I. Pendahuluan: Kontestasi Agama dan Hak Asasi Manusia
Pembahasan tentang kontestasi agama dan Hak Asasi Manusia (HAM) membutuhkan kearifan mendalam, pemetaan jujur serta sikap terbuka karena kedua entitas ini memiliki irisan persamaan dan perbedaan biner seperti dua mata uang yang berdamping-- selaras namun seringkali kontradiktif. Namun Abdulillahi an Naim mengilustrasikan secara lebih proporsional, bahwa agama dan HAM sesungguhnya ‘tidak memiliki kontradiksi yang permanen namun juga tidak serta merta kompatible sehingga perlu diupayakan negosiasi terus menerus menuju titik temu’.[1] Keduanya memiliki kompleksitas dan kerumitan yang terakumulasi dalam konteks ruang dan waktu yang menyejarah, bersifat pasang-surut sejak awal peradaban manusia sampai hari ini. Meski hak asasi telah dikenal sejak manusia lahir namun menjadi lebih ‘politis’ pada masa modern yang menyertai Masa Pencerahan Eropa—dengan menguatnya rasionalitas dan empirisme yang melandasi lahirnya ilmu pengetahuan modern dan penghargaan terhadap hak individu, hak sipil dan kesetaraan yang inklusif dan keadilan sosial.[2] Tentu Abad Pencerahan bukan hanya terjadi di Eropa pada juga terjadi pada peradaban lain seperti Babilonia, Mesir, Romawi dan masa Pencerahan Islam.
Pada kesempatan ini, fokus pembahasan tulisan ini adalah munculnya HAM kontemprer yang lazim disebut rezim HAM Internasional sebagai ‘hybrid norm’ yang dibentuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai rezim global yang fenomenal dalam sejarah peradaban manusia. Dikatakan demikian karena belum pernah ada suatu perangkat norma , prinsip dan sistem politik yang mengikat seluruh dunia. PBB sebagai superbody melampaui otoritas dan yurisdiksi suatu negara, dengan maksud mengatur negara agar tidak saling berperang. Mereka didorong menyelesiakan ketegangan dan perselisihan melalui mekanisme-mekasnisme PBB secara damai dan solusi saling memenangkan (win-win solution). Terlebih, agar negara tidak menjadi monster yang membantai warganya sendiri karena ada sistem multilateral yang dapat melindungi warga suatu negara dari kesewenangan di dalam negaranya sendiri.
Disebut rezim internasional karena adanya perangkat-perangkat legal (legal instruments) yang mengandung prinsip, norma, aturan dan prosedur pengambilan keputusan (decision making procedure), baik eksplisit maupun implisit yang diakui dalam hubungan internasional. Rezim membutuhkan organisasi atau institusi agar dapat berfungsi secara sistematik dan berdampak. Dalam konteks rezim HAM Internasional, PBB merupakan institusi dan sekaligus organisasi dimana rezim HAM Internasional diimplementasikan. Prinsip HAM mengandung keyakinan-keyakinan tentang fakta, kausalitas dan nilai rujukan kebenaran yang disepakati. Norma adalah standar-standar tindakan dan perilaku yang didifinisikan dalam terminologi hak dan kewajiban (right and obligation) sementara aturan (rules) merupakan anjuran dan larangan terhadap suatu tindakan. Selanjutnya, prosedur pengambilan keputusan mencerminkan praktek-praktek dalam pembuatan keputusan kolektif dan dan implementasinya. [3]
Apakah HAM satu-satunya rezim internasional? Tentu saja tidak karena ada beberapa mekanisme serupa di PBB, misalnya rezim keamanan internasional di Dewan Keamanan, rezim Kesetaraan Gender Internasional yang berada di UNIFEM (United Nation Development Fund for Women) dan Komite CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women). Bahkan ada yang muncul jauh sebelumnya, misalnya rezim perburuhan internasional yang mendasari pembentukan International Labor Organization (ILO) pada tahun 1919. Kemunculan Rezim HAM Internasional terjadi setelah PBB pada 24 Oktober 1945 terbentuk dan dirumuskannya Universal Declaration of Human Rights (UDHR) atau Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) pada tahun 1948.
Pembentukan PBB dan Kemunculan Rezim HAM Internasional tidak dapat dilepaskan dari tragedi Perang Dunia I dan Perang Dunia II yang memakan korban sekitar puluhan juta orang dan secara drastic mengubah tatanan politik dunia, termasuk kemerdekaan negara-negara jajahan. Kesadaran universal tentang hak setiap orang terbebas dari kekejaman, penjajahan, perbudakan, genosida, diskriminasi dan segala bentuk kekerasan dan ketidakadilan.[4] Tragedi kemanusiaan terjadi karena pelanggaran terhadap hak manusia untuk hidup secara bermartabat karena ia adalah manusia. Penegakan HAM merupakan alasan utama pembentukan PBB agar tragedi kemanusiaan dapat dicegah pada masa mendatang. DUHAM dirumuskan dan disandingkan dengan Piagam PBB sebagai standar universal yang mengikat secara moral maupun secara hukum yang mewajibkan semua anggotanya menjunjung nilai universal serta kepatuhan terhadap prinsip-prinsip hak asasi manusia. Pembentukan PBB dan deklarasi universal hak asasi manusia menjadi tonggak kerjasama internasional dalam menjaga perdamaian dunia, mendorong persaudaraan antar bangsa melalui penghormatan terhadap hak asasi manusia, pemajuan ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan serta menyediakan bantuan kemanusiaan bagi bencana kelaparan, bencana alam dan konflik senjata.[5]
DUHAM dimaksudkan menjadi ‘bahasa’ dan standar bersama (common language and standard) secara universal dan bagi semua orang dan semua bangsa. Secara politis, setiap negara mengakui bahwa semua manusia terlahir secara bebas dan setara dalam martabat dan haknya terlepas dari nasionalitasnya, tempat asalnya, gender, etnisitas, warna kulit, agama, bahasa dan status lainnya. Seperti membentukan PBB dimana rezim HAM Internasional di intitusionalisasikan, perumusan piagam ini rumit, tidak mudah, membutuhkan energi besar dunia. [6] Kelahiran PBB dan semua rezim dan mekanisme di dalamnya dapat dikatakan sebagai ‘Peradaban Unggul’ yang pernah diwujudkan manusia. Betapapun adanya kontradiksi, regresi dan delegitimasi tehadap PBB namun harus tetap ada komitmen untuk menjaga eksistensinya sembari terus memberikan kritik kontruktif. Dengan adanya PBB berserta perangkat dan mekanisme, banyak konflik, perang dan trragedi kemanusiaann dapat dicegah.
Hak Asasi Manusia (HAM) secara generik merupakan nilai, norma dan prinsip-prinsip yang dimaksudkan untuk menghargai eksistensi dan martabat manusia. Oleh sebab itu, HAM sejatinya telah melekat pada manusia dalam peran dan posisinya (human agency) sebagai pembentuk peradaban dunia. Sebagai agensi yang membentuk peradaban dunia, manusia membentuk nilai, norma, tindakan yang didasarkan pada referensinya, baik agama atau sumber nilai lainnya. Unsur-unsur tersebut membentuk suatu sistem budaya yang mewujud dalam cara berfikir dan kesadaran serta tindakan yang terpolakan menjadi tradisi. Agama, budaya dan tradisi memiliki jejak sejarahnya yang panjang dalam merumuskan prinsip-prinsip HAM dan martabat kemanusiaan. Disamping itu, prinsip tersebut menggerakkan individu maupun kolektifitas menuju kondisi ideal yang diharapkan, termasuk bagimana harkat, derajat dan martabat manusia dihargai. Prinsip tersebut mengandung tuntunan dan tuntutan moral tentang bagaimana seharusnya manusia memperlakukan sesama manusia sesuai harkat dan martabatnya sebagai manusia. Oleh sebab itu, HAM bukan semata selaras dengan agama bahkan menjadi inti dari ajaran dari semua agama.
Namun mengapa sampai saat ini masih terjadi kontestasi atau ketegangan antara HAM dan agama? Jawabannya bergantung dari bagaimana HAM dipahami dari satu tradisi dengan yang lain, termasuk tradisi agama. Secara umum dapat dijelaskan bahwa keduanya memiliki persamaan dan perbedaan dari aspek prinsip, konseptual dan lingkupnya. Pada aspek perbedaan itulah ‘site of battle’ dari kontestasinya, apakah dapat dinegosiasikan sehingga mencapai semacam ‘margin of appreciation’ sebagai titik temu perbedaan tersebut?[7] Banyak persamaan antara prinsip-prinsip HAM dalam tradisi agama dengan prinsip-prinsip HAM Kontemporer tetapi juga ada aspek yang tidak mudah menegosiasikan sebagaimana akan dibahas selanjutnya. Abdullahi an Naim sebagai pakar HAM dan Islam menegaskan bahwa memang tidak selalu ada kompatibilitas yang serta merta antara agama dan HAM Kontemporer namun juga tidak ada kontradiksi yang permanen antara keduanya sehingga ‘ruang negosiasi’ tetap terbuka demi memberikan penghormatan dan perlindungan martabat manusia yang lebih baik.[8]
Pembahasan antara agama dan HAM difokuskan pada bagaimana tradisi agama, terutama pandangan dan sikap para elit agama merespon HAM kontemporer dengan terbentuknya rezim HAM Internasional yang diprakarsai oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Yang lebih mendasar adalah ketegangan substantif yang nyaris menggagalkan prakarasa besar ini karena agama tidak mendapatkan ruang yang memadai. Kehendak menjaga PBB tetap netral dan berada diatas segala perbedaan sering ‘tergelincir’ pada pendekatan sekular yang nihilistik sehingga menimbulkan ketegangan dan kontestasi berkepanjangan. Banyak narasi menjelaskan netralitas DUHAM yang dirumus ‘tanpa merujuk’ secara spesifik pada budaya, agama dan sistem politik tertentu. Penjelasan ini tentu memicu ketegangan karena cenderung dipahami bahwa piagam ini bersifat sekuler karena menafikan kontribusi agama. Sebagai suatu rezim internasional yang diharapkan membentuk komitmen global, dirumuskan dengan pendekatan ‘konvergensi’ bukan pendekatan ‘netralitas’ yang nihilistic. Pendekatan konvergensi memberi kerangka konskruktif dan inklusif bahwa Piagam DUHAM dirumuskan melalui transendens nilai-nilai utama dari semua agama, budaya dan sistem politik di dunia tentang penghormatan terhadap martabat manusia. Disamping memberi kesetaraan eksistensi dari negara-negara yang besar dan kecil, pendekatan ini juga dapat memupuk kepemilikan (ownership) yang otentik dan mengakar.
Pendekatan ini mendapatkan validitas historis dimana pembahasan draft DUHAM membutuh waktu panjang karena harus dikomunikasikan dengan wakil-wakil negara anggota PBB, ahli HAM, tokoh-tokoh agama, tokoh dunia, termasuk Mahatma Gandhi.[9] Meski yang disebutkan hanya Gandhi tentu draft tersebut juga dikonsultasikan dengan Paus di Vatikan, Patriakh Kristen serta Syekh al Azhar di dunia Islam. Mendengungkan pendekatan konvergensi antara agama dan HAM harus terus dilakukan sebagai upaya meredakan ketegangan sehingga energi besar dunia lebih diarahkan pada menguatan implementasi HAM secara kontekstual pada masing-masing negara anggota PBB.
Jadi, deklarasi HAM Internasional (DUHAM) ini dapat disepakati oleh seluruh anggota PBB dan diterima oleh warga dunia karena bersumber dari nilai-nilai asasi dan utama dari agama dan budaya dari negara anggota PBB. Namun dalam implementasinya, nilai dan prinsip HAM harus bersifat netral dan impartial karena tidak boleh ‘berpihak’ hanya pada suatu agama, budaya dan sistem politik tertentu dan mengabaiakan lainnya. Sebagai suatu identitas primordial, agama dan budaya secara inherent dan imbedded mengandung ‘sentimen kolektif’ yang membentuk identitas yang mengandung ‘unsur-unsur pembeda’ yang intrinsik dan eksklusif dan biner. Suatu kelompok menganggap dirinya superior diatas inferioritas kelompok lainnya. Mereka percaya lebih baik dari yang lain, bahkan mereka yakin bahwa mereka membawa kebenaran bagi yang sesat, miskin dan dalam kegelapan. Atas dasar itu, mereka berhak berkuasa dan menentukan kebenaran atas kelompok lainnya. Dunia telah mengalami bencana dan petaka karena pandangan eksklusif, chouvinis dan fasis semacam ini yang memuncak pada Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Bangsa dan negara sedunia mulai menyadari bahwa pandangan ini telah menjadikan dunia menjadi ‘neraka’ karena perang membela ‘syurga’ di hari kemudian. Bangsa-bangsa berkehendak mewujudkan syurga di dunia dan, pada akhirnya, berpendar pada syurga di akhirat nanti.
Upaya meredakan ketegangan tersebut perlu terus didorong agar DUHAM tetap memiliki ownership yang luas pada seluruh negara-negara anggota PBB. Bagaimanapun keberadaan PBB dan rezim internasionalnya telah banyak menghindarkan dunia dari perang besar dan tragedi kemanusiaan yang mengerikan. Namun Bias sekuler, Erocentrisme dan kepentingan negara-negara besar harus terus dikritisi dan tindakan balasan dari negara, agama dan budaya yang marginal juga harus dikelola agar tatanan global ini tetap kredibel dan legitimate.
II. Islam dan Hak Asasi Manusia Internasional
Dalam Islam, prinsip-prinsip HAM diderifasi langsung dari ajaran Tauhid dimana hanya Allah SWT yang harus disembah. Hanya dalam konteks ini konsep penghambaan dibenarkan antara Tuhan dan manusia sehingga penghambaan manusia selain kepada Allah tidak dibenarkan. Dalam al Qur’an ditegaskan bahwa bahwa manusia itu diciptakan dengan derajat dan martabat yang sama dan hanya kadar iman yang membedakannya dihadapan Allah. Karena hanya Allah yang Maha mengetahui keimanan seseorang maka manusia harus memandang sama manusia lainnya. Ajaran Tauhid ini menjadi asas pembebasan diri (self-liberation) yang pada gilirannya melandasi relasi dan interkasi sosial yang membebaskan dan persamaan (egaliter) serta kesetaraan (equality). Selanjutnya, Allah sendiri yang menegaskan bahwa manusia telah dimuliakan dan dinaikkan derajatnya dan disempurnakan dari mahluk lainnya, oleh sebab itu perlu dihormati martabatnya.[10]
Dalam Islam, manusia ini sama dihadapan Allah (al Hujurat (9): 11) adalah pijakan kokoh prinsip HAM. Allah hanya membedakan manusia dari imannya dan karena hanya Allah yang Maha mengetahui iman seseorang maka tidak seorangpun dapat menilai kadar iman orang lain. Konsekuensinya, Ajaran tersebut mengandung prinsip bahwa manusia dihadapan manusia adalah sama derajat, harkat dan martabatnya. Prinsip tersebut berimplikasi pada persamaan hak, kewajiban dan tanggung jawab. Inilah ajaran Islam yang membebaskan manusia dari berbagai belenggu kedzaliman manusia seperti perbudakan, penindasan dan pembedaan berbasis ras, agama, klas sosial, jenis kelamin, gender dan mereka yang dikategorikan sebagai kelomok mustad’afin.
Pertanyaan yang selalu muncul dalam perdebatan Hak Asasi Manusia HAM dan agama adalah apakah HAM ada dalam tradisi agama, jika jawabnya ada, apakah compatible dengan HAM kontemporer sebagai suatu rezim dan mekanisme internasional? Pertanyaan selanjutnya, seberapa kompatibilitas HAM dalam dua entitas tersebut? Sangat lazim ditemui tiga tipologi jawabanya. Pertama, kelompok apologetic yang secara generalisasi mengatakan bahwa HAM telah ada dalam ajaran agama. Kedua, kelompok konstrusionis yang menegaskan kebenaran adanya HAM sebagai nilai dalam tradisi agama tetapi tidak serta merta kompatibel dengan norma dan mekanisme HAM Kontemporer meski juga tidak ada kontradiksi yang absolut diantara keduanya. Ketiga adalah kelompok sinistic (synical) yang cenderung menggeneralisasi bahwa ajaran agama tidak kompatibel dengan norma-norma HAM kontemprer, oleh sebab itu harus diabaiakan dalam dunia modern. Ketiga kategori ini dapat ditemukan dalam tradisi agama manapun dan dimanapun.
Kategorisasi tersebut didasarkan pada spektrum yang lazim digunakan untuk memetakan pemikiran seseorang atau pemahaman kolektif tentang suatu entitas, termasuk agama. Spektrum tersebut membentang dari aras kanan ke aras kiri tanpa memberi muatan nilai terhadap keduanya. Meski tidak terhindarkan bahwa dalam perjalanan waktu kedua aras tersebut dimuati nilai dan, bahkan stigma tertentu. Lazimnya bentangan spektrum tersebut dimulai dari ektrim kanan, fundamentalis, konservatif, moderate, progersif, liberal dan ultra liberal. Jika dihadapkan pada oposisi biner antara agama dan sekuler maka agama akan berada diaras kenan dan sekuler berapa diaras kiri, sehingga ultra liberal seringkali disebut fundamentalisme sekuler.
Kembali pada respon kelompok diatas terhadap HAM maka Kelompok pertama dikategorikan kelompok konservatif dan fundamentalis kanan yang meyakini bahwa tradisi ajaran dan tradisi agama adalah lengkap (kaffah) , berlaku universal sepanjang masa dan harus dijaga keberadaannya. Ath Thalathof mengklasifikasi sebagai kelompok fundamentalis karena kecenderungannya mengembalikan semua isu dan masalah kontemporer pada pemahaman dan keyakinan agama kelompok generasi awal (salafi). Bagi kelompok ini, tidak diperlukan lagi tafsir atau pemikiran baru , apalagi yang bukan dibentuk oleh pemikiran otoritatif dalama gama tersebut. Kelompok kedua adalah kaum moderat yang tetap berpijak pada ajaran-ajaran agama asali tetapi juga menyadari perlunya proses kontektualisasi dan reaktualisasi pada tataran pemahaman dan pemikiran agama yang mentradisi. Sebaliknya, kelompok ketiga adalah kelompok fundamentalis sekuler yang tidak percaya bahwa agama kompatibel dengan dunia modern, demokrasi HAM kontemporer. [11]
Titik tolak perdebatan antara HAM dan Islam terletak pada bagaimana memahami Syariah, apakah dapat diubah atau menetap. Ini menjadi tugas para ulama dan intelektual Islam untuk menjelaskan ‘overlapping’ antara Syariah dan Islam atau Syariah Islam. Islam adalah ad-Diiin atau keseluruhan dari aspek-aspek di dalamya. Syariah secara harfiyah adalah jalan menuju sumber (air) dan secara istilah adalah jalan yang ditetapkan oleh Allah sebagai aturan kehidupan umat manusia. Syariah mengandung akidah, ajaran ahlak, hukum-hukum yang mengatur tindakan umat Islam. Sehingga Syraiah Islam adalah jalan yang ditentukan berdasarkan pada ajaran-ajaran pokok Islam, yaitu al-Qurán dan Assunah.
Abdullahi An Anaim menekankan perbedaan meski tetap berkelindan antara Islam sebagai an Diin dan Islam sebagai Syariah yang lazim dipandang secara sinomim. Islam sebagai ad-Diin bersumber dari al-Qurán dan as Sunah yang abadi atau dalam bahasa Mohamamad Arkon disebut ‘corpus tertutup’ karena tidak ada penambahan lagi sejak Rasulullah wafat. Sedangkan Syariah sebagai tradisi umat Islam dapat perkembangan seriring dengan perkembangan pemikiran umat Islam merespon masalah-masalah kontekstual. Karena melibatkan pemikiran manusia dalam ruang dan waktu yang berubah maka pandangan Syariah dapat berubah meski tetap berpedoman pada sumber an-Diin, al Qurán dan as Sunnah. Pendapat tersebut disitir dari pendapat Ibn Rushd yang menjelaskan bahwa prinsip-prinsip Syariah dihasilkan dari interpretasi manusia terhadap al-Qurán dan as Sunnah atau disebut ijtihad. Prinsip-prinsip dalam ijtihad adalah bagaimana manusia dapat memahami dan berupaya mentaati Islam dalam konteks historis yang spesifik. Oleh sebab itu, Perkembangan Syariah selalu melibatkan ijtihad dengan ‘agensi manusia’ (human agency) sebagai sistem kesadaran dan pemaknaan yang ditarik dari pengalaman dan refleksi dari umat Islam, utamanya mereka yang dipandangan sebagai ulama atau intelektual --- terhadap ajaran-ajaran utama Islam yang menyejarah sehingga membentuk suatu metodologi yang mapan. Tidak dapat dihindari adanya lapisan-lapisan pemikiran menyejarah yang menfilter pandangan-pandangan mana yang relevan antara text (al-Quran and as Sunnah) dan konteks. Oleh sebab itu, agensi manusia adalah bagian integral dari pendekatan dari berbagai tingkatan pada ad Diin, khususnya al-Qur’an dan as Sunnah sejak masa awal Islam sampai saat ini. [12]
Syariah dalam konteks diatas yang menjadi situs perdebatan dimana agensi manusia secara sosiologis tidak lepas dari bentangan spektrum pemikiran manusia terhadap suatu entitas, termasuk agama dengan beragam coraknya. Spektrum tersebut secara konseptual dibentang dengan mengadopsi berbagai kriteria guna menengarai kekhasannya. Sejauh ini pemikiran manusia dibentangkan dalam spektrum pemikiran yang merentang dari ekstrim kanan ke ekstrim kiri. Kategorisasi tersebut tidak bersifat kaku dan terpisah namun bersifat overlap, berkelindang dan berkesinambungan. Pada awalnya perumpanaan ‘kanan’ dan ‘kiri ’ semata bersifat fungsional sebagai penanda kedua kutub dalam spektrum tersebut meski stigamtisasi tidak dapat terelakkan seiring berjalannya waktu. Namun dalam tulisan ini, keduanya digunakan dengan parameter netral dengan lebih banyak mengacu pada muatan pemikirannya dalam merespon tantangan zamannya. Secara sosiologis, dalam spektrum pemikiran manusia membentang dari kanan: ekstrim kanan, fundamentalis kanan, konservatif, moderat, progresif, fundamentalis kiri dan ekstrim kiri. Pemetaan spektrum ini dapat berbeda diantara para pemikir, misalnya, Ath Thalatof tidak membedakan antara ektrim dengan fundamentalis dengan kategorisasi yang lebih sederhana: fundamentalis dan moderat.
Pemahaman terhadap spektrum pemikiran diatas sangat penting dalam memetakan respon umat Islam terhadap perkembangan baru, termasuk HAM yang saat ini semakin meluas pengaruhnya secara global. Pemetaan tersebut juga berfungsi mencegah generalisasi sepihak yang mengeliminir keragaman pemikiran dan respon Ummat Islam yang membentang dari Maroko sampai Indonesia. Keragaman tersebut menunjukkan dinamika, kekayaan realitas serta kemungkinan-kemungkinan memperluas apa yang disebut dengan ‘margin of apreciation’ yaitu penerimaan berbedaan implementasi namun tetap mengacu pada persaman prinsip-prinsip utama. Pada titik inilah HAM mendapatkan legitimasi normatif secara universal dan sekaligus menampakkan validitas implementasinya secara kontekstual. Dengan demikian, upaya meredakan kontetstasi substantif dan politis yang akan dibahas kemudian menjadi niscaya.
III. Kontestasi Islam dan Rezim HAM Internasional
Selain sekularisme, ada aspek penting yang perlu dikritisi sebagai upaya menguatkan kepemilikan global terhadap HAM Internasional yaitu bias Christian-Eurocentrism. [13] Kontestasi antara agama dan Rezim HAM Internasional tercermin dalam berbagai level, sejak dari perdebatan para wakil negara di PBB, utamanya yang disebut sebagai ‘negara-negara Islam’ yang membutuhkan pembahasan lebih lanjut. Turki, misalnya tidak bisa disebut sebagai negara Islam tetapi negara dengan penduduk mayoritas Islam seperti juga Indonesia. Islam menjadi entitas politik pasca Perang Dunia II karena munculnya solidaritas komunitas Muslim dalam menyelamatkan Masjidil Aqsa dan mendukung kemerdekaan Palestina. Solidaritas tersebut diwujudkan dalam Konferensi Islam di Rabat Maroko pada 25 September 1969 yang sekaigus menjadi suatu organisasi bagi negara-negara Islam dan berpenduduk mayoritas Muslim atau lebih dikenal dengan Organisasi Kerjasama Islam (OKI).
OKI menjadi entitas politik global didasarkan pada keberadaan perwakilan tetap di PBB dan Uni Eropa dan berbagai lembaga lain di PBB yang merepresentasikan suara negara-negara Islam dan masyarakat Muslim. Pasca runtuhnya Uni Sovyet, OKI menjadi kekuatan penyeimbang transnasional terhadap dominasi ‘Barat’ sehingga turut menguatkan asumsi dan tesis tentang ‘class of civilization’ dari Samuel Huntington. Pandangan deterministik terhadap peradaban mendapatkan banyak kritik termasuk Amartya Sen tentang keragaman budaya (cultural diversity)[14], Edward Said benturan ketidaktahuan (class of ignorance)[15]. Tariq Ali mengkritiknya dengan menegaskan bahwa yang terjadi hanya benturan fundamentalisme (clash of fundamentalism) bukan benturan peradaban.[16] Baik pandangan deterministic Huntington maupun pandangan dialogis dari yang lainnya sangat bermanfaat untuk menelaah pertautan Islam dengan entitas-entitas hybrid internasional dan multinasional, utamanya HAM Internasional.
Tautan antara Islam dan HAM Internasional tidak bersifat determinstik dan linier namun bersifat dinamis dan pasang surut – adakalanya harmonis dan ada kalanya antagonik. Meski berbeda sudut pandang antara Huntington dan para pengkritiknya namun tidak menghilangkan pokok masalahnya yaitu ‘benturan’ pada proses-proses membentukan dan penyusunan kesepakatan bersama yang bersifat lintas negara, ideologi, bangsa, budaya dan agama. Para sarjana diatas hanya berbeda menengarai ‘titik benturannya’. Huntington dianggap terlalu deterministik, pesimis dan generatis. Sedangkan Sen lebih bersifat optimis bahwa peradaban dapat saling bertaut pada prinip-prinsip universalnya dalam membentuk norma bersama dan hidup berdampingan dalam keragaman. Said lebih mengingatkan bahwa benturan tersebut bukan pada peradabannya tetapi para ketidaktahuan atau ketidakmauan memahami dan menerima peradaban lainnya. Sementara Ali lebih melihat pada benturan sisi-sisi fundamentalis masing-masing peradaban yang menjadi penghalang bertemuan peradaban.
Disisi lain, An-Naim mengingatkan bahwa pembahasan tentang Hak Asasi Manusia menjadi tidak relevan jika agama tidak dilibatkan sebab secara empiris dan kontekstual agama tetap faktual dalam kehidupan masyarakat non – Barat dan Muslim, oleh sebab itu, agama terus terrefeksi dan berpengaruh dalam pada hukum-hukumnya, terutama terkait hukum keluarga. Pendapat ini juga dikuatkan oleh Mashood Baderin yang menegaskan bahwa hakekat HAM itu adalah fakta dan kondisi yang terjadi dalam masyarakat, bukan semata rumusan-rumusan perundangan. Karenanya, untuk dapat terimplementasi dengan baik maka HAM harus berkorelasi harmonis dengan budaya masyarakat. Pendekatan ini bukan tanpa resiko karena budaya itu sangat spesifik dan beragam muatan standar kepantasannya. Pemikiran para ahli peradaban diatas memberi kerangka perjalanan dinamis Islam dan Muslim pada menyusunan, kesepakatan dan implemenasi dari HAM Internasional yang dapat dipetakan sebagai berikut:
1. Kontributif-Konstruktif
Sikap Islam (Muslim) terhadap HAM bersifat kontributif-konstruktif terjadi pada saat membentukan PBB dan konvensi internasional dan lembaga-lembaga multilateral, termasuk rezim HAM Internasional yang mencakup substansi, institusi dan mekanisme nya. Meski tidak disebut sebagai suara Islam atau Muslim, negara-negara seperti Suadi Arabia, Iran, Turkey, Mesir, Maroko, Irak, Syria, Pakistan, Afganistan dan Yordania merepresentasikan pandangan-pandangan Islam. Keterlibatan deleagasi negara-negara ini sangat aktif dan kontributif terhadap draft deklarasi HAM Universal. Ada dua tokoh penting dengan peran substantif yaitu Charles Malik dari Libanon dan Jamil Baroody dari Saudi Arabia dalam tim penyusun draft Deklarasi HAM Universal. Mereka berdua yang sangat aktif mengingatka agar deklarasi ini tidak bias Eurocentris dan menafikan budaya-budaya lainnya. Charles Malik seorang Kristen Libanon liberal dan Jamil Baroody yang cenderung lebih konservatif menjadikan pandangan secara Arab dan negara Muslim terepresentasi secara proporsional.
Malik berperan mentransendensikan nilai-nilai budaya (agama) yang spefisik dan regional di dunia Arab menjadi nilai-nilai universal yang diperlukan guna mewujudkan prinsip-prinsip baru (hybrid principles) yang bersifat universal. Hal ini juga berlaku dengan budaya Cina, Jepang, Uni Sovyet pada waktu itu. Sebaliknya, Baroody lebih mengingatkan untuk menjaga tarikan transendensi tersebut untuk tidak lepas dari simpul-simpul kultural lokal agar relevansi prinsip-prinsip tersebut. Pada sisi ini, sesungguhnya HAM dapat dikatakan ada, bukan semata rumusan nilai, prinsip dan norma. Dinamika inilah yang digambarkan oleh an-Naim dengan ‘kemungkinan yang dinamis’ (dynamic possibility) yang memerlukan dialog terus-menerus sehingga mencapai titik-titik temu (common word) dari yang sebelumnya tidak mungkin.
Pada masa menyusunan naskah deklarasi ini negara-negara Muslim dan Arab mengambil peran sentral dan penting sehingga banyak sekali rumusan-rumusan pasal dalam deklarasi tersebut diadopsi dari konstitusi-konstitusinya.[17] Tercatat ada 32 pasal dari 48 pasal yang rumusannya disumbang oleh konstusi negara Muslim dibandingkan dengan, misalnya Perancis dan Amerika Serikat yang hanya berkonstribusi 28 dan 20 pasal.[18] Terlebih lagi, rumusan-rumusan tersebut terkait dengan hak-hak fundamental seperti hak untuk hidup justru diambil dari konstitusi Iran dan Turki dan justru tidak ada dalam konstusi Amerika dan Perancis. Demikian juga, pasal tentang larangan penyiksaan justru diambil dari Afganistan, Iraq, Syria, Turkye. Sementara kesetaraan bagi semua (full equality for all people) dan menghapusan diskriminasi berbasis ras, jenis kelamin, agama dan politik diadopsi dari Afganistan, Mesir, iran, Irak, Lebanon, Syria dan Tuekey. Demikian pula, kebebasan sipil seperti kekebasan berkepercayaan dan berfikir, kebebasan berpendapat, kebebasan berserikat disarikan dari konstitusi Afganistan, Mesir, Iran, Irak, Lebanon, Syria dan Turki.
Perempuan dari negara Muslim juga sangat aktif dalam proses penyusunan naskah deklarasi dan menandai pengaruhnya dalam menciptakan dunia yang sama bagi semua orang, utama perempuan yang masih mengalami banyak kendala dalam mendapatkan hak-hak dasarnya. Kontribusi paling subtantif dan fundamental dari masyarakat perempuan adalah kritik terhadap penggunaan ekspresi bahasa yang bias gender (gender bias pronount). Sayangnya kritik tersebut ditanggapi setengah hati oleh Anne Roosevelt sebagai ketua komisi HAM PBB bahwa kalimat ‘men’ sudah termasuk di dalamnya. Ia menegaskan bahwa komite ini sedang membahas HAM umum bukan hak perempuan yang menjadi tugas komisi status perempuan. Sikap tersebut menggugah empat perempuan, dua diantara Muslim, yaitu Shaita Ikramullah (Pakistan), Afnan (Irak), Hansa Metha (India) dan Mirnerva Bernadino ( Republik Dominika) untuk melobi anggota komite untuk mengganti penggunaan kalimat dalam naskah HAM Universal. Lobby tersebut berhasil dengan dukungan delegasi Mesir dan Libanon. Capaian substantif dan fenomenal tentang kontribusi yang kata yang inklusif gender. Versi lain menjelaskan ada beberapa perempuan lainnya dari Komisi Status Perempuan yang aktif terlibat penggantion ‘men’ menjadi everyone dan humankind.[19]
Pasal yang membelah delegasi Muslim adalah pasal tentang perkawinan dimana delegasi Saudi menolak tentang kesetaraan antara pasangan dengan ususlan bahwa pasangan suami-istri memiliki hak penuh sesuai dengan hukum negaranya. Namun usualan tersebut tidak berpengaruh terhadap naskah deklarasi dimana pasal 16 tentang perkawinan dan voting terakhir menunjukkan persetujuan Afganistan, Mesir, Irak, Libanon dan Turki, Saudi Arabia. Persetujuan tersebut terefleksi pada pembahasan pada Konvensi Hak Sipil dan Politik dimana Saudi dan Libya masuk di dalamnya. Hanya Yaman yang secara konsisten menolak.[20]
Pasal 18 yang sangat penting dalam deklarasi tersebut menggunakan usualan Malik dari Libanon tentang kebebasan beragama, berpikir dan berkeyakinan. Sedangkan delegasi Uni Sovyet menambahkan kebebasan berfikir. Perbedaan pendapat terjadi pada kalimat kebebasan berpindah agama dimana Baroody menolak konsep ini karena akan menjadi pintu kegiatan misionaris diberbagai kawasan. Saudi kalah dalam voting dan menjadikan kalimat tersebut tetap dalam naskah deklarasi. Perdebatan tidak selesai karena Saudi tetap mengusulkan penghilangan kalimat tersebut pada konvensi yang menyertai deklarasi universal. Pandangan tersebut disukung oleh Yaman namun ditolak oleh Afganistan, Irak, Turki dan Pakistan. Penolakan keras Saudi selama sidang pengesahan deklarasi berhasil mengubah redaksi pasal 18 dari kebebasan berpindah agama.[21]
Keterlibatan negara-negara Muslim dan tokoh-tokohnya berlanjut pada pembentukan dua kovenan sebagai konvensi yang mengikat (legally binding). Dua kovenan tersebut Konvensi Internastional Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights) dan Konvensi Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya ( International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights) disahkan pada tahun 1966. Pada saat jumlah negara Muslim sudah bertambah diantaranya: Indonesia, Al Jazair, Kuwait, Yordania, Libya, Malaysia, Mauritania, Maroko, Somalia, Sudan, Syria, Tunisia.[22]
Meski delegasi Muslim selalu diingatkan Baroody tentang potensi dominasi Barat terhadap deklarasi tersebut serta kemungkinan mereservasi prinsip-prinsip yang dirasakan bertentangan dengan Islam, namun negara Muslim tetap menunjukkan keragamannya. Negara-negara seperti Pakistan, Libanon, Syria dan Turki menerima draft tersebut dan tidak merisaukan adanya infiltrasi budaya Barat.[23] Secara umum dapat dikatakan bahwa deklarasi universal HAM Internasional memiliki akar dari konstitusi negara Muslim dan negara Arab yang menguatkan ‘kepemilikan’ (ownership) dalam masyarakatnya. Kepemilikan ini yang seharusnya digunakan untuk terus mempertahankan ditengah polemik tentang Erocentrisme deklarasi HAM Universal yang menjadi dasar penolakan umat Islam dikemudian hari dan menjadi dasar perlunya memiliki prinsip=prinsip HAM Islam tersendiri.
2. Kontestatif-Destruktif
Memasuki tahun 1990an, dunia memasuki era globalisasi dengan perkembangan teknologi informasi seperti internet dan telepon seluler serta infrastruktur transportasi dengan jarak tempuh yang semakin pendek. Dunia menjadi terkoneksi dan nyaris tidak ada lagi bagian dunia yang terisolir. Globalisasi mencakup berbagai dimensi: komoditas, perdgangan, komunikasi, pendidikan, sain-teknologi, hiburan dan mobilitas dan bentuk-bentuk interkoneksi, interdepensi dan integrasi yang masif dan cepat. kemampuan suatu produk menjangkau wilayah-wilayah yang tidak terpikirkan 20 tahun lalu. Komoditas lokal disuatu daerah terpencilkan kini dapat menggobal karena teknologi digital dan jaringan e-commerse yang semakin terjangkau dan terleterasi sampai masyarakat awam. Dengan teknologi digital, bekerja tidak lagi secara konvensional harus datanang ke kantor tetapi dapat working from anywhere, bahkan melintasi benua dan lautan. Secara optimis seringkali dikatakankan bahwa globalisasi menjanjikan kesetaraan akses dan partisiapsi serta jangkaun manfaat yang lebih mudah dan lebih cepat. Secara budaya proses konektifitas yang cepat dan terbuka akan menumbuhkan solidaritas kemanusian, rasa senasib dan juga kepedulian terhadap kesenjangan ekonomi dan dimensial yang juga tidak terbayangkan sebelumnya. Perkembangan teknologi informasi sosial. Era globalisasi diharapkan dapat mempercepat tercapainya kesejahteraan dan keadilan sosial.
Namun pada kenyataannya, memasuki era globalisasi justru terjadi berbagai krisis multi-seperti internet dan tilpon seluler yang seharusnya memudahkan pertukaran-budaya yang inklusif dan partisipatif justru menyebabkan ketegangan politik dan dominasi ekonomi. Jika pada masa pembentukan PBB negara-negara besar memprakarsai suatu ‘superbody’ politik untuk membatasi kekuasaannya pasca era koloniasasi, era globalisasi justru menyublimasi dominiasi yang lain, terutama secara ekonomi dan politik. 25 tahun pasca pengesahan tiga instrumen HAM internasional yang dikenal sebagai ‘International Bill of Rights’ terjadi fregmentasi politik multilateral dan bermuara pada kontestasi Blok Barat dan Blok Timur dengan semakin menguatnya pengaruh Cina. Beberapa krisis mengikuti seperti eskalasi konflik Palestina-Israel dengan campur tangan dua blok politik serta menguatnya rezim militer dan dinasti di Timur Tengah yang menyebabkan frustasi bagi aktifis demokrasi.
Krisis di negara-negara Muslim mencapai puncaknya dengan kemenangan Revolusi Islam 1979 yang dipimpin oleh Ayatullah Khomeini yang segera menjadi ‘jangkar’ kembali pada ‘tradisi Islam’ sebagai jawaban dari dekadensi modernisasi elit-elit yang didukung oleh Barat (baca: AS dan sekutunya). Afganistan dalam pola yang sama dimana islam merupakan jawaban bagi kegagalan modernisasi. Negara-negara Muslim di luar Kawasan Teluk juga mengalami penguatan Islam sebagai ideologi gerakan, termasuk Pakistan dan indonesia meski dalam kadar yang berbeda. Gerakan-gerakan tersebut dapat bersifat pendekatan Islam kritis-advokatif terhadap kekuasaan namun juga menjelma menjadi gerakan-gerakan ekstrimis dengan kekerasan.
Kerapuhan Uni Sovyet dan Block Timur telah memberi legitimasi AS muncul sebagai Super Power dengan hegemoni politik dan dominasi ekonomi yang membuat banyak negara banyak berharap mendapatkan perlindungannya. Keruntuhan Uni Sovyet dan Yugoslavia sebagai kemenangan demokrasi Barat bersaing dengan komunisme sebagai ideologi politik. Fukuyama menengarainya sebagai puncak evolusi politik dimana demokrasi adalah puncaknya sehingga menandai akhir dari sejarah manusia. Negara-negara dunia diharapkan dapat menerapkan demokrasi karena secara nyata lebih baik, lebih bertahan dan lebih dapat menghindari pertumpahan darah dibandingkan dengan sistem politik lainnya.[24] Pandangan ini mendapat kritik dari berbagai pihak karena supremasi demokrasi Barat telah melahirkan dominasi baru dan kesewenangan yang bersifat unilateral seperti sanksi AS terhadap Iran dan invasi AS ke Irak dan Libya serta juga bagaimana AS terlibat dalam perang di Afganistan dan terlebih lagi pada perang Palestina-Israel.
Pada kenyataannya, tesis tentang usianya sejarah manusia tidak diimbangi dengan kerjasama kontruktif menjadikan demokrasi sebagai pijakan bersama menuju kesejahteraan dan keadilan. Sebaliknya, Barat justru menggunakannya sebagai legitimasi imperialis baru, baik dominasi ekonomi maupun hegemoni politik. Ketika benturan ideologi reda , maka muncul benturan benturan budaya yang disebut oleh Huntington benturan peradaban (clash of civilization).[25] Sebagaimana ditegaskan oleh Ann Meyer, situs benturan budaya yang paling kuat adalah pada narasi-narasi HAM Internasional. Disisi ini, Huntington kurang cermat menganalisis sikap umat Islam terhadap HAM yang hanya difokuskan pada pendangan normative Syariah Islam terhadap prinsip-prinsip HAM Internasional. Tentu suatu agama memiliki pandangan-pandangan khas terhadap berbagai isu, tidak terkecuali Islam, Kristen atau agama lainnya.[26]
Huntington seharusnya memberikan perhatian imbang tentang bagaimana sikap double standard Barat yang cenderung diam terhadap pelanggaran HAM pada negara-negara sekutunya dan mengutuknya pada negara-negara yang berseberangan. Terlebih lagi, Barat juga diam terhadap pelanggaran HAM dan fenomena Islamophobia di negaranya. Disamping itu, respon masyarakat Muslim juga tidak monolitik dan beragam dari Maroko sampai Indonesia yang tidak dapat disatukan dalam satu kategori.
Perdebatan tersebut meruncing sehingga memunculkan kubu universalis yang dianut oleh Barat dan relativis yang dipertahankan oleh non-Barat, termasuk Islam. Kubu universalis berkeyakinan bahwa prinsip-prinsip HAM Internasional itu berlaku universal, baik prinsip maupun implementasinya. Sedang pengikut faham partikularis bertahan bahwa prinsip-prinsip HAM Internasional adalah universal namun implementasinya perlu memperhatikan kekhasan budaya, agama dan kedaulatan negara agar HAM menjadi relevan dan berarti bagi masyarakat setempat.[27] Kelompok relativis seringkali menuduh bahwa universalisme HAM Internasional merupakan bentuk imperialisme baru negara Barat kepada negara-nagara lain dan menjadi alat politik untuk menjatuhkan sanksi dan perlakuakn diskriminatif lainnya. Kelompok universalis menuduh balik bahwa para elit politik otoriter berlindung dibalik relativitas HAM Internasional guna menutupi pelanggaran HAM di dalam pemerintahannya guna berkelit dari standar-satndar universal.[28]
Ditengah perdebatan diatas, Deklarasi Kairo tentang Hak Asasi Manusia dalam Islam(Deklarasi Kairo) Organisasasi Kerjasama Islam (OKI) disahkan pada tahun 1990.[29] Pengesahan ini menjadi titik kulminasi kontestasi Islam dan HAM Internasional yang menvalidasi benturan peradaban dari Huntington. Kelompok Universalis memandangan bahwa deklarasi ini bersifat alternatif dari Deklarasi Universal HAM meski pendukung Deklarasi Kairo bertahan bahwa deklarasi ini adalah suplemen dari Deklarasi Universal HAM (DUHAM). Perbedaan mendasar dari Deklarasi Kairo adalah pada pasal 24: semua hak dan kebebasan dalam deklarasi ini harus didasarkan pada Syaiah dan pasal 25: Syariat Islam adalah satu-satunya sumber penjelasan pada setiap pasal dalam deklarasi ini. Pengesahan ini tidak mengejutkan sebab sejak awal penyusunan naskah DUHAM, Saudi Arabia abstain dalam pengesahan Covenan terkait hak berpindah agama. Pengesahan Deklarasai Kairo yang terpaut sekitar 50 tahun dari DUHAM tidak melalui kondisi yang kosong. Terjadi dinamika yang rumit di negara-negara Muslim, utamanya naiknya kelompok Islam politik yang kecewa terhadap para elit yang otoriter sehingga menggunakan Islam sebagai motor perlawanan, tidak hanya di kawaran Timur Tengah tetapi sampai Pakistan dan Indonesia.
Sejak saat itu, terjadi kontestasi subtsantif antara OKI yang merepresentasikan negara-negara Islam/ Muslim dengan kelompok Barat dan lainnya. Lebih sering terjadi dimana negara seperti Rusia, Cina, Vatikan berada bersama OKI dalam mengambilan keputusan dalam berbagai resolusi, misalnya, resolusi tentang Orientasi Seksual dan Identitas Gender, Rusia berada bersama OKI.[30] Kontestasi ini menajam bersamaan dengan semakin kuatnya mekanisme pemantauan HAM PBB dengan penguatan komisi HAM PBB menjadi Dewan HAM PBB pada tahun 2006 disamping keberadaan Komisi Tinggi HAM PP serta Peninjauan Universal Periodik (Universal Periodical Review), penunjukan pelapor khusus (special rappotour) yang semuanya dimaksudkan guna mendorong negara-negara anggota PBB untuk memenuhi tugasnya sebagai penanggungjawab HAM warganya(duty bearer of rights).
Mekanisme-mekanisme tersebut seharusnya bersifat konstruktif dan supportif meski tidak jarang berubah menjadi tindakan ‘menghakimi’ dan mempermalukan (naming and shaming), terutama pada hak kebebasan beragama, hak perempuan dan anak. . Sikap semacam ini yang menimbulkan antipati terhadap implementasi HAM Internasional kepada negara-negara yang masih berjuang memenuhi standar internasional baik karena kondidi politik maupun masih kuatnya pandangan budaya yang konservatif dan patriarkhis. HAM Internasional mengalami politisasi karena digunakan sebagai alat untuk mempermalukan, menjatuhkan sanksi dan alat selektif dalam hubungan internasional dan bantuan-bantuan kemanusiaan. Memang sangat ironis bahwa globalisasi yang seharusnya menjadikan nilai-nilai HAM menyatukan dan menguatkan solidaritas menuju kesetaraan dan keadilan semesta namun justru menajdi alat untuk memecah belah dan memicu ketegangan dan konflik. Era globalisasi ditandai dengan regresi dari partisipasi kontributif-konstruktif semaua bangsa menjadi Kontestasif-deskruktif yang menyumbang benturan peradaban.
3. Negosiasi-Rekonsiliatif
Memasuki Millenium baru, dunia masih terbelah dalam kontestasi multi-dimensial yang puncaknya adalah Peristiwa 9/11 serangan pada menara kembar di New York dan Pentagon. Dalam skala kecil, terjadi serangan-serangan kelompok ekstrimis bersenjata yang menggunakan agama sebagai motif gerakan. Tragisnya, serangan-serangan tersebut justru terjadi di negara-negara Muslim, diantaranya adalah Bom Bali yang menyasar para turis asing namun juga membunuh dan melukai orang-orang Indonesia. Belum lagi munculnya kelompok Jama’ah Islamiyah di Afganistan dan menyebar ke seluruh dunia dan disusul oleh Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) dan kelompok-kelompok lain yang beroperasi diberbagai negara, termasuk Libya, Nigeria, Sudan Indonesia, Filipina dan lainnya.
Millenium kedua ditandai dengan mengarusutannya intoleransi dan ekstrimisme kekerasan secara transnasional yang memunculkan inisiatif ‘Global War on Terror’ yang diprakarsai oleh AS sedangkan PBB mencanangkan program pencegahan dan penanggulangan ekstrimisme kekerasan melalui The Global Counter Terrorism Strategy dan menetapkan 12 Pebruari sebagai Hari pencegahan dan Penanggulangan Ekstrimisme Kekerassan. Tesis Huntington seperti mendapat justifikasinya bahwa benturan peradaban antara Barat dan islam memang terjadi dimana sasarannya adalah kelompok-kelompok Islam seperti al Qaedah, Jamaah Islamiyah dan ISIS berikut afiliasi-afiliasinya.[31]
Ditengah awan gelap diatas, ada inisiatif-inisiatif PBB guna membuka dialog dan kerjasama menguatkan peran multilateral. Meski didera ketidakpercayaan dari berbagai pihak, utamanya dalam penangganan konflik Palestina-Israel, PBB memprakarsai dialog peradaban melalui yang diusulkan oleh Spanyol dan Turki pada tahun 2005 yang kemudian dibentuk The United Nations Alliance of Civilizations (UNAOC). Lembaga ini bertujuan mencegah ekstrimisme melalui inisiatif dialog antar-budaya dan antar agama dan meredakan ketegangan antara Barat dan Islam.[32]
Peran aktif OKI juga diwujudkan dengan inisiatif mensponsori suatu resolusi untuk menghapuskan intoleransi, stereotipi negatif, stigmatisasi dan diskriminati, hasutan kekerasan dan kekerasan terhadap seseorang berdasarkan agama dan kepercayaan.[33] Yang unik dan diluar dugaan umum bahwa OKI dan Amerika Serikat menjadi sponsor utama resolusi tersebut yang mendapat suatu aklamasi pengesahannya di Sidang Umum PBB tahun 2012. Sebagai mekanisme penantauan dan promosi resolusi tersebut dibentuk forum Istanbul Process yang dilaksanakan secara periodik yang saat ini telah dilakukan di Istanbul, Washington DC, London, Jenewa, Doha, Jeddah, Singapore dan Den Hag. Demikian pula forum-forum serupa seperti dilaksanakan di Jakarta melalui Forum Jakarta Plurilateral Dialog pada tahun 2023.
Disisi lain, OKI merumuskan 10 Rencana Kerja Sepuluh Tahun Menyongsong Tantangan Abad 21 , salah satunya pengembalikan keterlibatan kembali OKI pada forum internasional. Aspek paling kuat dalam Rencana Kerja tersebut adalah perhation pada HAM Universal dan upaya arusutama pada program dan aktifitasnya. Ekmeleddin Ihsanoglu yang terpilih sebagai sekretaris jenderal OKI (2004-2014) menegaskan pentingnya mengadaptasi prinsip HAM global dan terlibat kembali dalam mekanisme-mekanisme HAM Internasional.[34]
Langkah konkrit OKI adalah membentuk komisi HAM dengan 18 komisioner pada tahun 2011. Sangat tidak mudah bagi Ihsanouglu mendorong OKI mengadaptasi kembali HAM Internasional setelah lebih 20 tahun OKI mengisolasi dengan Deklarasi Kairo. Sebagai lembaga politik lintas regional, negara-negara anggota OKI tidak monolitik dan tunggal suara nya terhadap HAM namun merentang dalam spektrum antara universalis dan relativis. Mereka juga dapat berbeda ketika melakukan voting suatu resolusi di Dewan HAM PBB. Pada resolusi ang sangat kontroversial tentang Lesbian, Gay, Bisexual and dan Transgender (LGBT), terhadap empat negara anggota OKI yang menerima ditengah mayoritas yang menolak. [35] Mereka juga berbeda pendapat terhadap Diklarasi Kairo pemahaman Deklarasi Kairo terutama pada masalah pemahaman Syariah Islam yang menjadi landasan nilai-nilai di dalamnya.
OKI membutuhkan waktu sekitar enam tahun untuk sampai pada Keputusan pendirian komisi HAM yang diberi nama Independent Permanent Commission of Human Rights (IPHRC) pada tahun 2011 dan memilih 18 komisionernya yang mewakili Afrika Arab dan Asia. Para komisioner juga mewakili pandangan beragam dalam negara-negara anggotanya. Secara umum Marie Peterson memetakannya pandangan umat Islam menjadi tiga kelompok: 1) relativis radikal adalah mereka yang menolak seluruhnya prinsip-prinsip HAM Internasioanal karena dianggap bertentangan dengan Syariah Islam. 2) Relativis yang kuat yaitu mereka yang megakui kompatibilitas Islam dan HAM Internasional namun tetapmemprioritask Islam jika keduanya bertentangan. 3) Universalis moderat yaitu kelompok yang percaya kompatibilitas Islam dan HAM Internasional dengan memprioritaskan HAM Internasional dan mendorong proses reinterpretasi pandangan terhadap Syariah sehingga dapat mendekati prinsip-prinsip HAM Internasional. Bagi Peterson, sangat sulit menemukan kelompok universalis radikal di OKI yang meyakini bahwa HAM Internasional harus dipahami secara universal dan oleh sebab itu, perlu merevisi pasal-pasal Deklarasi Kairo agar sejalan dengan Deklasi Universal HAM Internasional.[36]
Baik Ihsanoglu dan Siti Ruhaini Dzuhayatin, Ketua Komisi HAM OKI berpendapat bahwa tidak ada perbedaan mendasar antara DUHAM dan Deklarasi Kairo sebab keduanya disusun dengan melibatkan negara-negara anggota OKI. Sudah seharusnya dilakukan negosiasi dan harmonisasi antara ‘pemahaman’ para elit OKI dan negara-negara anggota yang progresif terhadap Syariah yang menjadi landasan menyusunan Deklarasi Kairo. Yang menjadi fokus pada upaya negosiasi ini adalah kemauan dan kemampuan menggeser paradigma yang digunakan memahami Syariah. Masalah antara Islam dan HAM Internasional bukan terletak pada Syariah tetapi terletak pada pemahaman manusia pada Syariah yang merentang pada spektrum terbuka seperti liberal, progresif , moderat, konservatif, fundamentalis dan ekstrimis. [37]
Namun demikian, dari catatan Peterson, miliu progresif dari pandangan universal moderat diatas tidak selamanya bertahan di IPHRC OKI sebab setelah Ihsanoglu dan Dzuhayatin selesai dari jabatannya, pandangan lama yang relativis kuat muncul kembali yang menganggap DUHAM bias budaya Barat dan mengabaikan tradisi lain, seperti Islam. Bahkan Iyad Madani, sebagai sekretaris jenderal yang baru memepertanyakan keabsahan penggunaan kata gender yang dipandang sebagai ‘konstruksi subjektif’ yang tidak sesuai dengan kondisi objektif laki-laki dan perempuan. Daripada penggunakan istilah kesetaraan gender, lebih objektif menggunakan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Gender dapat dimaknai sangat berbeda jika itu dikaitkan dengan identitas dan orientasi sesksual. [38]
Ada ruang bagi negosiasi-rekonsiliatif antara Deklarasi Kairo dan DUHAM seperti yang terjadi pada masa awal pembentukan IPHRC yang diprakarsai seorang sekretaris jenderal OKI dan ketua IPHRC yang progresif sebagai universalis moderat berkemauan menyelaraskan Deklarasi Kairo dan DUHAM. Tantanganya adalah apakah OKI secara keseluruhan memiliki kemauan untuk memilih pemimpin yang mampu memperkuat jalan menuju negosiasi-rekonsiliatif dan, sekaligus mampu mendorong pihak lain dari kelompok universalis radikal yang menghendaki DUHAM berlaku secara internasional, baik prinsip maupun implementasinya, agar dapat bersama-sama menuju suatu titik temu yang moderat.
IV. Pendekatan Konvergensi-Divergensi Negosiasi Islam & HAM Internasional
Meski secara umum sering diasumsikan publik, bahkan oleh mengamat HAM Internasional bahwa ada garis yang tegas, hitam-putih, beroposisi biner ketika membahas Islam danHAM Internasional, pada kenyataannya dapat dipahami bahwa relasi keduanya tidak tunggal, tidak linier dan beragam. Pandangan Islam yang direpresentsikan negara-nerga Islam dan negara Muslim juga berbeda-beda bahkan pada isu yang sangat sensitif seperti LGBT. Sikap generalisasi dikhotomis, terutama munculnya Deklrasi HAM OKI yang dipandang sebagai alternatif DUHAM ketimbang suplemen, telah menajdikan umat Islam kehilangan ‘ownership’ terhadap DUHAM. Pada tahap penyusunan draf DUHAM negara-negara Muslim menyumbang lebih banyak rumusan-rumusan pasal termasuk kebebasan beragama dan berkeyakinan. Namun saat ini pasal ini justru menjadi ‘site of battle’ dari kelompok universalis Barat dan relatifis negara-negara Muslim. Di OKI sendiri juga juga terjadi perbedaan pendapat dimana negara-negara berazaskan Islam pada konstitusinya menolak hak berpindah agama pada hak memeluk dan menerima agama. Namun dalam beberapa konstitusi negara-negara berpenduduk Muslim memandang perpindahan agama masuk dalam pasal 18 DUHAM seperti Turki, Negeria, Indonesia, Libanon, [39] Meski perlu dicatat meski bahwa meski konstitusi tidak melarang perindahan agama namun tetap problematik secara sosial dan budaya karena masih kuatnya akar-akra ethno-religious di berbagai komunitas Muslim.
Pasal kontestatif lain adalah terkait hak perempuan dan hak anak dalam keluarga pada pasal 16 DUHAM. Kontestasi pasal tersebut memiliki Sejarah panjang dimana pada masa kolonial Barat, hukum keluarga diserahkan pada otoritas agama setempat yang mayoritas merujuk pada kitab-kitab fiqih klasik yang merefleksikan budaya-budaya klasik yang paternatik dan patriarkhis. Perkembangan hukum-hukum baru mengikis budaya paternatistik dan patriarkhis seluruh dunia, baik di Barat, Islam amupun budaya Cina, Jepang, Afrika dan lainnya. Puncaknya adalah kesepakatan DUHAM 1948 dimana keluarga dibangun berdasarkan nilai kesetaraan gender, nir-diskriminasi dan keadilan bagi semua warga keluarga. Disamping ‘merefleksikan’ hukum-hukum yang ada pada hukum keluarga anggota PBB, pasal 16 juga bersifat revisionis terhadap hukum tersebut dimana negara anggota perlu melakukan revisi undang-undangnya agar dapat mencapai kesepakatan internasional yang bertujuan meningkatkan hartkat dan martabat manusia secara keseluruhan.
Perdebatan tentang hak perempuan terjadi sejak perumusan DUHAM dan perumusan kovenan hak sipil dan politik dan hak ekonomi, sosial dan budaya. Ketiga dokumen tersebut disahkan dan diratifikasi oleh mayoritas negara anggota kecuali Vatikan, Iran, Somalia, Sudan dan Tonga. Amerika Serikat dan Palau menanda tangani tetapi tidak meratifikasi. Mayoritas anggota OKI memahami bahwa ada perbedaan hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan dalam keluarga karena tuntunan Syariah. Ada hak talak yang berada pada suami dan tidak pada istri serta hak poligami yang tidak ada istri. Sesungguhnya, kedua isu tersebut telah menjadi semakin relatif karena dalam undang-undang modern masyarakat Muslim talak atau perceraian antara suami dan istri hanya sah jika dilaksanakan di depan pengadilan. Meski undang-undang di banyak negara Muslim belum menghapuskan pasal tentang poligami namun praktek poligami sudah sangat menurun, bahkan menjadi praktek perkawinan yang sangat ditabukan oleh masyarakat, terutama perempuan-perempuan terpelajar. Hanya saja, sangat sulit untuk menghilangkan secara tekstual dalam undang-undang karena penghapusan poligami dianggap bertentangan dengan Syariah.
Isu baru yang muncul akhir-akhir ini adalah resolusi orientasi seksual dan identitas gender tahun 2011 yang dipandang sebagai pemberian hak setara kelompok lesbian, gay, bisex, transgender (LGBT). Resolusi ini mempertajam kembali polarisasi di PBB setelah secara relatif mencapai pengertian bersama terhadap prinsip kesetaraan gender. Sudah dapat diterka negara-negara yang menolak mensahkan resolusi ini yaitu mayoritas negara anggota OKI, Rusia, Vatikan dan Cina. Yang mengejutkan ada dua negara anggota OKI yang setuju resolusi tersebut yaitu: Albania, Sierra Leone.[40]
Sebagaimana dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya bahwa relasi Islam dan HAM Internasional tidak tunggal dan tidak permanen. Setidaknya ada tiga pola: kontributif-konstruktif, kontestatif-destruktif dan negosiatif-rekonsiliatif. Pada fase pertama dimana negara-negara Muslim memberikan kontribusi yang substantif yang bersifat konstruktif, ownership terhadap DUHAM juga sangat tinggi sehingga terjadi proses ratifikasi dan revisi undang-undang di berbagai negara Muslim, salah satunya adalah revisi Undang-Undang Perkawinan No. 1 /1974 di Indonesia. Meski tidak ditegaskan bahwa revisi undang-undang tersebut tidak didasarkan pada ratifikasi terhadap DUHAM dan dua kovenan sebagai turunannya namun undang-undang ini telah secara signifikan meningkat perkawinan yang tercatat dan mecara drastik menurunkan perkawinan tidak tercatat atau dikenal dengan nikah siri. Proses pencatatan ini sangat besar perannya dalam perlindungan perempuan dan anak.
Pada masa kontestatif, relasi Islam dan HAM Internasional terimbas oleh polarisasi politik yang menggunakn HAM sebagai ‘senjata’ oleh pihak Barat dan Non Barat, utamanya Islam. HAM digunakan secara selektif dan politis untuk mempermalukan, menjatuhkan sanksi dan bahkan menyerang negara-negara yang dianggap musuh Barat. Respon baliknya, negara-negara seperti Iran, Sudan, Syria dan lainnya menggunakan Syariah sebagai pijakan dalam membela tuduhan Barat. Persoalan dasarnya bukan pada Syariah tetapi pada ‘pemahaman’ nya. Abdullahi an Naim menengarai bahwa konestasi tersebut disebabkan oleh ‘absolutisme’ pemahaman Syariah yang disamakan dengan Agama atau Dinnul Islam. Dinul Islam bersifat absolut sedangkan Syariah sebagai hasil pemikiran manusia maka bersifat relatif, kontektual dan dapat berubah.
Politisasi ‘Syariah’ mengandung ideologisasi kebenaran Tunggal dan justifikasi distingtif dari ideologi lainnya. Pandangan klasik terhadap ideologisasi dan politigasi adalah absolut, permanen dan tidak boleh berubah. Syariah mengalami proses yang demikian dalam kontestasi Islam dan HAM yang berakibat destruktif menjadi revalitas yang tidak rasional dan ekstrim, serangan dengan kekerasan dan, bahkan mematikan. Kondisi yang mencekam yang menjadi landasan beberapa kebijakan internasional yang tidak kalah menyeramkannya seperti global war on terror , counter terrorism atau coutering violent extremism yang muaranya pada gerakan-gerakan militansi-militansi agama yang akhir-akhir ini bnayak muncul dikalangan umat Muslim. Suatu langkah strategis digagas oleh berbagai negara guna mengembalikan relasi global yang damai dan menguatkan mekanisme internasional dan multinasional. Salah satu yang penting adalah prakarsa the Kerjasama antar Peradaban PBB pada 2005 (United Nation Alliance on Civilization) yang disponsori Spanyol dan Turki. [41] Perserikatan ini sesungguhnya menjawab tesis Huntington tentang benturan peradaban dimana saling curiga, ketakutan dan kesalahpahana berbedaan budaya, utamanya Islam dan Barat-Kristen meningkat tajam pada awal Millenium kedua. Meningkatnya ketegangan ini mengakibatkan terganggunya kehidupan bersama masyarakat dengan beragam latar belakang sosial, terlebih lagi terjadinya serangan-serangan dari kelompok ekstrim diberbagai belahan dunia.
Para pemimpin dunia telah menyampaikan keprihatinannya dan menyerukan agar segera menemukan ‘titik temu’ dari nilai budaya dan nilai agama dari setiap kelompok yang toleran, saling memahami dan saling menghormati nilai-nilai fundamental dan nilai agama sebagai landasan kehidupan bersama ditengah keragaman budaya. Dengan demikian, tindakan-tindakan intoleran, kekerasan dan ekstrimisme tidak mendapatkan ruang kehidupan. Hidup berdampingan dengan damai diantara masyarakat yang berbeda akan menguatkan stabilitas internasional.
Resonansi prakarsa ini cukup signifikan, terutama di intenal PBB yang menjadi lebih terbuka dan inklusif dalam menyusunan resolusi. Misalnya pengesahan resolusi yang sangat kontroversial tentang orientasi seksual dan identitas gender (SOGI) pada tahun 2011 dikuti oleh pengesahan resolusi perlindungan keluarga (The Resolution on The Protection of Family) pada tahun 2015 . Negara anggota OKI mengkaitkan resolusi ini sebagai ‘benteng’ pertahanan keluarga menghadapi tantangan baru termasuk perilaku-perilaku yang mengganggu eksistensi keluarga seperti LGBT.[42] Penggunaan gender identity yang dikaitkan dengan sexual orientation juga membawa perubahan di OKI. Pada tahun 2016 OKI telah membuat buku panduan training kesetaraan gender dalam keluarga, sosial dan politik.[43] Namun Sekretaris Jenderal OKI, Iyad Madani masih memperdebatkan istilah gender. Menurutnya OKI lebih memilih menggunakan istilah kesetaraan laki-laki dan perempuan ketimbang kesetaraan gender yang saat ini diartikan diluarnya. Yang dimaksud oeh Madani adalah penggunakan gender dalam resolusi SOGI yang memasukkan LGBT sebagai identitas gender selain lelaki dan perempuan.[44]
Dalam nuansa negosiatif-rekonsiliatif seperti diatas, diperlukan kearifan dalam merespon isu-isu baru sangat diperlukan. Negosiasi perbedaan-perbedaan diatas perlu dirumuskan dalam suatu pendekatan yang dapat mendekatkan pada ‘titik temu’ jika tidak dapat benar-benar disatukan dalam kesepakatan dan perlu ditarik lebih lanjut pada tujuan hakiki yang hendak di capai. ‘Titik temu’ atau semacam ‘margin of appreciation’ diperlukan guna mensepakati suatu norma dan prinsip bersama dan diperlukan pula suatu gerakan divergensi dalam pelaksanaan suatu norma atau prinsip pada tingkat nasional.
Jelasnya diperlukan suatu pendekatan yang dapat mengkerangkai suatu gerakan bersama dari masing-masing negara yang berbeda politik, budaya dan tradisi agama menuju titik temu pada suatu norma dan prinsip, misalnya kesetaraan dan keadilan gender. Kerangka ini disebut gerakan konvergensi-divergensi (convergent and divergent movement). Pendekatan konvergensi-divergensi juga digunakan untuk melihat agama dan HAM sebagaimana dilakukan oleh Gizaw dan Woubeshet guna melihat substansi, sumber, objek dan konsekuensi maka ada aspek konvergensi antara agama dan HAM dari aspek substansinya yang mengatur manusia menuju martabat dan harbat yang mulia. Secara konvergen, agama dan HAM mengatur manusia dan tindakan-tindakannya. Sedangkan convergensi dari keduanya adalah sumber norma dan prinsip HAM adalah konsensual yang relatif (kesepakatan) sedangkan agama sumbernya diyakini dari Tuhan yang absolut. Karena HAM disepakati maka dapat berlaku secara universal namun agama dapat berbeda antara satu dengan yang lain sehingga tidak dapat berlaku universal. Pada titik ini, univerlitas agama dapat diperoleh dengan menggali norma-norma yang sama seperti keadilan, non-diskrimnatif dan anti-kekerasan.[45]
Secara operasional pendekatan konvergensi-divergensi dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Pendekatan Konvergensi: proses akumulasi norma dan/atau prinsip nasional partikular menuju kesepakatan Internasional Universal
Pendekatan konvergensi merupakan proses berkelanjutan yang sekuensial terhadap akumulasi artifak— bukan semata-mata bersifat material tetapi cara-cara manusia berpersepsi seperti gagasan, norma, hukum, (ber) agama menjadi suatu kesepakatan yang membentuk budaya sebagai ekosistem dimana tindakan manusia dari berbagai ranah berkonvergensi pada awalnya tidak terkait menjadi terkoneksi dan terintegrasi. Sedang divergensi merujuk pada tahap berikutnya dimana manifestasi dari nilai, norma, hukum, agama dapat bervariasi dan beragam namun diikat oleh suatu tujuan yang sama.[46]
Membentukan norma dan/atau prinsip HAM universal memerlukan akumulasi dari aspek serupa dari berbagai negara yang dihasilkan dari proses ekskavasi dan eksplorasi mendalam terhadap keyakinan, ideologi, pandangan dan tindakan. Proses tersebut dimaksudkan untuk memperoleh suatu rumusan ‘hybrid’ melalui pertanyaan-pertanyaan kritis dan konstruktif terhadap tawaran norma/atau prinsip baru bagi upaya lebih melindungi dan menghormati harkat dan martabat manusia. Contoh yang paling akurat adalah inisiatif membentuk norma/atau prinsip HAM Internasional pasca Perang Dunia II sebagai norma baru yag belum ada sebelumnya. Bahwa istilah HAM itu adalah ‘hybrid’ namun referensi-referensi normanya telah ada pada tradisi budaya dan agama yang telah ada. Sehingga sangat lazim orang mengatakan bahwa Islam, Kristen, Hindu atau agama lainnya mengandung nilai HAM. Demikan pula budaya-budaya di dunia, apakah budaya Barat sebagai manifestasi budaya Eropa, Budaya Timur seperti Jepang, Cina, India dan Nusantara.
Pembentukan norma dan/prinsip baru universal perlu menelisik aspek-aspek lokal dan nasional referensi yang kemudian di negosiasikan dengan referensi negara-negara lainnya di PBB sebagai kesepakatan bersama. Dengan melalui negosiasi, sinkronisasi dan harmonisasi maka suatu norma atau prinsip dapat disepakati. Pada ranah internasional, norma dan prinsip mendapatkan standarisasi yang membingkai beragam ekspresi dan tindakan di ditingkat nasional. Meski beragam namun harus tetap mencerminkan tujuan dari suatu norma dan prinsip. Pendekatan konvergensi menggambarkan bagaimana naskah DUHAM disusun dengan dialog dan negosiasi sampai pada suatu rumusan norma dan/atau prinsip yang disepakati. Misalnya, agar dapat diterima bersama maka kalimat ‘kebebasan berganti agama’ diubah dengan kebebasan memiliki atau memilih agama sehingga pasal 18 dapat diterima oleh negara-negara Islam seperti Saudi Arabia dan Iran.
Demikian pula pada pasal 16 DUHAM terkait hak laki-laki dan perempuan dalam keluarga dimana beberapa hak yang berpotensi membawa kerugian atau penderitaan diharuskan diatur oleh negara, seperti usia nikah, talak, poligami dan isu-isu sejenisnya. Melalui kesepakatan bersama dengan menjadikan negara sebagai penanggung jawab hak (duty bearer of right) terhadap warga sebagai pemilik hak (right holder).[47] Sebenarnya, semua deklarasi, kovenan, resolusi yang dihasilkan oleh Dewan HAM dan PBB pada umumnya merupakan hasil konvergensi dari keyakinan dan pandangan lokal dan nasional yang dinegosiasikan dan disepakati. Dalam mekanisme multilateral suatu kesepakatan dapat disepakati secara aklamasi atau suara terbanyak. Pada implementasinya, sistem PBB memungkinkan negara angota terikat atau tidak terikat pada suatu keputusan.
Karena memerlukan masukan, konfirmasi dan negosiasi maka suatu resolusi atau kesepakatan PBB lainnya memerlukan waktu untuk disahkan, kecuali adanya hal-hal mendesak seperti genosida di Gaza yang memerlukan keputusan yang segera. Umumnya, setiap negara diberi watu untuk mengkaji suatu usulan resolusi dengan berbagai para pemangku kepentingan, termasuk tokoh agama dan intelektual. lebih luas akan lebih baik karena dapat menampung berbagai pendapat sebelum menjadi keputusan sikap nasional. Di negara-negar non-demokratis proses ini seringkali di bypass oleh elit politik dengan hanya mendengarkan etik-elit agama yang mendukungnya, yang pada umumnya konservatif. Akibatnya, ketika dibawa pada ranah internasional maka suara konvervatif yang terwakili. Disisi yang lain, kontestasi politis antara sebagian negara-negara Muslim dan Barat telah membentang jarak bagi negosiasi yang jujur dan terbuka dari kedua pihak. Masing-masing bertahan pada perbedaan yang menandai superioritas masing-masing dan, seringkali, kepentingan perlindungan HAM bagi kelompok rentan terabaikan.
Meski demikian, relasi antara Islam dan HAM Internasional tidak selalu pesimis dan antagomis, misalnya, pada awal penyusunan DUHAM dan dua konvensi turunannya partisipasai dan kontribusi negara-negara Muslim cukup signifikan. Sebaliknya, negara-negara lain (Barat) juga cukup akomodatif terhadap keberatan-keberatan mereka yang terkait dengan pandangan keagamaan mereka, misalnya tentang kebebasan berpindah agama. Seharusnya, relasi yang kooperatif dikembangkan pada dua pihak sehingga muncul inisiatif-inisiatif akomodatif yang saling menguatkan.
Politisasi HAM internasional telah memunculkan sikap eksklusif yang ditengarai Tariq Ali sebagai ‘class of fundamnetalism’ atau ‘class of conservatism --- konservatisme sekuler Barat dan konservatisme agama di negara-negara Muslim. Jadi yang berbenturan adalah konservatisme sekuler dan konservatisme Islam sementara pihak-pihak moderat dan progresif berada di luar arena kontestasi seperti intelektual dan akademisi. Agar HAM internasional mendapatkan ownership secara luas, maka baik Barat maupun Islam harus bergeser dari posisi masing-masing saat ini menuju pemahaman yang lebih moderat dan progresif. Barat perlu menggunakan kacamata relatifis pada implementasi HAM dan, sebaliknya, negara-negara Muslim harus lebih mendengarkan pandnagan-pandangan elit Islam yang moderat dan akademi yang progresif sehingga dapat memperluas pandangan Syariah sampai pada batas paling progresif. Dengan kesadaran ini, HAM Internasional akan lebih moderat untuk menempatkan persamaan dan perbedaan.
Dalam tradisi Islam, perubahan corak Syariah lazim terjadi jika Syariah di pahami sebagai ‘jalan menuju’ ajaran-ajaran Dinul Islam dan menajdi bagian dari tradisi Islam. Jika Dinul Islam adalah absolut dan abadi, Syariah bersifat temporal dan berubah. [48]Inilah yang dimaksudkan oleh An Naim yang sering disalah artikan bahwa Syariah harus dikalahkan oleh HAM Internasional. Yang dimaksudkan an Naim adalah karena norma dan/atau prinsip HAM Internasional di tanda tangani oleh wakil suatu negara yang telah mengalami pembahasan yang intensif, termasuk bagaimana aspek Syariahnya, maka jika ada praktik dan tradisi lokal dan nasional yang bertentangan maka perlu dilakukan kajian mendalam terhadap pemahaman dan praktik Syariah tersebut.. Itulah hakekat Syariah sebagai jalan atau petunjuk menuju ajaran-ajaran Dinul Islam yang absolut dan kekal. Syariah dapat berubah karena berubahan waktu dan konteks berdasarkan masalah dan tantangan yang dihadapi umat Islam. Karena bagian dari pemahaman manusia yang beragam maka corak Syariah dapat beragam dari yan yaitu ketat: fundamentalis dan konservatif namun ada juga yang lentur moderat.[49]
Sebagai upaya meredakan ketegangan ini, OKI telah memprakarsai revisi Deklarasi Kairo 1990 sejak tahun 2011 pada saat pembentukan Komisi HAM dan baru dapat terlaksana pada tahun 2020. Revisi ini membawa optimisme dimana negara-negara berkehendak untuk kembali memiliki ownership terhadap DUHAM dimana deklarasi baru disebut the OIC Declaration of Human Rights (ODHR). Revisi merupakan langkah fenomenal OKI dimana deklarasi yang baru bergeser dari perspektif agama menjadi perspektif politik. Perubahan arah ini sesuai dengan ‘nature’ OKI sebagai institusi politik, bukan institusi agama. Yang cukup mencengangkan bahwa deklarasi ini tidak lagi dirujukkan kepada Syariah tetapi kepada nilai-nilai Islam. Dengan demikian, Deklarasi OKI tentang HAM lebih mendekati rujukan supplementer terhadap DUHAM. Tentu ini adalah awal yang baik menuju proses konvergensi yang lebih konstruktif dan kooperatif dimasa depan.
2. Pendekatan divergensi: Proses implementasi norma dan/atau prinsip universal internasional praktik dan tindakan nasional yang partikular-relatif
Setelah tercapai kesepakatan universal di tingkat internasional maka agar norma dan/atau prinsip dapat diaplikasikan secara nyata maka harus dikembalikan pada ranah nasional, baik berupa tataran hukum, keputusan dan tindakan pemerintah serta perilaku nyata warga negara. Sejatinya, validitas HAM itu terletak pada implementasinya dimana ekspresi dan tindakan warga dan pemangku kepentingan, negara mau dan mampu mengacu pada norma dan prinsip internasional yang sejalan dengan pandangan hidupnya, termasuk agamanya. Oleh sebab itu, tidak perlu dirisaukan perbedaan manifestasi dari suatu norma atau prinsip dari satu budaya pada budaya lainnya selama aspek-aspek yang menjadi tujuan dari norma atau prinsip dapat terwujud. Para tataran implementasi, HAM menjadi relatif, partikular dan relatif karena kekhasan dari manifestasi dan eskspresi budaya dan kebiasaan setempat. Hak setara dalam pendidikan tidak perlu disamakan dalam konteks sekolah co-education sebab sekolah khusus anak perempuan dan lelaki yang dipisahkan seperti pesantren atau sekolah katolik yang dipandang lebih memenuhi ajaran agama tetap masih dapat dijaga kesetaraan akses dan partisipasi para murid terhadap kurikulum serta manfaat pendidikan yang diperoleh.
Gerak proses mengembalikan dari ranah internasional menuju implementasi nasional dan lokal memerlukan pendekatan yang divergensi yaitu pendekatan yang memungkinkan ada keragaman menifestasi dan ekspresi dalam implementasi norma dan/atau prinsip Internasional. Disinilah negosiasi universalitas dan partikularitas menjadi relevan. Pada ranah internasional, norma dan/atau prinsip harus bersifat universal dan rigid agar menjadi standar bagi implementasi yang plural dan beragam. Pada ranah implementasi, maka diperlukan pendekatan yang relatif dan partikular agar norma dan/atau prinsip tersebut dapat terimplementasi dalam budaya lokal. Jadi pendekatan ini menganut adagium ‘hak asasi manusia itu universal secara prinsip namun relative dalam implementasi’. Oleh sebab itu, pendekatan divergen diperlukan untuk menjaga agar HAM Internasional menjadi relevan dan kontekstual.
Pendekatan divergensi sudah dirumuskan oleh Mashood Baderin dimana penguatan dan perlindungan HAM harus dilihat dari dua sisi yaitu pendekatan politik hukum (politico-legal approach) dan pendekatan socio-kultural (socio-cultural approach). Namun pendekatan Baderin perlu diperkaya dengan pendekatan konvergensi dari gerak arah pandangan nasional yang secara akumulatif membentuk norma dan/atau prinsip HAM Internasional. Pendekatan ini penting dalam rangka penguatan dan perlindungan HAM secara nasional dimana pendekatan politik-hukum seringkali terjebak dalam retorika elit politik dan tidak jarang elit agama dalam menjustifikasi kepentingannya untuk tidak mengindahkan HAM Internasional. Sedangkan pendekatan socio-kultural melalui pendidikan, pertukaran akademik, pertukaran pengalaman komunitas dan penyebaran informasi publik akan lebih terbuka, flleksibel dan deliberatif sehingga lebih membuka nuansa pandangan yang beragam pula. Pendekatan divergensi ini menurut Baderin mampu memberikan gambaran yang seimbang jika terjadi politisasi prinsip HAM olehelit politik guna menutupi pelanggaran HAM dan pembatasan-pembatasan suara publik yang dapat membahayakan kepentingan politiknya.[50]
Dua pendekatan Baderin juga sangat bermanfaat untuk memotret kondisi suatu negara yang tidak hanya terbatas pada kinerja pemerintah dan negara yang terkadang menyajikan gambar yang suram. Misalnya, jika HAM hanya dilihat dari undang-undang yang memang sangat sulit berubah atau para elit politik yang seringkali lebih konservatif, misalnya, masalah usia nikah antara laki-laki dan perempuan, maka masyarakat justru lebih progresif dimana kesenjangan usia sudah semakin hilang. Sudah lebih dari 50 tahun, Indonesia menjadi bulan-bulanna di forum internasional karena masuk dalam kategori negara yang mengesahkan perkawinan anak karena usia anak perempuan dalam undang-undang adalah 16 tahun sedang usia dewasa dalam Undang-Undang Perlindungan Anak adalah 18 tahun. Sangat sulit sekali memajukan revisi undang-undang tersebut dan selalu gagal disahkan karena pandangan konservatif para elit politik di DPR yang mendasarkan usia 16 tahun pada hadist Rasulullah. Para ahli kesehatan, akademisi dan LSM terus mendesakkan peningkatan usia nikah laki-laki dan perempuan menjadi 19 tahun atau 20 tahun sebagai upaya untuk meningkatkan ketangguhan keluarga, baik fisik, seksual dan mental. [51]
Pendekatan divergensi juga dapat diterapkan pada kebebasan berekspresi yang relatif berbeda antara satu budaya dengan yang lain, misalnya budaya menutup kepala dan menutup wajah bagi perempuan. Selama menggunaan kerudung dan penutup wajah dilakukan berdasarkan budaya asli dan tidak mengandung unsur pemaksaan dan tidak menghalangi akses, partisipasi, pengambilan keputusan dan manfaat kemajuan, maka tidak perlu dipersoalkan. Timbul masalah HAM jika memakai kerudung atau tidak memakai kerudung karena dipaksakan, baik oleh individu lain maupun pihak lain, termasuk negara. Dalam implementasi HAM Internasional, proses menerapnya perlu dibarengi dengan sikap terbuka untuk mengubah dan merevisi pandangan dan sikap budaya dan bahkan pandangan agama (Bukan mengubah agama) agar terjadi keselarasan dengan norma dan prinsip HAM yang sudah pasti tidak bertentangan dengan budaya dan agama karena telah melalui proses konvergensi dari masing-masing negara di Dewan HAM PBB.
Proses ini sebenarnya sudah sering terjadi dimana pemahaman ajaran agama perlu disesuaikan dengan konteksnya. Terkait dengan hak pendidikan anak perempuan, jika mengikuti pemahaman lama tentang ‘mahram’ dimana anak perempuan harus ditemani ayah atau saudara lelakinya jika keluar rumah maka tidak ada anak perempuan yang dapat bersekolah. Maka pemahaman tentang mahram harus diubah dengan konsep keamanan modern dimana negara memiliki hukum dan mekanisme keamanan terhadap segala bentuk kekerasan terhadap perempuan berdasarkan pada Konvensi PBB tentang Penghapusan segala bentuk Diskriminasi dan Kekerasan terhadap Perempuan. Dengan terjaminnya keamanan anak perempuan dan perempuan, maka perempuan menjadi semakin terpelajar dan mandiri serta menguatkan harkat dan martabatnya sebagai manusia.
Aspek divergensi yang penting adalah pada masalah non-diskriminasi terhadap setiap orang tanpa memandang ras, agama, etnis, gender dan seksualitasnya. Isu ini telah meruncingkan kontestasi Barat dan Islam karena munculnya resolusi perlindungan terhadap orang dengan orientasi seksual dan identitas gender minoritas. Sebagian besar pendukung universalitas HAM Internasional memaksakan agar semua negara mengakui LGBT, terutama pernikahan sesama jenis. Tentu isu ini memicu kemarahan negara anggota OKI sebab Islam tidak mengakui adanya pernikahan sesama jenis. Adalah suatu pendapat yang ‘imperialis dan kolonialis’ jika hal tersebut dipaksakan pada negara lain. Pada budaya-budaya non Barat, penghargaan terhadap seseorang tidak semata melalui hukum nasional sebab mereka masih memiliki nilai dan penghargaan budaya dimana seorang transgender dapat memperoleh ruang gerak budaya dan hak-hak dasar lainnya. Pada umumnya, kelompok transgender dapat memahami eksistensinya dalam budaya setempat sehingga berabad-abad tidak pernah terjadi ketegangan dalam masyarakat. Munculnya berbagai isu baru perlu di negosiasikan, bukan semata secara politis namun lebih penting lagi secara kultural.
IV. Penutup
Pembahasan Islam dan HAM Internasional yang terbuka, jujur dan konstruktif mampu meredakan ketegangan antara pandangan universalisme absolut dan pendukung relatifisme absolut. Pendekatan yang ditawarkan adalah suatu dua gerak konvergensi dari norma nasional menuju norma internasional yang bersifat akumulatif dan pendekatan divergensi dari norma internasional menuju implementasi praktis pada ranah nasional yang bersifat plural dan beragam. Dua pendekatan ini menciptakan suatu prinsip bahwa HAM Internasional bersifat universal yang kokoh (firmly universal) namun fleksibel relatif dalam implementasinya (flexibly relative).
Pendekatan ini diharapkan dapat mengembalikan lagi suasana konstributif yang konstruktif. Perlu dicatat pula bahwa implementasi HAM memerlukan tahapan dan persiapan yang berbeda-beda dari satu negara dengan negara lain yang membutuhkan waktu untuk bertukar ide, berdebat dan bernegosiasi sehingga kesepakatan nasioanl tercapai. Dalam proses tersebut, yang dibutuhkan adalah kerjasama kooperatif dan saling berbagi pengalaman dan sekaligus memahami kendala dan kesulitan budaya dan agama dalam mewujudkan prinsip-prinsip HAM Internasional.
Perlu dihindari politisasi HAM Internasional guna meraih kepentingan politik yang dominatif, menghilangkan kecenderungan selektif dan standar ganda sehingga HAM Internasional mendapatkan legitimasi sebagai kesepakatan bersama yang digunakan untuk memajukan dan melidungi hak-hak dasar setiap manusia yang tidak terkecualikan oleh nasionalitas, agama, ras, etnis, gender dan kategori sosial lainnya.
Daftar Pustaka
an Naim, Abdullahi, Íslam and Secular State: Negotiating The Future of Syariah, Massacussett: Harvard University Press, 2008.
Zafirovski, Milan, The Enlightment and Its Effect to Modern Society, New York: Springer, 2011.
Krasner, Stephen, International Regimes, Ithaca and London: Cornell University Press 1983.
Chikering, Roger, Stig Forter dan Bern Greiner, A World at Total War, Chambridge: Cambridge University Press, 2005.
Bates, Ed, ‘History’’ dalam, Daniel Moeckli, Sangeeta Shah, Sandesh Sivakumaran, International Human Rights Law, Oxford: Oxford University, 2010.
C.S. Feingold, "The Doctrine of Margin of Appreciation and the European Convention on Human Rights", Notre Dame Law, 90: 53, 1977-1978.
Mary Ann, Glendon, "The Rule of Law in The Universal Declaration of Human Rights". Northwestern University Journal of International Human Rights. Vol. 2. N0. 5, Juli 2004. Archived from the original on 20 July 2011.
Mansor Moaddel dan Kamran Thalattof, eds, Modernist and Fundamentalist Debates in Islam, New York: Palgrave MacMillan, 2002.
Stewar-Jolley, Victoria, ‘Muslim and Arab Contributions to Universal Declaration of Human Rights’, Anwar Gargash Diplomatic Academy, UAE, 2022, hal. 2.
Michael, Ignatieff, “Human Rights as Politics.” Human Rights as Politics and Idolatry,Princeton NJ: Princeton University Press, 2011.
Kennedy, David, The Dark Sides of Virtue: Reassessing International Humanitarianism, Princeton: Princeton University Press 2005.
Mutua, Makau, “Savages, Victims, and Saviors: The Metaphor of Human Rights.” The Development of International Human Rights Law 1:
2017, 173–217.
Binder, Guyora. “Cultural Relativism and Cultural Imperialism in Human Rights Law.” Buffalo Human Rights Law Review 5 (1999): 211–22
Mutua, Makau. 2002. Human Rights: A Political and Cultural Critique. Philadelphia, Pa.: University of Pennsylvania Press.
Sen, Amartya"Democracy as a Universal Value". Journal of Democracy, 1999 10 (3): 3–17.
Said, Edward. W, From Oslo to Iraq and the Road Map. New York: Pantheon, 2004.
Ali, Tariq , The Clash of Fundamentalism: Crusades, Jihad and Modernity, London: Verso, 2002).
Voinea, Nicoleta, "Drafting of the Universal Declaration of Human Rights". research.un.org. Retrieved 13 September 2020.
Stewar-Jolley, Victoria ‘Muslim and Arab Contributions to Universal Declaration of Human Rights’, Anwar Gargash Diplomatic Academy, UAE, 2022.
Voinea, Nicoleta. "Drafting of the Universal Declaration of Human Rights". research.un.org. September 2020.
Waltz, E. Susan, ‘Universal Human Rights: The Contribution of Muslim States’, Human Rights Quarterly, Vol.26. No. 04, November 2004,. 808.
Francis Fukuyama, The End of History and the Last Man (New York: Free Press, 2006.
Samuel Huntington, The Clash of Civilization and The Remaking of The World Order, (New York: Simon & Schuster Paperbacks, 2011.
Meyer, Ann, ‘Universal Versus Islamic Human Rights: A Clash of Cultures or a Clash of Construct?’, Michigan Journal of International law, Vol.15, Is. 2, 1994, hal. 308-361.
Kroetz, S. Flávia ‘Between global consensus and local deviation: a critical approach on the universality of human rights, regional human rights systems and cultural diversity’, Revista de Investigações Constitucionais dalam Open Global Trust , Vol. 3, no. 1, hal. 47-50.
Langlois, J. Anthony, The Politics of Justice and Human Rights: Southeast Asia , MacFarquhar, Neil, "In a First, Gay Rights Are Pressed at the U.N." New York Times, 20 December 2008. Diundu h23 April 2025.
Fanani,Fuad, The global war on terror, American foreign policy, and its impact on Islam and Muslim societies, Indonesian Journal of Islam and Muslim Society, Vol. I, No. 2 (2011), hal. 205-227.
Balcı, Ali and Nebi Miş, "Turkey’s Role in the Alliance of Civilizations: A New Perspective in Turkish Foreign Policy?" Turkish Studies 9.3 (2008), hal. 387–406.
Peterson, J. Marie, ‘The Organization of Islamic Cooperation and Human Rights’, in Turan Kayaoglu, The OIC’s Independent Permanent Human Right Commission: An Early Assessment, The Danish Insitute for Human Rights, 2015/3, hal. 4.
Amnesty International, ‘UN: General Assembly statement affirms rights for all" ‘, Press Release 12 December 2008. Diundur 27 April 2025.
Garba, S. Ahmad, ‘Permissible Limitations to Freedom of Religion and Belief in Nigeria’, Journal on Religion and Human Rights, BRILL Hijhoff , 2020.
Mikdashi, Maya,"Regulating Conversion: Sovereignty, Bureaucracy, and the Banality of Religion". Sectarianism : Sovereignty, Secularism, and the State in Lebanon. Stanford University Press.
Pedersen, Lene (2016). "Religious Pluralism in Indonesia". The Asia Pacific Journal of Anthropology. 17 (5:
Balcı, Ali and Nebi Miş, "Turkey’s Role in the Alliance of Civilizations: A New Perspective in Turkish Foreign Policy?" Turkish Studies 9.3 (2008): 387–406.
Robert C. Blitt , The Organization of Islamic Coopereation of Islslam (OIC) Response to Sexual Orientation and Gender Identity Rights: A Challenge to Equality and Nondiscrimination Under International Law’, Legal Scholarship Respatory: A Service of the Joel Katz Law Library, University of Tenessee College of Law, 2018.
Gizaw, Girma dan Georgis Woubeshet, ‘Religion and Human Rights: Convergence and Divergence’, Strasbourg Consortium, https://www.strasbourgconsortium.org
Doyle, Oran, David Kenny, Christopher McCrudden, ‘Law and Religion: Convergence and Divergence on the Island of Ireland’, Irish Studies in International Affairs, Volume 35, Number 2, Analysing and Researching Ireland, North and South, 2024, pp. 198-240.
Tomuschat, Christian, ‘Right Holder and Duty Bearer’, Human Rights: Between Idealism and Realism, third Edition, Oxford: Oxford University Press, 2014.
Bassiouni, M. Cherif , "The Sharīa, Sunni Islamic Law (Fiqh), and Legal Methods (Ilm Uṣūl al-Fiqh)". InThe Shari'a and Islamic Criminal Justice in Time of War and Peace Cambridge: Cambridge University Press, 2014.
Kayaoglu, Turan, ‘The Organization of Islamic Cooperation’s Declaration on Human Rights: Promises and Pitfalls, Policy Brief, Brooking Doha Center, September 2020.
Baderin,A. Mashood, ‘Islam and the Realization of Human Rights inthe Muslim World: A Reflection on Two Essential Approaches and Two Divergent Perspectives’, dalam ‘the transnational Muslim world, human rights, and the rights of women and sexual minorities’, Muslim World Journal of Human Rights, Vol.4, Issue 1, Article 5, 2007.
[1] Abdullahi an Naim menegas di berbagai kesempatan tentang pentingnya melakukan mediasi terhadap suatu entitas seperti Islam dan HAM Internasional yang dianggap bertentangan secara permanent seperti halnya Islam dan democracy atau Islam dan negara sekuler. Ia percaya bahwa ada ruang menegosiasikan keduanya untuk dapat menemukan tempat dan posisi yang saling berdampingan, lihat dalam Íslam and Secular State: Negotiating The Future of Syariah (Massacussett: Harvard University Press, 2008).
[2] Munculnya Abad Pencerahan Eropa dan pengaruhnya terhadap kehidupan modern telah banyak dibahas oleh para ahli , diantara oleh Milan Zafirovski, The Enlightment and Its Effect to Modern Society, New York: Springer, 2011).
[3] Stephen Krasner, 'Introduction,' in Stephen Krasner, ed, International Regimes (Ithaca and London: Cornell University Press 1983), hal. 2
[4] Roger Chikering, Stig Forter dan Bern Greiner, A World at Total War (Chambridge: Cambridge University Press, 2005).
[5] Ed Bates, ‘History’’ dalam, Daniel Moeckli, Sangeeta Shah, Sandesh Sivakumaran, International Human Rights Law (Oxford: Oxford University, 2010).
[6] a "common standard of achievement for all peoples and all nations", the UDHR commits nations to recognize all humans as being "born free and equal in dignity and rights" regardless of "nationality, place of residence, gender, national or ethnic origin, colour, religion, language, or any other status". "Universal Declaration of Human Rights". Amnesty International. Retrieved 20 August 2020.
[7] Doktrin ini dikembangkan oleh Mahkamah Eropa untuk Hak Asasi Manusia untuk menentukan apakah negara anggota Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia diperbolehkan untuk membatasi suatu hak dengan hukum domestiknya masing-masing. Doktrin tersebut memungkinkan mendamaikan perbedaan-perbedaan praktis yang timbul dalam upaya untuk mengimplementasikan pasal-pasal Konvensi HAM Eropa. C.S. Feingold, "The Doctrine of Margin of Appreciation and the European Convention on Human Rights", Notre Dame Law, 90: 53 (1977-1978), hal. 105.
[8] Abdullahi an Naim menegas di berbagai kesempatan tentang pentingnya melakukan mediasi terhadap suatu entitas seperti Islam dan HAM Internasional yang dianggap bertentangan secara permanent seperti halnya Islam dan democracy atau Islam dan negara sekuler. Ia percaya bahwa ada ruang menegosiasikan keduanya untuk dapat menemukan tempat dan posisi yang saling berdampingan, lihat dalam Íslam and Secular State: Negotiating The Future of Syariah (Massacussett: Harvard University Press, 2008).
[9] Glendon, Mary Ann, "The Rule of Law in The Universal Declaration of Human Rights". Northwestern University Journal of International Human Rights. Vol. 2. N0. 5, Juli 2004. Archived from the original on 20 July 2011. Diundur 18 Oktober 2024.
[10] Penjelasan Al-quran sebagai berikut: “Dan sesungguhnya kami telah memuliakan keturunan Adam, dan kami angkat mereka di daratan dan di lautan.” kami beri mereka rejeki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan mahluk yang telah kami ciptakan. (QS.17:70).
[11] Mansor Moaddel dan Kamran Thalattof, eds, Modernist and Fundamentalist Debates in Islam (New York: Palgrave MacMillan, 2002).
[12] Abdullahi an Naim, Islam and the Secular State: Negotiating the Future of Syariah (Maassachusets: USA, 2008), hal. 8-10.
[13] Victoria Stewar-Jolley, Muslim and Arab Contributions to Universal Declaration of Human Rights, Anwar Gargash Diplomatic Academy, UAE, 2022, hal. 2.
Ignatieff, Michael. “Human Rights as Politics.” Human Rights as Politics and Idolatry, (Princeton NJ: Princeton University Press, 2011) pp.3–52. Kennedy, David The Dark Sides of Virtue: Reassessing International Humanitarianism. (Princeton: Princeton University Press 2005). Mutua, Makau. “Savages, Victims, and Saviors: The Metaphor of Human Rights.” The Development of International Human Rights Law 1: (2017) 173–217. Binder, Guyora. “Cultural Relativism and Cultural Imperialism in Human Rights Law.” Buffalo Human Rights Law Review 5 (1999): 211–22, Mutua, Makau. 2002. Human Rights: A Political and Cultural Critique. Philadelphia, Pa.: University of Pennsylvania Press.
[14] Sen A (1999). "Democracy as a Universal Value". Journal of Democracy. 10 (3): 3–17.
[15] Said, E. W. (2004). From Oslo to Iraq and the Road Map. New York: Pantheon, 2004.
[16] Tariq Ali, The Clash of Fundamentalism: Crusades, Jihad and Modernity, London: Verso, 2002).
[17] Voinea, Nicoleta. "Drafting of the Universal Declaration of Human Rights". research.un.org. Retrieved 13 September 2020.
[18] Victoria Stewar-Jolley, ‘Muslim and Arab Contributions to Universal Declaration of Human Rights’, Anwar Gargash Diplomatic Academy, UAE, 2022, hal. 3.
[19] Ibid. hal. 4 dan The United Nations, Women Who Shaped the Universal Declaration, https://www.un.org/sites/un2.un.org/files/2019/11, diundur 25 April 2025.
[20] Ibid. hal. 5.
[21] Ibid. hl. 6.
[22] Susan Elieen Waltz, ‘Universal Human Rights: The Contribution of Muslim States’, Human Rights Quarterly, Vol.26. No. 04, November 2004, hal. 808.
[23] Ibid, hal. 3.
[24] Francis Fukuyama, The End of History and the Last Man (New York: Free Press, 2006), hal. 1-3.
[25] Samuel Huntington, The Clash of Civilization and The Remaking of The World Order, (New York: Simon & Schuster Paperbacks, 2011).
[26] Anne Meyer, ‘Universal Versus Islamic Human Rights: A Clash of Cultures or a Clash of Construct?’, Michigan Journal of International law, Vol.15, Is. 2, 1994, hal. 308-361.
[27] Flávia Saldanha Kroetz, ‘Between global consensus and local deviation: a critical approach on the universality of human rights, regional human rights systems and cultural diversity’, Revista de Investigações Constitucionais dalam Open Global Trust , Vol. 3, no. 1, hal. 47-50.
[28] Anthony J. Langlois, The Politics of Justice and Human Rights: Southeast Asia bad Universalist Theory (UK: Cambridge University Press, 2001), p. 27-28.
[29] The Cairo Declaration on Human Rights in Islam (CDHRI) is a declaration of the member states of the Organisation of Islamic Cooperation (OIC) first adopted in Cairo, Egypt, on 5 August 1990.
[30] MacFarquhar, Neil, "In a First, Gay Rights Are Pressed at the U.N." New York Times, 20 December 2008. Diundu h23 April 2025.
[31] Fuad Fanani, The global war on terror, American foreign policy, and its impact on Islam and Muslim societies, Indonesian Journal of Islam and Muslim Society, Vol. I, No. 2 (2011), hal. 205-227.
[32] Ali Balcı, and Nebi Miş, "Turkey’s Role in the Alliance of Civilizations: A New Perspective in Turkish Foreign Policy?" Turkish Studies 9.3 (2008), hal. 387–406.
[33] Article 19, UN HRC Resolution 16-18: ‘combating intolerance, negative stereotyping and stigmatisation of, and discrimination, incitement to violence, and violence against persons based on religion or belief’, http.www.article 19. Org, posted 18 Pebruari 2016 diunduh 27 April 2025.
[34] Marie Juul Peterson, ‘The Organization of Islamic Cooperation and Human Rights’, in Turan Kayaoglu, The OIC’s Independent Permanent Human Right Commission: An Early Assessment, The Danish Insitute for Human Rights, 2015/3, hal. 4.
[35] Amnesty International, ‘UN: General Assembly statement affirms rights for all" ‘, Press Release 12 December 2008. Diundur 27 April 2025.
[37]Pendapat ini disampiakan oleh Siti Ruhaini Dzuhayatin diberbagai forum, salah satunya di Forum Uni Eropa seksi HAM di Brussel pada tahun 2014.
[38] Marie Juul Peterson, ‘The Organization of Islamic Cooperation , hal. 16.
[39] Ahmad Salihu Garba, ‘Permissible Limitations to Freedom of Religion and Belief in Nigeria’, Journal on Religion and Human Rights, BRILL Hijhoff , 2020, hal. 57–76, Mikdashi, Maya (2022). "Regulating Conversion: Sovereignty, Bureaucracy, and the Banality of Religion". Sextarianism : Sovereignty, Secularism, and the State in Lebanon. Stanford University Press. ISBN 9781503631564, Pedersen, Lene (2016). "Religious Pluralism in Indonesia". The Asia Pacific Journal of Anthropology. 17 (5: Special Issue: Communal Peace and Conflict in Indonesia: Navigating Inter–religious Boundaries): 387–398.
[40]Office of the Higher Commissioner, United nations, 17/19 Human rights, sexual orientation and gender identity, 2011, https://www.ohchr.org. Diunduh 30 April 2025.
[41] Patut disayangkan bahwa inisiatif yang sangat besar dan penting ini belum banyak dibahas oleh para intelektual sehingga hanya sedikit sumber yang dapat dikutip, salah satunya Ali Balcı, and Nebi Miş, "Turkey’s Role in the Alliance of Civilizations: A New Perspective in Turkish Foreign Policy?" Turkish Studies 9.3 (2008): 387–406.
[42] Mahathir claims LGBT rights are 'Western values' not fit for Malaysia". South China Morning Post. 26 October 2018. Archived from the original on 6 June 2019. Retrieved 15 May 2019. Robert C. Blitt , The Organization of Islamic Cooper ganization of Islamic Cooperation's (OIC) Response t ) Response to Sexual Orientation and Gender Identity Rights: A Challenge to Equality and Nondiscrimination Under International Law’, Legal Scholarship Respatory: A Service of the Joel Katz Law Library, University of Tenessee College of Law, 2018, hal. 157
[43] Organization of Islamic Countries, State of Gender in OIC Countries: Prospects and Challenges (Jeddah: Organization of Islamic Cooperation, 2016).
[44] Habib Shaikh, ‘OIC seeks Right Debates Based on Islamic Values’, Arab News, 4 Pebruari 2014, https://www.arabnews.com/news/520321
[45] Girma Gizaw dan Georgis Woubeshet, ‘Religion and Human Rights: Convergence and Divergence’, Strasbourg Consortium, https://www.strasbourgconsortium.org
[46] Doyle, Oran, David Kenny, Christopher McCrudden, ‘Law and Religion: Convergence and Divergence on the Island of Ireland’, Irish Studies in International Affairs, Volume 35, Number 2, Analysing and Researching Ireland, North and South, 2024, pp. 198-240.
[47] Christian Tomuschat, ‘Right Holder and Duty Bearer’, Human Rights: Between Idealism and Realism, third Edition (Oxford: Oxford University Press, 2014).
[48] Bassiouni, M. Cherif (2014) [2013]. "The Sharīa, Sunni Islamic Law (Fiqh), and Legal Methods (Ilm Uṣūl al-Fiqh)". InThe Shari'a and Islamic Criminal Justice in Time of War and Peace Cambridge: Cambridge University Press
[49] Turan Kayaoglu, ‘The Organization of Islamic Cooperation’s Declaration on Human Rights: Promises and Pitfalls, Policy Brief, Brooking Doha Center, September 2020.
[50] Mashood A. Baderin, ‘Islam and the Realization of Human Rights inthe Muslim World: A Reflection on Two Essential Approaches and Two Divergent Perspectives’, dalam ‘the transnational muslim world, human rights, and the rights of women and sexual minorities’, Muslim World Journal of Human Rights, Vol.4, Issue 1, Article 5, 2007, hal. 1-25.
[51]Kristian Erdianto, Fabian Januarius Kuwado, ‘DPR dan Pemerintah Sepakat Batas Usia Perkawinan Menjadi 19 Tahun’, Kompas.com
- 13/09/2019, diundur 30 April 2025.