Tadarus Difabel Minggu 48
Pagi itu Jumat, 5 September 2025, bertepatan dengan Maulid Nabi Muhammad. Meski itu hari libur, suasana grup WhatsApp dosen satu Fakultas di UIN Sunan Kalijaga itu terasa hangat dan bersemangat. Para dosen saling betukar cerita dan berbagi komitmen untuk menciptakan pembelajaran yang inklusif di dalam kelas…merancang sistem penilaian Outcome-Based Education (OBE) yang lebih Universal tidak Kaku... Yang lebih menarik adalah kenyataan bahwa yang memberikan respon dalam percakapan tersebut mayoritas adalah dosen senior…Grup WA itu beranggotakan nyaris 100 orang Dosen
Saya membayangkan para dosen itu bercakap sambil menikmati pagi di lokasi liburannya masing-masing, leyeh-leyeh seperti rakyat lainnya. Meskipun saya agak terlambat membaca percakapan WA tersebut, setelah menyimak sebagai dosen biasanya, kemudian sebagai koordinator PLD, saya menulis tanggapan sebagai bentuk apresiasi terhadap kualitas percakapan tersebut, lalu saya kirim seperti ini: ...
“Pak Dekan telah memberikan contoh konkrit dalam menjalankan praktik penilaian OBE yang itu adalah sesungguhnya praktik Inklusif, memberi teladan nyata sebagai pemimpin tertinggi di Fakultas... Kami, PLD menyampaikan Salute ?… Selanjutnya...kami, PLD menyampaikan pesan... Jika di kelas atau di prodi bapak ibu ada mahasiswa yang terpantau atau diduga memiliki kebutuhan berbeda dalam proses pembelajaran...silahkan konsultasikan ke PLD, selanjutnya PLD akan konsultasi dengan para anggota TIM Ahli... PLD juga bisa mendukung surat pernyataan kebutuhan berbeda bagi mahasiswa atas permintaan Prodi bagi mahasiswa yang terindikasi mengalami disabilitas di perjalanan (hal ini bisa menimpa semua orang, siapapun, termasuk kita semua memiliki peluang) atas persetujuan mahasiswa yang bersangkutan ...
Salam Sejahtera untuk semua dan Sholawat kepada Nabi...
Maulid Nabi Muhammad 2025”, demikian tulisan itu saya sampaikan
Saya juga telah menyampaikan permohonan ijin di grup tersebut agar saya bisa menceritakan ulang percakapan para dosen itu melalui tadarus ini untuk supaya muatan nilai positifnya bisa menyebar lebih luas, yang kurang lebih nadanya seperti berikut...
Begini ceritanya… Pada awalnya Pak Dekan membuka percakapan dengan nada lembut namun tegas: “Bapak ibu, mumpung di awal semester, izinkan saya untuk mengingatkan agar bapak ibu memastikan bahwa bapak ibu mengenali, mengidentifikasi, dan menyapa mahasiswa difabel di kelasnya”, kata pak Dekan
Seorang dosen teladan menjawab singkat, “Siap pak Dekan”. Pak Dekan melanjutkan, “Kemarin, dalam sambutan pertemuan dengan wali, saya juga memesankan agar para wali mengkomunikasikan jika ada putra putri mereka yang difabel. Di kelas, saya minta anak untuk menyampaikan kebutuhan khususnya. termasuk mereka yang tidak resmi disebut difabel. Dalam contoh di kelas saya itu, anak yang menderita kecemasan bisa mendapatkan dukungan khusus kalau teridentifikasi” lanjutnya lagi
Suasana menjadi agak serius... Seorang dosen bertanya, “Boleh disebut di kelas apa dan prodi apa, termasuk namanya mas Dekan?”. Seorang dosen lainnya menambahkan, “Apakah perlu form khusus?”...
Salah seorang dosen berikutnya yang kebetulan adalah anggota Tim Ahli PLD, kemudian memetakan prinsip teori dari semua ini dan menerangkan dengan sedemikian lembut: “Lapor atau tidak, ingin layanan atau tidak, disclose atau tidak itu hak mahasiswa yang tidak bisa kami haruskan pak. Apalagi untuk kasus kesehatan mental yang kerapkali menimbulkan stigma, maka tidak semua nyaman untuk terbuka. Kalau bapak ibu mengidentifikasi ada mahasiwa dalam kategori ini mungkin diajak ngobrol aja, sampaikan bahwa kita bisa memberikan layanan kalau memang dibutuhkan. Gitu nggih pak”, jelasnya
Pak Dekan lalu menambah penekanan terhadap penjelasan itu dengan bijak sambil menjawab pertanyaan sebelumnya, “Mboten pak. Untuk kasus kasus disabilitas mental, sebaiknya tidak saya share. Di kelas saya sudah berjanji untuk merahasiakan. Usahakan pendekatan untuk anaknya mau terbuka”, demikian jelasnya
Pak Dekan kemudian melanjutkan percakapan yang cukup menyentuh : “Sekedar berbagi pengalaman. Saya biasanya membuat kontrak belajar di awal semester. Berbeda dengan yang dulu kita terapkan, di mana kontrak belajar diwakili oleh salah satu mahasiswa, saya minta kontrak personal. Masing-masing orang menulis kontraknya sendiri. Itu yang akan dijadikan acuan. Termasuk soal keterlambatan”, kata pak Dekan sambil memperkuat pernyataannya tersebut dengan menunjukkan contoh kontrak belajar yang telah disepakati dengan setiap individu mahasiswanya
Seorang dosen lain menimpali dengan memberikan pernyataan validasi: “Penerapan disiplin positif bagi mahasiswa yang bersangkutan”, kemudian pak Dekan menjawab dengan memperjelas gagasannya: “Ya, agar tidak pukul rata. Penerjemahan pendidikan inklusif, sebenarnya.”
Tidak ketinggalan, ide untuk mendukung mahasiswa Tuli pun diceritakan oleh Pak Dekan, sederhana namun berdampak: “Untuk membantu mahasiswa Tuli, kita juga bisa merekam menggunakan Youtube. Selain caption, bisa juga install traskripsi.”
Di hari kelahiran Nabi itu, terlihat jelas semangat inklusif yang mengalir: empati, perhatian, dan kepedulian terhadap setiap mahasiswa, tak peduli kondisi atau tantangannya... Oh ya, beberapa dosen muda kemudian ada juga yang melanjutkan dan memberi gagasan penting kepada saya melalui japri, mungkin dia cukup sungkan menyampaikannya di grup... saya pun dapat memahaminya
Awal semester ini kami tidak sekadar memulai perkuliahan, tapi juga telah menyalakan cahaya harapan bagi mereka yang membutuhkan dukungan lebih… tidak hanya untuk difabel tapi untuk semua… Jika anda terpanggil dengan gagasan ini, bergabunglah dalam perjalanan kami di UIN Sunan Kalijaga: “Empowering Knowledge Shaping The Future.”