WhatsApp Image 2025-07-30 at 16.08.48.jpeg

Kamis, 31 Juli 2025 16:12:00 WIB

0

Melalui Seminar Internasional, UIN Sunan Kalijaga Tunjukkan Kepedulian Serius terhadap Isu Perlindungan Anak

Derai tawa anak mestinya jadi tanda kehidupan yang sehat dan bahagia. Namun realitas di lapangan tak selalu seindah itu. Banyak anak Indonesia harus menanggung getirnya dunia orang dewasa, bahkan sebelum sempat mengenal dunia mereka sendiri. Berangkat dari keprihatinan ini, Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta bekerja sama dengan Norwegian Centre for Human Rights (NCHR), Universitas Oslo, menyelenggarakan Seminar Internasional bertajuk “Islam dan Hak-Hak Anak: Penguatan Kapasitas dan Perspektif Penghulu dan Penyuluh Agama dalam Perlindungan Anak”, Rabu (30/7/2025), di Convention Hall kampus setempat.

Dihadiri oleh ratusan penghulu dan penyuluh agama se-DIY, seminar ini menjadi forum yang hidup dan reflektif, menyajikan berbagai gagasan, pengalaman lapangan, hingga tawaran solusi konkret dalam isu perlindungan anak. Kehadiran para narasumber dengan latar belakang dan kapasitas keilmuan yang mumpuni menegaskan bahwa seminar ini bukan sekadar seremoni akademik. Kegiatan dengan Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga sebagai leading sector tersebut, merupakan respons nyata terhadap keprihatinan mendalam atas berbagai kasus pelanggaran hak anak yang masih marak terjadi di lapangan, kasus-kasus yang tak jarang berujung pada derita panjang, bahkan kematian tragis anak-anak karena hak-haknya diabaikan.

Sesi pertama berlangsung dinamis dengan paparan narasumber yang kaya pengalaman dan perspektif. Antusiasme peserta tidak surut hingga sesi kedua pada siang hari. Terbukti, para penghulu dan penyuluh agama tetap bertahan mengikuti seluruh rangkaian forum hingga akhir. Hal ini menunjukkan betapa krusialnya isu yang diangkat, apalagi materi yang disampaikan didasarkan pada riset-riset mendalam dari para pakar yang kredibel di bidangnya.


Prof. Euis Nurlaelawati, Guru Besar Hukum Keluarga Islam UIN Sunan Kalijaga, membuka sesi ilmiah dengan memaparkan pemenuhan hak anak dalam kerangka perundang-undangan, yang kemudian ditarik dalam perspektif hukum keluarga Islam dan realitas sosial masyarakat. Ia menyentuh isu-isu krusial: keabsahan anak, usia minimal pernikahan, hingga hak asuh dalam konteks perceraian.

Dalam perspektif fikih, para ulama secara umum sepakat bahwa anak yang lahir dari sebuah perkawinan yang sah dan minimal enam bulan setelah akad nikah dapat dianggap sebagai anak sah, dan jika sebaliknya, ia tidak dikategorikan sebagai anak tidak sah. Meskipun demikian, Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia menegaskan bahwa keabsahan anak ditentukan oleh adanya perkawinan yang sah antara orang tua tanpa melihat usia pernikahan.

Dalam praktiknya, keabsahan tersebut tidak hanya dinilai dari aspek normatif keagamaan, tetapi juga dari prosedur administrasi hukum. Kantor Urusan Agama (KUA), sebagai lembaga yang berwenang menetapkan status perwalian dalam pernikahan, mensyaratkan dua dokumen penting dalam proses penetapan wali: buku nikah orang tua dan akta kelahiran anak. Jika terdapat ketidaksesuaian atau kejanggalan dalam dokumen-dokumen tersebut, maka kewenangan perwalian dapat dialihkan kepada wali hakim.

Berdasarkan penelitian yang dilakukannya, Prof Euis juga mengkritisi terkait pernikahan anak. “Sering kali kita menyederhanakan persoalan pernikahan dini sebagai bentuk tanggung jawab moral. Padahal, itu justru bisa menjadi bentuk kekerasan struktural yang membungkam masa depan anak,” ungkapnya.

Ia juga mengkritisi praktik pernikahan dini yang sering dipicu oleh kemiskinan, doktrin keagamaan yang disalahpahami, hingga moral panik atas pergaulan remaja. “Lawan kata dari zina bukan nikah, tetapi tidak berzina. Dan alternatifnya bukan hanya menikah, tetapi bisa berupa melanjutkan pendidikan, bekerja, atau membangun masa depan secara sehat,” tandasnya.

Menutup paparannya, Prof. Euis menyampaikan beberapa hal sebagai refleksi Bersama, antara lain pentingnya merujuk kembali kepada turats, karena di dalamnya terdapat banyak pemikiran progresif yang relevan dengan konteks kekinian; perlu ada ruang yang lebih luas untuk mengakomodasi hasil-hasil penelitian akademik dengan pendekatan multidisipliner; pembacaan terhadap ketentuan hukum di negara lain juga bisa menjadi cermin untuk perbaikan regulasi nasional; dan mengembangkan pusat-pusat keluarga berbasis masjid.


Senada, mantan Komisioner KPAI, Dr. Rita Pranawati,  menegaskan bahwa pernikahan anak bukan sekadar soal budaya atau norma agama, tetapi persoalan sistemik yang kompleks. Ia berbagi pengalaman saat mendapati desa yang dalam data resmi mencatat nol pernikahan anak, namun realitasnya banyak anak perempuan sudah menikah sebelum usia 12 tahun dan mengalami putus sekolah. “Anak tetap punya hak sebagai anak meski sudah menikah. Kita tidak boleh meniadakan perlindungan hanya karena status pernikahan,” tegasnya.

Menurutnya, pelanggaran hak anak dalam pernikahan dini mencakup banyak aspek: hilangnya hak pendidikan, terbatasnya waktu bermain dan rekreasi, hingga gangguan tumbuh kembang secara fisik maupun psikologis. KPAI, lanjutnya, telah mendorong integrasi data perkawinan anak antar lembaga, serta pelatihan SDM dan advokasi regulasi yang lebih berpihak pada anak.


Sementara itu, Dr. Halili Rais,  memaparkan hasil penelitiannya tentang sikap dan pengetahuan pegawai KUA terhadap isu-isu anak, mulai dari pernikahan, pendidikan, kekerasan, hingga pengasuhan lintas agama dan praktik khitan perempuan. Ia mengajak seluruh elemen di KUA untuk menjadi pionir dalam menciptakan lingkungan keagamaan yang ramah anak. “Sudah waktunya kita membangun sinergi antara KUA, KPAI, LSM, dan lembaga pendidikan agar nilai-nilai hak anak menjadi arus utama dalam interaksi sosial-keagamaan,” ungkapnya.

Halili juga merekomendasikan agar Kementerian Agama menjalin kerja sama erat dengan perguruan tinggi keagamaan untuk menguatkan wawasan fikih yang ramah HAM bagi para penghulu dan penyuluh. Di era digital, katanya, kampanye perlindungan anak juga harus menjangkau ruang-ruang virtual yang menjadi keseharian generasi muda.

Yang membuat seminar ini bertambah istimewa adalah kesaksian nyata dari lapangan. Seorang penyuluh membagikan kisah memilukan tentang anak-anak yang ditinggalkan orang tuanya untuk mengamen dan mengemis. “Lebih dari satu anak meninggal disiksa  oleh orang tua gadai, karena orang tua kandung tidak dapat membayar tebusan,” kisahnya lirih.

Cerita lain pun tak kalah menyayat. Empat anak dalam satu keluarga hamil di bawah umur, tanpa diketahui siapa ayah biologis mereka. Realita seperti inilah yang membuat seminar ini tidak hanya menjadi ruang diskusi, tapi juga panggilan moral untuk bertindak. Dalam konteks inilah, peran penyuluh dan penghulu menjadi sangat krusial. Mereka adalah ujung tombak, kepanjangan tangan dari negara dan agama, yang bertugas menerjemahkan kebijakan dan nilai-nilai perlindungan anak ke dalam kerja nyata di lapangan. Perlindungan anak bukan hanya soal regulasi, tapi soal keberpihakan, kepekaan, dan tindakan konkret yang dimulai dari akar rumput.(humassk)