83d0c1ee-693c-4c2e-9068-32e33a0985bc.jpeg

Kamis, 31 Juli 2025 07:58:00 WIB

0

UIN Sunan Kalijaga Bangun Fikih Peradaban: Reinterpretasi Islam demi Perlindungan Anak di Akar Rumput

Yogyakarta — Perlindungan anak bukan sekadar urusan hukum atau kebijakan negara. Lebih dari itu, ia menyentuh jantung dari bagaimana masyarakat memahami nilai kemanusiaan, keadilan, dan spiritualitas. Lewat Seminar Internasional bertajuk “Islam dan Hak-Hak Anak” yang digelar pada Selasa, 30 Juli 2025 di Convention Hall (Gedung Prof. Soenarjo), UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menegaskan satu hal: agama, bila dibaca dengan jernih, justru menjadi pelindung paling kokoh bagi mereka yang paling rentan—anak-anak.

Kegiatan ini dihadiri ratusan penghulu dan penyuluh agama dari berbagai Kantor Urusan Agama (KUA) di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, serta para akademisi, tokoh agama, aktivis perlindungan anak, dan pemerhati isu-isu keislaman dari dalam dan luar negeri. Tujuannya bukan hanya berdiskusi, tetapi membangun ekosistem perlindungan anak yang berbasis nilai-nilai keislaman dan hak asasi manusia. Sebuah gagasan besar yang dilandasi pada kenyataan lapangan, bahwa lembaga keagamaan seperti KUA dapat menjadi ujung tombak perubahan sosial—selama mereka dibekali pemahaman dan keberanian untuk bergerak.

Rektor UIN Sunan Kalijaga, Prof. Noorhaidi Hasan, membuka seminar dengan pernyataan yang tegas sekaligus reflektif. “Penyuluh dan penghulu KUA adalah garda depan dalam memberikan bimbingan dan pendampingan kepada masyarakat,” ujarnya. Noorhaidi mengkritisi anggapan umum bahwa Hak Asasi Manusia (HAM) hanyalah konsep Barat. Dalam Islam, menurutnya, hak dasar manusia sudah jelas merupakan bagian dari maqasid syariah—nilai luhur yang diturunkan untuk menjaga harkat dan martabat setiap insan.


“Semua manusia terlahir merdeka. Tidak boleh disiksa, diperbudak, atau dimarjinalkan,” tegasnya. Islam, lanjutnya, bukan semata ritual atau dogma. Ia adalah nilai-nilai yang hidup—dan harus diperjuangkan. Dalam konteks ini, UIN Sunan Kalijaga memperkenalkan gagasan fikih peradaban, yaitu pendekatan keagamaan yang berpihak pada keadilan sosial, kesetaraan gender, kebebasan beragama, serta perlindungan terhadap kelompok-kelompok lemah seperti anak-anak.

Seminar ini menghadirkan sejumlah tokoh penting dalam gerakan reinterpretasi Islam dan hak anak. Mereka bukan hanya cendekia, tetapi aktivis pemikiran yang telah lama menyuarakan pentingnya pembacaan ulang terhadap ajaran Islam secara kontekstual.


Prof. Lena Larsen dari Norwegian Centre for Human Rights (NCHR) mengawali diskusi dengan menyampaikan bahwa perlindungan terhadap anak, keluarga, dan nilai-nilai kemanusiaan lainnya adalah inti dari hukum Islam. “Nilai-nilai ini perlu terus direaktualisasi melalui berbagai pendekatan,” ujarnya.

Dari dalam negeri, Prof. Dr. Abu Rokhmad, M.Ag., Dirjen Bimas Islam Kemenag RI menegaskan dukungan pemerintah. “Kementerian Agama mendukung penuh agenda perlindungan anak berbasis nilai-nilai keagamaan,” tegasnya. Ini sejalan dengan suara dari Prof. Nelly van Doorn-Harder (Wake Forest University, AS), yang mengingatkan bahwa perlindungan anak bukan satu-satunya agenda. “Partisipasi anak juga harus menjadi prioritas dalam kebijakan publik dan keagamaan,” katanya.

Alissa Wahid, psikolog keluarga dari The Wahid Institute, membawa diskusi pada hal yang paling mendasar: keluarga. “Keluarga adalah ruang pertama dan utama bagi perlindungan anak. Di sana letak pondasi psikososialnya,” ucapnya lugas.


Dari sisi perlindungan hukum, Dr. Rita Pranawati (KPAI) menyuarakan bahwa pendekatan HAM tidak boleh berhenti di tataran simbolik. “Ia harus menjadi kerangka kerja yang menyeluruh, sistemik, dan membumi,” katanya.

Dr. Faqihuddin Abdul Kodir dari KUPI menekankan pentingnya membaca ulang turats atau khazanah klasik Islam agar sesuai dengan realitas dan kebutuhan zaman. “Tafsir agama hari ini harus berpihak pada keadilan anak, bukan sekadar mengulang doktrin lama,” katanya penuh penekanan.

Sebagai penutup, Dr. Halili Rais, peneliti isu HAM dan agama, menyatakan bahwa KUA bisa menjadi agen perubahan yang efektif. “Tapi itu hanya mungkin kalau negara, agama, dan masyarakat sipil bisa bersinergi,” tuturnya.

Selama tiga tahun terakhir, UIN Sunan Kalijaga menjalankan proyek strategis dalam bentuk pelatihan nasional kepada ribuan penyuluh dan penghulu agama. Tujuh buku panduan telah diterbitkan, riset-riset lapangan di berbagai daerah telah dilakukan, dan pendekatan baru dalam pelayanan keagamaan mulai dirumuskan.

“Ini bukan sekadar pelatihan. Ini adalah ikhtiar membumikan Islam yang memihak pada mereka yang paling lemah—anak-anak,” kata Prof. Noorhaidi dengan nada haru.

Dari diskusi yang digelar, kegiatan ini juga merumuskan empat tujuan strategis:

  1. Meningkatkan pemahaman para penghulu dan penyuluh agama tentang konsep hak-hak anak dalam Islam dan hukum nasional.
  2. Mendorong integrasi perspektif perlindungan anak dalam praktik bimbingan dan pelayanan keagamaan di KUA.
  3. Membangun sinergi antara Kementerian Agama, lembaga perlindungan anak, dan masyarakat sipil.
  4. Menghasilkan rekomendasi kebijakan dan praktik baik yang aplikatif di tingkat komunitas.

Melalui seminar ini, UIN Sunan Kalijaga menegaskan bahwa agama bukan penghambat keadilan sosial—ia justru bisa menjadi katalisatornya. Di tangan akademisi yang berpikiran jernih dan penyuluh yang berani turun ke masyarakat, Islam hadir sebagai pelindung anak-anak. Bukan Islam yang keras dan menghukum, tapi Islam yang menyayangi, mendidik, dan melindungi.

Inilah wajah Islam dari Yogyakarta yang ingin ditawarkan ke dunia: progresif, kontekstual, dan berakar pada kasih sayang. Dan inilah pula wajah pendidikan tinggi yang sesungguhnya: tidak tinggal di menara gading, tapi aktif menembus realitas sosial, menjawab persoalan paling mendesak, dan ikut menyemai masa depan bangsa—dimulai dari mereka yang paling kecil: anak-anak. (humassk)