Di penghujung Seminar Nasional bertajuk “Membangun Teologi Publik untuk Kemaslahatan Bangsa”, Rabu (16/7/2025), suasana di Aula Convention Hall Lt 1 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta terasa lebih dari sekadar forum ilmiah. Ada kegelisahan yang disuarakan secara terbuka. Sebuah kegelisahan akademis yang justru menjadi bahan bakar gagasan besar.
Di hadapan peserta yang hadir luring maupun daring melalui Zoom Meeting, Prof. Dr. M. Amin Abdullah, M.A., tampil menutup acara dengan sebuah refleksi yang menukik. Bagi Ketua Komisi Kebudayaan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) sekaligus Guru Besar Ilmu Filsafat itu, kegelisahan justru pangkal untuk terus merawat harapan.
“Kita betul-betul gelisah, apakah yang akan kita songsong ini Indonesia Emas atau Indonesia Cemas? Kegelisahan itu kita luapkan dalam diskusi publik semacam ini,” ujarnya.
Prof. Amin menjelaskan bahwa melalui Komisi Kebudayaan AIPI, diskusi semacam ini tidak akan berhenti di Yogyakarta saja. Kegelisahan yang muncul dari dinamika pemilu, demokrasi, dan kebhinekaan di Indonesia mendorong dirinya bersama Komisi Kebudayaan AIPI untuk menginisiasi penulisan tiga buku, salah satunya berjudul Reka Cipta Budaya Demokrasi di Indonesia.
Selain itu, masih banyak tema lain yang akan diangkat dalam diskusi-diskusi mendatang, termasuk meninjau kembali ragam musyawarah Nusantara yang tampaknya kini sudah jarang dijalankan. Tema lainnya meliputi Pendidikan Publik untuk Membangun Kompetensi Warga dan Pendidikan Masyarakat Sipil untuk Membangun Kompetensi Warga dalam Berdemokrasi.
Adapun seminar ini, baginya, hanyalah serpihan kecil dari perjalanan panjang menghidupkan diskursus teologi publik dan isu mendesak lainnya. Dalam waktu dekat, AIPI akan bergerak ke Makassar membicarakan Ragam dan Efek Makna Musyawarah dalam Demokrasi Modern Lintas Generasi, memberi ruang bagi suara-suara muda. Setelah itu, di Ambon, dengan tema “Mendayagunakan Ekspresi dan Laku Budaya untuk Solidaritas Sosial dan Demokrasi”, akan dikupas bekerja sama dengan UIN Ambon dan IAKN Ambon. Juga para praktisi, seniman dan budayawan yang memiliki cara tersendiri dalam memaknai kemajemukan. Semua catatan ini, kelak akan dihimpun menjadi buku yang diharapkan dapat membuka ruang-ruang diskusi di kampus dan publik, pada waktunya nanti.
Di antara penekanan pentingnya, Prof. Amin menyoroti paparan narasumber yang mengungkapkan Pancasila sebagai salah satu bentuk nyata dari teologi publik buatan Indonesia. Menurutnya, inilah warisan yang harus terus dipertajam agar tak kehilangan relevansi. Ia mengingatkan bahwa agama tidak boleh terjebak dalam ritus semata. Diskusi publik perlu hadir di ruang-ruang akademik, terutama perguruan tinggi agar kurikulum tidak ketinggalan zaman, tetap peka pada isu mutakhir, memahami diskriminasi sosial, dan mengajarkan agama yang membumi, menyentuh wilayah kepublikan.
“Ini yang akan kita gerakkan, termasuk teologi publik, supaya orang-orang beragama tahu tentang isu-isu kepublikan,” tandasnya.
Sepintas, Prof. Amin bukan nama asing bagi publik akademik Indonesia. Lahir di Pati, Jawa Tengah, 28 Juli 1953 Prof. Amin menyelesaikan studi S1 di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada program Perbandingan Agama, kemudian melanjutkan pendidikan S2 dan S3 di Departement of Philosophy, Middle East Technical University (METU), Ankara, Turki. Disertasinya berjudul The Idea of Universality of Ethical Norms in Ghazali and Kant menandai awal kontribusinya dalam pemikiran etika dan filsafat perbandingan Timur–Barat.
Pada tahun 1998, Prof. Amin mendapatkan postdoctoral fellowship di Universitas McGill, Kanada, memperluas jangkauan keilmuannya ke tingkat global. Gelar Guru Besar Ilmu Filsafat diperolehnya pada Januari 1999, dengan pidato pengukuhan berjudul “Rekonstruksi Metodologi Studi Agama Dalam Masyarakat Multikultural dan Multirelijius”
Dalam bidang kepemimpinan akademik, Prof. Amin pernah menjabat sebagai Asisten Direktur Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga (1993–1996), Pembantu Rektor IAIN Sunan Kalijaga (1998–2001), serta Direktur Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga (2000–2001). Puncak kepemimpinannya di kampus ini adalah saat dipercaya menjadi Rektor IAIN/UIN Sunan Kalijaga selama dua periode, yakni selepas menjadi direktur pascasarjana hingga 2010.
Setelah masa kepemimpinannya di kampus, ia diamanahi sebagai Staf Ahli Menteri Agama Bidang Pendidikan, serta menjadi anggota Parampara Praja Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Prof. Amin juga tercatat sebagai anggota Academic Development Committee (ADC), Institute for the Study of Muslim Civilizations (ISMC), Agha Khan University, dan saat ini sebagai Ketua Komisi Kebudayaan AIPI dan Dewan Pengawah BPIP.
Di tengah catatan panjang itu, satu hal tampak tak berubah, kegelisahan akademisnya masih menjadi bahan bakar harapan.(humassk)