UIN SUKA

Senin, 29 September 2025 12:33:00 WIB

0

Menempuh Jalan Cahaya dalam Membaca Difabel: LIHATLAH MANUSIA (Dr. Asep Jahidin, Koordinator Pusat Layanan Difabel UIN Sunan Kalijaga).

Tadarus Minggu 51

Selama ini, difabel kerap dipandang dari dua kutub utama. Pertama adalah cara pandang medis, diwakili oleh dokter, psikiater, misalnya Ludwig Guttmann yang menitikberatkan difabel sebagai “kekurangan” atau “gangguan medis” yang harus diobati, diperbaiki, atau dipulihkan. Kedua adalah cara pandang sosial, diwakili oleh aktivis dan sosiolog difabel, misalnya Oliver dan Finkelstein yang melihat difabel sebagai akibat dari hambatan lingkungan, diskriminasi, dan struktur sosial yang tidak ramah terhadap keberagaman manusia.

Kedua cara pandang ini seringkali dipertentangkan. Yang satu dianggap reduksionis karena mengurung manusia dalam perangkap tubuh-biologisnya, sementara yang lain dituding terlalu politis karena menafikan pengalaman pribadi difabel atas tubuh dan perasaannya sendiri yang unik. Jarang sekali ada upaya serius untuk mempertemukan keduanya… Mungkin karena luka sejarah, atau mungkin karena ego akademik yang terus diwariskan... Cara pandang lain sebenarnya ada biopsikososial, hak asasi manusia, kultural, ekonomi, relasional, dan spiritualitas eksistensial... kita bahas lain waktu

Mari kita bertanya: apakah memahami difabel harus terfokus pada dua kutub itu? Apakah difabel BISA DIPAHAMI dengan utuh hanya dalam dikotomi medis dan sosial? Jika kita gali lebih dalam, keduanya juga ternyata menyimpan keterbatasan, mereka kadang berjalan sendiri-sendiri, bahkan berpotensi saling meniadakan… Karena alasan ini saya pun tidak bermaksud untuk mempertemukan keduanya...

Saya ingin mengusulkan jalan lain: sudut pandang Lihatlah Manusia...Cahaya Manusia … Paradigma cahaya manusia ini bukanlah untuk menolak paradigma medis atau paradigma sosial, tetapi menerangi sisi gelap keduanya... Kita diajak untuk berhenti memandang difabel sebagai masalah, dan mulai belajar hidup bersama

Cara pandang lihatlah cahaya manusia dalam diri seorang difabel bukanlah peleburan antara medis dan sosial. Ini bukan sebuah upaya kompromi, bukan juga suatu titik tengah, melainkan horizon dari keduanya. Cara pandang ini berangkat dari pemahaman kita yang paling purba tentang manusia: bahwa manusia diciptakan dari cahaya, dan kehidupan manusia pada dasarnya adalah pancaran cahaya...

Saya melihat permasalahan utama difabel BUKAN PADA MEDIS atau SOSIAL tapi pada cara individu atau cara kita MELIHAT DIFABEL SEBAGAI MANUSIA

Jika paradigma medis mengukur tubuh difabel mengukur kerusakan fisik difabel dan paradigma sosial mengukur relasi antar manusia, mengukur luka pertengkaran atau kualitas cinta kasih terhadap difabel, maka cara pandang lihatlah cahaya manusia akan melihat difabel sebagai kehadiran manusia yang unik bercahaya, yang menerangi sisi gelap paradigma lainnya... Difabel bukan semata mata suatu “cacat” yang harus diperbaiki, diobati, difabel juga bukan semata-mata “korban hambatan sosial” yang harus diadvokasi...

Dalam cara pandang ini, kita melihat Difabel adalah wujud cahaya manusia yang hadir dengan pancaran energi yang mungkin tidak sama dengan standar dominan, tetapi tetap memiliki arti, energi, dan daya yang menyinari lingkungannya … ia adalah manifestasi cahaya ilahi dalam diri manusia… cara pandang ini mengajak untuk memandang kehadiran tuhan pada diri manusia... jika ingin melihat cahaya Tuhan... Lihatlah manusia

Mengapa cara pandang Lihatlah Cahaya manusia?...

Cahaya itu plural Ia hadir dalam spektrum yang tak terbatas, dari yang tampak sampai yang tak terlihat mata. Demikian pula difabel, setiap orang memancarkan keunikan yang tak selalu tertangkap oleh cara pandang medis maupun sosial … ia hanya bisa ditangkap  dengan cara utuh melihatnya sebagai manusia

Cahaya itu transformasional Ia bisa menembus ruang, memantul, membias, bahkan menjadi gelombang atau bahkan partikel sesuai situasi. Difabel pun hidup dalam transformasi: mereka mencipta cara baru untuk bergerak, berkomunikasi, dan berinteraksi pada ragam dan level disabilitasnya

Cahaya itu sumber kehidupan. Tanpa cahaya, tak ada kehidupan. Begitu pula difabel, mereka bukan “beban” atau “anomali”, melainkan bagian vital dari ekosistem kemanusiaan… mereka adalah cahaya tuhan bersama-sama manusia lainnya

Cahaya itu mengungkapkan Ia memperlihatkan hal-hal yang tersembunyi... Begini... Kehadiran difabel telah membuka tabir tentang rapuhnya standar normalitas, rapuhnya standar kepintaran, menyingkap kekakuan standar kelulusan sistem pendidikan, sekaligus menunjukkan betapa luasnya kemungkinan hidup manusia…

Lihatlah manusia...adalah Titik Memahami Difabel, dengan cara purba, yaitu pulang ke jati diri cahaya manusia

Dengan pandangan cahaya manusia terhadap difabel, kita tidak lagi terjebak pada pertanyaan “apa yang salah dari tubuh difabel” (medis) atau “apa yang salah dari masyarakat” (sosial). di sini Kita mulai bertanya: “Apa pancaran cahaya unik yang dibawa seorang difabel, dan bagaimana kita bisa hidup bersama dalam kebercahayaannya itu?” … kita semua bersama-sama akan menjadi terang

Pertanyaan ini membalik paradigma. Ia menolak dikotomi medis dan sosial. Tapi sekaligus menerima keduanya untuk menerangi sisi gelapnya Ia membuka ruang bagi epistemologi baru tentang melihat DIFABEL SEBAGAI CAHAYA … sebuah kajian ilmiah yang tidak berangkat dari kerusakan medis, tidak pula berangkat dari stigma sosial, melainkan dari potensi kosmik manusia sebagai cahaya...

Mungkin terdengar aneh, mungkin agak mistis ... ya... tidak apa apa, setiap kemajuan manusia lahir dari keberanian untuk menempuh jalan lain. Perlu dicatat cara pandang Medis dan cara pandang sosial adalah dua lensa penting dalam ,membaca difabel, namun mereka juga memiliki keterbatasan dalam melihat difabel karena mengandung ruang gelap... Melihat Cahaya manusia pada difabel adalah horizon yang mengajak kita melampaui batas-batas itu. ia menerangi sisi gelap dari keduanya... implikasi praktis dari paradigma ini terhadap layanan difabel  telah saya tulis dalam artikel yang terpisah yang akan saya paparkan di International Dakwah Conferetion (Idacon) Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga

Difabel adalah cahaya pada dirinya sebagai pancaran tuhan … dengan spektrum, intensitas, dan pancaran yang khas. Dan tugas kita bukan hanya terbatas  pada menormalkan dan menyembuhkan secara medis atau upaya membela secara sosial. Di atas itu semua... Tugas kita adalah untuk merayakan hidup dalam keindahan cahaya manusia itu … Lihatlah Manusia.