saya di Kampus:
- Dr. Drajat TK-kaprodi S3 UNS dan sekarang jadi Wakil Rektor I Bidang Akademik, Inovasi, dan Kemahasiswaan Tiga Serangkai University-dari beliau saya belajar teori sosiologi. Dari beliau saya pertama nulis buku, dari beliau saya jadi asisten dosen di Fisip UNS. Saya hutang budi dan pengetahuan banyak dari Pak Drajat.
- Terima kasih kepada Bapak Dr. Supriyadi, SN, SU pembimbing skripsi saya dan Prof. Dr. Mahendra Wijaya, penguji doktor saya. Terima kasih untuk Dr. Rahesli Humsoni, dosen yang memberi saya buku sosiologi karena saya menjadi murid terbaik di kelas beliau. Terima kasih untuk Dr. Ratna yang mendidik saya dalam penelitian kuantitatif, Dr. Trisni yang mengajari kualitatif, Dr. Ahmad Zubaer, Terima kasih untuk Prof. Argyo Kaprodi Sosiologi UNS-beliau merupakan dosen mentor saya dalam penelitian.
- Terima kasih untuk sahabat saya, Mas Romdhon. Mas Romdhon ini salah satu guru saya, terutama soal “kenekatan”. Kalau saya kadang nekat, ya karena beliau. Pernah motor saya dipakai untuk nyulik Pak Ichsanudin Nursy-diculik suruh jadi narasumber diskusi, bahkan setelah menjadi narasumber beliau masih disuruh bayari angkringan-hik. Bener-bener di luar nalar “kepriyayian”.
- Terima kasih teman-teman di Solo dan di Komunitas Sekolah Malam ada Mas Naeni, Mas Rifai, Aak Fuad Jamil, Kang Sholahudin Aly, Mas Catur, Kang Mathori, Mas Maulana, Mas Kuat Hermawan Santoso, dkk.
Saya bisa melepaskan ketergantungan dari obat introvert saya karena mereka, dulu saya harus didoping buku Chicken Soup for The Soul, la Tahzan, filsafat eksistensialisme Satre, Kahlil Gibran, bukunya Kang Sobary Kang Sejo Melihat Tuhan, Catatan Pinggir Gunawan Muhammad, atau buku-buku lepasnya Cak Nun untuk mengurangi beban akibat sifat introvert saya...karena mereka saya bisa menggerakkan pendulum dari introvert agak ke tengah. Maturnuwun
19. Guru saya di UGM:
- Prof. Dr. Heru Nugroho beliau merupakan promotor dan pembimbing tesis saya, pidato beliau selalu membuat saya seakan-akan sedang mendengarkan orkestra yang sangat nikmat, saya merasa recharge pengetahuan jika mendengarkan ceramah beliau. Ceramah beliau seperti Prof. Dr. M. Amin Abdullah ketika ngendiko.
- Prof. Dr. Pratikno, M.Soc., beliau co-promotor saya, yang banyak memberi nasehat tentang bagaimana membangun tesis dan menyusun argumen sehingga menjadi akademisi yang baik.
- Terima kasih untuk teman-teman di APSI (Asosiasi Pembangunan Sosial Indonesia), mentor saya, Prof. Dr. Susetiawan, Mas Nurhadi, Ph.D, Prof. Anton, Bu Suzanna, Ph.D, Mas Hempri, Mas Kris, Mas Danang, Mbak Lusi, Pak Juni, Mas Bahrudin, Mbak Galih, Pak Aji, dkk, maturnuwun sanget.
- Belakangan ini, saya lebih dekat APSI daripada ISI (Ikatan Sosiologi Indonesia), namun dalam perjalanan panjang di sosiologi, saya banyak berdikusi dan belajar dari senior, terima kasih kepada Prof. Dr. Partini, Prof. Dr. Harko, Mas Arie Sujito, Mas Najib Azca, Mas Praja, Pak Lambang, Mbak Arie, dkk.
20. Terima kasih kepada penguji disertasi saya. Saya berdiskusi panjang lebar mengenai bagaimana menulis yang baik dengan Prof. Dr. Sugeng Bayu Wahyono dari UNY dan Dr. Budiawan dari Kajian Budaya dan Media UGM.
21. Terima kasih kepada teman-teman sekolah di SD, SMP, SMA, Kuliah S1, S2, dan S3. Tanpa mereka dunia seakan sepi. Mereka ada (alm) Mbak Sulis, Prof. Nirzalim, Mas Dr. Nurun Soleh-atlet catur andalan saya, Mas Dr. Mahli, Mas Dr. Yuli Utanto, Lora Saiful, Mas Wiyono, Bu Anisa, Mas Widiarsa, Mbak Dina, Mas Sugeng, Mas Danul, Mas Andre, dan semuanya. Maturnuwun.
22. Terima kasih kepala sayap-sayap saya di kampus.
- Kolega saya tercinta, sedulur saya di FDK. Ada banyak nama yang sudah memberikan banyak “rabuk” sehingga saya bisa tumbuh di FDK. Semua saling menjaga, semua saling menguatkan, maturnuwun bapak ibu sedoyo. Semuanya I Love You.
- Terima kasih untuk sedulur prodi yang telah menjadi “rumah pertama” saya di UIN Suka, sedulur yang telah menemani dalam mengembangkan keilmuan pengembangan masyarakat. Terima kasih untuk Bu Aminah; Mbak Diah; Bu Bety; Pak Abu Suhud; Pak Rozaki; Mas Hilmi; Mas Rudy; Mas Izudin; Mas Adit; Prof. Dr. Harini; Prof. Dr. Siti Syamsiatun; Prof. Dr. Moch. Nur Ichwan; Prof. Dr. Aziz Muslim- selalu rindu bersama berbincang dan memikirkan bangsa ini. Terima kasih juga untuk Pak Afif dan Pak Suis.
23. Teman-teman yang selalu meringankan saya di bidang III dan bidang I ada Mas Adit, Mas Mico, Mas Diak, Mbak Nurul, Mbak Dyah, Mas Nafi, Mas Rudi. Maturnuwun.
24. Saya wajib mengucapkan terima kasih kepada sahabat-sahabat baik saya dalam menyelesaikan projek Guru Besar ini. Kalau diibaratkan sepak bola, saya punya gelandang sayap kanan dan sayap kiri yang selalu siap mendukung setiap gerakan saya:
- Di sayap kanan ada Pak Saptoni yang menjadi mentor saya dalam menulis. Saya menulis bebera artikel dengan beliau, bahkan ketika nulis disertasi juga sering dibantu beliau-maturnuwun.
- Di sayap kiri-ada dua orang yang “gegirisi”. Merekalah yang memberi operan-operan matang kepada saya untuk menulis, terutama scopus. Bahkan mereka terkadang memberikan operan yang dengan memejamkan mata saja, saya bisa memasukan bolanya. Ada mas Adit dan Mas Izudin.
- Ini orang-orang yang sangat berjasa dalam menuntaskan projek GB saya. Bayangkan – Mas Adit itu bilang pak mau gabung nulis ndak. Yang nawari malah yunior. Mereka berdua memang pernah jadi murid saya-skripsinya Mas Adit yang bimbing saya-tesisnya Mas Izudin juga dengan saya, Tapi mereka berdualah yang membuat saya kenal scopus.
- Bayangkan kalau dua sayap ini disatukan, pasti selalu menang. Sekali lagi maturnuwun kepada Mas Saptoni, Mas Izudin, dan Mas Adit.
25. Terima kasih kepada Prof. Dr. Irfan Helmy. Ketika berkas pengajuan guru besar saya sedang dalam proses penilaian, tiba-tiba saya menerima pesan WhatsApp: 'Mas, presentasi di AICIS mewakili IJIMS, ya.' Hati saya sangat gembira. Meskipun saya telah memiliki dua jurnal yang terindeks Scopus, tulisan saya di IJIMS memang saya gadang-gadang menjadi syarat PAK. Alhamdullah terbit pada waktunya.
26. Segalanya bagi saya-yang mendoakan, yang membiayai, yang mendidik, yang ngoprak oprak, yang selalu bertanya-kapan profesormu le? Merekalah yang sesungguhnya lebih layak mendapat gelar profesor daripada saya. Bapak saya, Drs. H. Subandrio, M,Pd dan Ibu saya Hj. Mujiasih, M.Pd. Beliau berdua yang memantrai saya. Saya belum bisa membalas apa yang telah beliau berdua lakukan, matur nuwun bapak dan ibu.
Terima kasih juga untuk Bapak Ibu mertua, Pak Samingun dan Bu Jumidah yang mengizinkan putrinya untuk menjadi pendamping hidup saya. Di saat semua tengah berduka karena gempa, saat Bambanglipuro berduka, saya justru menikah. Terlalu... haha! Namun begitulah takdir…hehe!
27. Adik saya, Mas Indra Murti Aji, meskipun saya dosen dia lebih terkenal daripada saya. Kalau kemana-mana saya dikira dia dan di banyak tempat kalau saya kenalan mesti banyak yang tanya karo ngone Mas Ajik ngendine? Mbak Ridi, S.Pd, Mas Afrel, Mbak Kinar dan Mbak Alika.
28. Adik saya Tante dr.h. Vivin Indira Puspita Arum. Adik saya ini yang terus terang berani ngomong ke saya dan suka menyusun hal-hal menarik. Terima kasih juga untuk Mas Roni, SH, Mbak Darin dan Mas Zada. Semoga selalu dimudahkan.
29. Ada juga keluarga adik ipar saya Om Tono, Mbak Nia, dan Dik Bagas, terima kasih.
30. Saudara-saudara saya satu darah, di trah keluarga besar Sastromartoyo, Kertosetaman, Jodikraman, dan Masidi Hadi Wiyono. Dari trah ini darah campuran ke-Islaman dan nasionalisme saya dikayakan.
Ada satu orang yang sangat penting saya kira, Mbak Kolonel H. Sudiyono, setelah pensiun dari tentara beliau “mendito” memakmurkan masjid, beliaulah yang meramal saya akan menjadi dosen. Tentu beliau tidak sekedar meramal namun juga mendoakan, terima kasih, maturnuwun untuk Mbah Sudi dan keluarga.
31. Terima kasih kepada istri saya, Dik Yani. Tanpa dia, entah apa jadinya saya. Jika dia marah saja, saya pasti bingung ndak karu-karuan. Untungnya, istri saya hampir tak pernah marah. Maturnuwun atas segalanya, termasuk atas pengertiannya ketika setiap akhir pekan, saat seharusnya libur, saya malah mojok dengan laptop mengerjakan pekerjaan kantor.
Terima kasih dua anak saya, Mas Lowa dan Mas Lutfan. Merekalah yang ada di kamarnya mendoakan saya untuk sehat kembali ketika terkapar kena Covid.
32. Terakhir, ada teman saya, yang dulu menemani hampir setiap hari-(Alm) Pak Suyanto-sekprodi saya. Beliau banyak memberi saran dan banyak saya mintai pertimbangan, maturnuwun dan semoga almarhum selalu diberi tempat yang terbaik, disisi-Nya. Aamiin.
Saya rasa masih banyak yang kelewat,
Kepiting dari Selebes
Bapak Ibu semua is the best
Maturnuwun, bilahitaufil wal hidayah,
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Prof. Dr. Pajar Hatma Indra Jaya, S.Sos., M.Si.
Tempat/tgl lahir : Bantul, 28 April 1981
Telp : 081328880123
e-mail : pajar.jaya@uin-suka.ac.id atau papinmbantul@gmail.com
Pangkat : IV/C
Pendidikan : S1 Sosiologi Fisip UNS 2003
S2 Sosiologi Fisipol UGM 2005
S3 Sosiologi Fisipol UGM2012
Pekerjaan : Dosen Prodi Pengembangan Masyarakat Islam
Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Sunan Kalijaga
Matakuliah Diasuh : Analisis Masalah Sosial, Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan,
Praktik Pengembangan Masyarakat, Advokasi Sosial,
Partisipatory Action Research (PAR), Teori Pembangunan Sosial Humanis, Community Development, Penulisan Artikel
Moto : Susah senang, pahit manis adalah bumbu-bumbu kehidupan, dan
keputusasaan adalah racunnya.
Keluarga : Maryani, S.Si, S.Pd, M.Si (Istri)
: Lowa Tsaqif Hilmi Afnanullah (Anak)
: Lutfan Nirwasita Afnanullah (Anak)
: Hj. Mujiasih, M.Pd (Ibu)
: Drs. H. Subandrio, M.Pd (Bapak)
2001 |
HIMASOS Ketua Devisi Kajian dan Diskusi |
2002 |
Pengurus BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) Fisip UNS Ketua Devisi Kajian dan Diskusi |
2001-2002 |
Relawan di UCYD (Urban Crisis And Community Development) Fisip UNS |
2002-2003 |
Asisten Dosen Mata kuliah Teori Sosiologi Kritis bersama Dr. Drajat TK di Fisip Universitas Sebelas Maret Surakarta |
2003-Sekarang |
Dosen Tetap Prodi Pengembangan Masyarakat Islam (PMI), Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga. Mengajar Mata Kuliah: Analisis Problem Sosial |
2011-2015 |
Sekretaris Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam, F. Dakwah dan Komunikasi, UIN Sunan Kalijaga |
2015-2020 |
Ketua Program Studi Pengembangan Masyarakat Islam, UIN Sunan Kalijaga |
2020-2024 |
Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Sunan Kalijaga |
2024-sekarang |
Wakil Dekan Bidang Akademik |
Saya terlibat dalam berbagai organisasi profesi, anggota Ikatan Sosiolog Indonesia (ISI), pendiri Perkumpulan Pengembangan Masyarakat Islam (P2MI), anggota Asosiasi Pembangunan Sosial Indonesia (APSI), di mana saya pernah menjabat sebagai Ketua Divisi Kurikulum dan kini sebagai Wakil Ketua. Saya juga merupakan anggota Forum Akademisi BUMDES serta wakil ketua Dewan Harian Daerah Kejuangan 45 DIY. Dalam dunia akademik, saya aktif sebagai Asesor di LSP UIN Sunan Kalijaga bidang fasilitasi pemberdayaan masyarakat, serta sertifikasi dosen BKD. Saya terlibat dalam Forum Komunikasi Winongo Asri sebagai pengurus bidang pelatihan. Di masyarakat, saya merupakan Ketua Takmir Masjid Al-Hidayah Paker.
KEGIATAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT
Sepanjang perjalanan akademik dan sosial saya, saya aktif dalam berbagai kegiatan pengabdian masyarakat. Pada tahun 2024, saya terlibat dalam berbagai program, seperti Live-in Generasi Emas di Yayasan Al-Jendrami Malaysia, Community Engagement di Australia bersama AAIS. Saya juga berkontribusi dalam pembuatan modul Pelatihan Budidaya Maggot dan rutin menjadi khatib Jumat.
Selain itu, saya turut serta dalam dunia akademik sebagai Reviewer untuk Journal of Social Development Studies (JSDS) Fisipol UGM serta Nuansa Akademik: Jurnal Pembangunan Masyarakat di Universitas Cokroaminoto Yogyakarta. Pada 2023, saya aktif dalam program literasi digital bersama Pusat Studi Kecerdasan Digital FDK dan Kominfo, mengangkat isu transformasi budaya di era digital.
Dalam beberapa tahun terakhir, saya juga terlibat dalam program pemberdayaan berbasis lingkungan. Saya menginisiasi eksperimen Koin Dakwah (2018), menciptakan Sekolah Pemberdayaan Masyarakat untuk menangani kemiskinan di sekitar Sungai Winongo, membuat kegiatan Mancing Sapu-sapu Berhadiah Kambing sebagai cara meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap kelestarian sungai.
Sejak 2006, saya aktif dalam pendampingan masyarakat di berbagai desa, termasuk Dusun Ngablak, Sitimulyo, Piyungan dengan membuat sekolah roti dan sekolah jahit (2006-2008), serta program Community Development untuk mengatasi kemiskinan di Bantul (2007). Saya juga terlibat dalam berbagai program pendampingan desa, membantu masyarakat dalam pengelolaan sumber daya dan pembangunan berkelanjutan.
PELATIHAN DAN SEMINAR
Saya berpartisipasi dalam berbagai pelatihan, seminar, dan konferensi, baik di dalam maupun luar negeri. Pada tahun 2024, saya berkesempatan menjadi speaker dalam acara Islam and Politics in Indonesia yang diselenggarakan The Monash Faculty of Art, Community Engagement yang diadakan oleh Albanian Islamic Society dan Islamic Council of Victoria di Australia. Selain itu, saya juga mengikuti Short Course Metodology Research di Daikin University.
Di tingkat nasional, saya turut menjadi narasumber dalam berbagai seminar dan talkshow, seperti Talkshow Sociology 2024 di UNS Surakarta yang mengangkat tema Rediscovering Sociology: Sociological Perspectives on Modern Society. Saya juga diundang sebagai pembicara dalam Kuliah Umum di FUAD IAIN Kendari dan menjadi Reviewer Naskah IDACON 2024 (The Contribution of Religious Communities For Achieving SDGs). Dalam lingkup akademik yang lebih luas, saya turut serta dalam The 1st ICDCDE di Danau Toba, Sumatera Utara, selain itu juga terlibat dalam Focus Group Discussion yang diselenggarakan oleh UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon.
Pada tahun sebelumnya, saya mengikuti Community Development in Indonesia yang diadakan oleh China University of Geosciences di Wuhan pada Oktober 2023. Saya juga terlibat dalam Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) yang diselenggarakan oleh Kementerian Agama RI di Surabaya. Pembicara dalam Seminar Moderasi Beragama bersama Universitas Kebangsaan Malaysia, menjadi narasumber dalam seminar Pembangunan Pasca Pandemi di FISIP UI Jakarta (2022). Saya juga turut menyampaikan materi dalam The 6th International Da'wah Conference (IDACON) 2022 dan mengikuti seminar internasional di Turkiye tentang strategi komunikasi dakwah moderat dalam melawan radikalisme.
KARYA TULIS ILMIAH /PENGALAMAN PENELITIAN
Sepanjang karier penelitian saya, saya telah banyak mengeksplorasi isu-isu sosial yang terkait dengan pembangunan masyarakat dan inovasi sosial. Ada lebih dari 47 judul karya ilmiah yang saya hasilkan. Sebagian dapat dilacak dalam google scholar (https://scholar.google.com/citations?hl=id&user=1b0ddjUAAAAJ). Buku pertama saya terbit tahun 2003 dengan judul Lubang Kecil Menuju Teori Kritis – terbitan Cakra-LPM UNS Surakarta. Tulisan saya yang terbit di scopus: The Role of Ecotourism in Developing Local Communities in Indonesia, Islamism without Commotion: The Religious Transformation of Tuak Kampong in West Lombok, dan The Role of Religious Belief In Sustainable Community-Based Tourism During Post-Disaster Recovery.