Ilmu pengetahuan tidak boleh berhenti sebagai simbol prestise akademik atau deretan gelar di belakang nama. Ilmu baru menemukan maknanya ketika mampu mengubah kehidupan nyata, ketika pengetahuan menjelma menjadi kompetensi, dan kompetensi menjadi daya transformasi sosial.
Pesan tersebut mengemuka dalam pidato pengukuhan Guru Besar dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga, Prof. Sabaruddin, M.Si., yang resmi dikukuhkan sebagai Guru Besar dalam bidang Sosiologi Pendidikan pada Rabu (17/12/2025) di Gedung Multipurpose melalui Sidang Senat Terbuka. Dalam pidato berjudul “Transformasi Pendidikan dan Dunia Kerja: Analisis Sosiologi Pendidikan terhadap Kesenjangan Kompetensi dan Reformasi Sistem Sertifikasi”, Prof. Sabaruddin menyoroti jarak yang kian menganga antara dunia pendidikan dan realitas dunia kerja, sekaligus mengajak perguruan tinggi merefleksikan kembali makna dan tanggung jawab ilmu pengetahuan.
Menurutnya, ilmu bukanlah pencapaian personal, melainkan tanggung jawab sosial. Manusia, sebagai khalifah di muka bumi, dibekali potensi akal dan keterampilan. Namun, berilmu saja belum tentu berdaya. Pendidikan, kata dia, kerap berhasil melahirkan pengetahuan, tetapi belum selalu melahirkan kompetensi yang relevan. Ilmu yang tidak diwujudkan dalam kemampuan praksis berisiko kehilangan daya transformatifnya.
Prof. Sabaruddin menegaskan bahwa transformasi pendidikan yang dibutuhkan hari ini adalah pendidikan yang menghidupkan, pendidikan yang melahirkan manusia terampil dan beretika, bukan semata-mata cerdas secara akademik. Ilmu, dalam pandangannya, tidak cukup diuji di atas kertas, tetapi harus diuji di medan kehidupan nyata. Dalam konteks inilah, program studi memegang peran strategis sebagai penjaga integritas keilmuan sekaligus profesionalisme lulusan.
Ia menyoroti SKKNI yang selama ini kerap dipahami sebatas dokumen administratif. Padahal, menurutnya, SKKNI merupakan amanah substantif yang seharusnya menjadi fondasi transformasi pendidikan. Program studi, tegasnya, adalah jantung perubahan, bukan sekadar unit administratif dalam struktur birokrasi kampus.
Lebih jauh, Prof. Sabaruddin menekankan pentingnya penguatan lembaga sertifikasi profesi di perguruan tinggi. Sertifikasi bukan sekadar pelengkap ijazah, melainkan instrumen penting untuk memastikan lulusan memiliki daya saing dan pengakuan profesional yang kuat di dunia kerja. Tanpa penguatan ini, kesenjangan kompetensi berpotensi melahirkan dampak berantai, yang pada akhirnya bermuara pada kesenjangan sosial.
Salah satu tantangan strategis yang disorotnya adalah ketidakselarasan antara kurikulum pendidikan yang relatif statis dengan kebutuhan pasar kerja yang sangat dinamis. Perkembangan teknologi, globalisasi ekonomi, dan perubahan struktur sosial mendorong perubahan kebutuhan kompetensi secara cepat. Dalam situasi ini, pendidikan tidak lagi cukup dipahami sebagai proses transfer pengetahuan, melainkan harus mengembangkan keterampilan adaptif, inovatif, kolaboratif, serta kemampuan pemecahan masalah yang relevan dengan tuntutan industri modern.
Sebagai solusi, Prof. Sabaruddin menekankan pentingnya penguatan relevansi kurikulum. Pendidikan idealnya tidak hanya menghasilkan lulusan unggul secara akademik, tetapi juga kompeten secara praktis. Kurikulum perlu mengintegrasikan hard skills, soft skills, dan literasi digital sebagai tiga pilar utama kemampuan di era ekonomi berbasis pengetahuan. Hard skills memastikan penguasaan teknis bidang keilmuan, sementara soft skills, seperti komunikasi, kolaborasi, kreativitas, dan kepemimpinan, menjadi kunci adaptasi dalam lingkungan kerja yang terus berubah.
Dalam penutup pidatonya, Prof. Sabaruddin menegaskan bahwa transformasi pendidikan harus bergerak menuju arah yang adaptif, inklusif, dan berkelanjutan. Adaptif berarti responsif terhadap perkembangan teknologi, dinamika pasar kerja, dan perubahan sosial-budaya. Inklusif berarti pendidikan harus dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa diskriminasi. Sementara berkelanjutan menekankan pentingnya membekali generasi mendatang dengan kompetensi, karakter, dan literasi baru untuk menghadapi tantangan global yang semakin kompleks.
Mewujudkan cita-cita tersebut, menurutnya, tidak dapat dilakukan oleh perguruan tinggi sendirian. Diperlukan kolaborasi nyata antara perguruan tinggi, dunia industri, pemerintah, dan masyarakat untuk membangun ekosistem pendidikan yang relevan dan berdaya saing. Dengan semangat gotong royong inilah, pendidikan diharapkan dapat menjadi motor penggerak mobilitas sosial dan pemerataan kesempatan ekonomi yang berkelanjutan, menjadikan ilmu benar-benar hadir dan bekerja di tengah kehidupan.(humassk)