WhatsApp Image 2025-05-05 at 08.36.36.jpeg

Rabu, 30 April 2025 10:00:00 WIB

0

Menyulam Logika dan Emosi: Gagasan Besar Prof. Dr. Ibrahim dalam Pembelajaran Matematika

Di balik angka-angka yang tegas dan rumus-rumus yang kaku, tersimpan sebuah ruang hening yang kerap terabaikan: emosi siswa. Dalam orasi pengukuhan sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Pembelajaran Matematika di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta,, 30 April 2025, Prof. Dr. Ibrahim, S.Pd., M.Pd., mempersembahkan sebuah pemikiran orisinal: bahwa pembelajaran matematika tak lagi cukup hanya melatih otak kiri, tetapi juga harus membangkitkan empati, kesadaran diri, dan kemampuan bekerja sama.

Melalui pidatonya yang bertajuk “Integrasi Kecerdasan Emosional pada Pembelajaran Matematika Berbasis Masalah”, Prof. Ibrahim menantang paradigma konvensional. Ia berangkat dari keresahan akademik yang mendalam: matematika kerap menjadi momok menakutkan bagi siswa, bukan karena kerumitan logikanya semata, tetapi karena pendekatan pembelajaran yang kering dari sentuhan emosional.

“Kecerdasan emosional dalam konteks pembelajaran matematika,” ungkap Prof. Ibrahim, “menjadi sangat penting, terutama ketika digunakan dalam pendekatan problem-based learning.” Di sinilah letak kontribusi intelektualnya: menyinergikan dua domain yang sering dipisahkan secara ekstrem—kognisi dan afeksi.


Ia menekankan bahwa dalam pembelajaran matematika berbasis masalah, siswa dituntut untuk tidak hanya berpikir kritis dan kreatif, tetapi juga mampu bekerja dalam tim, menghargai pendapat orang lain, dan mengenali serta mengelola emosinya sendiri. Semua ini adalah komponen dari kecerdasan emosional yang menurutnya belum banyak disentuh dalam desain kurikulum pembelajaran matematika.

Dengan mengutip berbagai studi mutakhir dan hasil refleksi praktik pembelajaran, Prof. Ibrahim menyusun sebuah kerangka konseptual yang menjembatani antara teori Gardner tentang kecerdasan majemuk, teori Goleman tentang kecerdasan emosional, dan pendekatan pedagogi kontemporer berbasis masalah. Pendekatan ini, menurutnya, tak hanya membangun kemampuan kognitif siswa, tetapi juga membentuk karakter dan keterampilan sosial mereka—sebuah kebutuhan mendesak di abad ke-21.

Di tengah kompleksitas dunia pendidikan yang semakin menantang, Prof. Ibrahim menghadirkan sebuah jalan baru: pembelajaran matematika yang lebih manusiawi. Kontribusi akademiknya ini bukan hanya mengisi celah dalam kajian pedagogik, tetapi juga memberi arah bagi pendidik di lapangan untuk membangun ruang kelas yang penuh makna dan koneksi emosional. (humassk)