Apakah mungkin perdamaian di Timur Tengah bisa terwujud? Perang dan konflik bersenjata pecah silih berganti seperti tiada henti di kawasan ini. Satu konflik bersenjata mulai mereda, perang atau konflik bersenjata di poros lain kembali pecah. Bahkan sering terjadi dalam satu waktu, beberapa poros perang atau konflik bersenjata terjadi bersamaan.
Perang Israel-Hamas sejak 08 Oktober 2023 yang menyebabkan bencana kemanusiaan memilukan belum benar-benar berhenti saat ini. Gaza, wilayah yang sempit, padat penduduk, dan lama terisolasi itu hancur rata, dibombardir timah-timah mentah. Blokade terhadap bantuan kemanusiaan menyempurnakan penderitaan penduduknya yang kebetulan nyawanya selamat dari ganasnya perang. Hingga saat ini, teriakan keras dari berbagai sudut dunia masih terus menggema untuk darurat penyelamatan rakyat Gaza.
Namun, perang skala lebih besar sudah pecah. Perang langsung dan terbuka antara Iran dan Israel. Israel melakukan agresi udara besar-besaran ke Tehran dan wilayah-wilayah sensitive Iran lain sejak 13 Juni. Israel berdalih Iran adalah biang masalah keamanan yang dihadapinya selama ini. Iran, negara yang memiliki ketahanan dan kemandirian luar biasa tentu melawan. Israel negara kecil di bantaran laut Tengah itu dihujani rudal balistik dan drone. Tak hanya dari arah Timur tapi juga dari arah Selatan. Beruntung bagi Israel, Suriah dan Lebanon tak lagi jadi sumber ancaman besar sebagaimana sebelumnya setelah rezim Asad tumbang dan Hizbullah sedang “terluka parah”.
Perdamaian jadi barang begitu langka di kawasan ini. Sulit mencari angka tahun dengan jeda cukup panjang dari pertikaian bersenjata. Berhentinya satu poros konflik disusul dengan poros konflik lain, entah itu berkaitan langsung atau tidak. Jika kita tulis, catatan konflik bersenjata yang menyebabkan bencana kemanusiaan di kawasan itu dalam beberapa waktu terakhir sangat lah panjang. Sebelum perang Gaza berkobar, konflik sipil yang begitu ganas dan luas pecah di Sudan (2023) dan belum berhenti hingga sekarang. Tahun 2021, konflik bersenjata Israel dan Hamas juga membawa banyak korban. Perang multidemensi pecah di Suriah sejak 2011 dan berlangsung sangat panjang yang mengakibatkan kehancuran negeri dan jutaan pengungsi. Konflik Suriah belum ada penyelesaian hingga sekarang meski terjadi pergantian rezim. Demikian pula di Yaman sejak 2014 hingga sekarang belum terselesaikan. Konflik antar kekuatan bersenjata dan bernuansa sectarian di Yaman juga membawa krisis kemanusiaan hebat kendati aneh tidak menarik pemberitaan luas dunia. Bahkan saat itu juga terjadi perang di poros lain, koalisi banyak negara melawan ISIS yang mendeklarasikan kekuasaan teritorial di Mosul Irak dan Raqqa Suriah sejak 2014 hingga 2019.
Catatan sekilas saja itu memperkuat pandangan skeptis terhadap peluang terwujudnya perdamaian di Timur Tengah. Bukan hanya perdamaian positif yang idealistic dan menyeluruh tapi juga “sekedar” perdamaian negatif yang “permukaan” saja. Yakni tiadanya perang atau konflik bersenjata secara langsung. Perdamaian idealistic yang ditandai tiadanya kekerasan structural dan simbolik terlalu jauh untuk dibicarakan dalam konteks kawasan itu sekarang, kendati semua itu saling berkaitan dan sama-sama penting.
Ihtiar Menyeluruh
Johan Galtung (1996) menyebut konflik sebagai kondisi badan yang sakit dan sebaliknya damai adalah kondisi sehat. Jika satu bagian dari tubuh kita sakit maka bagian yang lain juga merasakannya. Sebab sakit seringkali tidak tunggal dan sering kali terkait satu dengan lainnya.
Masalah perebutan kuasa dan sumber daya adalah sebab penting dalam konflik di bumi ini. Dimensi ini ditemukan di hampir semua konflik di Timur Tengah. Namun, sebab ini sering kali terhubung, disebabkan, atau menyebabkan factor konflik lainnya. Agama, sekte, kabilah, dan ideologi kelompok gerakan sering memberikan warna dan dimensi mendalam dan non material pada konflik di Timur Tengah bahkan kadang jadi akar. Aspek geopolitik adalah aspek menonjol lain yang berpengaruh besar terhadap konflik dan damai di kawasan ini terutama setelah era minyak. Itu semua tercermin dalam perang Suriah, Libya, pertikaian di Irak, Lebanon, Sudan, Yaman dan lainnya.
Mewujudkan perdamaian baik positif maupun negatif, diperlukan ihtiar menyeluruh dan serentak. Menurut Galtung, ihtiar menghilangkan kekerasan langsung, struktural, dan simbolik perlu dilakukan bersama-sama dan terus menerus. Ihtiar perdamaian (peace making) di Timur Tengah untuk menghentikan berbagai kekerasan langsung dan perang harus disertai dengan ihtiar-ihtiar”lembut”, mendalam, dan tanpa henti di level lainnya dengan mengikis kekerasan simbolik dan structural. Elemen masyarakat sipil yang kuat adalah aktor utama dalam ihtiar bagian ini. Aspek inilah yang begitu kurang dalam gerakan perdamaian di kawasan. Hanya segelintir negara seperti Tunisia yang cukup memilikinya.
Masalah ketidakadilan struktural adalah tipikal masyarakat yang masih menghadapi persoalan sosial dan politik dasar seperti di Timur Tengah. Gaung proses gerakan rakyat untuk perubahan di kawasan ini decade lalu menunjukkan vitalitasnya. Namun, sebagian besar kawasan itu tak mampu melahirkan sistem baru yang demokratis, tapi justru terjerumus ke dalam otoritarian baru seperti di Mesir, Sudan, Aljazair, dan Suriah atau ke dalam kekacauan tak berkesudahan seperti di Libya dan Yaman. Tapi bagaimanapun kesadaran kolektif rakyat untuk perbaikan yang tercermin dalam aspirasi Arab spring adalah modal penting yang dimiliki kawasan ini.
Tanpa adanya usaha penguatan perdamaian positif, perdamaian negatif yang juga tidak mudah dicapai bisa berujung sia-sia sebab tak ada landasan kuat yang menopangnya. Beberapa perjanjian damai Israel dan Palestina contohnya. Runtuh dan justru berakibat petaka. Ibarat belukar, perang dan kekerasan langsung adalah buah dan daunnya, kekerasan structural adalah batangnya, sementara nilai, pandangan dunia, dan persepsi terhadap yang lain adalah akar tunjangnya. Membersihkan belukar tidak cukup dengan membersihkan daun dan batangnya tetapi yang sangat penting juga membersihkan batang dan akarnya.
Mewujudkan perdamaian positif berarti menghentikan perang dan kekerasan bersenjata langsung, menegakkan keadilan struktural, dan penghormatan terhadap nilai-nilai keragaman. Itu adalah perjuangan tanpa akhir. Namun, keberhasilan sebagian saja dari ihtiar ini akan memberikan pondasi sangat penting bagi perdamaian negatif yang sering kali rapuh dan mudah runtuh. Ihtiar perdamaian positif memberikan ketahanan terhadap perdamaian negative yang telah tercapai dan memberikan dorongan untuk mewujudkan perdamaian negatif jika belum tergapai.
Mewujudkan perdamaian di Timur Tengah bukan sesuatu yang tak mungkin. Namun, diperlukan berbagai upaya luar biasa, bersama-sama, dan terus menerus dalam jangka yang sangat panjang. Wallahu a’lam (Tulisan ini sudah terbit di media Harian Kompas Sabtu 21 Juni 2025").
***