Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, bekerja sama dengan Norwegian Centre for Human Rights (NCHR), Universitas Oslo, menyelenggarakan Seminar Internasional bertajuk “Islam dan Hak-Hak Anak: Penguatan Kapasitas dan Perspektif Penghulu dan Penyuluh Agama dalam Perlindungan Anak”, Rabu (30/7/2025), di Convention Hall Lt 1 kampus setempat.
Kegiatan ini dihadiri ratusan penghulu dan penyuluh agama di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, menandai keseriusan kalangan akademik dan praktisi keagamaan untuk meneguhkan posisi perlindungan hak anak sebagai bagian dari ajaran Islam yang substansial, bukan semata retorika moral.
Rektor UIN Sunan Kalijaga, Prof. Noorhaidi Hasan, dalam sambutannya menegaskan, seminar ini merupakan upaya memperkuat kapasitas pemahaman dan penerapan prinsip-prinsip hak anak di kalangan penghulu dan penyuluh. “Penyuluh dan penghulu KUA adalah garda depan dalam membimbing masyarakat,” tegasnya.
Ia juga juga menyinggung pentingnya membongkar asumsi-asumsi keliru tentang hak asasi manusia (HAM) yang selama ini berkembang di masyarakat. Bahwasanya HAM bukanlah konsep asing yang dipaksakan, melainkan hak dasar yang melekat pada setiap individu sejak lahir, sebagai anugerah dari Allah SWT.
“Setiap manusia terlahir merdeka, tidak boleh disiksa, diperbudak, atau dimarjinalisasi,” tegasnya. Menurut Prof. Noorhaidi, hak-hak dasar tersebut justru merupakan inti dari ajaran Islam yang dikenal dalam kerangka maqasid al-syariah, yakni perlindungan terhadap jiwa, akal, keturunan, harta, dan agama.
Lebih lanjut, ia menyebut bahwa gagasan tentang Islam humanitarian atau Islam kemanusiaan yang kini mulai banyak diperbincangkan, pada dasarnya menegaskan nilai-nilai keislaman yang menghormati martabat manusia, menjunjung tinggi keadilan, dan menolak segala bentuk kekerasan serta penindasan.
“Tujuan akhirnya adalah membangun fikih peradaban, yakni fikih yang tidak terjebak pada tafsir-tafsir legal formal yang kaku dan temporal, tetapi mampu menghadirkan nilai-nilai dasar Islam untuk menegakkan peradaban yang menjunjung tinggi hak dan martabat kemanusiaan. Termasuk menghargai perbedaan beragama, kesetaraan gender, dan meletakkan laki-laki dan perempuan dalam posisi yang setara sebagai hamba Allah,” pungkasnya..
Sementara itu, salah satu pembicara dari The Wahid Institute, Alissa Qotrunnada Wahid, memaparkan potret kehidupan anak di Indonesia yang menghadapi berbagai tekanan struktural dan kultural: dari kemiskinan, kurangnya akses pendidikan dan layanan kesehatan, hingga praktik berbahaya seperti perkawinan anak, kekerasan berbasis gender, dan eksploitasi.
“Anak perempuan, khususnya, mengalami beban berganda. Ketika keluarga menghadapi tekanan ekonomi, mereka yang paling sering dikorbankan,” ungkap Alissa, sembari menyebutkan sejumlah kasus tragis yang menimpa anak perempuan akibat budaya yang meminggirkan martabat mereka.
Alissa juga menekankan pentingnya membangun keluarga sakinah sebagai lingkungan pertama yang menjamin hak-hak anak. Prinsip pengasuhan anak supaya tidak melindas hak-hak anak, lanjutnya didasarkan pada lima pilar utama, yakni rahmah atau kasih sayang,; fitrah, yaitu menghormati jati diri anak sebagai individu yang memiliki potensi unik, bukan dianggap sebagai beban atau sekadar komoditas keluarga; maslahah, yang menekankan bahwa tujuan utama dari pengasuhan adalah memberikan kebaikan dan kemanfaatan sebesar-besarnya bagi tumbuh kembang anak; mas’uliyah, mengajak orang tua dan pendidik untuk mengambil tanggung jawab penuh atas anak; uswah, yaitu keteladanan.
Mengakhiri paparannya, Alissa Wahid mengingatkan para orangtua untuk tidak terjebak pada kecemasan tentang apakah anak akan tumbuh menjadi pribadi baik, melainkan merefleksikan diri: sudahkah kita menjadi orangtua dan pendidik yang baik bagi mereka?
Narasumber lainnya adalah perintis metode Qirā’ah Mubādalah Dr. Faqihuddin Abdul Kodir, menyampaikan pentingnya membaca ulang khazanah Islam klasik (turats) secara reflektif dan kontekstual. Ia merujuk pada karya Ibn Qayyim al-Jawziyah, Tuhfat al-Maudud bi Ahkam al-Mawlud, yang menggambarkan peran orang tua sejak pencarian pasangan hidup sebagai bagian dari perlindungan hak anak.
Namun, menurut Faqihuddin, literatur keislaman tersebut perlu direinterpretasi dengan orientasi kemaslahatan terbaik bagi anak, sebuah paradigma yang tidak semata mengedepankan kewajiban anak terhadap orang tua, tetapi juga menekankan tanggung jawab orang tua dan masyarakat dalam menjamin tumbuh kembang anak secara utuh, yakni fisik, psikologis, spiritual, dan sosial.
Dalam konteks Indonesia, Kantor Urusan Agama (KUA) menempati posisi unik dalam menjembatani narasi besar keagamaan dan kehidupan sosial masyarakat akar rumput. Dosen Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Dr. Moh Mufid mengungkapkan, penghulu dan penyuluh agama KUA tidak hanya bertugas mencatat pernikahan, tetapi juga menjadi agen strategis dalam membangun kesadaran perlindungan anak.
“Data kami menunjukkan mayoritas penghulu dan penyuluh sudah menolak praktik hukuman fisik terhadap anak, meski sebagian masih menoleransi sebagai bentuk pendisiplinan. Ini menunjukkan perlunya peningkatan kapasitas dan reinterpretasi ajaran agama secara lebih humanis dan kontekstual,” terang Mufid.
Ia juga menegaskan bahwa pembangunan fikih perlindungan anak yang humanis harus menjadikan anak sebagai subjek hukum yang memiliki hak-hak dasar, bukan semata objek yang diatur. Perlindungan hak anak bukan sekadar wacana, tetapi panggilan etik dan religious.
Seminar ini menegaskan kembali bahwa perlindungan hak anak harus menjadi bagian tak terpisahkan dari kerja-kerja keagamaan, pendidikan, dan sosial. Dengan pendekatan reflektif-kolaboratif yang mengintegrasikan maqasid syariah, hukum positif, dan konvensi internasional, dapat menghadirkan wajah agama yang ramah anak dan berkemajuan.
Setelah sesi paparan, kegiatan berlanjut dengan diskusi interaktif yang disambut antusias oleh para penghulu dan penyuluh. Mereka menyampaikan beragam pertanyaan, pengalaman lapangan, serta refleksi kritis yang memperkaya suasana forum. Usai tanya jawab, seminar dilanjutkan ke sesi kedua dengan menghadirkan para narasumber yang tak kalah inspiratif.(humassk)