IMG-20250905-WA0015.jpg

Selasa, 30 September 2025 10:28:00 WIB

0

PRAHARA POLITIK PPP. (Dr. Hamdan Daulay, M.Si. M.A. Dosen Program Magister KPI UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta).

Dinamika politik di tubuh PPP tampaknya semakin terjebak pada konflik yang memprihatinkan. Semangat ukhuwah (persaudaraan) yang selama ini sering dikampanyekan, terksan hanya sebatas retorika. Justru realita yang ditunjukkan  kontras dengan ukhuwah, karena mereka terjebak dengan konflik politik internal. Untuk urusan pemilihan ketua umum partai saja mereka tidak bisa rukun. Egoisme yang tinggi dari masing-masing kubu di tubuh PPP membuat mereka terjebak pada konflik yang dipertontonkan secara terbuka. Seolah rasa malu sudah hilang dari elit politik PPP yang selama ini menyebut dirinya sebagai partai Islam, namun tidak mampu memberi teladan yang baik.

Muktamar PPP yang digelar di Ancol September 2025 ini membuat PPP terbelah pada kubu Mardiono dan kubu Agus Suparmanto. Masing-masing kubu mengklaim meraih kemenangan secara aklamasi dengan argumen politik yang meyakinkan walaupun dianggap aneh. Ambisi politik yang berlebihan terkedang membuat elit politik abai pada nilai kejujuran dan kepentingan umat yang lebih besar. Demi mewujudkan ambisi politik, elit politik terkadang menghalalkan segala cara. Padahal tindakan politik yang tak jujur dan cenderung menghalalkan segala cara tidak sesuai dengan khittah PPP sebagai partai Islam. Barangkali itulah yang menjadi faktor utama yang membuat PPP semakin banyak ditinggal massa pendukung. PPP sebagai partai senior yang sudah ada sejak awal orde baru akhirnya melan “pil pahit” dengan tidak mendapat kursi di DPR RI pada pemilu 2024.    

PPP sebagai Partai Islam yang sudah mengalami sejarah panjang perpolitikan di tanah air, kini mengalami kondisi yang memprihatinkan. Perolehan suara PPP pada  pemilu 2024 yang lalu  tidak lolos ke Senayan karena  tidak mencapai  Parliamentary threshold (ambang batas perolehan suara) minimal 4%  sesuai UU NO.7/2017. Data dari KPU, suara yang diperoleh PPP hanya mencapai 3,88 % dari total suara pemilih (Kompas, edisi 17 Mei 2024).  Ini tentu sangat memprihatinkan, karena usaha yang ditempuh di Mahkamah Konstitusi (MK) juga sudah kandas. 

Dinamika Politik

Di tengah dinamika politik di tanah air, PPP tentu sudah cukup lama mengalami pahit getir perpolitikan. PPP yang lahir pada tahun 1973 dari gabungan 4 partai Islam (NU, Perti, Syarikat Islam Indonesia, dan Partai Muslimin Indonesia). Di masa Orde Baru, PPP bersama PDI menjadi partai pelengkap penderita untuk mengakui keperkasaan Golkar yang berjaya selama 32 tahun. Di awal reformasi PPP pernah mengalami kejayaan dengan berhasil meraih  11.310.000 suara  (10,72 %) pada Pemilu  1999,  dengan perolehan  58 kursi DPR RI. Tidak hanya sukses meraih 58 kursi di Senayan, PPP juga berhasil menjadikan ketua umumnya (Hamzah Haz) menjadi Wakil Presiden, mendampingi Megawati Soekarnoputri. 

Namun dalam perkembangan berikutnya,  dinamika politik yang terjadi di tubuh PPP, membuat partai ini semakin terpuruk. Konflik internal, kasus korupsi yang menimpa tokoh-tokoh PPP, hingga munculnya partai baru yang berbasis Islam, menjadi faktor peyebab semakin melemahnya PPP. Selain itu PPP  juga dianggap sebagi partai kaum tua yang tidak mampu memberi tempat bagi kaum milenial atau generasi Z. Ini bisa dilihat dengan semakin merosotnya perolehan suara PPP setelah pemilu 1999.  Pada Pemilu 2004 walaupun PPP tetap mendapat 58 kursi  DPR RI, namun perolehan suara turun menjadi 9. 240.000 (10,55%). Perolehan suara PPP semakin menurun lagi pada pemilu 2009 dengan suara 5.540.000 (6,79%) atau 38 kursi DPR RI. Di Pemilu 2014 PPP mengalami sedikit kemajuan dengan berhasil meraih 8.120.000 suara (6,96%) atau 39 kursi DPR RI. Konflik internal dan kasus korupsi yang bertubi-tubi membuat PPP terpuruk pada pemilu 2019 dengan hanya meraih 19 kursi DPR RI atau 4,52% suara pemilih (Republika, edisi 9 Desember 2023) 

Ukhuwah Islamiyah

Kehadiran Sandiaga Salahuddin Uno menjaleng Pemilu 2024 yang lalu sebagai Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) PPP, ternyata tidak mampu memberi efek yang signifikan. Demikian pula dengan tersingkirnya Suharso Monoarfa dan tampilnya  Muhammad Mardiono sebagai plt Ketua Umum menambah tajamnya konflik internal di tubuh PPP. Sadar atau  tidak,  konflik internal inilah salah satu faktor utama yang membuat partai ini semakin terpuruk. Umat Islam yang selama ini menjadi pendukung panatik PPP, secara perlahan membenci dan meninggalkan PPP karena  kuatnya konflik internal. PPP yang serting mengkampanyekan pentingnya ukhuwah islamiyah, ternyata hanya sebatas retorika. Dalam realitanya PPP tidak mampu menjadi teladan ukhuwah, justru yang terjadi sebaliknya.  

Masing-masing aktor politik di PPP tentu mempunyai dalih pembenar atas tindakan yang mereka lakukan. Namun di sisi lain bagi massa pendukung PPP  sangat sedih melihat kondisi yang melanda partai ini. Nilai-nilai ukhuwah Islamiyah seharusnya menjadi komitmen utama PPP. Kalau PPP mempu mewujudkan nilai ukhuwah  dalam arti sesungguhnya, tentu akan membuat partai ini dicintai oleh massa pendukung. Namun kalau PPP hanya menjadikan ukhuwah sekedar retorika dan kampanye politik, justru PPP akan ditinggal oleh massa pendukung.    

Perjalanan panjang  PPP di panggung politik nasional tentu diharapkan bisa terus bertahan  sebagaimana Golkar dan PDIP. Di tengah pasang surut badai politik, partai yang sudah kenyang pengalaman akan bisa bertahan menghadapi berbagai macam tantangan. Tentu sangat disesalkan  dan memprihatinkan manakala PPP yang sudah berjuang lebih 50 tahun menyalurkan aspirasi politik umat harus tersingkir di pemilu 2024. Sesungguhnya Elit politik PPP sendirilah yang akan menentukan eksis tidaknya partai ini ke depan. Apakah mereka  akan membiarkan partai ini terpuruk dengan mempertajam konflik internal, atau mereka memiliki komitmen merawat dan membesarkan partai dengan menguatkan ukhuwah Islamiyah (tulisan ini sudah terbit di Koran KR tgl 30 September )