WhatsApp Image 2025-12-17 at 15.42.04.jpeg

Rabu, 17 Desember 2025 16:47:00 WIB

0

Menjaga Daya Tahan Akademik di Tengah Perubahan: Refleksi Prof. Erika Kusumaputri tentang Burnout di Perguruan Tinggi

Di balik gedung-gedung kampus yang tampak sibuk dan produktif, ada kelelahan sunyi yang kian sering dialami para dosen, tekanan target publikasi, beban administratif yang menumpuk, relasi kerja yang kompleks, hingga tuntutan reputasi global. Fenomena ini dikenal sebagai burnout, kelelahan emosional berkepanjangan yang pelan namun pasti menggerus kualitas, integritas, dan makna kerja akademik.

Isu inilah yang menjadi benang merah pidato pengukuhan Prof. Dr. Erika Setyanti Kusumaputri, S.Psi., M.Si. sebagai Guru Besar bidang Psikologi Industri dan Organisasi Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora. Ia dikukuhkan melalui Sidang Senat Terbuka pada Rabu (17/12/2025) di Gedung Multipurpose kampus setempat.


Dalam pidato berjudul “Strategi Menghadapi Kompetisi dan Perubahan di Perguruan Tinggi: Iklim Organisasi, Kepribadian, dan Spiritualitas (Analisis Psikologi dan Organisasi untuk Menanggulangi Burnout)”, Prof. Erika menempatkan burnout bukan sekadar persoalan individual, melainkan persoalan sistemik yang menuntut respons ilmiah dan berkelanjutan.

Figur yang juga merupakan Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora ini menjelaskan, percepatan perubahan dunia pendidikan tinggi, termasuk tuntutan daya saing global dan peningkatan publikasi internasional telah berdampak langsung pada beban kerja dosen. Tri Dharma perguruan tinggi kini tidak hanya menuntut kualitas pengajaran, penelitian, dan pengabdian, tetapi juga adaptasi cepat terhadap regulasi dan tata kelola administratif yang terus berkembang.

“Jika tekanan dan perubahan ini tidak dikelola secara tepat, ia dapat berubah menjadi stressor yang merusak kompetensi personal dan profesional dosen,” paparnya. Dampaknya bukan hanya pada individu, tetapi juga pada institusi. penurunan produktivitas, meningkatnya niat mengundurkan diri, hingga melemahnya kualitas pendidikan tinggi secara keseluruhan.


Melalui perspektif Psikologi Industri dan Organisasi, Prof. Erika menguraikan tiga determinan utama burnout di lingkungan perguruan tinggi, meliputi iklim organisasi, kepribadian, dan spiritualitas. Penelitian menunjukkan bahwa iklim organisasi yang buruk ditandai oleh relasi kerja yang tidak suportif, ketidakjelasan peran, dan rendahnya rasa keadilan, berkorelasi kuat dengan tingginya tingkat burnout di kalangan dosen.

Sementara itu, dari sisi kepribadian, Prof. Erika menyoroti konsep Core Self-Evaluation (CSE), yakni keyakinan dasar individu terhadap kompetensi dan nilai dirinya. CSE mencakup empat dimensi, diantaranya self-esteem, general self-efficacy, stabilitas emosional, dan internal locus of control. “Dosen dengan CSE tinggi cenderung memandang tuntutan kerja sebagai tantangan dan peluang pengembangan diri, bukan ancaman. Sebaliknya, CSE yang rendah membuat individu lebih rentan memaknai beban kerja sebagai tekanan yang melelahkan secara psikologis,” ungkapnya.


Namun, menurutnya, ketahanan terhadap burnout tidak berhenti pada aspek organisasi dan kepribadian. Spiritualitas memiliki peran penting sebagai sumber makna dan mekanisme koping. Aktivitas spiritual seperti ibadah, meditasi, atau refleksi keagamaan dapat membantu individu mengelola emosi negatif, mengurangi psychological distress, serta membangun perspektif hidup yang lebih luas dan objektif.

“Spiritualitas memberi ruang bagi individu untuk memahami situasi secara lebih bermakna, menguasai kembali kondisi secara kognitif, dan merespons tekanan dengan kebijaksanaan,” ujarnya. Dengan demikian, risiko berkembangnya kecemasan dan depresi dapat ditekan secara signifikan.

Di akhir pidatonya, Prof. Erika mengajak civitas akademika untuk memaknai perubahan regulasi dan tuntutan profesional bukan semata sebagai beban, melainkan sebagai peluang untuk bertumbuh. Ketika iklim organisasi yang sehat bertemu dengan kepribadian yang adaptif dan spiritualitas yang kuat, beban kerja dapat ditransformasikan menjadi energi positif untuk meningkatkan kapasitas diri dan produktivitas akademik.

Pengukuhan Guru Besar ini bukan hanya menandai pencapaian akademik Prof. Erika, tetapi juga menghadirkan refleksi penting bagi dunia pendidikan tinggi. bahwa di tengah kompetisi global, kesehatan psikologis dan makna kerja dosen maupun staff adalah fondasi yang tak boleh diabaikan.(humassk)