WhatsApp Image 2025-08-01 at 13.46.58.jpeg

Jumat, 01 Agustus 2025 10:35:00 WIB

0

Kuliah Umum The Future of Psychology, FISHUM Tegaskan Urgensi Psikologi Hadapi Krisis Zaman

Di tengah arus peradaban yang melaju kencang, Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora (FISHUM) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta meresponsnya dengan langkah strategis, meluncurkan Program S2 Psikologi. Kamis, (31/7/2025), Aula Convention Hall lantai satu menjadi saksi lahirnya prodi baru yang dirancang untuk menjawab tantangan zaman.

Dipandu Dr. Rachmy Diana, peluncuran ini dibingkai dalam  kuliah umum bertajuk “The Future of Psychology: Psikologi Menjawab Tantangan Masa Depan”, menghadirkan dua pembicara lintas disiplin, yakni filsuf Modern sekaligus dosen Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga, Dr. Fahruddin Faiz, serta Dosen Prodi Psikologi  Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora, Dr. Pihasniwati, S.Psi., M.A., Psikolog.

Dr. Fahruddin Faiz membuka ruang refleksi mendalam tentang relasi manusia dan peradaban. Menurutnya, salah satu tantangan psikologi hari ini justru datang dari ketergesaan dunia dalam merancang masa depan tanpa memperhitungkan manusianya. “Jika tidak hati-hati, peradaban akan meminggirkan manusia itu sendiri,” ujarnya.

Dengan gayanya yang khas, Dr. Faiz membawa peserta kuliah umum menelusuri kritik filsafat atas modernitas: dari Copernicus yang menggeser bumi sebagai pusat alam semesta, Darwin yang menghapus keistimewaan manusia dengan teori evolusinya, hingga Sigmun Freud yang meminggirkan kesadaran rasional manusia. “Lalu Haraway datang dengan gagasan cyborg, bahwa manusia tak lagi murni biologis, tapi simbiosis dengan mesin,” ungkapnya.

Satu demi satu, fondasi eksistensi tentang manusia digoyang. Maka tak heran bila generasi hari ini, terutama Gen Z, menurut Dr. Faiz, sering mengalami kebingungan eksistensial.Ia bercerita “Di suatu malam sunyi, melalui panggilan telepon, seseorang menyampaikan kegelisahan yang tak biasa, meragukan arti keberadaannya, bahkan mempertanyakan mengapa Tuhan menciptakannya, ” kenangnya. Ini adalah potret realita anak zaman yang burnout, kehilangan arah, bahkan sudah menuju depresi.

Mengutip Filsuf Korea Selatan Byung-Chul Han, Dr. Faiz juga menyebut manusia modern sebagai Burnout Society, masyarakat yang kelelahan. Tiga cirinya: narsistik, burnout, dan depresi.  Dalam konteks itu, peran psikologi bukan lagi sekadar klinis, melainkan juga sosial dan eksistensial. “Kita harus mengembalikan peradaban kepada manusia. Kunci eksistensi kita hari ini adalah kesadaran, makna, moral, dan empati,” tandasnya.

Ia juga menggambarkan bagaimana kecanggihan teknologi, alih-alih memanusiakan hidup, justru perlahan menggerus inti kemanusiaan itu sendiri. Sehingga tidak heran dampak besar mengintai manusia, yakni dehumanisasi, ketika manusia mulai kehilangan tempatnya di tengah sistem yang semakin mekanistik; ketergantungan kognitif, di mana pikiran kian malas bekerja karena segala hal difasilitasi teknologi, termasuk kecerdasan buatan; alienasi, kondisi terasing yang dialami individu karena terhanyut dalam ritme hidup yang serba instan; serta krisis otonomi dan otoritas diri, saat individu tak lagi mampu memegang kendali penuh atas hidupnya.

“Pikiran kita sekarang sering nganggur,” ujarnya, “dan ketika menghadapi masalah, semuanya terasa gelap.” Sebuah sinyal bahwa manusia modern, meski dikelilingi kemajuan, justru semakin kehilangan daya tahan nalar dan arah.

Ke depan, Prodi Magister Psikologi UIN Sunan Kalijaga memikul peran strategis untuk menjaga sisi-sisi kemanusiaan dalam dunia yang kian terdigitalisasi.  Beberapa hal yang menurut Dr. Faiz dapat dijadikan komitmen utama S2 Psikologi: memperluas pendekatan dalam kajian psikologi, mempersiapkan mahasiswa menghadapi tantangan masa depan, membangun kolaborasi lintas disiplin,; serta mendorong partisipasi aktif dan advokasi. “Psikologi harus berani menembus wilayah-wilayah yang selama ini luput dari perhatian,” tegasnya.

Narasumber berikunya, adalah  akademisi sekaligus praktisi psikologi, Dr. Pihasniwati, membawa perspektif yang kuat dan menyentuh tentang realitas kesehatan mental di dunia pendidikan dan dunia kerja. Dalam pemaparannya berjudul “Memahami Peran Psikologi Islam dalam Kesehatan Mental di Lingkungan Pendidikan dan Tempat Kerja”, ia mengajak audiens menelusuri sisi gelap yang kerap tersembunyi dari kehidupan sehari-hari,  tentang mereka yang tersenyum di luar, namun runtuh di dalam.

Data yang ia sampaikan pun mengejutkan. Dalam lima tahun terakhir, angka bunuh diri meningkat hingga 60 persen, dengan rentang usia paling rentan adalah 15 hingga 20 tahun. Survei nasional mencatat bahwa satu dari tiga remaja Indonesia memiliki masalah kesehatan mental, 1 dari 20 mengalami isu disorder, dan sebanyak 13 ribu di antaranya menjadi korban kekerasan seksual.  Melihat kondisi ini, Program Magister Psikologi UIN Sunan Kalijaga memfokuskan kajian utamanya pada tiga area krusial: keluarga, kesehatan mental, dan kepemimpinan.

Dalam paparannya, Dr. Pihasniwati juga membagikan hasil penelitian yang terkait peran psikologi Islam dalam mendukung kesehatan mental, khususnya di lingkungan pendidikan dan tempat kerja. Penelitian tersebut mengangkat tema-tema yang saling terhubung dan merefleksikan kebutuhan nyata masyarakat saat ini.

Salah satu temuan utama menunjukkan bahwa praktik spiritual Islam, seperti dzikir, tawakal, dan husnudzon, memiliki pengaruh signifikan dalam meredakan tekanan psikologis, mengurangi kelelahan mental, bahkan menurunkan risiko munculnya ide bunuh diri. Praktik-praktik tersebut, menurutnya, bukan hanya sarana ketenangan jiwa, tetapi juga membentuk ketahanan batin dalam menghadapi tekanan hidup.

Dari paparan kedua narasumber, terlihat jelas bahwa Prodi S2 Psikologi ini lahir bukan sekadar menambah daftar program studi, tetapi menjadi respons akademik dan sosial atas luka-luka kemanusiaan yang belum terselesaikan.

Implikasi teoritis dari pendekatan ini pun sangat progresif: memperkaya psikologi dengan dimensi spiritual, menantang model-model sekuler dan reduksionis, serta membuktikan bahwa nilai-nilai Islam mampu mendorong konsep diri yang positif. Di ranah praktis, pendekatan ini dapat diintegrasikan ke dalam kurikulum pendidikan dan sistem organisasi kerja yang lebih adil dan manusiawi.(humassk)