Di balik angka-angka yang tegas dan rumus-rumus yang kaku, tersimpan sebuah ruang hening yang kerap terabaikan: emosi siswa. Dalam orasi pengukuhan sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Pembelajaran Matematika di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta,, 30 April 2025, Prof. Dr. Ibrahim, S.Pd., M.Pd., mempersembahkan sebuah pemikiran orisinal: bahwa pembelajaran matematika tak lagi cukup hanya melatih otak kiri, tetapi juga harus membangkitkan empati, kesadaran diri, dan kemampuan bekerja sama.
Melalui
pidatonya yang bertajuk “Integrasi Kecerdasan Emosional pada Pembelajaran
Matematika Berbasis Masalah”, Prof. Ibrahim menantang paradigma
konvensional. Ia berangkat dari keresahan akademik yang mendalam: matematika
kerap menjadi momok menakutkan bagi siswa, bukan karena kerumitan logikanya
semata, tetapi karena pendekatan pembelajaran yang kering dari sentuhan
emosional.
“Kecerdasan
emosional dalam konteks pembelajaran matematika,” ungkap Prof. Ibrahim,
“menjadi sangat penting, terutama ketika digunakan dalam pendekatan
problem-based learning.” Di sinilah letak kontribusi intelektualnya:
menyinergikan dua domain yang sering dipisahkan secara ekstrem—kognisi dan
afeksi.
Ia
menekankan bahwa dalam pembelajaran matematika berbasis masalah, siswa dituntut
untuk tidak hanya berpikir kritis dan kreatif, tetapi juga mampu bekerja dalam
tim, menghargai pendapat orang lain, dan mengenali serta mengelola emosinya
sendiri. Semua ini adalah komponen dari kecerdasan emosional yang menurutnya
belum banyak disentuh dalam desain kurikulum pembelajaran matematika.
Dengan
mengutip berbagai studi mutakhir dan hasil refleksi praktik pembelajaran, Prof.
Ibrahim menyusun sebuah kerangka konseptual yang menjembatani antara teori
Gardner tentang kecerdasan majemuk, teori Goleman tentang kecerdasan emosional,
dan pendekatan pedagogi kontemporer berbasis masalah. Pendekatan ini,
menurutnya, tak hanya membangun kemampuan kognitif siswa, tetapi juga membentuk
karakter dan keterampilan sosial mereka—sebuah kebutuhan mendesak di abad
ke-21.
Di tengah
kompleksitas dunia pendidikan yang semakin menantang, Prof. Ibrahim menghadirkan
sebuah jalan baru: pembelajaran matematika yang lebih manusiawi. Kontribusi
akademiknya ini bukan hanya mengisi celah dalam kajian pedagogik, tetapi juga
memberi arah bagi pendidik di lapangan untuk membangun ruang kelas yang penuh
makna dan koneksi emosional. (humassk)